BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan
derajat kesehatan masyarakat. Di Indonesia Angka Kematian Ibu tertinggi
dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per 100.000
kelahiran hidup, Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 6 per
100.000 kelahiran hidup (BPS, 2003).
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 Angka
Kematian Ibu (AKI) 228/100.000 kelahiran hidup dan tahun 2010 turun menjadi
226/100.000 kelahiran hidup (SDKI 2010).
Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan
dalam tujuan pembangunan millenium (Millenium Development Goals (MDGs)) yang ditetapkan tahun 2000 yaitu pada tujuan ke 5 untuk meningkatkan kesehatan ibu.
Target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko
jumlah kematian ibu yaitu dari 307 / 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2000
menjadi 102 / 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Laporan pencapaian MDGs,
2010).
Hasil survei yang dilakukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui
diurutan ke – 3 AKI tertinggi diantara negara – negara ASEAN setelah Laos dan
Kamboja (United Nations, 2011).
Menurut data Profil kesehatan Sumatera Utara, AKI di Sumatera Utara
tercatat sebesar 116 / 100.000 KH, namun hal ini belum bisa menggambarkan AKI
yang sesungguhnya karena menurut survei FKM USU, AKI propinsi Sumatera Utara
tercatat 268/100.000 KH. Bila dibandingkan AKI nasional, AKI Sumatera Utara lebih
tinggi (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2011).
AKI kabupaten Simalungun pada tahun 2011 tercatat sebesar 61,64 / 100.000
KH meningkat dibandingkan tahun 2010 yang lalu yaitu 39,83 / 100.000 KH (Profil
Kesehatan Kabupaten Simalungun, 2012).
Penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah penyebab
obstetri langsung yaitu perdarahan 28 %, preeklampsi/eklampsi 24 %, infeksi 11 %,
sedangkan penyebab tidak langsung adalah trauma obstetri 5 % dan lain – lain 11 %
(WHO, 2007).
Kematian ibu juga diakibatkan beberapa faktor resiko keterlambatan (Tiga
Terlambat), di antaranya terlambat dalam pemeriksaan kehamilan (terlambat
mengambil keputusan), terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari
tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam
keadaan emergensi. WHO memperkirakan bahwa 15-20 persen ibu hamil baik di
negara maju maupun berkembang akan mengalami risiko tinggi (risti) dan/atau
komplikasi. Salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan angka kematan ibu
Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari
66,7 persen pada tahun 2002 menjadi 77,34 persen pada tahun 2009. Angka tersebut
terus meningkat menjadi 82,3 persen pada tahun 2010 (Laporan pencapaian tujuan
pembangunan millenium Indonesia, 2010).
Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada penyebab langsung kematian
ibu, yang terjadi 90% pada saat persalinan dan segera setelah pesalinan yaitu
perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%),komplikasi pueperium 8%, partus
macet 5%, abortus 5%, traumaobstetric 5%, emboli 3%, dan lain-lain 11% (SKRT 2001).
Untuk menjamin terpenuhinya hak hidup sehat bagi seluruh penduduk
termasuk penduduk miskin dan tidak mampu, pemerintah bertanggungjawab atas
ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya karena
setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya
di bidang kesehatan dan setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Setiap orang berhak secara mandiri
dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan
bagi dirinya. setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi
pencapaian derajat kesehatan (Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009).
Upaya untuk menurunkan AKI di Indonesia dari 228 / 100.000 KH pada tahun
2007 menjadi 102 / 100.000 KH pada tahun 2015 diperlukan terobosan dan
aksessibilitas serta kualitas pelayanan yang akan memudahkan akses bagi masyarakat
khususnya wanita untuk mendapatkan pelayanan yang aman, sehat, dan terjangkau.
Oleh karena itu pemerintah memberikan kemudahan pembiayaan dengan kebijakan
program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang ditujukan kepada seluruh kalangan
masyarakat (Petunjuk Teknis Jampersal, 2010).
Jampersal adalah jaminan pembiayaan yang digunakan untuk pemeriksaan
kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas, termasuk pelayanan KB pasca
persalinan dan pelayanan bayi baru lahir (Mediakom Kemenkes, 2011).
Penyelenggaraan Jampersal menggunakan semua atribut program seperti
Buku KIA, partograf dan kohort meskipun harus dibedakan dengan syarat kelengkapan lain. Menurut hasil Riskesdas 2010, persalinan oleh tenaga kesehatan
pada kelompok sasaran miskin baru mencapai sekitar 69,3%. Sedangkan persalinan
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan baru mencapai 55,4%.
Salah satu kendala penting untuk mengakses persalinan oleh tenaga kesehatan di
fasilitas kesehatan adalah keterbatasan dan ketidaktersediaan biaya sehingga
diperlukan kebijakan terobosan untuk meningkatkan persalinan yang ditolong tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan melalui kebijakan Jampersal. Jampersal dimaksudkan
untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan
Jampersal, yang didalamnya termasuk pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas
termasuk KB pasca persalinan, dan pelayanan bayi baru lahir (Peraturan Menteri
Kehadiran Jampersal diharapkan dapat mengurangi terjadinya Tiga Terlambat
tersebut sehingga dapat mendorong akselerasi tujuan pencapaian MDGs 5. Pada
dasarnya Jampersal adalah perluasan kepesertaan dari Jamkesmas dan tidak hanya
mencakup masyarakat miskin saja. Manfaat yang diterima oleh penerima manfaat
Jampersal terbatas pada pelayanan kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan
KB pasca persalinan (Petunjuk teknis Jampersal, 2011).
Sesuai dengan pendapat Winarno yang menyatakan bahwa implementasi
kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses
kebijakan segera setelah penetapan undang–undang. Implementasi dipandang secara
luas mempunyai makna pelaksanaan undang–undang dimana berbagai aktor,
organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan
dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi
pada sisi lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami
sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome). Misalnya, implementasi dikonseptualisasikan sebagai suatu proses, atau serangkaian keputusan dan tindakan yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang
diterima oleh lembaga legislatif bisa dijalankan. Implementasi juga bisa diartikan
dalam konteks keluaran, atau sejauh mana tujuan-tujuan yang telah direncanakan
mendapatkan dukungan, seperti tingkat pengeluaran belanja bagi suatu program.
Akhirnya pada tingkat yang paling tinggi, dampak telah ada perubahan, demikianlah
Jampersal diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam akselerasi
Indikatorkinerja program Jampersal antara lain adalah cakupan pelayanan
Antenatal yaitu kunjungan K1 dan K4 dan cakupan peserta Keluarga Berencana (KB)
Paska Persalinan. Kunjungan K1 ibu hamil yaitu kunjungan pertama ke unit
pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal sedangkan kunjungan
K4 ibu hamil yaitu pelayanan ibu hamil sesuai dengan standar yakni sekali dalam
triwulan pertama, sekali dalam triwulan kedua dan dua kali dalam triwulan ketiga
(Pedoman KIA, 2011).
Antenatal care (ANC) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal. Dalam
pelaksanaan program perencanaan persalinan dan komplikasi (P4K), bahwa semua
ibu hamil harus mendapatkan pelayanan antenatal care (ANC). Pencapaian target ibu hamil berstiker yang ANC karena kerjasama yang baik antara bidan di desa dengan
masyarakat, strategi yang dilakukan petugas kesehatan, yaitu: 1)memberikan
pelayanan ANC sesuai standar dan profesional, 2) sasaran ibu hamil, 3) membuat
PWS (pemantauan wilayah setempat), 4) melakukan pelayanan ANC di luar gedung
(di hari buka posyandu), 5) memberikan Jampersal (Jaminan Persalinan) secara gratis
di Polindes dan bidan praktek swasta. Sedangkan dari faktor masyarakat, yaitu 1)
mempunyai kesadaran akan pentingnya periksa rutin sewaktu hamil, 2)mampu secara
ekonomi untuk memeriksakan kehamilannya, 3) kader kesehatan memberikan
rujukan kunjungan ibu hamil baru ke bidan desa (polindes). Semua ibu hamil yang
bahwa ANC merupakan suatu kebutuhan dan hak semua ibu hamil, bukan perintah
petugas (Tumirahet.al, 2012).
Pelayanan antenatal (Antenatal Care/ANC) penting untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan dan menjamin ibu untuk melakukan persalinan di
fasilitas kesehatan. Para ibu yang tidak mendapatkan pelayanan antenatal cenderung
bersalin di rumah (86,7 persen) dibandingkan dengan ibu yang melakukan empat kali
kunjungan pelayanan antenatal atau lebih (45,2 persen). Sekitar 93 persen ibu hamil
memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa
kehamilan. Terdapat 81,5 persen ibu hamil yang melakukan paling sedikit empat kali
kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun yang melakukan empat kali
kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan baru mencapai 65,5 persen (Laporan
Pencapaian MDGs, 2010).
Akses ibu hamil di Indonesia tanpa memandang umur kandungan saat kontak
pertama kali (K1) adalah 92,7 %, sedangkan akses ibu hamil yang memeriksakan
kehamilan dengan tenaga kesehatan pada trimester 1 (K1 Nakes Trimester 1) adalah
72,3 persen. Adapun cakupan akses ibu hamil dengan pola 1-1-2 (K4) oleh tenaga
kesehatan saja adalah 61,4 % (Riskesdas, 2010).
Menurut data profil Kabupaten Simalungun, cakupan kunjungan Ibu hamil K4
tahun 2008 adalah sebesar 71,03 %, sedangkan cakupan K1 mencapai 80,21 %.
Dengan demikian terjadi drop out K4 sebesar 9,18%. Untuk Cakupan kunjungan Ibu hamil K1 tahun 2008 ini ternyata lebih rendah dibanding tahun 2007 (82,11%)
masih jauh dari target indikator SPM 2010 yakni 95%. Kemungkinan penyebab
utama terjadinya penurunan ini adalah rendahnya akses ibu hamil ke sarana
pelayanan kesehatan seperti Posyandu dan Puskesmas atau sebaliknya mobilitas yang
rendah oleh petugas kesehatan, ketidaktahuan ibu hamil terhadap manfaat kunjungan
K4, dan juga disebabkan rendahnya kualitas pelayanan antenatal yang diberikan
petugas saat kunjungan K1 (Profil Kesehatan Kabupaten Simalungun, 2008).
Berdasarkan data Profil kabupaten Simalungun tahun 2010, cakupan
kunjungan K1 di Kecamatan Panei sebesar 75,37 % dan K4 sebesar 69,33 % hal ini
masih kurang dari target nasional yakni kunjungan K1 sebesar 93,3 % dan kunjungan
K4 sebesar 81,5 % (Profil Kesehatan Kabupaten Simalungun, 2010).
Menurut data Profil kesehatan kecamatan Panei tahun 2010 untuk Puskesmas
Panei Tongah terdapat angka cakupan kunjungan Antenatal yang lebih rendah yaitu
untuk K1 sebesar 66,23 % dan K4 sebesar 54,54 % (Profil Kesehatan Kecamatan
Panei, 2010).
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap Bidan yang
bekerja di Puskesmas Panei Tongah, cakupan antenatal tahun 2011 setelah
dilaksanakan program Jampersal juga berada pada angka yang masih kurang dari
target nasional.
Cakupan peserta KB Paska Persalinan adalah jumlah peserta KB paska
melahirkan yang mendapatkan pelayanan Keluarga Berencana pasca salin antara lain
adalah kontrasepsi mantap (Kontap), IUD, Implant, dan Suntik. Tatalaksana
untuk pengendalian jumlah penduduk dan keterkaitannya dengan Jampersal, maka
pelayanan KB pada masa nifas perlu mendapatkan perhatian. Tatalaksana pelayanan
KB mengacu kepada Pedoman Pelayanan KB dan KIA yang diarahkan pada Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) atau Kontrasepsi Mantap (Kontap) (Juknis
Jampersal, 2011).
Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate-CPR) menunjukkan peningkatan dalam 5 tahun terakhir. Capaian CPR semua cara secara
nasional meningkat dari 49,7 persen pada tahun 1991 menjadi 61,4 persen pada tahun
2007. Sementara itu, untuk CPR cara modern meningkat dari 47,1 persen pada tahun
1991 menjadi 57,4 persen pada tahun 2007 (SDKI). Selanjutnya, di antara CPR cara
modern, KB suntik merupakan cara yang paling banyak digunakan (32 persen),
diikuti pil KB sebesar 13 persen (SDKI, 2007).
Jumlah pasangan usia subur yang ingin menjarangkan kehamilan atau
membatasi jumlah anak, tetapi tidak menggunakan kontrasepsi (unmet need) saat ini mencapai 9,1 persen, terdiri dari 4,3 persen untuk menjarangkan kelahiran dan 4,7
persen untuk membatasi kelahiran (SDKI 2007). Persentase penurunan unmet need
tersebut relatif stagnan sejak tahun 1997. Data SDKI 2007 menunjukkan 60 persen
perempuan menikah dengan 2 anak, 75 persen perempuan menikah dengan 3-4 anak,
dan 80 persen perempuan menikah dengan 5 anak atau lebih; tidak ingin menambah
anak lagi, namun tidak seluruhnya menggunakan alat kontrasepsi (Laporan
Unmet need dan CPR akan berpengaruh pada angka kelahiran total/Total Fertility Rate (TFR), demikian pula terhadap peningkatan angka kematian ibu, yang diperkirakan 6-16 persen disebabkan oleh praktik aborsi yang tidak aman. Tidak
terpenuhinya kebutuhan akan layanan KB menyebabkan terjadinya kehamilan yang
tidak diinginkan sehingga memicu pada tindakan aborsi. Di Indonesia, aborsi
termasuk tindakan yang ilegal sehingga para ibu yang hamil di luar rencana memilih
menggunakan cara aborsi yang tidak aman. Selanjutnya, tidak terpenuhinya
kebutuhan akan layanan KB ditandai pula dengan tingginya tingkat kehamilan pada
usia remaja di Indonesia, terutama di daerah perdesaan (Laporan Pencapaian MDGs,
2010).
Berdasarkan data Profil Kabupaten Simalungun tahun 2010, jumlah Pasangan
usia subur (PUS) di kecamatan Panei sebesar 3349 pasangan dengan proporsi peserta
KB aktif dengan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) sebesar 54,02% dan
dengan metode non MKJP sebesar 45,98%. Dengan proporsi peserta baru MKJP
sebesar 24,49% dan non MKJP sebesar 75,51%. Sehingga jumlah peserta KB aktif
adalah 61,69 dan peserta KB baru sebesar 13,05% (Profil Kabupaten Simalungun,
2010).
Berdasarkan data Profil Kabupaten Simalungun tahun 2011, jumlah PUS di
Kecamatan Panei mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya yakni 2905
pasangan dengan proporsi peserta KB aktif dengan MKJP sebesar 64,22% dan
dengan metode non MKJP sebesar 36%. Dengan proporsi peserta baru MKJP sebesar
penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu 60,52% dan jumlah peserta
KB baru mengalami peningkatan yaitu sebesar 14,87% (Profil Kabupaten
Simalungun, 2011).
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan Jampersal dalampencapaian
cakupan kunjungan Antenatal dan pencapaiancakupan peserta KB paska persalinan di
Puskesmas Panei Tongah Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun tahun 2013.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi
kebijakan Program Jampersal dalampencapaian cakupan kunjungan Antenataldan
pencapaiancakupan peserta KB paska persalinan di Puskesmas Panei Tongah
Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun tahun 2013.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kecamatan Panei, Puskesmas
Kecamatan Panei, dan pihak lainnya yang terkait dengan pelaksanaan
Program Jampersal.
2. Bagi peneliti, dapat menjadi wahana pembanding antara teori yang didapat di
bangku perkuliahan dengan aplikasinya di lapangan, khususnya tentang
kunjungan Antenatal serta cakupan peserta KB paska persalinan di Puskesmas
Panei Tongah Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun.
3. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti lain dalam mengkaji masalah
penelitian lembaga pendidikan di masa yang akan datang.
4. Untuk memberikan masukan yang diharapkan dapat digunakan untuk
memperbaiki kebijakan dalam meningkatkan kinerja program dan peran serta