SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS MAUDLU“PALSU” (Refleksi pemikiran ulama hadis klasik hingga kontemporer)
Umaiyatus Syarifah1 Abstraksi
Hadis maudlu muncul sejak terjadinya fitnah kubra, diawali dengan
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, diikuti dengan terjadinya Perselisihan
antara Ali dan Muawiyah diakhiri melalui tahkim (arbitrase), yang kemudian melahirkan berbagai macam kelompok politik dan teologi yang berakibat pada
munculnya hadis-hadis maudlu` secara masif sebagai alat legitimasi atas kelompok masing-masing.
Para ulama telah melakukan antisipasi dengan menulis beberapa kitab
hadis, yang khusus menghimpun ratusan bahkan ribuan hadis palsu yang telah
tersebar luas di kalangan masyarakat muslim. Lebih dari itu, para ulama juga
memberikan kaedah-kaedah dalam mengidentifikasi hadis palsu.
Tulisan ini mencoba melacak akar munculnya hadis palsu, identifikasi
hadis palsu dengan melakukan kritik sanad dan matan, dan juga bagaimana kriteria-kriteria hadis palsu yang disyaratkan sebagian ulama klasik,
pertengahan dan kontemporer.
Pendahuluan
Secara struktural hadis merupakan sumber ajaran kedua setelah al-Quran bagi umat Islam. Jika al-Quran merupakan undang-undang berisi kaedah dan
dasar-dasar Islam, baik masalah akidah, akhlak, muamalah dan segala hal yang berkenaan dengan kehidupan, maka secara fungsional hadis merupakan
penjelasan sekaligus pengamalan al-Quran secara menyeluruh.
Dalam kedudukannya yang cukup penting tersebut, hadis haruslah
benar-benar valid dan dapat dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi Muhammad
saw., guna mendapatkan hadis yang benar-benar valid, tentunya diperlukan seperangkat alat atau syarat yang memungkinkan suatu hadis dipercaya datang
dari sumbernya. Penelitian kualitas hadis perlu dilakukan, karena tidak semua
hadis benar berasal dari Nabi, terdapat juga hadis-hadis maudlu (palsu) yang dinisbatkan kepadanya.
Imam Ibn Sirin (33-110 H) mengatakan ”pada awalnya umat Islam apabila
mendengar sabda Nabi saw berdiri bulu roma mereka, namun setelah terjadinya fitnah, untuk kali pertamanya mereka mempertanyakan sumber dari hadis
tersebut. Ungkapan Ibn Sirin mengindikasikan bahwa sejak terbunuhnya Utsman bin Affan telah terjadi pemalsuan hadis, dan hal ini dilakukan oleh
kelompok-kelompok penyebar bid`ah.
Kemunculan hadis maudlu’ (palsu) telah mewarnai eksistensi hadis, pada
satu sisi menyebabkan tidak semua hadis otentik dan pada sisi yang lain berimplikasi pada kehidupan, baik yang berkenaan dengan keagamaan maupun
aktivitas umum lainnya. Munculnya para pengingkar sunnah merupakan bukti
telah terjadi penolakan terhadap hadis Nabi saw. Implikasi negatif lain, hadis maudlu` (palsu) dapat memalingkan umat Islam dari jalan yang lurus dan
membawa pada kesesatan. Para pemalsu hadis telah melakukan kejahatan terhadap agama, dengan kedustaan, menghancurkan pondasi-pondasi Islam
sehingga jika tidak dilakukan klasifikasi dan koleksi, maka berakibat pada perpecahan umat dan kehancuran Islam.
Nabi telah memberikan ancaman keras terhadap siapa saja yang
memalsukan hadis:
ِراَلا ْنِم َُدَعْقَم ْأَوَ بَ تَ يْلَ ف َيَلَع َبَذَك ْنَم
Barang siapa yang berdusta atasku secara sengaja, maka bersiaplah menempatkan dirinya di neraka.Dalam rangka mengantisipasi pemalsuan hadis, Para ulama telah melakukan upaya-upaya agar hadis tetap terjaga dengan melakukan kritik
sanad, dan juga kritik matan. Mereka, terutama di kalangan ulama hadis berupaya mengoleksi sekaligus menjelaskan kualitas hadis-hadis tersebut
A. Pengertian Hadis Maudlu`
Secara bahasa, kata maudlu` adalah isim maf’ul dari wadla’a antonim dari
عفر
(terangkat) yang bermaknaطاطحإا
( kemunduran), 2 Ajjaj al-Khatibmempunyai beberapa makna, antara lain: pertama,
ه ع ةيا ا عضو
“hakimmenggugurkan hukuman dari fulan”. Kedua,
هلهاك نعرمأا عضو
“seseorang meletakkanperkara dari pundaknya”. Ketiga,
ةعوضوم
لبإ
“unta yang ditinggalkan”. Dan Keempat,قاتخإا و ءارقإا
“mengada-ada dan membuat-buat”.3 Sedangkan secara istilah,ىرفما بذكلا
,
ادمعت م ه لوسر ىا بوس ما عو صما
Kebohongan yang diada-adakan, yang diciptakan dan disandarkan kepada
rasulullah saw secara sengaja.4
Ulama hadis juga mempunyai pendefinisian yang beragam;
Pertama, menurut Ibn Shalah, yang kemudian diikuti al-Nawawi, Ibn Jama’ah, Ibn Katsir, Al-Sakhawi, dan al-Suyuthi,:5
ا
عو صما قلتخما وه عوضوما ثيد
Hadis maudlu adalah hadis yang diada-adakan dan dibuat-buat .
Kedua, menurut al-Dzahabi:6
دعاوقلل افلاخ ه تم ناك ام
,
ااذك هيورو
Hadis yang redaksinya bertentangan dengan kaedah-kaedah yang ada, dan perawinya pendusta.
Ketiga, menurut Ibn Hajar:7
2 Majmu' al-Lughah, Al-Mu’jam al-Wasith, (ttt, Mathabi' al-Har al-Handisiyyah, 1985),
2/1039
3 Ajjaj al-Khatib, Ushul al-hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 352
4 Abdu al-Mannan al-Rasikh, Mu’jam Ishtilahat al-Ahadits al-Nabawiyyah, (Pakistan: Dar Ibn
Hazm, 2004), h. 153 hadis maudlu hanya menggunakan redaksi قلتخما ( mengada-ada)
6 Al-Dzahabi, al-Muqidzah fi Ilmi Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah,
1412), h. 36
7 Ibn Hajar, Syarh Nukhbah: Nuzhah Nazhar fi Taudlih Nukhbat Fikr fi Mu¡thalah ahli
بذكب نعطلا
يوب لا ثيد ا ي يوارلا
Cacatnya hadis karena dustanya perawi atas hadis Nabi saw.
Pengertian hadis maudlu semakin berkembang, dengan tambahan redaksi “dibuat dan diciptakan, kemudian dinisbahkan kepada Nabi saw8 secara
palsu maupun dusta baik disengaja maupun tidak.9
Sengaja atau tidaknya pembuatan hadis tersebut, terjadi perbedaan ulama. Menurut sebagian ulama hadis seperti: Ibn Shalah, Suyuthi, dan
al-Sakhawi, hadis maudlu dibuat baik dengan sengaja ataupun tidak. 10 Hal
inipun diamini oleh Ibn Taimiyyah. Dan sebagian ulama menyatakanhadis
maudlu adalah yang dibuat dengan sengaja, jika tidak berarti bukanlah palsu.11
Al-Muallimi yang kemudian diikuti Azami memberikan pengertian yang
berbeda mengenai hadis maudlu’ yang dibuat tanpa sengaja. Menurut keduanya, hadis yang dibuat tanpa sengaja disebut batil.12
Sedangkan hadis maudlu dapat disebut hadis atau tidak, terjadi perbedaan pendapat. Menurut Ibn Hajar hadis maudlu tidak dapat disebut
hadis. Sedangkan menurut mayoritas ulama hadis seperti Ibn al-Shalah, Ibn Jama’ah, al-Thiby, Shalah Muhammad Uwaydat dan al-Nawawi,13 hadis
maudlu dapat disebut hadis dan dikategorikan sebagai hadis dlaif yang
paling buruk. Umar Hasyim menyatakan bahwa hadis maudlu tidak disebut
8 Muhammad Ibn Ismail al-Shan’ani, Taudlih al-Afakir li Ma’ani al-Anzar, (Beirut: Dar al-Fikr,
tth), juz. II, h. 41
9 Mahmud Abu Rayyat, Adwa ala al-Sunnat al-Muhammadiyat, (Beirut: Muassasah al-A’lam,
tth), h. 119
10 Umar Ibn Hasan Utsman al-Fallatah, al-Wadl’u fi al-Hadits, (Damsyik: Maktabah
al-Ghazali, 1981), Jld. I, h. 107
11 Utsman Fallatah, h. 108
12 Meskipun demikian, para ulama tetap mengelompokkan keduanya secara terpadu, dan
tidak memberikan garis pemisah antara keduanya. Lihat M. M. Azami, Studies in Hadits Literarature, Penj. A. Yamin, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1992), h. 111
13 Muhyiddin Ibn Syarf al-Nawawi, Taqrib wa al-Taysir li Ma’rifat Sunan al-Basyir al-Nadzir,
hadis secara mutlak tapi berdasar anggapan dan kecenderungan pembuatnya,
sedang hakekat dan asalnya bukanlah hadis. 14
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis maudlu
adalah sesuatu yang diciptakan dan didustakan dengan menyandarkannya
pada Rasulullah saw baik disengaja maupun tidak. B. Sejarah Munculnya Hadis Palsu
Ada beberapa pendapat mengenai awal munculnya hadis palsu. pertama, hadis palsu sudah muncul sejak zaman Nabi saw, pendapat ini dilontarkan
oleh Ahmad Amin,15 hal ini berdasarkan pada hadis ancaman terhadap setiap
orang yang berbohong atas nama Nabi:
Menurut Ahmad Amien, Hadis ini diungkapkan besar kemungkinan
karena adanya kejadian pemalsuan pada zaman Nabi saw.16 Pendapat ini
disanggah oleh al-Sibai, dan Akram Dliya al-Umari, karena tidak mungkin
pada masa Rasullah saw, seseorang ataupun sahabat memalsukan hadis atas
beliau, seandainya itu terjadi, pasti secara mutawatir para sahabat akan menuturkannya. 17 Melihat sejarah sahabat, akan loyalitas mereka terhadap
Islam, merupakan hal yang mustahil berbuat kepalsuan atas nama tuhan dan rasul-Nya. Nabi mengatakan itu, selain sebagai bentuk antisipasi dan
perintah agar sahabat menyampaikannya pada generasi berikutnya, juga sebagai petunjuk akan adanya pemalsu hadis yang menyandarkan pada
beliau di masa berikutnya. Hal ini bisa disinyalir dari hadis lain yang
menyatakan :
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah Mereka, dan kemudian mereka yang menebarkan
kedustaan” (HR. Bukhari muslim)
14 Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Kutub al-Araby, 1984), h.
115
15 Ahmad Amin, Fajr Islam, (Kairo: Maktabah al-Nadlah, tth), h. 112 16 Ahmad Amin, h. 112
17Akram Dlia’ al-Umari, Buhuts fi Tarikh Sunnah Musyarrafah, (Madinah: Maktabah
Kedua, pemalsuan yang berkenaan dengan urusan dunia telah terjadi
sejak zaman Nabi Muhammad saw, namun masalah agama belum terjadi. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Adlabi.18
Ketiga, pemalsuan hadis muncul akibat dari peristiwa fitnah kubra19 yang
terjadi pada masa Usman bin Affan ra. dan berlanjut hingga masa Ali bin Abi Thalib ra. Fitnah kubra merupakan awal munculnya hadis maudlu`,
terpecahnya umat Islam menjadi beberapa aliran teologi, berdampak negatif bagi kehidupan sosial politik umat Islam. Masing-masing memiliki peta
politik, ideologi dan prinsip yang berbeda.20
Dari keterangan di atas, pendapat yang lebih disepakati bahwa
pemalsuan hadis muncul sejak terjadinya fitnah Kubra. Akibat dari
18 Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-hadits al-Nabawi,
(Beirut: Dar al-falah al-Jadidah, 1983), h. 40
19 Menurut Ajjaj al-Khatib, fitnah kubra merupakan peristiwa pertama yang menyulut
kekacauan pada abad pertama Hijriyyah, yang berakibat pada terbunuhnya Utsman bin Affan ra. dan meninggalkan akibat-akibat buruk bagi umat Islam yang dampaknya berlanjut hingga sekarang. Lihat Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h. 124. setelah Rasulullah saw wafat, situasi pemerintahan khalifah Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra. berjalan dengan baik, berbeda dengan masa kekhalifahan Utsman bin Affan ra terutama paruh kedua dari 12 tahun masa pemerintahannya, mulai timbul pemberontakan terhadap khalifah, yang berakibat pada terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan ra. di tangan pemberontak. Menurut Muradi, mengutip Muhammad Ahmazun hal itu dipicu karena beberapa factor: pertama, perbedaan karakter kepemimpinan. Kedua, perbedaan visi politik. Ketiga, adanya perubahan social dan kemakmuran. Dan keempat, pengaruh gerakan Sabaiyyah. Keterangan lebih lanjut lihat Muradi, Mimbar :Jurnal Agama dan Budaya, Vol. 23. no. 4, 2006, h. 403. setelah terbunuhnya Utsman, Ali melanjutkan pemerintahan Utsman bin Affan ra. dalam keadaan umat Islam benar-benar terpecah. Kelompok Aisyah ra., Zubeir dan Thalhah meminta Ali mengusut tuntas atas pembunuhan Ustman, dan berujung pada terjadinya perang Jamal. Kelompok Muawiyyah (gubernur Syam) sebagai pendukung atas terpilihnya Utsman dan sekaligus keinginan untuk tetap berkuasa. Dan kelompok yang menaruh simpati terhadap Ali bin Abi Thalib ra. Perselisihan antara Ali dan Muawiyah diakhiri melalui Tahkim (arbitrase) yang melahirkan berbagai macam kelompok politik dan teologi. Dari sinilah, diyakini awal munculnya hadis maudlu` di kalangan umat Islam. Masing-masing kelompok melahirkan hadis-hadis maudlu` sebagai alat legitimasi. Lihat Ajjaj, Al-Sunnah..., h. 125. lihat Muhajirin, Implikasi al-fitnah al-Kubra sebagai lahirnya hadits maudlu`, (al-Insan; Jurnal Kajian Islam), vol. 1, no. 2, 1995, h. 80, Utsman Fallatah, h. 178
20 Kelompok-kelompok politik ini berani meriwayatkan hadis-hadis palsu guna
terjadinya fitnah kubra menjadi alasan paling logis akan lahir dan semakin
berkembangnya hadis palsu di dunia Islam.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi munculnya hadis maudlu`:
pertama, motivasi politik. Kedua, motivasi pendekatan kepada Allah. Ketiga,
penodaan Islam oleh orang zindiq. Empat, memperoleh fasilitas dunia: jabatan, kekayaan dan popularitas,21 dan keenam, diskriminasi etnis dan
fanatisme kabilah, dan perbedaan madzab.22
Motivasi politik menjadi faktor paling dominan akan munculnya hadis
palsu, peristiwa fitnah kubra menjadikan kaum muslimin terpecah dalam berbagai golongan. Dan setiap golongan berusaha melegitimasi posisi
masing-masing dengan teks-teks keagamaan khususnya hadis Nabi. Sasaran utama para pemalsu hadis adalah sifat ataupun keutamaan para tokoh
pujaan mereka.
C. Kriteria Hadis maudlu ”palsu”
Mengidentifikasi kriteria hadis palsu tidaklah semudah ketika
mendefinisikan hadis sahih, hasan ataupun daif. Kriteria hadis palsu masih diperdebatkan karena setiap ulama hadis berbeda dalam mengidentifikasi
hadis palsu baik dari kuantitas maupun kualitas. Ada sebagian ulama yang
memberikan kriteria cukup banyak dari segi sanad, dan ada juga yang lebih fokus pada segi matan saja.
Ada beberapa cara umum untuk mengetahui kepalsuan hadis ditinjau dari segi sanad maupun matan:
Pertama, dari segi sanad (keadaan rawi):
1. pengakuan pemalsu hadis baik lewat perkataan maupun tingkah
laku.23
21 Lihat Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadits , (Damaskus, Dar al-Fikr, tth), Ali
Musthafa Yakub, h. 83, Muhaimin, h. 85
22 Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah.., h. 137-142
23 Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, h. 239, Al-Dzahabi, al-Muqidlah, h. 36, Ahmad Syakir, al-Baits
Diriwayatkan dari Ibn Adi, bahwa Abdul Karim bin Abdul Auja'
ketika ditangkap dan dihadapkan kepada Muhammad bin Sulaiman bin Ali dan dipotong lehernya berkata: Demi Allah, aku telah
memalsukan hadis kepada kalian sebanyak 4000 buah untuk
mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram. Diantara
hadis buatannya: نا رازإ هيلع رما لم ىلع تافرعب ةفرع موي ير تيأر Kriteria ini menempati urutan pertama, yang digunakan ulama
hadis abad pertengahan seperti: Ibn al-Jauzi (w. 597 H), Ibn Shalah
(w.643 H), al-Nawawi (w.676 H), al-Dzahaby (w.748 H), Ibn Katsir (w.774 H), dan Ibn Hajar (w.862 H) yang kemudian diikuti ulama
modern seperti: al-Qasimi (w. 1332 H), Ajjaj al-Khatib dan al-Albani (w.1998) dalam mengidentifikasi hadis palsu.
Perlu digarisbawahi bahwasanya, ulama hadis klasik seperti: al-Ramahurmuzi (w. 360 H), al-Hakim (w. 405 H), Khatib al-Baghdady
(w. 463 H), belum banyak mengeksplor cara identifikasi hadis palsu,
mengingat pembahasan ulum al-hadis pada masa ini lebih
diprioritaskan pada masalah kedudukan sunnah dan kehujjahannya. 2. Semi pengakuan dari pemalsu hadis.24
Jika seorang perawi meriwayatkan hadis dari seorang syeikh yang tidak dapat dipastikan ia pernah bertemu atau dilahirkan setelah syeikh meninggal. Misalnya pengakuan Ma’mun bin Ahmad al -Halawi bahwa ia pernah pergi ke Syiria tahun 250 H dan mendengar riwayat dari Hisyam Ibn Ammar, padahal menurut Ibn Hibban, ia
meninggal tahun 245 H. Terdapat paradoks antara pernyataan di atas dengan kenyataan yang terjadi.
Contoh hadis palsu yang mengindikasikan semi pengakuan:
دوهيلا نعليلف ةقدص د ع نكي م نم
Barang siapa tidak memiliki sesuatu yang dapat disedekahkan, hendaknya melaknat orang-orang yahudi.
Hadis ini maudhu, telah diriwayatkan oleh khatib dalam Tarikh Baghdad
XIV/270, dari sanad Ali bin Husein ibn Hibban. Ibn Main berkata, ini adalah
riwayat dusta dan batil. Ibn al-Jauzi meriwayatkan dalam deretan hadis
hadis-hadis maudhu, dan ia berkata sanad dari yakub bin muhammad telah
dinyatakan oleh imam Ahmad sebagai perawi sanad yang tidak diterima.
Menurut al-Dzahabi, Yakub bin muhammad tidaklah benar telah
meriwayatkan hadis dari Hisyam bin Urwah. Sebab, Yakub tidak pernah
menjumpai Hisyam, bahkan ketika Hisyam meninggal, Yakub belum lahir.
3. Perawi pendusta.25
Apabila dalam sanad tersebut terdapat perawi pendusta, dan tidak
ada seorang tsiqah pun yang merawikannya, maka kemungkinan besar hadis tersebut adalah palsu. Para ulama telah memberikan
perhatian besar untuk mengetahui kualitas intelektual maupun spiritual perawi dengan menulis beberapa kitab al-Jarh wa al-Ta’dil.
Ulama hadis membagi lafal pendusta yang mengindikasikan kepalsuan hadis menjadi dua: pertama, lafal yang sharih (jelas). seperti ”
سا لا بذكأ
atau lafal yang miripبذكلا عب م
, atau juga dengansighat mubalaghah:
باذك ناف
,
عاضو ناف
,
لاجد ناف
.
Kedua, dengan lafal kinayah, Seperti:
ىتأ
,
ليطاأا ثدح
,
ثيد ا فرزي ناف
لطا رخ
,
dst. sebagian ulama seperti Ibn Araq juga menggunakanredaksi munkar untuk mengidentifikasi hadis palsu.26
Contoh hadis palsu karena perawinya pendusta:
25 Ibn Hajar, Syarah al-Nukhbah, h. 89-91, al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha, pnj.
Nurcholis Majid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 64
26 Para ulama memberikan banyak redaksi untuk mengidentifikasi kepalsuan hadis yang
را لا نم ارس هل ناك همأ ييع نب لبق نم
Barang siapa mencium di antara kedua mata ibunya, maka itu adalah tabir dari api neraka.
Hadis ini maudhu, dikeluarkan Ibn Adi dalam al-Kamil (II/102) dan abu
bakar al-Khabbaz dalam al-Amalii (II/16), dengan jalur sanad dari Abu Saleh
al-Abdi Khalaf bin Yahya, seorang qadhi di Rayy: memberitakan kepada
kami Abu Muqatil, dari abdul aziz bin abi Rawwad, dari abdullah bin
Thawus, dari ayahnya, dari Ibn abbas ra. Abdul Aziz bin Abi rawwad dan
ibn Thawus tidak baik sanadnya, sedangkan Abu Muqatil bukanlah seorang
perawi yang dapat dijadikan pijakan.
Ibn al-Jauzi dalam al-mudluat (III/86) menyebutkan tidak lah halal
meriwayatkan hadis ini. Ibn Abi Hatim (I/2372) mengatakan seraya menukil
pernyataan ayahnya, Abi saleh al-Abdi Khalaf bin Yahya ditinggalkan
periwayatannya. Ia seorang perawi pendusta.
4. Subyektivitas perawi.27
Apabila periwayat hadis adalah orang yang fanatik bahkan mengkultuskan –salah seorang sahabat - dan hadis yang ia riwayatkan
berkaitan dengan keutamaan dari keluarga tersebut. Menurut Musthafa Ali Yakub, besar kemungkinan hadis tersebut adalah palsu.
Empat point di atas merupakan kriteria hadis palsu dari segi sanad secara umum yang disepakati mayoritas ulama hadis.
Kriteria Kedua, dari segi matan: sebagian ulama seperti Ibn Shalah merasa cukup dengan mengatakan ”adanya qarinat pada matan”, menurut penulis, redaksi tersebut menunjukkan makna yang cukup
luas.
Sebelumnya, Ibn al-Jauzi memberikan beberapa indikasi kepalsuan
hadis dari segi matan, seperti: buruk redaksinya, rusak maknanya, bertentangan dengan dalil-dalil syar’i dan akal, bertentangan dengan
realitas. Pendapat Ibn Jauzi diikuti ulama hadis berikutnya, seperti
al-Dzahaby, Ibn Katsir, dan Ibn Hajar.
Ibn al-Qayyim menjelaskan lebih luas beberapa kriteria pada
matan seperti: menuduh sahabat Nabi tidak amanah, menganjurkan
berbuat kerusakan, berkenaan dengan sejarah masa depan, serupa perkataan dokter, berkenaan dengan akal, berkenaan dengan Khidir,
kekejian, dan sesuai madzab periwayat.28 Al-Suyuthi mengutip Ibn
al-Jauzi: ”jika kamu melihat hadis yang berkenaan dengan akal, bertentangan dengan dalil naqli, berlawanan dengan dasar-dasar agama maka itulah hadis maudlu’.29
Jika dilihat dari kriteria hadis palsu baik dari segi sanad maupun matan, memang tidak ada perubahan yang signifikan pada setiap
periode. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ada beberapa tambahan
kriteria yang dilakukan tiap generasi baik dari segi sanad ataupun matan. Sebut saja al-albani salah seorang ulama kontemporer yang
menulis kitab silsilah al-Ahadits al-Dlaifah wa al-Maudluah yang mengidentifikasi bahwa hadis yang diriwayatkan secara mauquf,
redaksi mengandung bid'ah (baik khasanah maupun dalalah)30, dan
diriwayatkan oleh perawi yang majhul sebagai ciri dari hadis palsu.
C. Antisipasi ulama atas hadis palsu
Usaha para ulama dalam mengantisipasi tersebarnya hadis palsu, bisa dikatakan cukup optimal, metodologi penelitian hadis yang mereka
tawarkan cukup arurat, sehingga ribuan hadis palsu dan yang tidak ada sumbernya bisa terdeteksi.31
28 Ibn al-Qayyim, al-Manar al-Munif, (Beirut: Dar al-Kutub, 1988) 29 Lihat al-Suyuthi, Tadrid al-Rawi, h. 241
30 al-Albani memberikan salah satu contoh bid’ah dalam kasus ini adalah ziarah kubur,
sehingga ia berkesimpulan hadis-hadis yang berkenaan dengan ziarah kubur patut diteliti ulang.
31 Upaya para ulama dalam menjaga hadis dari pemalsuan, terwujud melalui karya-karya
Adapun langkah-langkah yang ditempuh para ulama dalam
mengantisipasi penyebaran hadis maudlu adalah:
Pertama, penelitian isnad. Sejak terjadinya fitnah kubra, para ulama sangat berhati-hati dalam menerima hadis, hal itu diungkapkan oleh Ibn Sirin:
Pada awalnya para ulama tidak pernah menanyakan sanad dalam menerima hadis. akan tetapi setelah terjadi fitnah mereka selalu menegaskan
untk menyebutkan perawi-perawi hadis, ahlu sunnah diperhatikan dan diambil namun jika ahli bid’ah hadisnya tidak diambil.32
Sejak saat itu, para ulama menuntut adanya isnad. Abu Aliyah mengatakan :
Dulu kami mendengar hadis dari para sahabat, sehingga kami tidak merasa puas sebelum kami pergi menemui mereka dan mendengarnya secara langsung.33
Kedua, otentifikasi hadis. merujuk kepada sahabat merupakan salah satu cara ulama mengantisapasi pemalsuan hadis. Imam hadis memiliki
peran yang sangat besar, mereka menghapal yang sahih, dhaif dan maudlu. ketika para pengkaji hadis yaitu generasi tabi’in ingin mengkonfirmasi ulang, maka mereka tidak akan merasa kabur menghadapi berbagai jenis hadis. Pada masa ini, perjalanan rihlah sangat marak, para tabi’in banyak melakukan perjalanan jauh dari kota ke kota berikutnya, guna
mendengarkan hadis-hadis yang mantap dari perawi-perawi yang dapat dipercaya.34
Ketiga, penelitian atas perawi hadis. ini merupakan salah satu cara dalam penelitian hadis untuk membedakan mana yang otentik dan yang palsu. Penelitian ini terfokus pada sisi kehidupan, riwayat dan hal ihwal
mereka. Mereka melakukan al-Jarh (evaluasi negatif) dan al-Ta’dil (evaluasi
tulisan penulis: mengenal kitab Rijal al-Hadits: Tarikh al-Ruwat. Maupun karya-karya yang mengumpulkan hadis maudlu yang tersebar di masyarakat, diantaranya yang cukup populer: Tadzkirat al-Maudluat karya Ibn Thahir al-Maqdisi (507 H), al-Maudluat al-Kubra karya Ibn al-Jauzi (598 H), al-Baits ala al-Khalashah min Hawadits al-Qashash karya al-Iraqi, dan lain-lain.
32 Ajjaj al-Khatib, Ushul…, h. 360 33 Musthafa al-Sibai, al-Sunnah, h. 57
positif) atas mereka tanpa tendensi apapun, hanya ridha Allah dan
keikhlasan yang mereka harapkan.35 Pada setiap kurun selalu terdapat
kritikus dalam jumlah yang besar yang melakukan kritik rijal, Jadi bukan lah
hal yang mustahil, jika umat Islam mempunyai kamus biografi perawi hadis
yang mencapai ribuan.
Keempat, meletakkan prinsi-prinsip dasar guna mengetahui hadis
maudlu. Para ulama hadis menetapkan kaedah-kaedah dalam rangka mengetahui mana yang sahih, hasan dan daif, begitu juga dengan maudlu.36
Tiap ulama mempunyai kriteria yang berbeda dalam menjustifikasi hadis maudlu baik dari segi sanad maupun matan. Dan menurut penulis,
perkembangan dan penentuan kriteria tersebut tergantung dari kondisi zaman sang ahli hadis tersebut.
Berikut karya-karya ulama yang menghimpun hadis palsu:
1. Al-Maudluat min al-Ahadits al-Marfu’at, karya Abu Abdullah Husein al-Jawzaqani (w. 543 H)
2. Al-Manar al-Munif karya Ibn al-Qayyim
3. Tadzkirat al-Maudluat karya al-Maqdisi (w. 507 H) 4. Al-Maudluat karya ibn al-Jauzi (w. 597 H)
5. Al-Fawaid al-Majmuat fi al-Ahadits al-Maudluat karya M. Bin Yusuf al-Dimasyqy (w. 942 H)
6.Al-La’ali al-mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudluat karya al-Suyuthi (w. 911 H) 7. Al-Nukat al-Badiat ala al-Maudluat karya al-Suyuthi (w. 911 H)
8.Tanzih al-Syariah al-Marfuah an al-Ahadits al-Syani’ah al-Maudluat karya ibn Arraq al-Kannani (w. 963 H)
9. al-Mashnu’ fi Ma’rifat al-Ahadits al-Maudluat karya al-Qari (w. 1014 H) 10.Al-Fawaid al-Majmaah fi al-Ahadits al-Maudluat karya al-Syaukani, dan
11.Silsilah al-Ahadits al-Dlaifah wa al-Maudl-ah wa atsaruha fi al-Sayyi’ al-Ummah
karya al-Albani (w. 1998 M). dst
Kesimpulan
Hadis palsu muncul dan tersebar secara masif sejak terjadinya fitnah kubra. timbulnya hadis palsu disinyalir karena beberapa alasan: motivasi politik,
motivasi pendekatan kepada Allah, penodaan Islam, memperoleh jabatan,
kekayaan dan popularitas, diskriminasi etnis dan fanatisme kabilah, dan perbedaan madzab.
Kepalsuan hadis bisa diidentifikasi dari segi sanad ataupun matan, kriteria
hadis palsu dari segi sanad: pengakuan pemalsu hadis, semi pengakuan, perawi pendusta dan subyektivitas perawi. Adapun kriteria hadis palsu dari segi matan,
para ulama menggambarkan secara umum diantaranya: buruk redaksinya, rusak maknanya, bertentangan dengan dalil-dalil syar’i dan akal, bertentangan dengan
realitas. Referensi
Majmu' al-Lughah, Al-Mu’jam al-Wasith, (ttt, Mathabi' al-Har al-Handisiyyah, 1985) Ajjaj al-Khatib, Ushul al-hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)
Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 2004)
Abdu al-Mannan al-Rasikh, Mu’jam Ishtilahat al-Ahadits al-Nabawiyyah, (Pakistan: Dar Ibn Hazm, tth)
Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Kutub al-Araby, 1984)
Ahmad Amin, Fajr Islam, (Kairo: Maktabah al-Nadlah, tth)Al-Iraqi, al-Taqyid wa al-´dlah Syarah Ulum al-Hadits Muqaddimah Ibn al-Shalah,(Makkah, Maktabah al-Tijariyyah, 1993)
Al-Dzahabi, al-Muqidzah fi Ilmi Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 1412
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Dar al-Hadis, 2002) Ibn Katsir, Ikhtishar Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989)
Ibn Jama’ah, al-Minhal al-Rawi fi Mukhtashar Ulum al-Hadits al-Nabawi, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Islamiyyah, 1990)
Ibn Hajar, Syarh Nukhbah: Nuzhah Nazhar fi Taudlih Nukhbat Fikr fi Mu¡thalah ahli al-Atsar, (Damsyik: Maktabah al-Shabah, 1993)
Muhammad Ibn Ismail al-Shan’ani, Taudlih al-Afakir li Ma’ani al-Anzar, (Beirut: Dar al-Fikr, tth),
Mahmud Abu Rayyat, Adwa ala al-Sunnat al-Muhammadiyat, (Beirut: Muassasah al-A’lam, tth) Umar Ibn Hasan Utsman al-Fallatah, al-Wadl’u fi al-Hadits, (Damsyik: Maktabah al-Ghazali, 1981
M. M. Azami, Studies in Hadits Literarature, Penj. A. Yamin, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1992) Muhyiddin Ibn Syarf al-Nawawi, Taqrib wa al-Taysir li Ma’rifat Sunan al-Basyir al-Nadzir, (Beirut: Dar al-Kutub, 1985)
Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-hadits al-Nabawi, (Beirut: Dar al-falah al-Jadidah, 1983)
Muradi, Mimbar :Jurnal Agama dan Budaya, Vol. 23. no. 4, 2006,
Muhajirin, Implikasi al-fitnah al-Kubra sebagai lahirnya hadits maudlu`, (al-Insan; Jurnal Kajian Islam), vol. 1, no. 2, 1995,
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadits , (Damaskus, Dar al-Fikr, tth),