TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Tanaman Aren
Menurut Steenis (1950), klasifikasi tanaman aren sebagai berikut ini:
Kingdom : Plantae
Filum : Spermatophyta
Sub Filum : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Spadicitlorae
Famili : Palmae
Genus : Arenga
Spesies : Arenga pinnataMerr.
Aren memiliki akar yang dapat tumbuh dalam sampai 10 m dengan akar
serabut berwarna putih kekuningan dan mengandung saponin, flavonoida dan
polifenol. Perakaran pohon aren meyebar dan cukup dalam, sehingga tanaman ini
dapat diandalkan sebagai vegetasi pencegah erosi, terutama untuk daerah yang
tanahnya mempunyai kemiringan lebih dari 20% (Harahap, 2013).
Diameter batang sampai dengan 70 cm dengan tinggi mencapai 5-15 m,
kadang-kadang tinggi mencapai 20 m (Lasut, 2012). Waktu pohon masih muda
batang aren belum kelihatan karena tertutup oleh pangkal pelepah daun, ketika
daun paling bawahnya sudah gugur, batangnya mulai kelihatan. Permukaan
batang ditutupi oleh serat ijuk berwarna hitam yang berasal dari dasar tangkai
Daun majemuk dengan panjang sampai dengan 5.5 m; anak daun panjang
130-150 cm dengan lebar 5-8 cm; bagian bawah pangkal pelepah daun ditumbuhi
ijuk , berwarna hitam. Perbungaan berupa tandan bunga bercabang, menggantung
dengan panjang mencapai 60 cm atau lebih. Tandan bunga tumbuh pada daerah
bekas pelepah daun (Lasut, 2012). Pohon aren mempunyai tajuk (kumpulan daun)
yang rimbun. Daun aren muda selalu berdiri tegak di pucuk batang, daun muda
yang masih tergulung lunak seperti kertas. Pelepah daun melebar di bagian
pangkal dan menyempit ke arah pucuk. Susunan anak daun pada pelepah seperti
duri-duri sirip ikan, sehingga daun aren disebut bersirip. Oleh karena pada
ujungnya tidak berpasangan lagi daun aren disebut bersirip ganjil. Pada bagian
pangkal pelepah daun diselimuti oleh ijuk yang berwarna hitam kelam dan
dibagian atasnya berkumpul suatu massa yang mirip kapas yang berwarna cokelat,
sangat halus dan mudah terbakar. Massa yang menempel pada pangkal pelepah
daun aren tersebut dikenal dengan nama kawul (Jawa barat), baruk (Tana Toraja)
dan beru (Bugis) (Lempang, 1996).
Perbungaan berupa tandan bunga bercabang, menggantung dengan
panjang mencapai 60 cm atau lebih. Tandan bunga tumbuh pada daerah bekas
pelepah daun. Perbungaan dimulai dari pucuk, selanjutnya secara berturut-turut
menyusul pada bagian bawah. Biasanya 2-5 bunga pertama betina, sedangkan
rangkaian bunga pada bagian bawah adalah bunga jantan. Bunga jantan berwarna
kecoklatan, berbentuk bulat telur memanjang, daun bunga tiga, dan kelopak bunga
tiga helai, bunga betina warna kehijauan dengan mahkota bunga segitiga
beruas-ruas, bakal buah memiliki ruang tiga dan putik tiga. Tandan bunga betina aren
tumbuh dan membentuk buah (Lasut, 2012). Aren mulai berbunga, kira-kira
setelah tanaman berumur 7 – 10 tahun. Tangkai malai bunga dapat disadap setiap
hari selama 2-3 bulan menghasilkan 10-30 liter nira tiap hari (Haris, 1994).
Buah aren terbentuk akibat dari penyerbukan secara alami, pelaksanaannya
dengan bantuan angin. Buah aren berbentuk lonjong (dengan panjang sampai 5
cm dengan diameter sampai 3 cm) dan beruang tiga. Biji pada buah aren muda
mengandung kristal Ca-oksalat, yang bila menyentuh kulit dapat menyebabkan
iritasi dan menimbulkan rasa gatal (Lasut, 2012).
Gambar 1. Bagian Tanaman Aren
(a) Pohon Aren, (b) Daun Aren, (c) Buah Aren, (d) Biji Aren (Lasut, 2012)
Buah dan biji aren berkembang sangat lambat, membutuhkan tiga (3)
tahun untuk matang, dan biji masak fisiologis pada saat umur 36 bulan setelah
periode antesis dimana bunga telah berkembang sempurna dan fungsional. Berat
embrio maksimum dicapai pada umur 30 bulan. Selama proses pematangan,
penebalan dinding sel endosperm terjadi secara progresif sampai semua rongga
endosperm terisi pada 36 bulan setelah antesis, karena itulah struktur endosperm
a
b
tanaman aren sangat keras, hal ini menjadi karakteristik keluarga palem-paleman
(Haris, 1994).
Keragaman Genetik
Keragaman tingkat genetik merupakan tingkat keragaman yang paling
rendah dalam organisasi biologi. Keragaman genetik sangat penting bagi tanaman
untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya.
Informasi keragaman genetik tanaman pada tingkat, individu, spesies maupun
populasi perlu diketahui, sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun strategi
konservasi, pemuliaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik
tanaman secara berkelanjutan. Penilaian keragaman genetik tanaman dapat
dilakukan dengan menggunakan penanda morfologi, biokimia dan molekuler
DNA (Zulfahmi, 2013).
Keragaman genetik yang tinggi merupakan salah satu faktor penting untuk
merakit varietas unggul baru. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan
dengan memanfaatkan plasma nutfah yang tersedia di alam dan dapat pula dengan
melakukan persilangan. Sifat-sifat tertentu sering tidak ditemukan pada sumber
gen yang ada sehingga teknologi lainnya perlu diterapkan (Hutami et al, 2005). Keragaman yang tinggi didalam populasi memberikan dasar yang luas
untuk program pengembangan. Dasar untuk seleksi dalam proses ini sama seperti
konservasi ex-situ tetapi lebih difokuskan pada tingkat tertinggi dari
heterozigositas. Untuk menghasilkan program seleksi yang efektif, seleksi dengan
individu yang jumlahnya lebih banyak dilakukan di dalam populasi sehingga
Informasi keragaman genetik juga diperlukan untuk mendukung kegiatan
konservasi. Besarnya keragaman genetik mencerminkan sumber genetik yang
diperlukan untuk adaptasi ekologi dalam jangka waktu pendek dan evolusi dalam
jangka panjang. Menurut Nuryani et al (2002) pengujian secara molekuler akan mampu mengungkapkan tidak saja keragaman genetik juga mengungkap tingkat
kekerabatan tanaman.
Isolasi DNA
Isolasi DNA tanaman diawali dengan penghancuran dinding sel tanaman.
Kegagalan dalam memecah dinding sel akan mempengaruhi hasil akhir isolasi.
Proses inilah yang membuat isolasi DNA tanaman lebih sulit dibandingkan isolasi
DNA bakteri karena tanaman memiliki dinding sel yang kuat dan tebal.
Penghancuran dinding sel dapat dilakukan secara kimiawi dan mekanik. Secara
mekanik dapat dilakukan dengan cara penggerusan menggunakan mortar dingin
dan bantuan nitrogen cair. Penggunaan nitrogen cair membuat daun menjadi
kering dan mudah untuk dihancurkan. Nitrogen cair juga menjaga suhu tetap
dingin sehingga DNA tidak rusak. Nitrogen cair memiliki suhu minus 196°C.
Selain itu, dengan menggunakan nitrogen cair maka hasil penggerusan berupa
serbuk sehingga mengurangi peluang berkurangnya sampel dibandingkan bila
hasilnya berupa ekstrak cair yang mudah lengket pada mortar. Selain nitrogen
cair, penggerusan sampel daun ditambahkan juga Polivynilpolipirolidon (PVPP).
PVPP berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah terbentuknya warna coklat
(browning) pada DNA. PVPP menghambat enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA dan menyebabkan teroksidasinya senyawa fenol
Bahan lain yang yang digunakan selama isolasi antara lain larutan bufer,
larutan Tris-HCl, larutan ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA), larutan cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB) 10%, larutan kloroform:isoamilalkohol (24:1), larutan NaCl, isopropanol, alkohol absolut, alkohol 70%, dan bufer TE
(Tris-HCl:EDTA). Larutan bufer adalah suatu sistem dalam larutan yang terdiri
dari campuran basa lemah dan asam konjugatnya atau asam lemah dan basa
konjugatnya, yang berfungsi untuk mempertahankan perubahan pH larutan
walaupun ditambahkan sedikit asam kuat atau basa kuat. Larutan bufer yang
digunakan pada isolasi DNA terdiri atas beberapa senyawa yang memiliki fungsi
berbeda. Larutan Tris-HCl digunakan untuk memberikan kondisi pH yang
optimum dan menjaga kestabilan pH. EDTA digunakan untuk melemahkan
kekuatan dinding sel, karena dapat mengkelat ion magnesium yang merupakan
kofaktor enzim nuklease (Herison et al., 2003). Larutan CTAB 10% dalam bufer ekstraksi berfungsi untuk mengurangi senyawa polisakarida dan menghilangkan
polifenol yang juga merupakan kontaminan saat isolasi DNA. Kontaminan
tersebut akan mengendap bersama CTAB sedangkan DNA tidak mengendap.
Larutan kloroform:isoamilalkohol (24:1) untuk menghilangkan lemak,
protein, polisakarida, dan pengotor lainnya karena keberadaan senyawa-senyawa
tersebut dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas DNA yang diisolasi. Larutan
tersebut juga berfungsi memisahkan DNA dari membran sel yang memiliki bobot
molekul lebih besar. Kloroform:isoamilalkohol yang memiliki densitas paling
tinggi akan berada di dasar tabung sentrifus. Larutan yang berada di bagian tengah
merupakan protein yang telah larut dalam kloroform:isoamilalkohol. Supernatan
Selain itu, penambahan isoamilalkohol mengurangi busa yang muncul saat
ekstraksi DNA.
Penggunaan larutan NaCl pada konsentrasi tinggi untuk mengatasi
keberadaan polisakarida pada konsentrasi yang tinggi (Khanuja et al., 1999). Penambahan isopropanol bertujuan mengendapkan DNA. Penambahan alkohol
absolut bertujuan memekatkan larutan DNA dan menghilangkan residu kloroform
yang digunakan pada proses deproteinase (Ausubel et al., 1990). DNA yang diperoleh dicuci dengan alkohol 70% untuk menghilangkan sisa-sisa pengotor.
DNA yang diperoleh dilarutkan dengan bufer TE sehingga dapat disimpan dan
digunakan untuk analisis lebih lanjut.
Penanda Molekuler
Penanda genetik, biasa juga disebut dengan 'marka', merupakan ekspresi
pada individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu, yang
menunjukkan dengan pasti genotipe suatu individu. Beberapa penanda genetik
sangat terpercaya karena bersifat lembam, tidak mudah berubah karena pengaruh
lingkungan. Penanda genetik sangat penting dalam penyelidikan philogeni suatu
organisme (Tao et al., 2009).
Penanda molekuler atau penanda DNA adalah suatu sekuen pendek DNA
yang menunjukkan adanya polimorfisme antara individu berbeda dalam satu
spesies. Penanda molekuler mempunyai tingkat polimorfisme yang sangat tinggi,
jumlahnya tidak terbatas, tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dan tingkat
heritabilitasnya hampir 100%. Suatu penanda akan efektif jika dapat membedakan
antara dua tetua yang berbeda genotipenya dan dapat dideteksi dengan mudah
Penanda genetik hanya berguna apabila polimorfik dan terpaut dengan
sifat yang akan diamati atau dengan penanda genetik lain. Syarat polimorfik
diperlukan karena penanda genetik harus bisa membedakan individu-individu
dalam populasi yang diteliti. Suatu penanda genetik paling tidak harus bisa
mengelompokkan individu dalam dua kelompok. Syarat terpaut dengan penanda,
gen atau sifat lain diperlukan karena fungsi penanda genetik adalah sebagai tanda
pengenal yang harus melekat pada sifat yang diteliti (Sharma et al., 2008).
Penanda molekuler (molecular marker) menawarkan sejumlah keuntungan dibandingkan dengan penanda fenotipik konvensional, yaitu:
1. Penanda molekuler bersifat stabil dan dapat terdeteksi pada semua jaringan,
tanpa terpengaruh oleh pertumbuhan, differensiasi, perkembangan, atau status
pertahanan sel-sel tanaman.
2. Penanda molekuler tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan
3. Umumnya tidak memiliki efek pleiotropi atau epistasis
(Nasir, 2002).
Teknik molekuler telah memberikan peluang pengembangan dan
identifikasi peta genetik spesies tanaman. Pendekatan genetika molekuler
menggunakan penciri DNA telah berhasil membentuk penanda molekuler yang
mampu mendeteksi gen dan sifat-sifat tertentu, evaluasi keragaman, kekerabatan,
serta adanya evolusi pada tingkat genetik (Maftuchah dan Zainuddin, 2013).
Teknologi penanda molekuler pada tanaman berkembang sejalan dengan
semakin banyaknya pilihan penanda molekuler. Penanda pertama berdasarkan
pada hibridisasi DNA seperti RFLP. Penanda kedua berdasarkan pada reaksi
sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer, seperti RAPD dan AFLP. Penanda
ketiga berdasarkan pada PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan
sekuen komplementer spesifik dalam DNA target, seperti Sequence Tagged Sites
(STS), Sequence Characterized Amplified Regions (SCARs), SSRs atau mikrosatelit, dan Single NucleotidePolymorphisms (SNPs) (Azrai, 2005).
Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR merupakan fasilitas dalam mempelajari genetik tanaman maupun
hewan. Sidik DNA, analisis forensik, pemetaan genetik dan filogenetik dapat
dipelajari dengan PCR. Beberapa teknik analisis keanekaragaman genetik,
membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari suatu organisme (Demeke
dan Adams. 1994).
Kemajuan teknologi telah memungkinkan para ilmuan untuk meniru
urutan nukleotida suatu gen dengan cara melakukan amplifikasi DNA dengan
teknik reaksi berantai polimerase (PCR). Amplifikasi DNA dilakukan secara in vitro (di dalam tabung) dengan menggunakan: (1) enzim DNA polymerase; (2) dNTP (dinukleotida triphosphat; (3) oligonukleotida primer; dan (4) molekul DNA cetakan (DNA template)
Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan
daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin spesifik
daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat
dekat, maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang
sama dalam genom kelompok tersebut. Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA,
hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita
DNA yang utuh dan baik (Suryanto, 2003).
Proses PCR meliputi sejumlah siklus untuk amplifikasi suatu sikuen DNA
tertentu. Setiap siklus amplifikasi terdiri atas tiga tahap berurutan.
1. Denaturasi. Tahap pertama pada system amplifikasi PCR adalah denaturasi
DNA sampel dengan menaikkan suhu dalam tabung reaksi sampai 950
2. Penempelan primer. Suhu campuran diturunkan antara 37
C.
tabung reaksi ini berisi DNA target, dua primer oligonukleotida dalam jumlah
berlebihan, polymerase Taq yang tahan panas, keempat deoksiribonukleotida dan bufer yang mengandung Mg.
0
C - 600
3. Polimerasi. Pada tahap ini, suhu dinaikkan sampai 72
C. pada
tahap ini, primer menempel pada sikuen komplementernya pada DNA target.
0
(Sudjadi, 2008).
C, yang merupakan
suhu optimum polymerase Taq. Sintesis DNA diinisiasi pada ujung 3’-hidroksil pada setiap primer.
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)
Teknik PCR-RAPD merupakan salah satu teknik molekuler untuk
mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah
menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara
acak. Teknik ini melibatkan penempelan primer yang dirancang secara khusus
sepuluh oligonukleotida pada cetakan DNA yang komplementer, selanjutnya akan
dibentuk menjadi utas DNA baru. Proses selanjutnya sama dengan proses dasar
orientasi sekuen yang komplementer terhadap primer di dalam genom tanaman
(Azrai, 2005).
Teknik RAPD hanya digunakan pada satu primer arbitrasi yang dapat
menempel pada kedua utas DNA setelah didenaturasi pada situs tertentu yang
homolog dengan spesifitas penempelan yang tinggi. Potongan DNA yang
teramplifikasi berdasarkan pilihan penempelan yang bersifat acak dan tidak harus
berkaitan dengan gen tertentu. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana dan
mudah dalam hal preparasi. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat
dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya (Bardakci, 2001).
Penanda RAPD bersifat dominan, fragmen DNA yang dihasilkan tidak
dapat membedakan individu yang memiliki genotipe homozigot (AA) dengan
heterozigot (Aa), sedangkan yang tidak ada pita secara jelas menunjukkan
genotipe resesif (aa). Fragmen DNA hasil amplifikasi RAPD diskoring dengan
ketentuan “1” untuk ada pita dan “0” untuk tidak ada pita, data tersebut kemudian
digunakan untuk menghasilkan matrik biner untuk analisis statistik selanjutnya.
Keuntungan utama penanda RAPD adalah secara teknik lebih sederhana dan cepat
dalam pengujiannya, tidak memerlukan informasi sekuen DNA sehingga penanda
ini dapat digunakan secara luas, jumlah sampel DNA yang dibutuhkan sedikit,
primer tersedia secara komersial, dan tidak menggunakan senyawa radioaktif
(Zulfahmi, 2013).
Purwanta (2010) menyebutkan bahwa keberhasilan teknik RAPD
ditentukan oleh kemurnian dan keutuhan DNA cetakan. DNA cetakan yang tidak
murni akan mengganggu penempelan primer pada situsnya dan akan menghambat
polimerasi DNA, sedangkan DNA cetakan yang banyak mengalami fragmentasi
dapat menghilangkan situs penempelan primer.
Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana dan mudah dalam hal
preparasi. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan
teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan jumlah karakter
yang relatif tidak terbatas, sehingga sangat membantu untuk keperluan analisis
keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya. Pada
tanaman tahunan RAPD dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi seleksi
awal. Teknik RAPD sering digunakan untuk membedakan organisme tingkat
tinggi (eucaryote). Namun demikian beberapa peneliti menggunakan teknik ini untuk membedakan organisme tingkat rendah (procaryote) atau melihat perbedaan organisme tingkat rendah melalui piranti organel sel seperti