• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN PULAU PULAU KECIL TERLUAR GU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGELOLAAN PULAU PULAU KECIL TERLUAR GU"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

KASUS PULAU NIPAH

(2)

1. PENDAHULUAN.

Pulau Nipah atau Pulau Nipa secara administratif termasuk dalam

wilayah Desa Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi

Kepulauan Riau. Semula Pulau Nipa memiliki luas wilayah 0,5 Ha sebelum

reklamasi, namun setelah reklamasi luasnya mencapai 60 Ha. Pulau ini

berada pada koordinat 01009’13”U dan 103039’11”T.1 Pulau Nipah

merupakan bagian dari gugusan pulau Batam – Rempang – Galang (Barelang), khususnya Pulau Pemping, Pulau Kelapa Jerih, dan Pulau Bulan.

Secara geografis Pulau Nipah terletak di antara Selat Philip dan selat utama

yang berbatasan langsung dengan Singapura.2 Hal tersebut menjadikan

letak Pulau Nipah memiliki nilai strategis dan merupakan pulau terluar

Indonesia yang sangat dekat dengan Singapura.

Pulau Nipah masuk dalam 111 pulau yang ditetapkan sebagai

pulau-pulau kecil terluar (PPKT) sebagaimana tercantum dalam Keputusan

Presiden Nomor 6 Tahun 2017, tentang Penetapan Pulau-pulau Kecil

Terluar.3 Penetapan pulau-pulau ini untuk mencegah isu okupasi atau klaim

kepemilikan pulau oleh warga negara lain seperti amanat dalam

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil yaitu bahwa pemanfaatan PPKT dilakukan oleh

pemerintah bersama-sama dengan pemerintah daerah dalam upaya

menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah juga

bisa mengawasi aktivitas ilegal yang sering kali terjadi seperti penyeludupan

narkoba, perbudakan, bahkan illegal fishing.4

Pulau-pulau kecil terluar adalah daerah terpencil dan jauh dari

perhatian pemerintah karena sarana dan prasarana yang tersedia sangat

1 Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar

Koordinat Gegografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, Jakarta: Dinas Hidro-Oceanografi TNI AL, 2002, Lampiran.

2 BPS Kota Batam, Batam dalam Angka 2015, Batam: BPS Kota Batam, 2015, Hal. 11.

3 Pemerintah Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 6Tahun 2017 tentang Penetapan

Pulau-Pulau Kecil Terluar, Jakarta: KKP, 2017, Lampiran I, Hal.12.

(3)

terbatas sehingga akses ke daerah tersebut sulit dijangkau. Akibatnya akses

dalam pengembangan aspek ekonomi maupun aspek lainnya juga berjalan

lamban. Secara fisik pulau-pulau tersebut masih alami, ada yang berupa batu

karang dan pulau yang tidak bervegetaris serta sebagian besar tidak

berpenghuni atau kalaupun berpenghuni jumlahnya relatif sedikit.

Pemerintah memang sudah melakukan pembangunan terhadap PPKT

namun masih belum maksimal dan hanya beberapa pulau tertentu saja

seperti misalnya pembangunan yang dilakukan di Pulau Nipah. Sejauh ini

pembangunan tersebut sudah mulai menunjukkan hasil yaitu dalam rangka

menanggulangi abrasi pantai, namun pengembangan pengelolaan pulau

tersebut masih terhenti.

Demikian juga pembangunan di bidang pertahanan, pemerintah mulai

memperhatikan pentingnya menjaga kedaulatan di perbatasan negara pada

PPKT tersebut. Pembangunan pos penjagaan pada hampir setiap PPKT

dapat menjadi solusi dalam menghadapi ancaman pelanggaran kedaulatan

dan tindak kejahatan lintas batas negara lainnya dengan perlengkapan

alutsista dan sarana patroli yang baik dan memadai agar keamanan

perbatasan semakin kuat.

Namun pada kenyataan yang ada, pertahanan di PPKT terutama PPKT

yang tidak berpenghuni masih sebatas pada pendirian Pos TNI Angkatan

Laut (Posal), bahkan di beberapa PPKT hanya terdapat berupa tugu suar

saja seperti di antaranya Pulau Batek, Pulau Mangudu, Pulau Dana, di Nusa

Tenggara Timur dan Pulau Fani di Papua. Hal yang seperti ini perlu diperbaiki

oleh pemerintah terutama kebijakan Kementerian Pertahanan terhadap

permasalahan pertahanan PPKT sebagai beranda depan negara.

2. DATA DAN INFORMASI.

a. Bapelitbangda Kota Batam.

1) Secara geografis Kota Batam mempunyai posisi yang strategis karena

berada pada jalur pelayaran internasional dan hanya berjarak 12,5 mil

(4)

2) Kota Batam terdiri lebih dari 370 buah pulau, dimana terdapat empat

pulau yang merupakan PPKT yang berbatasan dengan Negara

Singapura dan Malaysia. Adapun menurut Perpres Nomor 78 Tahun

2005, tentang Pengelolaan PPKT, ke-empat PPKT tersebut yaitu: Pulau

Nipah, Pulau Pelampong, Pulau Batu Berhanti dan Pulau Nongsa/Putri.

3) Secara administratif batas wilayah Kota Batam adalah sebagai berikut:

a) Sebelah Utara : Singapura dan Malaysia.

b) Sebelah Selatan : Kabupaten Lingga.

c) Sebelah Barat : Kabupaten Karimun.

d) Sebelah Timur : Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang.

4) Pada tahun 2007 Kota Batam ditetapkan sebagai Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone)

berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2007 Tentang Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Pada PP tersebut

disebutkan bahwa Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau

Batam (OBDIPB) berubah menjadi Badan Pengusahaan Kawasan

Batam (BP Batam) dengan beberapa perubahan yang diatur dalam PP

Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas Batam.

5) Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Wilayah Batam hingga saat

ini memiliki dua institusi yang mengatur proses pembangunan di

dalamnya, yakni Badan Pengusahaan Batam (BP. Batam) dan

Pemerintah Kota Batam. Keduanya saling bersinergi dalam memajukan

Kota Batam menjadi Kota yang maju dan mampu berkontribusi positif

untuk pembangunan nasional.

6) Dalam perspektif keamanan dan pertahanan nasional, Batam sebagai

wilayah kepulauan yang berbatasan dengan negara tetangga memiliki

peran strategis dalam menjaga kedaulatan negara. Konsekuensi logis

(5)

keamanan dan pertahanan di Wilayah Batam menjadi prioritas di tingkat

nasional.5

7) Berkaitan dengan pembangunan PPKT yang ada di wilayah Kota

Batam, maka dalam pelaksanaannya Pemerintah Kota Batam harus

berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat karena sebagian besar

pemanfaatan Pulau Nipah dan perairan sekitar adalah untuk kegiatan

pertahanan dan keamanan, penangkapan, budidaya ikan dan kegiatan

labuh sementara (transit anchorage).

Gambar: Rencana Pengembangan Pulau Nipah.

8) Wilayah perairan Pulau Nipah masih dimanfaatkan nelayan dari

pulau-pulau di sekitarnya sebagai kawasan penangkapan ikan dan budidaya

ikan. Berdasarkan hasil kajian Tim Teknologi Inventarisasi Sumber

Daya Alam Badan Pengkajian Pengembangan Teknologi (TISDA

BPPT) ada kecenderungan penurunan densitas ikan setiap tahunnya,

sedangkan Pulau Nipa sendiri dimanfaatkan oleh nelayan sebagai

tempat peristirahatan sementara dalam kegiatan penangkapan ikan

dan tempat perlindungan jika terjadi badai di wilayah perairan sekitar

Pulau Nipa.

(6)

9) Di samping itu kawasan perairan Pulau Nipa dimanfaatkan sebagai

tempat labuh sementara (transit anchorage). Kegiatan ini berlokasi di

sisi barat dan sudah dimulai sejak tahun 2002 baik secara legal (resmi)

maupun iIlegal (tidak resmi).6

b. Kodim 0316 Batam.

1) Dislokasi pasukan dalam rangka pembinaan teritorial yang terdapat di

wilayah Batam terdiri dari lima Koramil, yaitu Koramil 01 Batam Timur

di Kecamatan Sanggulung Pulau Batam, Koramil 02 Batam Barat di

Kecamatan Batu Aji Pulau Batam, Koramil 03 Nongsa di Kecamatan

Nongsa Pulau Batam, Koramil 04 Galang di Kecamatan Galang Pulau

Galang, dan Koramil 05 Belakang Padang di Kecamatan Belakang

Padang Pulau Belakang Padang.

2) Program kegiatan Kodim 0316 Batam berkaitan dengan Pembinaan

wilayah di pulau-pulau kecil terluar adalah sebagai berikut:

a) Ekspedisi Gurindam Sakti, yaitu pembuatan patok ekspedisi,

penelitian flora dan fauna, serta penjelajahan pulau.

b) Karya Bahkti, yaitu kegiatan pembersihan dan penghijauan pulau.

c. Lanal Batam.

1) Dalam rangka mengelola pulau-pulau terluar dan sekaligus menjaga

kedaulatan di gugusan kepulauan di Kota Batam, maka Lanal Batam

melaksanakan gelar satuan di pulau-pulau sebagai berikut:

a) Posal Pulau Nipa.

b) Posal Pulau Tolop.

c) Posal Pulau Sambu.

d) Posal Pulau Galang.

e) Posal Pulau Abang.

f) Posal Pulau Sugi.

g) Posal Telaga Punggur.

(7)

h) Posal Tanjung Sengkuang.

i) Posmat Pulau Jodoh atau pantai stress.

j) Posmat Tanjung Riau.

k) Posmat Pulau Mangkada.

l) Posmat Pulau Sagulung.

m) Posmat Tanjung Kretang.

n) Posmat Tanjung Uncang.

o) Posmat Pulau Nongsa.

p) Posmat Ngenang.

2) Khusus untuk Pulau Nipah, unsur Posal terdiri dari 14 Personil dan saat

ini sudah tidak ditempatkan lagi Satgas Marinir Pam Pulau-pulau

Terluar. Posal Pulau Nipah terdapat di sebelah utara yang menghadap

langsung ke Selat Singapura dan Singapura.

3) Berdasarkan tata laut perairan yurisdiksi nasional Indonesia serta

perkembangan lingkungan strategis di sekitar Pulau Nipah yang

merupakan pertemuan Selat Malaka dan Selat Singapura maka

kemungkinan ancaman aspek maritimnya sebagai berikut :

a) Ancaman Faktual. Yaitu gangguan keamanan laut, tindak pidana

dan pelanggaran hukum di laut berupa :.

(1) Pembajakan / perompakan.

(2) Penyelundupan.

(3) Illegal fishing.

(4) Perusakan dan pencemaran lingkungan laut.

(5) Imigran gelap.

(6) Survei dan pemetaan tanpa ijin.

(7) Pengambilan harta karun / cagar alam.

(8) Pencurian / penambangan bawah laut.

(9) Infiltrasi dan sabotase.

(10) Kecelakaan di laut.

(11) Masuknya narkoba dan psikotropika.

(8)

(1) Pulau Nipa berpotensi terjadi konflik perbatasan perairan

antara Indonesia dengan Singapura dan pelanggaran

wilayah, walaupun perjanjian garis batas laut kedua

negara telah disepakati di Jakarta pada tanggal 25 Mei

1973 yang menghasilkan 6 titik koordinat yang terletak di

selat Singapura. Kerawanan batas wilayah tetap

diwaspadai karena adanya reklamasi besar-besaran di

Singapura yang patut diduga akan mempengaruhi batas

wilayah laut.

(2) Hadirnya kekuatan asing/patroli negara tetangga di

perairan Indonesia dengan alasan Sea Lines Of

Comunication (SLOC), serta dalih penanganan aksi teroris.

(3) Gerakan teroris dari luar kemungkinan masuk melalui

perairan Indonesia.

d. Dinas Perhubungan Kota Batam.

1) Kota Batam terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, sebanyak 370 pulau

terdapat di sekitar wilayah Batam baik berpenghuni maupun tidak

berpenghuni.

2) Permasalahan transportasi laut: tidak semua pulau-pulau tersebut

tersambung dalam jaringan transportasi laut, terutama pada

pulau-pulau yang yang tidak berpenghuni. Hal ini terjadi semata-mata karena

pertimbangan ekonomi yang tidak menguntungkan.

3) Saat ini Dinas Perhubungan Kota Batam hanya melayani pelayaran

perintis dengan rute Batam-Bulang-Galang, sementara untuk daerah

hinterland.7 Dinas Perhubungan Kota Batam melayani masyarakat

secara gratis tiga kali seminggu. Daerah hinterland tersebut adalah

Pulau Belakang Padang, Bulang dan Pulau Galang.

4) Untuk transportasi Batam-Pulau Nipah belum ada transportasi laut yang

resmi. Masyarakat yang ingin ke Pulau Nipah biasanya menyewa

7 Hinterland adalah daerah belakang suatu pelabuhan, dimana luasnya relatif tidak mengenal batas administrasi suatu daerah, provinsi atau batas suatu negara tergantung kepada ada atau tidaknya pelabuhan yang berdekatan dengan daerah tersebut. Dikutip dari situs:

(9)

pancong (sejenis perahu tradisional) dengan biaya sekitar Rp 1,5 juta

pulang-pergi.

5) Salah satu fungsi Dinas Perhubungan Kota Batam adalah memberikan

rekomendasi kepada walikota mengenai ijin penetapan pelabuhan.

6) Pulau Nipah berada di tengah alur pelayaran lalu lintas internasional

(penghubung kawasan Samudera Hindia dan Asia Pasifik) dengan

frekuensi pelayaran yang cukup tinggi. Rata-rata lalu lintas kapal adalah

sekitar 200 kapal/hari (70.000 kapal/tahun) dengan perkembangan lalu

lintas kapal tiap tahunnya rata-rata bertambah sebesar 7,8% per tahun.

Kapal yang melewati perairan ini terdiri dari kapal super tanker 20.000

kapal/tahun yang membawa BBM dari Timur Tengah ke Asia Pasifik,

tanker, kargo dan tongkang. Dengan pertimbangan lalu lintas kapal

yang padat dan perairan bebas antara Pulau Nipa dan Singapura yang

sempit, maka pengaturan lalu lintas kapal adalah sebagai berikut:

a) Jalur Timur (Traffic Separation System East) merupakan jalur lalu

lintas kapal yang berasal dari barat (Samudera Hindia) menuju ke

timur (Samudera Pasifik) yang melintasi bagian selatan wilayah

Pulau Nipah. Adapun sebagian besar muatan yang diangkut

adalah berupa barang hasil tambang atau energi berupa minyak

dan gas. Sebagian besar jalur ini melewati wilayah perairan

Indonesia dan sampai saat ini belum ada pengaturannya dari

instansi yang berwenang di Indonesia.

b) Jalur Barat (Traffic Separation System West) merupakan jalur lalu

lintas kapal yang berasal dari timur (Samudera Pasifik) menuju ke

barat (Samudera Hindia) yang melintasi bagian utara wilayah

Pulau Nipah. Adapun sebagian besar muatan yang diangkut

adalah berupa barang hasil produk industri. Sebagian besar jalur

ini melewati wilayah perairan Singapura dan saat ini sudah ada

pengaturannya dari instansi yang berwenang di Singapura.

(10)

1) Pulau Nipah sekarang ini mempunyai luas 60 hektar dan dibagi menjadi

tiga zona, yaitu Zona Utara, Zona laguna pasir dan Zona Selatan.

2) Zona Utara seluas 15 hektar diperuntukkan bagi kepentingan

pertahanan dan keamanan.

3) Sebelumnya Menteri Pertahanan melalui surat nomor:

B/1160/M/XI/2009, tentang Pelimpahan Kewenangan Pulau Nipah,

tanggal 20 November 2009, mengajukan permohonan kepada Menteri

Pekerjaan Umum untuk pelimpahan wewenang Pulau Nipah dalam

rangka kepentingan pertahanan negara khususnya pengamanan

wilayah perbatasan di pulau terluar atau terdepan. Untuk itu

Kementerian Pekerjaan Umum telah menyerahkan Hak Pakai kepada

Kementerian Pertahanan sejak tahun 2011, dengan bukti sertifikat

tanah Hak Pakai Nomor: 13/Pemping, tanggal penerbitan 15

September 2011.

4) Zona Laguna Pasir terletak di tengah-tengah pulau dengan luas 6,5

hektar dan diperuntukkan bagi lahan reklamasi untuk menahan abrasi

pantai. Penanggung jawab pengelolaannya ada pada Kementerian

Kelautan dan Perikanan.

5) Zona Selatan seluas 38,5 hektar untuk zona pengembangan ekonomi

yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka

Kementerian Pekerjaan Umum telah menyerahkan Hak Pakai kepada

Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2011,dengan bukti

sertifikat tanah Hak Pakai Nomor: 14/Pemping, tanggal penerbitan 15

(11)

Sumber: Dinas Pertanahan Kota Batam, 2017

3. ANALISA DAN PEMBAHASAN.

Digunakan empat indikator atau tahapan dalam pengelolaan (manajemen)

menurut pendapat Richard L. Daft, yaitu perencanaan, pengelolaan,

kepemimpinan, dan pengendalian (pengawasan).8

a. Perencanaan

Menurut Daft, perencanaan adalah mengidentifikasikan berbagai tujuan

di masa mendatang serta memutuskan tugas dan penggunaan sumber daya

yang diperlukan untuk mencapainya. Dalam konteks kebijakan nasional

secara umum, Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, sudah memberikan arahan

perencanaan bahwa pengelolaan Pulau Nipa dan PPKT lainnya ditujukan

untuk tiga hal. Pertama, menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa

serta menciptakan stabilitas kawasan. Kedua, memanfaatkan sumber daya

alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan. Ketiga,

memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Dilihat dari tujuan di atas, terlihat bahwa pengelolaan Pulau Nipa dan

PPKT lainnya sebenarnya memprioritaskan kepentingan pertahanan

keamanan, tanpa mengabaikan kepentingan ekonomi dan lingkungan. Hal

ini sejalan dengan Desain Besar (Grand Design) Pengelolaan Batas Wilayah

Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025 yang menempatkan

(12)

bidang pertahanan, keamanan dan hukum di urutan pertama dalam fokus

pengelolaan kawasan perbatasan darat dan laut, baru disusul dengan bidang

ekonomi kawasan dan sosial dasar kawasan perbatasan.9 Dengan kata lain,

pendekatan kepentingan pertahanan seharusnya menonjol dibandingkan

dengan pendekatan kepentingan lainnya.

Namun demikian, bila dilihat peraturan yang lebih baru dan lebih tinggi

kedudukannya, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, ada sedikit kontradiksi

dengan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 di atas. Di dalam

undang-undang tersebut, disebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan

perairan sekitarmya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan

dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata,

usaha perikanan dan kelautan, pertanian organik, dan peternakan.10

Sementara itu, kepentingan pertahanan keamanan sama sekali tidak

disebut. Undang Undang tersebut kemudian mengamanahkan bahwa

khusus untuk pemanfaatan PPKT, akan dibuat peraturan pemerintahnya.11

Kontradiksi di atas kemudian diselesaikan dengan dikeluarkannya

Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan

Pulau-Pulau Kecil Terluar. Di dalam PP tersebut, pemerintah kembali menegaskan

pentingnya aspek pertahanan keamanan dalam pengelolaan PPKT. Hal itu

tampak dari pasal 2 yang menyatakan bahwa pemanfaatan PPKT ditujukan

untuk menjaga kedaulatan NKRI. Oleh karena itu, rencana zonasi PPKT

hanya boleh dilakukan untuk tiga hal, yaitu subzona pertahanan keamanan,

kesejahteraan masyarakat, dan atau pelestarian lingkungan.12 Hal ini sesuai

dengan temuan di lapangan bahwa pengelolaan Pulau Nipa direncanakan

dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona utara untuk kepentingan pertahanan

keamanan, zona laguna pasir di tengah untuk reklamasi penahan abrasi,

serta zona selatan untuk pengembangan ekonomi. Untuk pelaksanaan dan

9 Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor: 1 Tahun 2011, tentang Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Negara Tahun 2011 – 2025.

10 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 23.

11 Ibid, pasal 27 ayat 2.

(13)

kolaborasi ketiga zona tersebut, akan dijelaskan lebih rinci di bagian

pengelolaan.

Namun demikian, jeda waktu yang cukup lama antara undang-undang

yang dibuat tahun 2007 dengan PP-nya yang yang dibuat tahun 2010

sebenarnya menimbulkan kekhawatiran yang cukup serius. Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 menyatakan bahwa orang (WNI), badan hukum, dan

masyarakat adat dapat diberikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3)

selama 20 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi (pasal 18 dan 19).

Bayangkan jika pengusahaan perairan PPKT diberikan kepada pengusaha

yang biasanya lebih berorientasi pada keuntungan. Kepentingan nasional

dari sisi pertahanan keamanan bisa saja dikorbankan. Kekhawatiran tersebut

semakin nyata manakala dalam pasal 16 PP No.62 Tahun 2010 tersebut

menyebutkan “izin pemanfaatan PPKT yang telah diberikan oleh instansi yang berwenang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin

pemanfaatan PPKT”. Jika HP-3 sudah terlanjur diberikan kepada pengusaha pada tahun 2009 misalnya, maka pemerintah tidak bisa mencabut izin

tersebut sampai 2029.

Berdasarkan penelitian lapangan di Pulau Nipa, kekhawatiran tentang

izin pengelolaan PPKT oleh perseorangan/swasta memang tidak sampai

terjadi di pulau tersebut. Namun, besar kemungkinan kasus ini bisa terjadi di

110 PPKT lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti pada tahun

2016 di NTT menemukan informasi bahwa ada pulau kecil di NTT yang

pengelolaannya sudah terlanjur diberikan kepada perseorangan. Pulau

tersebut kemudian dibangun resort pribadi dengan akses masuk yang sangat

terbatas bagi pihak lain termasuk bagi pejabat daerah. Bahkan dalam FGD

yang dilakukan oleh tim pada Oktober 2016 di Kupang, perwakilan dari

Kodim 1604/Kupang mengatakan bahwa mereka kesulitan untuk masuk ke

resort tersebut, sehingga, Kodim dan Pemerintah Daerah setempat tidak

dapat mengawasi kegiatan apa saja yang dilakukan di dalam resort.

Demikian halnya yang terjadi di wilayah Batam, ada sebuah pulau

bernama Pulau Manis yang dimiliki perorangan dan dikelola secara eksklusif

oleh investor dari Singapura. Akibatnya, akses terhadap pulau tersebut

menjadi tertutup bagi masyarakat umum yang ingin masuk ke wilayah

(14)

langsung dengan Singapura, di mana jarak dari P. Tolop ke wilayah terluar

Singapura tidak lebih dari 22,2 km, atau setara dengan 12 mil laut.13

Terlepas dari kekhawatiran tersebut, PP yang baru (2010) menegaskan

bahwa pemanfaatan PPKT untuk pertahanan keamanan, termasuk Pulau

Nipa, dapat dilakukan melalui akselerasi proses penyelesaian batas wilayah

negara di laut, penempatan pos pertahanan dan pos keamanan,

penempatan aparat TNI dan atau kepolisian, penempatan bangunan simbol

negara dan atau tanda batas negara, penempatan sarana bantu navigasi

pelayaran, dan pengembangan potensi maritim lainnya. Menengok pada

kondisi Pulau Nipa, sebagian besar hal tersebut sudah dipenuhi. Dari sisi

penempatan pos pertahanan dan keamanan, di Pulau Nipa sudah dibangun

Posal dan menara pengawas. Dari sisi penempatan aparat TNI/polisi, di

Pulau Nipa sudah ada 14 personil Posal ditambah satgas marinir dan satu

regu TNI AD, tetapi saat ini satgas sudah ditarik dan bermarkas di Batam

yaitu Marinir Batalyon 10 dan pasukan Taipib (intai amphibi) Marinir serta

Batalyon 136 AD.

Dari sisi penempatan bangunan simbol negara, sudah dibangun

prasasti yang ditandatangi Presiden Megawati Soekarno putri tertanggal 20

Februari 2004. Untuk sarana bantu navigasi pelayaran, sudah ada

mercusuar di sebelah utara Pulau Nipa dengan karakter lebar 14 meter dan

tinggi 13 meter. Dengan kata lain, pemanfaatan Pulau Nipa untuk

kepentingan pertahanan keamanan secara infrastruktur fisik sudah

memenuhi semua kriteria yang ada di dalam PP No.62 Tahun 2010.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah infrastruktur fisik tersebut

berfungsi dengan baik? Apakah infrastruktur fisik tersebut sudah mampu

menangkal dan mengatasi ancaman-ancaman terhadap kedaulatan NKRI di

Pulau Nipa? Jawaban pertanyaan di atas akan dieksplorasi pada bagian

pengelolaan di bawah ini.

b. Pengelolaan

Merujuk pada data dari Dinas Pertanahan Kota Batam di bagian

sebelumnya, Wilayah Pulau Nipa dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona utara

13 “Pulau Tolop ditawarkan ke Singapura”, 10 Maret 2017, diakses dari

(15)

seluas 15 hektar untuk kepentingan pertahanan keamanan, zona laguna

pasir di tengah seluas 6,5 hektar untuk lahan reklamasi penahan abrasi

pantai, dan zona selatan seluas 38,5 hektar untuk pengembangan ekonomi.

Data ini menunjukkan bahwa kepentingan pertahanan, ekonomi, dan

lingkungan yang diamanahkan oleh Perpres No.78 Tahun 2005 maupun PP

Nomor 62 Tahun 2010 sudah diakomodasi secara bersama-sama.

Namun demikian, hal yang harus dipertanyakan adalah apakah alokasi

15 hektar di zona utara sudah mencukupi untuk mendukung fungsi

pertahanan Pulau Nipa sebagai PPKT? Padahal menurut data dari Dinas

Perhubungan Kota Batam, jalur pelayaran internasional yang melewati Pulau

Nipa dibagi dua. Jalur utara Pulau Nipa untuk kapal dari timur menuju Selat

Malaka, sementara jalur selatan Pulau Nipa untuk kapal dari barat menuju ke

Singapura melalui wilayah perairan dalam Indonesia. Dari sini, potensi

ancaman terlihat bukan hanya dari sisi utara, tetapi juga dari sisi selatan.

Bahkan, ancaman di sisi selatan bisa lebih membahayakan mengingat

kapal-kapal asing melewati perairan dalam Indonesia. Oleh karena itu, pembagian

zonasi Pulau Nipa yang menempatkan pertahanan di sisi utara saja

tampaknya perlu dipertimbangkan ulang.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah kolaborasi dari

pelaksanaan tiga zona di Pulau Nipa tersebut. Untuk melaksanakan

kolaborasi tersebut, sebenarnya sudah ada Blue Print pengembangan Pulau

Nipah oleh empat menteri yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri

Pertahanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Perhubungan pada

tanggal 2 September 2010. Keempat menteri menyepakati bahwa Pulau

Nipa merupakan kawasan Strategis Nasional yaitu kawasan pertahanan

berbasis ekonomi yang pengelolaannya dilakukan secara terpadu.14 Namun

demikian dalam pelaksanaannya, kolaborasi tersebut masih belum terlihat.

Hal ini nampak dari terdapatnya Nota Kesepahaman (Memorandum of

Understanding) untuk pengembangan ekonomi Pulau Nipa dengan PT Asih

Nusa Sekawan. Rencananya, pihak swasta tersebut akan membangun

tempat penyimpanan bahan bakar untuk kapal-kapal yang berlalu lintas di

perairan Pulau Nipa. Padahal, payung hukum yang mengatur secara lebih

(16)

rinci pembagian zona di Pulau Nipa masih belum dibuat. Misalnya, peraturan

tentang rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu Pulau Nipa baru

dikeluarkan pada tahun 2017 ini melalui Permen KKP No.32 Tahun 2017. Di

peraturan tersebut, baru diatur secara rinci sejauh mana batas pola ruang

untuk kawasan pertahanan keamanan dan kawasan budidaya di wilayah

daratan, serta pola ruang untuk kawasan pemanfaatan umum, kawasan

pertahanan keamanan, dan alur laut di wilayah perairan Pulau Nipa. Tim

berpendapat bahwa seharusnya, setiap perundingan kesepakatan untuk

pengembangan ekonomi KSNT Pulau Nipa dengan pihak nonpemerintah,

baik dari dalam negeri maupun luar negeri, harus melibatkan unsur dari

Kementerian pertahanan mengingat pulau ini berstatus sebagai PPKT.

Dengan demikian, pihak dari Pertahanan dan Keamanan (Kementerian

Pertahanan dan TNI) dapat memberikan masukan batasan apa saja yang

perlu dibuat agar pengembangan ekonomi tidak menganggu fungsi

pertahanan keamanan pulau tersebut.

Kemudian untuk gelar pertahanan, data dari Lanal Batam menyebutkan

bahwa di Pulau Nipa sudah berdiri Posal yang terletak di sebelah utara

menghadap langsung ke selat Singapura dan Singapura. Dari sisi lokasi

Posal, perlu dipertimbangkan dan diperhatikan bahwa ancaman bukan

hanya dari sisi utara, tapi juga dari sisi selatan di Selat Philip yang menjadi

jalur kapal dari barat (Selat Malaka) menuju Singapura. Kemudian dari sisi

personil, Posal Pulau Nipa didukung dengan 14 personil, akan tetapi satgas

marinir yang ada sudah tidak ditempatkan di Pulau Nipa lagi dan justru

ditempatkan di Kota Batam. Padahal, merujuk pada strategisnya Pulau Nipa

sebagai satu di antara 12 Pulau Kecil Terluar yang perlu mendapatkan

perhatian serius (PP Nomor 37 Tahun 2008), seharusnya Pulau Nipa

diprioritaskan untuk dijadikan tempat gelar kekuatan satgas seperti Marinir,

Taipib, maupun Raider untuk pengamanan PPKT tersebut.

Dari sisi gelar pertahanan, hasil obervasi di lapangan mengidentifikasi

sarana dan prasarana yang ada di Pulau Nipa yaitu dermaga, bangunan

Posal Pulau Nipa, bangunan Mess Marinir, barak Marinir, Pos Jaga, Mess

Perwira, Menara Pengawas, Banker pertahanan, Helipad, Tower

Triangle/Pemancar Radio, bangunan kayu khas Minahasa, Pembangkit

(17)

Pengolahan air bersih (RO), peralatan komunikasi, dan anemometer dan

wind direction.

Dari sarana dan prasarana tersebut di atas terdapat perlatan penting

yang sudah tidak layak dioperasionalkan bahkan tidak berfungsi sama sekali

seperti: Pemancar radio yang rusak terkena petir sehingga daya jangkaunya

menjadi berkurang, pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin sudah

tidak berfungsi sehingga untuk keperluan listrik hanya mengandalkan mesin

diesel atau genset yang hanya mampu beroperasi selama enam jam sehari.

Alat penyulingan air (RO) sudah tidak berfungsi karena rusak dan kebutuhan

air mengandalkan embung air. Dan terakhir speed board sebagai sarana

tranportasi dan patroli dalam kondisi rusak ringan yaitu hanya satu mesin

yang berfungsi dari yang seharusnya dua mesin

Dari data tersebut, tidak terlihat sarana prasarana yang dapat

digunakan untuk melakukan operasi penangkapan terhadap pelanggar

batas, misalnya kapal patroli dengan kecepatan tinggi berikut senjata apinya.

Padahal, potensi pelanggaran wilayah dan kegiatan ilegal di sekitar Pulau

Nipa sebagai jalur pelayaran internasional cukup tinggi. Selain itu, gelar

pertahanan ini juga dirasa kurang memadai untuk menangkal berbagai

ancaman faktual yang lain di lapangan, seperti perompakan, penyelundupan

barang dan orang, pencurian ikan, pengambilan harta karun,

pencurian/penambangan bawah laut, infiltrasi, sabotase, serta perdagangan

narkoba dan psikotropika (Lanal Batam, 2017).

Jika pengamanan wilayah perbatasan Pulau Nipa hanya

mengandalkan operasi patroli dari Armabar yang karena keterbatasan

alutsistanya maka tidak setiap hari mengawasi, jelas hal itu dirasakan tidak

cukup. Oleh karenanya perlu strategi lain yang komprehensif untuk

mengawasi dan memantau situasi lingkungannya oleh seluruh stakeholder

keamanan laut. Misalnya adanya peralatan (Radar dan kamera) surveillance

dan reconnaissance (deteksi dan pengindraan) serta dilengkapi dengan UAV

(drone) untuk melaksanakan patroli sepanjang tahun.

Peran Kodim 0316 Batam yang bertanggung jawab pada pembinaan

teritorial di Pulau Nipah dan pulau-pulau kecil terluar di sekitarnya,

mempunyai program berupa Ekspedisi Gurindam Sakti yaitu pembuatan

(18)

Bhakti yaitu kegiatan pembersihan dan penghijauan pulau.15 Dari

program-program yang dilakukan tersebut yaitu Ekspedisi Gurindam Sakti dan Karya

Bhakti, tidak ada satupun yang menyasar kepentingan pertahanan militer

secara langsung. Padahal, pengamanan pulau-pulau kecil terluar

seharusnya bersifat komprehensif yang melibatkan tiga matra, jangan hanya

bertumpu pada matra laut saja.

Selain masih minimnya sarana pertahanan dibanding besarnya

ancaman faktual, seperti yang sudah dijelaskan di muka, pengelolaan PPKT

Pulau Nipa juga dihadapkan pada dilema terkait rencana pembangunan

tempat labuh sementara (transit anchorage) yang digagas oleh pemerintah

daerah. Menurut informasi dari Bapelitbangda Kota Batam, sejak tahun 2002

Pulau Nipa sudah dijadikan tempat labuh oleh kapal-kapal yang melintas,

baik secara legal maupun ilegal.16 Untuk menangkap peluang ekonomi dari

kondisi tersebut, pemerintah berencana mengembangkan zona transit

berlabuh sementara di sisi barat pulau. Di satu sisi, kegiatan ini dipandang

oleh pemerintah daerah dapat mendatangkan keuntungan ekonomi. Namun

di sisi lain, perlu diwaspadai dampak sampingan dari dikembangkannya zona

transit anchorage ini, misalnya dampak lingkungan.

Penelitian yang dilakukan oleh Rina Shahrullah (2012) menemukan

bahwa banyak kapal-kapal asing yang melewati perairan Pulau Nipa dan

perairan Batam yang membuang limbah mereka di perairan ini. 17

Limbah-limbah tersebut bahkan sebagian termasuk kategori bahan beracun dan

berbahaya (B3), sehingga dikhawatirkan pembukaan zona transit anchorage

yang tanpa disertai sistem pengawasan yang memadai, kapal-kapal asing

tersebut tidak hanya sekedar berlabuh dan mengisi logistik, tetapi juga

membuang limbah berbahaya di sekitar Pulau Nipa. Hal ini dapat

memberikan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan perairan Pulau

Nipa, degradasi ekosistem laut dan produksi perikanan, dan pada akhirnya

menurunkan pendapatan nelayan di sekitar Kepulauan Batam. Selain itu,

15 Staf Kodim 0316 Batam, pada Focus Group Discussion Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Batam, tanggal 6 April 2017.

16 Surat Menteri Kelautan dan Perikanan Kepada Presiden RI Nomor: B 411/MEN-KP/VII/2009, tanggal 28 Juli 2009, perihal Cetak Biru (Blue Print) Rencana Pengembangan Pulau Nipa.

(19)

pemberlakuan NTAA (Nipah Transit and Anchorage Area) sangat rentan

terhadap sistem pertahanan negara jika tidak dilaksanakan dengan

pengawasan yang ketat yang melibatkan instansi terkait dan militer.

Menurut Rina Shahrullah, salah satu faktor penyebab kondisi di atas

adalah kesadaran masyarakat dan pegawai di pusat pemerintahan provinsi

akan adanya kawasan perbatasan masih rendah. Menurutnya, masyarakat

dan pegawai tersebut lebih tertarik pada isu-isu ekonomi seperti penetapan

Upah Minimium Regional (UMR) dibanding isu-isu pertahanan keamanan.

Untuk mengatasi permasalahan di atas setidaknya ada tiga hal yang

dapat dikembangkan seperti yang dikemukakan oleh Danar Widiyanta, yaitu

aspek kelembagaan, aspek yuridis, dan aspek program.18 Aspek

kelembagaan yaitu melalui pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan PPKT.

Aspek yuridis adalah menyiapkan berbagai peraturan yang memadai untuk

menopang proses hukum yang mungkin terjadi. Sementara itu, aspek

program adalah dengan meningkatkan pembangunan di wilayah PPKT.19

Dari aspek kelembagaan, sebenarnya sudah ada Badan Nasional

Pengelola Perbatasan (BNPP) yang bertugas mengkoordinasikan

pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, termasuk

PPKT.20 Kementerian Pertahanan dan Panglima TNI sendiri masuk menjadi

bagian dari anggota BNPP.21 Namun dalam melaksanakan fungsinya, BNPP

masih mengalami kendala besarnya ego-sektoral dari masing-masing

kementerian/lembaga (K/L) yang ada di bawah koordinasinya. Ada 3 K/L

pengarah, satu K/L ketua, dan 14 K/L anggota, ditambah dengan sekitar 13

gubernur dari provinsi-provinsi yang memiliki kawasan perbatasan. Oleh

karena itu, tim peneliti melihat bahwa wacana dari Tim Pengawas

Pembangunan Perbatasan DPR RI untuk menjadikan BNPP sebagai

kementerian tersendiri merupakan peluang untuk memperbaiki pengelolaan

perbatasan di masa depan. Dari aspek yuridis, sudah ada payung hukum

18 Danar Widiyanta, Upaya Mempertahankan Kedaulatan Dan Memberdayakan Pulau-Pulau Terluar

Indonesia Pasca Lepasnya Sipadan Dan Ligitan, 2007. Hal.iv tersedia pada <Downloads/PULAU%20TERLUAR%20MAKALAH%20(2).pdf-file:///D:/11411017_bab-i_iv-atau-v_daftar-pustaka.pdf>, diakses tanggal 16 Januari 2017

19 Ibid

(20)

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-pulau Kecil dan PP Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan

PPKT. Walaupun ada masalah terkait dengan HP-3 seperti yang sudah

dijelaskan di bagian perencanaan di atas. Kemudian dari sisi program, sudah

ada pembagian zonasi pengembangan Pulau Nipah untuk kepentingan

pertahanan keamanan, ekonomi, dan preservasi lingkungan. Dengan kata

lain, model pengembangan tiga aspek oleh Danar Widiyanta ini sudah

dilakukan di Pulau Nipa. Tapi nyatanya berbagai masalah seperti yang

dikemukakan di atas masih terus terjadi.

Jika berfokus pada dua masalah utama yang ditemukan tim peneliti di

tahapan pengelolaan, yaitu masih belum seimbangnya kekuatan dan masih

rendahnya kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat lokal tentang

konteks wilayah perbatasan Pulau Nipa (seperti yang dikemukakan oleh Rina

Syahrullah di atas)22, maka dua hal yang dapat ditawarkan oleh tim peneliti

yaitu sebagai berikut:

1) Peningkatan kekuatan pertahanan keamanan di Pulau Nipa, yang

disesuaikan dengan tipe dan besarnya ancaman faktual di sekitar pulau

tersebut. Peningkatan kekuatan TNI AL perlu menjadi andalan, tetapi

tetap perlu mengikutkan kekuatan TNI AU dan TNI AD. Kekuatan yang

diharapkan, yaitu bahwa sarana dan prasarana serta alutsista TNI

tergelar di Pulau Nipah dan PPKT lainnya secara proporsional

disesuaikan dengan luas wilayah yang harus dilindungi dari ancaman

faktual maupun dari ancaman potensial, dengan alasan bahwa

kehadiran TNI di Pulau Nipah dan PPKT lainnya bisa menjadi efek

penggetar bagi calon musuh dan pihak-pihak asing dari luar yang akan

melanggar kedaulatan NKRI. Ukurannya yaitu adanya indikator

berkurangnya atau bahkan hilangnya segala macam ancaman baik

ancaman faktual maupun ancaman potensial.

2) Peningkatan kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat lokal

tentang pentingnya aspek pertahanan keamanan dalam konteks

wilayah perbatasan. Hal ini dapat dilakukan melalui sosialisasi

(21)

wawasan kebangsaan dan bela negara kepada pemerintah daerah,

anggota DPRD, dan masyarakat lokal. Bentuk sosialisasi yang lainnya

misalnya melalui pengikutsertaan mereka dalam patroli perbatasan di

sekitar PPKT. Adapun ukuran yang paling sederhana adalah, setiap

ada rencana pengembangan ekonomi Pulau Nipa dan pulau-pulau kecil

sekitarnya, pihak pertahanan keamanan dilibatkan dan

dipertimbangkan perspektifnya.23

c. Kepemimpinan

Tahapan kepemimpinan dalam konteks ini adalah menggunakan

pengaruh untuk memotivasi sumber daya manusia guna mencapai tujuan.24

Terkait dengan pengelolaan PPKT di tingkat pemerintah pusat, sebenarnya

sudah disusun Tim koordinasi Pengelolaan PPKT yang melingkupi

sumber-sumber daya manusia di dalam kementerian-kementerian mana saja yang

dilibatkan, termasuk siapa ketuanya. Tim koordinasi tersebut diatur dalam

Perpres Nomor 78 Tahun 2005, yang terdiri atas 15 anggota

kementerian/lembaga negara terkait, mulai dari Menteri Pertahanan hingga

Kepala Badan Intelijen Negara. Tim ini diketuai oleh Menteri Koordinator

Bidang Politik Hukum dan keamanan. Dalam melakukan kegiatannya, tim

koordinasi ini dibantu oleh dua tim kerja. tim kerja I membidangi sumber daya

alam lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, ekonomi, sosial dan

budaya. Sedangkan tim kerja II membidangi pembinaan wilayah pertahanan

dan keamanan. Dengan demikian, aspek kepemimpinan dalam pengelolaan

PPKT, termasuk Pulau Nipa, sebenarnya sudah diakomodir dalam regulasi

pemerintah.

Namun demikian, hal yang perlu mendapat perhatian adalah, tim kerja

II untuk pembinaan wilayah pertahanan dan keamanan diketuai oleh Direktur

Jenderal Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri. Hal ini seolah

bertentangan dengan logika. Bukankah seharusnya urusan pertahanan

keamanan lebih tepat diberikan kepada Kementerian Pertahanan? Selain itu,

23 Kasus yang dapat dijadikan pelajaran adalah penandatangan MoU antara pemerintah dengan PT. Asih Nusa Sekawan untuk pengembangan oil storage di Pulau Nipa yang menurut Dinas Pertanahan Kota Batam dianggap kurang memperhatikan perpsektif pertahanan keamanan.

(22)

peraturan tentang tim koordinasi ini juga seolah bertentangan dengan

semangat Perpres No.78 Tahun 2005 dan PP No.62 Tahun 2010 bahwa

pemanfaatan PPKT seharusnya diprioritaskan untuk kepentingan

pertahanan keamanan. Bagaimana bisa aspek kepemimpinan guna

mencapai tujuan pertahanan keamanan dapat dilakukan jika ketua timnya

bukanlah pihak yang menguasai masalah-masalah dan pengetahuan

tentang pertahanan keamanan? Kementerian Dalam Negeri biasanya

memiliki orientasi ke dalam saja, sementara pertahanan keamanan sangat

kental nuansa orientasi keluar, yaitu menghadapi ancaman dari lingkungan

strategis di sekitarnya.

Kemudian, ketika Badan Nasional pengelola Perbatasan dibentuk

melalui Perpres No. 12 Tahun 2010, struktur yang dibangun di dalam BNPP

terdiri atas sekretaris, deputi bidang pengelolaan batas wilayah negara,

deputi bidang pengelolaan potensi kawasan perbatasan, dan deputi bidang

pengelolaan infrastruktur kawasan perbatasan (pasal 6). Dari tiga deputi di

atas, yang terlihat berdekatan dengan kepentingan pertahanan keamanan

adalah deputi bidang pengelolaan batas wilayah negara. Namun jika dilihat

secara lebih detail struktur organisasinya, tidak ada satu pun asisten deputi

tersebut yang secara spesifik membidangi pertahanan keamanan. Asisten

deputi yang ada adalah pengelolaan batas negara wilayah darat,

pengelolaan batas negara wilayah laut dan udara, serta pengelolaan lintas

batas negara. Demikian pula dari sisi personil, setidaknya per April 2017,

tidak ada satu pun pejabat di dalam kedeputian tersebut yang memiliki latar

belakang militer (BNPP, 2017).25 Lalu, bagaimana aspek kepemimpinan

guna mencapai kepentingan pertahanan keamanan dapat dijalankan jika

SDM yang ada dianggap kurang memahami pertahanan keamanan sendiri?

Temuan ini juga sesuai dengan hasil penelitian disertasi dari Yudhi

Wijayanto bahwa isi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan pulau kecil

terluar menunjukkan adanya permasalahan tumpang tindih isi kebijakan

yang menyebabkan pengelolaan PPKT (contoh kasus Pulau Miangas) belum

(23)

terintegrasi dan belum optimal.26 Permasalahan tumpang tindih isi kebijakan

ini terungkap dari adanya sejumlah regulasi yang terkait dengan

pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan serta

pengelolaan perbatasan.27

Kemudian dari sisi kepemimpinan di tingkat pemerintah daerah,

Bapelitbangda selaku salah satu unsur pemerintah Kota Batam menekankan

bahwa pengembangan sektor kemaritiman di wilayahnya dilaksanakan

melalui pendekatan kewilayahan terpadu. Pendekatan ini memandang

wilayah laut Indonesia atas dua fungsi, yaitu sebagai perekat integrasi

kegiatan perekonomian antarwilayah dan sebagai pendukung

pengembangan potensi setiap wilayah. Dari penekanan ini, terlihat bahwa

pemerintah kota Batam lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi dan

pembangunan wilayah. Padahal, perlu disadari bahwa salah satu syarat

pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah dapat berjalan dengan

baik adalah stabilitas keamanan yang baik pula. Oleh karena itu, pemerintah

Kota Batam tidak dapat mengabaikan pentingnya aspek pertahanan

keamanan sebagai landasan bagi pembangunan ekonomi.

Kepemimpinan Pemda Batam dalam mendukung pertahanan

keamanan sebenarnya sudah mulai terlihat dari diberikannya 15 hektar

Pulau Nipa di sebelah utara untuk kepentingan pertahanan. Namun

demikian, masih perlu dikaji lebih lanjut efektifitas sistem zonasi tersebut.

Selain itu, masih perlu ditelusuri lagi siapa yang menerapkan kebijakan

pembagian Pulau Nipa menjadi tiga zonasi, apakah pemerintah kota Batam

atau pemerintah pusat. Hal ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 43

Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang menetapkan bahwa wewenang

untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara

dan Kawasan Perbatasan berada di tangan pemerintah pusat.28 Sementara

di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

26 Yudhi Wijayanto, Kajian Kebijakan Pemerintah Mengelola Pulau-Pulau Kecil Terluar, tersedia pada

http://fisip.ui.ac.id/kajian-kebijakan-pemerintah-mengelola-pulau-pulau-kecil-terluar/, diakses tanggal 1 Juni 2017.

27 Ibid.

(24)

Daerah, daerah mempunyai wewenang yang seluas-luasnya dalam

mengelola wilayahnya termasuk daerah yang mempunyai PPKT.

Hambatan lain terkait kepemimpinan Pemda Batam untuk mendukung

kepentingan pertahanan keamanan dalam pengelolaan Pulau Nipa adalah

adanya dualisme kepemimpinan di pemerintahan kota Batam, yaitu antara

Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam

(sesuai data dari Bapelitbangda Kota Batam). Kekurangjelasan batas

wewenang dari dua pemerintahan di atas membuat aspek kepemimpinan

dalam pengelolaan PPKT dapat berjalan tidak optimal. Misalnya dalam kasus

kunjungan Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan ke Pulau Tolop pada Maret

2017 yang lalu, terjadi protes dari DPRD karena kunjungan tersebut

melibatkan BP Batam. Padahal, Pulau Tolop belum masuk sebagai Kawasan

Ekonomi Khusus (KEK), sehingga seharusnya yang dilibatkan adalah

Pemerintah Kota Batam.29

Untuk mengatasi berbagai hambatan di atas, hal-hal yang mungkin

dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Masalah tim koordinasi untuk pengelolaan PPKT yang dipimpin oleh

SDM dari instansi di luar instansi pertahanan. Hal ini perlu dilakukan

revitalisasi SDM dalam struktur tim koordinasi berdasarkan Perpres

No.78 Tahun 2005 maupun struktur dalam BNPP, agar dapat Tim

dipimpin oleh personel dari Kementerian Pertahanan. Hal ini juga

sekaligus untuk menjalankan amanah PP No.62 Tahun 2010 bahwa

pemanfaatan PPKT adalah untuk menjaga kedaulatan NKRI dengan

prioritas pertama pada pertahanan keamanan.

2) Masalah belum optimalnya peran Pemda dalam pengelolaan PPKT

untuk kepentingan pertahanan keamanan, baik tumpang tindih

(ketidakjelasan) kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah

maupun karena dualisme kepemimpinan di Batam. Tim perlu

menyarankan agar kewenangan regulasi pengelolaan PPKT

seharusnya dikembalikan sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Hal

29 “Pulau Tolop ditawarkan ke Singapura”, 10 Maret 2017, diakses dari

(25)

ini karena PPKT mempunyai peran strategis untuk menentukan wilayah

negara dan menjadi gerbang penjaga kedaulatan wilayah NKRI.

3) Model kewenangan pengelolaan PPKT dapat mengadaptasi model

yang ditawarkan Danar Widiyanta, yaitu pemerintah pusat dapat

memiliki kewenangan sebagai regulator dan fasilitator, sementara

pemerintah daerah dapat bertindak sebagai eksekutor.30

d. Pengendalian

Masih mengutip Richard L. Daft, pengendalian dalam konteks ini adalah

memonitor aktivitas, menentukan apakah program berjalan sesuai tujuan dan

membuat koreksi jika diperlukan. Dalam konteks pengendalian, perbedaan antara tahap perencanaan dengan tahap pengelolaan di atas menunjukkan

bahwa proses pengendalian belum berjalan dengan baik. Di sisi

perencanaan di atas, beberapa dokumen yang ada, seperti Perpres No.78

Tahun 2005, PP No.6 Tahun 2010, dan Desain Besar (Grand Design)

Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun

2011-2025, menunjukkan bahwa kepentingan pertahanan selalu ditempatkan

diurutan atas dalam pengelolaan PPKT, termasuk Pulau Nipa.

Namun dalam proses implementasi yang terlihat dari cara

pengelolaannya, kepentingan ekonomi terlihat lebih diprioritaskan, terutama

oleh pemerintah Kota Batam melalui kebijakan zonasi Pulau Nipa. TNI yang

diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pertahanan ini, dalam gelar

kekuatannya justru menunjukkan masih kekurangan sarana prasarana

seperti kapal patroli bersenjata untuk mencegah dan mengatasi berbagai

pelanggaran wilayah dan kegiatan ilegal yang terjadi di perairan perbatasan

Pulau Nipa. Gelar pertahanan yang ada juga lebih berorientasi pada

”ancaman dari utara”, padahal ada pula ”ancaman dari selatan” Pulau Nipa

seperti potensi kegiatan intelijen kapal-kapal asing dari barat menuju ke

Singapura yang melalui jalur selatan Pulau Nipa di wilayah perairan dalam

Indonesia.

30 Danar Widiyanta, Upaya Mempertahankan Kedaulatan dan Memberdayakan Pulau-Pulau Terluar

(26)

Oleh karena itu, ke depan proses pengendalian/pengawasan ini perlu

diperkuat dan dijadikan pedoman dalam mengevaluasi kegiatan untuk

ditingkatkan di masa depan. Hal ini menjadi krusial agar tujuan pertama

pengelolaan PPKT, termasuk Pulau Nipa, yaitu menjaga keutuhan wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan

negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan dapat dicapai

(sesuai amanah PP No.78 Tahun 2005). Adapun saran cara yang dapat

dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Perlu peran serta masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan

pemerhati masalah PPKT dan pertahanan negara dalam rangka ikut

mengawasi pelaksanaan undang-undang sampai perpres dan perda.

Dalam konteks ini, yaitu UU No. 27 Tahun 2007, PP No.62 Tahun 2010,

dan Perpres No.78 Tahun 2005, yang dilaksanakan oleh Kementerian

dan Lembaga.

2) Perlu penegasan kembali bahwa pemanfaatan PPKT yang utama

adalah untuk kepentingan pertahanan keamanan dalam rangka

menjaga kedaulatan NKRI. Oleh karena itu, perlu ada penyelarasan

antara UU No.23 Tahun 2014 tentang pemerintahan Daerah dengan

UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara terkait kewenangan

pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan PPKT, serta antara

PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional dan

PP Nomor 64 Tahun 2014 tentang Penataan Wilayah Pertahanan

Negara.

3) Optimalisasi Tim Koordinasi Pengelolaan PPKT dan atau BNPP dalam

menjalankan fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan

terhadap pengelolaan PPKT melalui revitalisasi SDM sesuai dengan

kompetensi yang dibutuhkan.

4. PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Pengelolaan PPKT di Pulau Nipa guna mendukung pertahanan

keamanan masih belum optimal karena beberapa hambatan dalam

(27)

b. Pada tahapan perencanaan, dokumen perencanaan melalui

pembagian zonasi sudah mengakomodasi kepentingan pertahanan

keamanan, ekonomi, dan kelestarian lingkungan. Namun demikian,

jeda waktu turunnya peraturan antara UU No.27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan PP turunan

No.62 Tahun 2010 Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil terluar membuka

potensi jatuhnya hak pengelolaan PPKT kepada perorangan dan

swasta yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi seperti yang

sudah dijelaskan pada analisa perencanaan di muka.

c. Pada tahapan pengelolaan, gelar kekuatan TNI di Pulau Nipa masih

minimal dibandingkan dengan ancaman faktual yang dihadapi. Selain

itu, program-program yang dijalankan juga kurang mendukung

pemenuhan kepentingan pertahanan keamanan karena tingkat

kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah tentang konteks wilayah

perbatasan yang masih rendah. Data yang didapat Tim Peneliti di

lapangan kurang rinci, sehingga sulit dibuktikan secara kuantitatif, yang

ada hanya data kualitatif yang cenderung normatif.

d. Pada tahapan kepemimpinan, tim koordinasi maupun Badan Nasional

pengelola Perbatasan yang bertugas mengelola PPKT dipimpin oleh

pihak yang bukan dari Kementerian Pertahanan yang tupoksinya tidak

fokus kepada masalah pertahanan, sehingga kepentingan pertahanan

keamanan dikhawatirkan kurang dipahami dan diperhatikan. Selain,

ada ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat

dan daerah dalam pengelolaan PPKT.

e. Pada tahapan pengendalian, dokumen perencanaan pengelolaan

PPKT yang memprioritaskan kepentingan pertahanan-keamanan

ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Dalam pelaksanaannya,

kepentingan ekonomi terlihat masih menonjol.

2. Rekomendasi untuk Pengumpulan Data Lebih Lanjut.

a. Inventarisasi pulau-pulau yang berpenghuni dan tidak berpenghuni.

b. Bagaimana memperlakukan pulau yang berpenghuni dan yang tidak

(28)

c. Peran masyarakat dalam pengelolaan PPKT.

d. Bagaimana memperlakukan PPKT yang berbatasan dengan negara

lain baik perbatasan laut secara langsung (seperti perbatasan RI-

Philipina, RI-Singapura, RI-Malaysia, RI-Rep. Palau, RI-Australia) dan

perbatasan darat di PPKT anatara RI-Malaysia di Puau Sebatik.

e. Bagaimana peran Kemhan dan diplomasi pertahanan terhadap

perbatasan laut yang belum mencapai kata sepakat.

Referensi

Dokumen terkait

Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu 160 ekor DOC dengan bobot awal rata-rata 47,75±2,71 gram, kandang koloni ukuran 1x1x1,5 m sejumlah 20 petak,

Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang

Pihak syarikat XXXXXXXXXXXXXXXXXXXdengan kerjasama Jabatan Haiwan Negeri akan XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXdipilih untuk penternakan feedlot mestilah diperolehi dari sumber atau

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan solusi terhadap masalah pemilihan pegawai memiliki prestasi untuk menduduki jabatan strategis dengan menerapkan pendekatan

Selain itu orang tua juga tidak hanya menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah namun mereka juga perlu memantau perkembangan anaknya agar mereka tidak salah

Hendro Gunawan, MA

Adapun data – data yang akan diinput berkaitan dengan layanan fasilitas pendidikan di Kabupaten Boyolali antara lain jumlah TK, SD, SMP,SMA, luas wilayah serta

terhadap disiplin kerja pegawai pada dinas pemuda dan olahraga provinsi riau.Di dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan analisa data dengan metode Kuantitatif,yaitu data