1
Kewirakoperasian Untuk Keadilan Sosial Ekonomi
1Oleh : Puthut Indroyono2
Pendahuluan
Di tengah kritik tajam tentang arah kebijakan perkoperasian yang justru mendorong
nilai-nilai “anti-koperasi”, resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tahun 2012 justru
mencanangkan sebagai Tahun Koperasi Internasional. Tema yang diangkat waktu itu adalah “Usaha Koperasi membangun dunia yang lebih baik” (cooperative enterprises build a better world). Menurut PBB, kontribusi koperasi sangat penting bagi pembangunan sosial-ekonomi,
karena berdampak pada penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan integrasi
sosial.
PBB lalu mengajak semua anggotanya untuk: (1) meningkatkan kesadaran masyarakat
akan koperasi dan kontribusi mereka terhadap pencapaian tujuan pembangunan; (2)
mempromosikan keberadaan dan pertumbuhan koperasi; dan (3) mendorong pemerintah
untuk menegakkan kebijakan, hukum dan regulasi yang kondusif bagi perkembangan dan
stabilitas koperasi. Untuk menopang kampanyenya, PBB juga banyak member ilustrasi bahwa
koperasi merupakan solusi konstuktif bagi kesejahteraan rakyat antara lain ditunjukkan dalam
penguasaan pangsa pasar, diversifikasi lapangan usaha koperasi, serta keanggotaan.
Laporan 300 koperasi terbesar dunia misalnya, menunjukkan bahwa lapangan atau
bidang usaha koperasi relatif bervariasi. Koperasi dunia banyak bergerak di sektor pertanian
1
Dengan sedikit penyempurnaan judul dan penambahan data, makalah ini pernah disampaikan pada seminar memperingati Hari Koperasi ke 65, 5 Juli 2012 di Bantul dan dimuat dalam buku bunga rampai ͞100 Persen
Jogja Banget͟, LOS-DIY, 2014
2
2
dan kehutanan sebesar 28,85%, sektor keuangan/perbankan/credit union 26,27%, sektor
konsumsi/retail sebesar 21,66%, dan asuransi 17,23%. Variasi lapangan usaha ini masih
ditambah dengan sektor-sektor lain seperti sektor tenagakerja/industri sebesar 2,16%, sektor
kesehatan 1,65%, sektor peralatan 1,13%, dan lain-lain sebesar 1,04%
Gambar 1. Lapangan Usaha 300 koperasi terbesar dunia
Sumber: ICA
Peran koperasi dalam perekonomian suatu daerah, misalnya juga ditunjukkan dalam
kasus Kota Bologna. Williams (2002) dalam studinya berjudul “Bologna and Emilia
Romagna: A Model of Economic Democracy” menemukan model (ciri) penerapan demokrasi ekonomi di Kota Bologna, Italia. Praktek demokrasi ekonomi ditunjukkan dengan peranan
koperasi dan usaha kecil yang besar dalam struktur perekonomian Kota Bologna. Di kota
berpenduduk 4 juta jiwa tersebut terdapat 90.000 perusahaan manufaktur yang total
perusahaan sebanyak 325.000 buah, terdapat banyak koperasi yang beranggotakan sepertiga
dari total penduduk yang ada. Penyaluran jasa sosial di kota Bologna 85% dilakukan oleh
koperasi yang secara keseluruhan menyumbang 45% dari total PDRB. Kontrol warga kota
terhadap perekonomian dilakukan melalui koperasi sosial, koperasi industry, koperasi ritel,
3
terbangun dalam suatu jaringan baik formal maupun informal yang mengukuhkan mereka
sebagai basis ekonomi wilayah.
Melalui optimisme yang ingin dikembangkan oleh para pegiat koperasi dunia, bisakah
momentum Tahun Koperasi Internasional 2012 menjadi titik balik bagi peningkatan
kesadaran berkoperasi di Indonesia? Tiga pesan penting, penguasaan pangsa pasar,
diversifikasi usaha, dan keanggotaan, nampaknya juga harus dikembangkan untuk
mewujudkan cita-cita pendiri bangsa dalam kerangka pengembangan sistem ekonomi
kerakyatan atau demokrasi ekonomi.
Di tengah “kebingungan” akhir-akhir ini tentang pertumbuhan ekonomi di DIY yang selalu berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, sudahkah kita
mencoba melihat dari sudut pandang yang lain tentang permasalahan mendasarnya seperti
siapa atau institusi mana dalam ekonomi yang mengalami pertumbuhan. Sudahkah kita
menyadari bahwa koperasi yang merupakan bentuk usaha yang paling sesuai dengan
demokrasi ekonomi? Tulisan ini berupaya melihat sisi pemikiran bisnis koperasi yang banyak
digunakan di dunia sebagai upaya alternatif memperbaiki ajaran ekonomi arus utama
(mainstream/neoliberal economics).
Social Entrepreneuship
Dalam sebuah kuliah umum di UGM baru-baru ini, Prof. Rory dari Sheffield Business
School (Inggris) memberikan materi cukup menarik berjudul “kewirausahaan sosial dan ekonomi sosial” (social entrepreneurships and social economy). Ia mendefinisikan “kewirausahaan sosial” sebagai cara pandang tentang pemilahan/identifikasi ide-ide yang diikuti dengan proses dan kegiatan yang menghasilkan keuntungan sosial ekonomi sejalan
dengan suatu tujuan sosial.
Tujuan sosial tersebut dapat dicapai melalui penciptaan kegiatan-kegiatan
berkelanjutan oleh usaha bisnis yang dimiliki anggota, menerapkan manajemen partisipatif
dan tatakelola demokratis. Hal itu ditujukan untuk menjamin seluruh (akumulasi) aset-aset
yang diciptakan disediakan (dan dikontrol oleh) para anggota komunitas, dan bukan (hanya)
4
Ia juga membedakan jenis kewirausahaan sosial versi Amerika Serikat dan Uni Eropa,
sebagaimana tabel berikut:
Tabel 1. Perbedaan Social Entrepreneurship gaya “Eropa” dan gaya “Amerika Serikat”
Gaya Eropa (Social Economy) Gaya Amerika Serikat (Social Entrepreneurship) Aksi atau kegiatan kolektif Aksi atau kegiatan individual Buruh terorganisir atau tanggapan
pemerintah atas permasalahan social
Kewirausahaan (pasar) menanggapi permasalahan social
Bentuk tambahan dari modal dan asset social
Pencapaian yang efektif dan cepat atas dampak social
Solidaritas dan kebersamaan Juara-juara dan agen-agen perubahan Akomodasi kepentingan stakeholders Ketaatan kepada sebuah “visi”
Demokrasi (bottom-up governance) Philanthropy (top-down governance) Sektor ketiga / jalan ketiga Pemikiran bisnis / semua sector
Sumber : Rory Ridley-Duff: Presentasi 2013
Masih terkait dengan kuliah Rory di atas, ia juga memberi ilustrasi film tentang model
kerjasama dalam koperasi yakni mengambil contoh kasus pengambilalihan pabrik oleh serikat
pekerja pasca krisis ekonomi di Argentina. Film berjudul The Take (sudah di-upload di
youtube), ia seakan ingin menjelaskan sedemikian luasnya alternatif “cabang produksi” yang
bisa diusahakan secara kolektif ketimbang yang lazim diusahakan secara privat.
Melalui film ini, Rory seolah ingin membuka mata kepada peserta kuliah umum
bahwa mengembangkan perekonomian sebenarnya tidak hanya berbicara tentang pelaku atau
sektor tertentu, tetapi lebih dari itu adalah model tata kelola sistem ekonomi. Yang ingin
ditunjukkan dalam film The Take, adalah bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali model
pengelolaan bisnis alternatif, yang dapat menghasilkan keuntungan social ekonomi yang
sejalan dengan tujuan sosial. Pengambil-alihan (take-over) pabrik berskala besar dan peralatan
berteknologi maju, dapat pula menjadi wilayah usaha bagi wirausahawan sosial. Meskipun
5
Definisi dan penjelasan tersebut tentu mengingatkan kita pada sistem usaha koperasi
atau sistem bisnis sosial ekonomi yang bukan beorientasi kepada profit atau keuntungan
finansial individual semata. Dalam koperasi, tujuan utama pengembangan bisnis adalah untuk
meningkatkan keuntungan dan aset para anggota (bukan pengurus/manajer), dan oleh
karenanya harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip koperasi. Tujuan sosial dimaksud adalah
nilai harmoni dari perilaku kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam masyarakat dalam mengatasi “kelangkaan”.
Cara pandang ini memang mengakui bahwa perilaku ekonomi tidak selalu merupakan
kepentingan yang serasi bahkan saling bertabrakan. Namun kelangkaan (sebagai masalah)
tidak hanya dipandang sebagai berpotensi menimbulkan kemungkinan pertentangan, tetapi
juga dapat mencari alternatif solusi atas masalah-masalah sosial ekonomi (seperti kemiskinan,
kesenjangan, keadilan ekonomi, fair trade, dll) bagi tindakan yang bersifat kolektif
(Mubyarto: 2003).
Bisnis Sosial Koperasi Kita
Salah satu gambaran memprihatinkan akibat kebijakan pasar bebas yang mengiringi
penetrasi pasar global ditunjukkan oleh fenomena terpinggirkannya koperasi pasar “tradisional” (Koppas). Kondisi dan fakta beberapa koperasi pasar yang sungguh menyedihkan. Koperasi pasar sebagai instrumen bagi negara/pemerintah untuk mengembangkan institusi perekonomian rakyat pada akhirnya tidak mampu “bersaing”. Demikian pula dalam pengelolaan pasar rakyat, institusi-institusi yang seharusnya
bertanggungjawab mengembangkan diri melalui inovasi, seolah hanya sibuk dengan urusan
mereka sendiri.
Ilustrasi kondisi ini antara lain ditunjukkan oleh studi kami tentang koperasi di
pasar-pasar rakyat di DIY. Kami menemukan bahwa banyak koperasi-koperasi yang sudah berdiri
sejak lama tidak mampu mengembangkan institusi dan pengembangan produk bisnis sosial
mereka. Koppas Beringharjo yang telah berdiri sejak 21 tahun lalu dan beranggotakan 645
pedagang misalnya, sampai sekarang tidak memiliki pengaruh dan peran yang signifikan
6
Bisnis utama tetap simpan pinjam yang pada awalnya merupakan jawaban persoalan
kebutuhan modal bagi pedagang pasar serta keinginan untuk keluar dari hisapan rentenir.
Tidak ada pengembangan ke arah usaha lain (produk sosial) yang sebetulnya potensial
dikelola oleh koppas. Setelah beroperasi lebih dari dua dekade Koppas Beringharjo saat ini
hanya beranggotakan 645 orang dari total 6000 pedagang di pasar itu. Mayoritas anggota
adalah pedagang kecil dan ada sebagian kecil dari buruh gendong dan pedagang ayam di
pasar Terban. Koppas Beringharjo hanya saat ini memiliki omset sekitar Rp. 1 Milyar. Di
tengah bisnis yang makin beragam saat ini, Koppas Beringharjo tetap masih berkutat dengan
persoalan SDM, permodalan, dan lain-lain, selain harus menghadapi tantangan persaingan
yang kian berat dengan lembaga keuangan (bank, BMT, pegadaian, dsb) yang bertambah
banyak. Sementara jumlah anggotanya tidak banyak bertambah selama bertahun-tahun. Pada
akhirnya situasi ini kian menyulitkan terjadinya akumulasi modal koperasi maupun daya tarik
bagi keanggotaan baru.
Kondisi yang hampir sama juga dialami oleh koppas yang letaknya juga di pusat kota
Yogyakarta, yaitu koppas Rukun Agawe Santoso (RAS) di pasar Kranggan. Hampir sama
seperti di Beringharjo, lokasi kantor koppas Kranggan juga tidak menempati layaknya
kios-kios atau los-los pasar pada umumnya, tetapi juga di bawah anak tangga menuju lantai dua di
bangunan pasar itu. Saat wawancara, peneliti ditemui seorang pengurus karena seorang ibu
pengurus lainnya sedang ada keperluan.
Sehari-hari dua pengurus yang merangkap pengelola koppas melayani simpan pinjam
dari 600 anggota yang sebagian besar bernilai antara Rp 1-3 juta. Meski lokasi pasar kranggan
terletak dekat dengan pusat kota dan pusat atau lembaga pendidikan (yang memproduksi ilmu
dan teknologi), namun dalam melakukan pencatatan uang, masih mengandalkan cara-cara
klasik atau manual, sama seperti yang dilakukan di Beringharjo. Memang aset koppas saat ini
telah mencapai lebih dari Rp 1 milyar, dan ada keinginan sejak lama untuk menggunakan
sistem komputerisasi agar pencatatannya lebih praktis dan tidak menyita banyak waktu ke dua
ibu tersebut. Namun itu tinggal keinginan lama yang sampai kini belum terwujud.
Ibu pengurus itu seolah “iri” dengan pelayanan yang diberikan kantor unit/kas BRI yang berada beberapa langkah dari kantornya. Keduanya melakukan bisnis yang hampir sama
7
pengurus koppas Beringharjo, keinginan untuk “bersaing” dalam pelayanan dengan BRI dan bank-bank lain yang sekarang banyak beroperasi di pasar itu memang ada, namun pengurus
dan pengelola koppas itu seolah tidak tahu bagaimana memulainya.
Padahal menurut pengakuannya, intensitas hubungan personal yang telah dibina
dengan para pedagang, baik yang menjadi anggota koperasi maupun bukan, sebenarnya justru
lebih banyak dimilikinya ketimbang petugas-petugas bank.
Uang Koppas Untuk Bisnis “Bukan Anggota”
Kondisi yang agak berbeda namun tampak lebih memprihatinkan ditunjukkan oleh
Koppas Godean. Pada saat studi dilakukan, kami duduk menunggu bersama ibu-ibu pedagang
pasar yang sama-sama sedang duduk menunggu antrian. Tak kurang dari 10 orang yang ada di
dalam ruang tunggu kantor koppas, ada pula yang sedang menunggu di luar.
Ketika ditanyakan kepada mereka apa atau siapa yang mereka tunggu, beberapa ibu
menceritakan sedang menunggu untuk giliran pencairan kredit dari koppas. Mereka diminta
menunggu oleh petugas koperasi agar bersabar menanti uang masuk dari pembayaran kredit
nasabah yang lain. Setelah ada nasabah membayarkan cicilannya ke koppas, mereka akan
memperoleh pencairan pinjaman.
Yang mengherankan adalah ketika diperoleh informasi tentang besaran asset di koppas
Godean tersebut, besarannya jauh melebihi koppas Beringharjo dan Kranggan. Saat ini, asset
yang dimiliki koppas yang telah berdiri sejak 12 tahun lalu itu mencapai Rp 5,5 milyar.
Dengan keanggotaan hanya sebesar kurang lebih seribu orang, maka tentu modal/asset
koperasi lebih dari cukup untuk melayani semua anggota pedagang di pasar Godean.
Sayangnya, kecukupan modal finansial tetap menjadi masalah bagi koperasi. Tidak
saja di Godean, tetapi semua koperasi dimanapun seolah selalu merasa kekurangan modal,
dan tak pernah merasa kekurangan jumlah anggota. Belakangan diketahui bahwa modal yang
telah terkumpul seringkali lebih banyak digunakan untuk mengembangkan bisnis “pengurus”
8
Tabel 2. Kondisi dan Permasalahan Koppas di beberapa pasar di DIY
No Aspek 2 Jenis-jenis usaha Simpan-pinjam Simpan pinjam Simpan pinjam,
peti buah
Simpan Pinjam
Simpan pinjam
3 Keanggotaan Terbatas 457 orang
(mayo-Sumber: Menahan Serbuan Pasar Modern, LOS&PustekUGM, 2011
Lapangan Usaha Koperasi
Pada kesempatan lain, kami pernah menelusuri potret perkembangan koperasi di
kabupaten Bantul. Berdasarkan data pemeringkatan koperasi yang dilakukan oleh Departemen
Koperasi dan UKM tahun 2009, yang mendata sekitar 78-80 koperasi di setiap kabupaten/kota
9
Sebagaimana terlihat pada tabel 2. lapangan usaha “favorit” yang menjadi bidang
garapan koperasi adalah sektor jasa keuangan/jasa simpan pinjam. Dari jumlah 385 koperasi
di DIY yang masuk pemeringkatan Depkop &UKM, mayoritas atau 82.1% bergerak di bidang
usaha simpan pinjam. Angka ini nampaknya lebih besar lagi mengingat penamaan koperasi
jasa dapat juga terkait dengan jasa simpan pinjam.
Tabel 3. Koperasi di DIY berdasarkan lapangan usaha
Kab/Kota Koperasi Jasa
Koperasi Konsumen
Koperasi Pemasaran
Koperasi Produsen
Koperasi Simpan
Pinjam
Jumlah Koperasi
KULON PROGO 2 2 2 4 63 83
BANTUL 6 3 1 1 64 86
GUNUNG KIDUL 4 5 1 2 66 90
SLEMAN 8 7 - 4 60 98
YOGYAKARTA 5 9 1 2 63 97
DIY 25 26 5 13 316 385
Persentase 6.5 6.8 1.3 3.4 82.1
Sumber: Data Pemeringkatan Koperasi 2009, http://www.depkop.go.id/ (diolah)
Pernah ada “sindiran” yang sering dialamatkan kepada gerakan koperasi di Indonesia, yakni “jumlah koperasinya banyak, namun jumlah anggotanya sedikit”. Hal ini berbeda dengan di negara-negara maju, dimana “jumlah koperasinya sedikit, tetapi anggota tiap
koperasinya banyak”. Sindiran ini tentu masuk akal jika kita lihat tingkat keanggotaan
koperasi di DIY sebagaimana table 4 berikut. Kabupaten Bantul memang masuk pada kategori “lumayan” di peringkat ke dua setelah Sleman, dengan rata-rata anggota sebanyak 650 orang per koperasi sedangkan Sleman 990 orang per koperasi. Barangkali, Bantul masuk
peringkat pertama jika KUD Tempel, Kosudgama, dan KUD Barata “dikeluarkan” dari
Sleman, karena koperasi ini masing-masing beranggotakan 9.100, 8.608, dan 7.846 orang.
Sedangkan di kabupaten Bantul yang keanggotaan koperasinya lebih dari 5 ribu orang hanya
sebanyak 2 koperasi, yaitu KUD Tri Upoyo dan KUD Tani Bakti, masing-masing sebesar
10
Tabel 4. Rata-rata anggota per koperasi di DIY
Kab/Kota Jml
Koperasi
Anggota (jiwa)
Rata-rata anggota per
koperasi
KULON PROGO 73 21,744 298
BANTUL 75 48,713 650
GUNUNG 78 43,595 559
SLEMAN 79 78,192 990
YOGYAKARTA 80 24,887 311
DIY 385 217,131 564
Indonesia 12,129 4,417,585 364
Sumber: Data Pemeringkatan Koperasi 2009, http://www.depkop.go.id/ (diolah)
Dengan membandingkan angka-angka seperti yang dipublikasikan ICA di atas, maka
keanggotaan koperasi per penduduk di Bantul maupun di Indonesia pada umumnya terlihat
sangat timpang. Jika ada sebuah negara yang 4 dari 10 orang dewasanya adalah anggota
koperasi, maka angka ini di DIY adalah bahwa setiap 17 penduduk hanya 1 orang yang
menjadi anggota. Bukan bermaksud untuk membandingkan yang tidak sebanding, namun ada
hal yang penting untuk digarisbawahi, bahwa keanggotaan koperasi sangatlah penting,
koperasi bukanlah kumpulan modal melainkan kumpulan orang. Besar kecilnya koperasi
sangat tergantung seberapa besar jumlah anggota, khususnya anggota yang aktif.
Tabel 5. Koperasi per Penduduk di DIY
Kab/Kota jml
Koperasi
Anggota
(jiwa)
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Koperasi/
penduduk
KULON 73 21,744 458,298 21
BANTUL 75 48,713 911,359 19
GUNUNG 78 43,595 703,632 16
SLEMAN 79 78,192 1,096,972 14
YOGYAKARTA 80 24,887 434,544 17
DIY 385 217,131 3,604,804 17
Indonesia 12,129 4,417,585 237,641,326 54
11 Penutup
Kemiskinan dan pengangguran tidak bisa ditanggulangi hanya dengan
program-program yang bersifat temporer dan karitatif, tetapi juga harus dilandasi upaya pengembangan
sistem sosial-ekonomi. Pengembangan sistem ekonomi dimaksud adalah demokrasi ekonomi
(istilah lain dari ekonomi kerakyatan), dimana warga masyarakat secara kolektif makin
mampu memproduksi barang dan jasa, mampu mengendalikan secara cerdas jalannya
distribusi dan konsumsinya, serta makin meningkatkan akses warga masyarakat terhadap
faktor-faktor produksi. Kalamana masyarakat warga belum mampu, peran negara tampil ke
depan untuk membantu dan memastikannya.
Tiga hal yang kami kemukakan di atas tentang peranan koperasi dalam perekonomian,
lapangan usaha atau bisnis koperasi, serta pentingnya peran keanggotaan, sebenarnya hanya
bagian kecil dari indikator-indikator penting yang perlu dilihat dan dicermati.
Perkembangannya dari waktu ke waktu perlu dicermati sebagai langkah awal untuk
mengembangkan sistem perekonomian yang mampu memfasilitasi pelaku dan institusi
koperasi untuk mengembangkan diri.
Dalam kasus di kabupaten Bantul yang kami angkat dalam tulisan di atas, yang
mungkin menjadi gejala umum di Indonesia, menunjukkan bahwa peranan koperasi dan
UMKM dalam perekonomian masih jauh dari harapan. Angka investasi UMKM di Bantul
misalnya, masih berkisar 11-12 persen dari PDRB, demikian pula omset 400 koperasi (aktif dan tidak
aktif) yang baru mencapai Rp 264 milyar atau 6% dari PDRB, masih jauh dari harapan. Sementara
penduduk Bantul yang menjadi anggota koperasi hanya 5-6%, bandingkan misalnya dangan kota
Bologna yang berpenduduk 4 juta jiwa, 75%nya adalah anggota koperasi.
Tiga “himbauan PBB” di Tahun Koperasi Internasional tampaknya sangat relevan
untuk mengingatkan kita yang telah abai akan amanat ekonomi konstitusi. Mampukah kita
meningkatkan kesadaran masyarakat akan koperasi, mempromosikan keberadaan dan
pertumbuhan koperasi, serta mendorong pemerintah untuk menegakkan kebijakan, hukum dan
regulasi yang kondusif bagi perkembangan dan stabilitas koperasi. Selamat memperingati