• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewirakoperasian Untuk Keadilan Sosial E

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kewirakoperasian Untuk Keadilan Sosial E"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Kewirakoperasian Untuk Keadilan Sosial Ekonomi

1

Oleh : Puthut Indroyono2

Pendahuluan

Di tengah kritik tajam tentang arah kebijakan perkoperasian yang justru mendorong

nilai-nilai “anti-koperasi”, resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tahun 2012 justru

mencanangkan sebagai Tahun Koperasi Internasional. Tema yang diangkat waktu itu adalah “Usaha Koperasi membangun dunia yang lebih baik” (cooperative enterprises build a better world). Menurut PBB, kontribusi koperasi sangat penting bagi pembangunan sosial-ekonomi,

karena berdampak pada penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan integrasi

sosial.

PBB lalu mengajak semua anggotanya untuk: (1) meningkatkan kesadaran masyarakat

akan koperasi dan kontribusi mereka terhadap pencapaian tujuan pembangunan; (2)

mempromosikan keberadaan dan pertumbuhan koperasi; dan (3) mendorong pemerintah

untuk menegakkan kebijakan, hukum dan regulasi yang kondusif bagi perkembangan dan

stabilitas koperasi. Untuk menopang kampanyenya, PBB juga banyak member ilustrasi bahwa

koperasi merupakan solusi konstuktif bagi kesejahteraan rakyat antara lain ditunjukkan dalam

penguasaan pangsa pasar, diversifikasi lapangan usaha koperasi, serta keanggotaan.

Laporan 300 koperasi terbesar dunia misalnya, menunjukkan bahwa lapangan atau

bidang usaha koperasi relatif bervariasi. Koperasi dunia banyak bergerak di sektor pertanian

1

Dengan sedikit penyempurnaan judul dan penambahan data, makalah ini pernah disampaikan pada seminar memperingati Hari Koperasi ke 65, 5 Juli 2012 di Bantul dan dimuat dalam buku bunga rampai ͞100 Persen

Jogja Banget͟, LOS-DIY, 2014

2

(2)

2

dan kehutanan sebesar 28,85%, sektor keuangan/perbankan/credit union 26,27%, sektor

konsumsi/retail sebesar 21,66%, dan asuransi 17,23%. Variasi lapangan usaha ini masih

ditambah dengan sektor-sektor lain seperti sektor tenagakerja/industri sebesar 2,16%, sektor

kesehatan 1,65%, sektor peralatan 1,13%, dan lain-lain sebesar 1,04%

Gambar 1. Lapangan Usaha 300 koperasi terbesar dunia

Sumber: ICA

Peran koperasi dalam perekonomian suatu daerah, misalnya juga ditunjukkan dalam

kasus Kota Bologna. Williams (2002) dalam studinya berjudul “Bologna and Emilia

Romagna: A Model of Economic Democracy” menemukan model (ciri) penerapan demokrasi ekonomi di Kota Bologna, Italia. Praktek demokrasi ekonomi ditunjukkan dengan peranan

koperasi dan usaha kecil yang besar dalam struktur perekonomian Kota Bologna. Di kota

berpenduduk 4 juta jiwa tersebut terdapat 90.000 perusahaan manufaktur yang total

perusahaan sebanyak 325.000 buah, terdapat banyak koperasi yang beranggotakan sepertiga

dari total penduduk yang ada. Penyaluran jasa sosial di kota Bologna 85% dilakukan oleh

koperasi yang secara keseluruhan menyumbang 45% dari total PDRB. Kontrol warga kota

terhadap perekonomian dilakukan melalui koperasi sosial, koperasi industry, koperasi ritel,

(3)

3

terbangun dalam suatu jaringan baik formal maupun informal yang mengukuhkan mereka

sebagai basis ekonomi wilayah.

Melalui optimisme yang ingin dikembangkan oleh para pegiat koperasi dunia, bisakah

momentum Tahun Koperasi Internasional 2012 menjadi titik balik bagi peningkatan

kesadaran berkoperasi di Indonesia? Tiga pesan penting, penguasaan pangsa pasar,

diversifikasi usaha, dan keanggotaan, nampaknya juga harus dikembangkan untuk

mewujudkan cita-cita pendiri bangsa dalam kerangka pengembangan sistem ekonomi

kerakyatan atau demokrasi ekonomi.

Di tengah “kebingungan” akhir-akhir ini tentang pertumbuhan ekonomi di DIY yang selalu berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, sudahkah kita

mencoba melihat dari sudut pandang yang lain tentang permasalahan mendasarnya seperti

siapa atau institusi mana dalam ekonomi yang mengalami pertumbuhan. Sudahkah kita

menyadari bahwa koperasi yang merupakan bentuk usaha yang paling sesuai dengan

demokrasi ekonomi? Tulisan ini berupaya melihat sisi pemikiran bisnis koperasi yang banyak

digunakan di dunia sebagai upaya alternatif memperbaiki ajaran ekonomi arus utama

(mainstream/neoliberal economics).

Social Entrepreneuship

Dalam sebuah kuliah umum di UGM baru-baru ini, Prof. Rory dari Sheffield Business

School (Inggris) memberikan materi cukup menarik berjudul “kewirausahaan sosial dan ekonomi sosial” (social entrepreneurships and social economy). Ia mendefinisikan “kewirausahaan sosial” sebagai cara pandang tentang pemilahan/identifikasi ide-ide yang diikuti dengan proses dan kegiatan yang menghasilkan keuntungan sosial ekonomi sejalan

dengan suatu tujuan sosial.

Tujuan sosial tersebut dapat dicapai melalui penciptaan kegiatan-kegiatan

berkelanjutan oleh usaha bisnis yang dimiliki anggota, menerapkan manajemen partisipatif

dan tatakelola demokratis. Hal itu ditujukan untuk menjamin seluruh (akumulasi) aset-aset

yang diciptakan disediakan (dan dikontrol oleh) para anggota komunitas, dan bukan (hanya)

(4)

4

Ia juga membedakan jenis kewirausahaan sosial versi Amerika Serikat dan Uni Eropa,

sebagaimana tabel berikut:

Tabel 1. Perbedaan Social Entrepreneurship gaya “Eropa” dan gaya “Amerika Serikat”

Gaya Eropa (Social Economy) Gaya Amerika Serikat (Social Entrepreneurship) Aksi atau kegiatan kolektif Aksi atau kegiatan individual Buruh terorganisir atau tanggapan

pemerintah atas permasalahan social

Kewirausahaan (pasar) menanggapi permasalahan social

Bentuk tambahan dari modal dan asset social

Pencapaian yang efektif dan cepat atas dampak social

Solidaritas dan kebersamaan Juara-juara dan agen-agen perubahan Akomodasi kepentingan stakeholders Ketaatan kepada sebuah “visi”

Demokrasi (bottom-up governance) Philanthropy (top-down governance) Sektor ketiga / jalan ketiga Pemikiran bisnis / semua sector

Sumber : Rory Ridley-Duff: Presentasi 2013

Masih terkait dengan kuliah Rory di atas, ia juga memberi ilustrasi film tentang model

kerjasama dalam koperasi yakni mengambil contoh kasus pengambilalihan pabrik oleh serikat

pekerja pasca krisis ekonomi di Argentina. Film berjudul The Take (sudah di-upload di

youtube), ia seakan ingin menjelaskan sedemikian luasnya alternatif “cabang produksi” yang

bisa diusahakan secara kolektif ketimbang yang lazim diusahakan secara privat.

Melalui film ini, Rory seolah ingin membuka mata kepada peserta kuliah umum

bahwa mengembangkan perekonomian sebenarnya tidak hanya berbicara tentang pelaku atau

sektor tertentu, tetapi lebih dari itu adalah model tata kelola sistem ekonomi. Yang ingin

ditunjukkan dalam film The Take, adalah bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali model

pengelolaan bisnis alternatif, yang dapat menghasilkan keuntungan social ekonomi yang

sejalan dengan tujuan sosial. Pengambil-alihan (take-over) pabrik berskala besar dan peralatan

berteknologi maju, dapat pula menjadi wilayah usaha bagi wirausahawan sosial. Meskipun

(5)

5

Definisi dan penjelasan tersebut tentu mengingatkan kita pada sistem usaha koperasi

atau sistem bisnis sosial ekonomi yang bukan beorientasi kepada profit atau keuntungan

finansial individual semata. Dalam koperasi, tujuan utama pengembangan bisnis adalah untuk

meningkatkan keuntungan dan aset para anggota (bukan pengurus/manajer), dan oleh

karenanya harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip koperasi. Tujuan sosial dimaksud adalah

nilai harmoni dari perilaku kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam masyarakat dalam mengatasi “kelangkaan”.

Cara pandang ini memang mengakui bahwa perilaku ekonomi tidak selalu merupakan

kepentingan yang serasi bahkan saling bertabrakan. Namun kelangkaan (sebagai masalah)

tidak hanya dipandang sebagai berpotensi menimbulkan kemungkinan pertentangan, tetapi

juga dapat mencari alternatif solusi atas masalah-masalah sosial ekonomi (seperti kemiskinan,

kesenjangan, keadilan ekonomi, fair trade, dll) bagi tindakan yang bersifat kolektif

(Mubyarto: 2003).

Bisnis Sosial Koperasi Kita

Salah satu gambaran memprihatinkan akibat kebijakan pasar bebas yang mengiringi

penetrasi pasar global ditunjukkan oleh fenomena terpinggirkannya koperasi pasar “tradisional” (Koppas). Kondisi dan fakta beberapa koperasi pasar yang sungguh menyedihkan. Koperasi pasar sebagai instrumen bagi negara/pemerintah untuk mengembangkan institusi perekonomian rakyat pada akhirnya tidak mampu “bersaing”. Demikian pula dalam pengelolaan pasar rakyat, institusi-institusi yang seharusnya

bertanggungjawab mengembangkan diri melalui inovasi, seolah hanya sibuk dengan urusan

mereka sendiri.

Ilustrasi kondisi ini antara lain ditunjukkan oleh studi kami tentang koperasi di

pasar-pasar rakyat di DIY. Kami menemukan bahwa banyak koperasi-koperasi yang sudah berdiri

sejak lama tidak mampu mengembangkan institusi dan pengembangan produk bisnis sosial

mereka. Koppas Beringharjo yang telah berdiri sejak 21 tahun lalu dan beranggotakan 645

pedagang misalnya, sampai sekarang tidak memiliki pengaruh dan peran yang signifikan

(6)

6

Bisnis utama tetap simpan pinjam yang pada awalnya merupakan jawaban persoalan

kebutuhan modal bagi pedagang pasar serta keinginan untuk keluar dari hisapan rentenir.

Tidak ada pengembangan ke arah usaha lain (produk sosial) yang sebetulnya potensial

dikelola oleh koppas. Setelah beroperasi lebih dari dua dekade Koppas Beringharjo saat ini

hanya beranggotakan 645 orang dari total 6000 pedagang di pasar itu. Mayoritas anggota

adalah pedagang kecil dan ada sebagian kecil dari buruh gendong dan pedagang ayam di

pasar Terban. Koppas Beringharjo hanya saat ini memiliki omset sekitar Rp. 1 Milyar. Di

tengah bisnis yang makin beragam saat ini, Koppas Beringharjo tetap masih berkutat dengan

persoalan SDM, permodalan, dan lain-lain, selain harus menghadapi tantangan persaingan

yang kian berat dengan lembaga keuangan (bank, BMT, pegadaian, dsb) yang bertambah

banyak. Sementara jumlah anggotanya tidak banyak bertambah selama bertahun-tahun. Pada

akhirnya situasi ini kian menyulitkan terjadinya akumulasi modal koperasi maupun daya tarik

bagi keanggotaan baru.

Kondisi yang hampir sama juga dialami oleh koppas yang letaknya juga di pusat kota

Yogyakarta, yaitu koppas Rukun Agawe Santoso (RAS) di pasar Kranggan. Hampir sama

seperti di Beringharjo, lokasi kantor koppas Kranggan juga tidak menempati layaknya

kios-kios atau los-los pasar pada umumnya, tetapi juga di bawah anak tangga menuju lantai dua di

bangunan pasar itu. Saat wawancara, peneliti ditemui seorang pengurus karena seorang ibu

pengurus lainnya sedang ada keperluan.

Sehari-hari dua pengurus yang merangkap pengelola koppas melayani simpan pinjam

dari 600 anggota yang sebagian besar bernilai antara Rp 1-3 juta. Meski lokasi pasar kranggan

terletak dekat dengan pusat kota dan pusat atau lembaga pendidikan (yang memproduksi ilmu

dan teknologi), namun dalam melakukan pencatatan uang, masih mengandalkan cara-cara

klasik atau manual, sama seperti yang dilakukan di Beringharjo. Memang aset koppas saat ini

telah mencapai lebih dari Rp 1 milyar, dan ada keinginan sejak lama untuk menggunakan

sistem komputerisasi agar pencatatannya lebih praktis dan tidak menyita banyak waktu ke dua

ibu tersebut. Namun itu tinggal keinginan lama yang sampai kini belum terwujud.

Ibu pengurus itu seolah “iri” dengan pelayanan yang diberikan kantor unit/kas BRI yang berada beberapa langkah dari kantornya. Keduanya melakukan bisnis yang hampir sama

(7)

7

pengurus koppas Beringharjo, keinginan untuk “bersaing” dalam pelayanan dengan BRI dan bank-bank lain yang sekarang banyak beroperasi di pasar itu memang ada, namun pengurus

dan pengelola koppas itu seolah tidak tahu bagaimana memulainya.

Padahal menurut pengakuannya, intensitas hubungan personal yang telah dibina

dengan para pedagang, baik yang menjadi anggota koperasi maupun bukan, sebenarnya justru

lebih banyak dimilikinya ketimbang petugas-petugas bank.

Uang Koppas Untuk Bisnis “Bukan Anggota”

Kondisi yang agak berbeda namun tampak lebih memprihatinkan ditunjukkan oleh

Koppas Godean. Pada saat studi dilakukan, kami duduk menunggu bersama ibu-ibu pedagang

pasar yang sama-sama sedang duduk menunggu antrian. Tak kurang dari 10 orang yang ada di

dalam ruang tunggu kantor koppas, ada pula yang sedang menunggu di luar.

Ketika ditanyakan kepada mereka apa atau siapa yang mereka tunggu, beberapa ibu

menceritakan sedang menunggu untuk giliran pencairan kredit dari koppas. Mereka diminta

menunggu oleh petugas koperasi agar bersabar menanti uang masuk dari pembayaran kredit

nasabah yang lain. Setelah ada nasabah membayarkan cicilannya ke koppas, mereka akan

memperoleh pencairan pinjaman.

Yang mengherankan adalah ketika diperoleh informasi tentang besaran asset di koppas

Godean tersebut, besarannya jauh melebihi koppas Beringharjo dan Kranggan. Saat ini, asset

yang dimiliki koppas yang telah berdiri sejak 12 tahun lalu itu mencapai Rp 5,5 milyar.

Dengan keanggotaan hanya sebesar kurang lebih seribu orang, maka tentu modal/asset

koperasi lebih dari cukup untuk melayani semua anggota pedagang di pasar Godean.

Sayangnya, kecukupan modal finansial tetap menjadi masalah bagi koperasi. Tidak

saja di Godean, tetapi semua koperasi dimanapun seolah selalu merasa kekurangan modal,

dan tak pernah merasa kekurangan jumlah anggota. Belakangan diketahui bahwa modal yang

telah terkumpul seringkali lebih banyak digunakan untuk mengembangkan bisnis “pengurus”

(8)

8

Tabel 2. Kondisi dan Permasalahan Koppas di beberapa pasar di DIY

No Aspek 2 Jenis-jenis usaha Simpan-pinjam Simpan pinjam Simpan pinjam,

peti buah

Simpan Pinjam

Simpan pinjam

3 Keanggotaan Terbatas 457 orang

(mayo-Sumber: Menahan Serbuan Pasar Modern, LOS&PustekUGM, 2011

Lapangan Usaha Koperasi

Pada kesempatan lain, kami pernah menelusuri potret perkembangan koperasi di

kabupaten Bantul. Berdasarkan data pemeringkatan koperasi yang dilakukan oleh Departemen

Koperasi dan UKM tahun 2009, yang mendata sekitar 78-80 koperasi di setiap kabupaten/kota

(9)

9

Sebagaimana terlihat pada tabel 2. lapangan usaha “favorit” yang menjadi bidang

garapan koperasi adalah sektor jasa keuangan/jasa simpan pinjam. Dari jumlah 385 koperasi

di DIY yang masuk pemeringkatan Depkop &UKM, mayoritas atau 82.1% bergerak di bidang

usaha simpan pinjam. Angka ini nampaknya lebih besar lagi mengingat penamaan koperasi

jasa dapat juga terkait dengan jasa simpan pinjam.

Tabel 3. Koperasi di DIY berdasarkan lapangan usaha

Kab/Kota Koperasi Jasa

Koperasi Konsumen

Koperasi Pemasaran

Koperasi Produsen

Koperasi Simpan

Pinjam

Jumlah Koperasi

KULON PROGO 2 2 2 4 63 83

BANTUL 6 3 1 1 64 86

GUNUNG KIDUL 4 5 1 2 66 90

SLEMAN 8 7 - 4 60 98

YOGYAKARTA 5 9 1 2 63 97

DIY 25 26 5 13 316 385

Persentase 6.5 6.8 1.3 3.4 82.1

Sumber: Data Pemeringkatan Koperasi 2009, http://www.depkop.go.id/ (diolah)

Pernah ada “sindiran” yang sering dialamatkan kepada gerakan koperasi di Indonesia, yakni “jumlah koperasinya banyak, namun jumlah anggotanya sedikit”. Hal ini berbeda dengan di negara-negara maju, dimana “jumlah koperasinya sedikit, tetapi anggota tiap

koperasinya banyak”. Sindiran ini tentu masuk akal jika kita lihat tingkat keanggotaan

koperasi di DIY sebagaimana table 4 berikut. Kabupaten Bantul memang masuk pada kategori “lumayan” di peringkat ke dua setelah Sleman, dengan rata-rata anggota sebanyak 650 orang per koperasi sedangkan Sleman 990 orang per koperasi. Barangkali, Bantul masuk

peringkat pertama jika KUD Tempel, Kosudgama, dan KUD Barata “dikeluarkan” dari

Sleman, karena koperasi ini masing-masing beranggotakan 9.100, 8.608, dan 7.846 orang.

Sedangkan di kabupaten Bantul yang keanggotaan koperasinya lebih dari 5 ribu orang hanya

sebanyak 2 koperasi, yaitu KUD Tri Upoyo dan KUD Tani Bakti, masing-masing sebesar

(10)

10

Tabel 4. Rata-rata anggota per koperasi di DIY

Kab/Kota Jml

Koperasi

Anggota (jiwa)

Rata-rata anggota per

koperasi

KULON PROGO 73 21,744 298

BANTUL 75 48,713 650

GUNUNG 78 43,595 559

SLEMAN 79 78,192 990

YOGYAKARTA 80 24,887 311

DIY 385 217,131 564

Indonesia 12,129 4,417,585 364

Sumber: Data Pemeringkatan Koperasi 2009, http://www.depkop.go.id/ (diolah)

Dengan membandingkan angka-angka seperti yang dipublikasikan ICA di atas, maka

keanggotaan koperasi per penduduk di Bantul maupun di Indonesia pada umumnya terlihat

sangat timpang. Jika ada sebuah negara yang 4 dari 10 orang dewasanya adalah anggota

koperasi, maka angka ini di DIY adalah bahwa setiap 17 penduduk hanya 1 orang yang

menjadi anggota. Bukan bermaksud untuk membandingkan yang tidak sebanding, namun ada

hal yang penting untuk digarisbawahi, bahwa keanggotaan koperasi sangatlah penting,

koperasi bukanlah kumpulan modal melainkan kumpulan orang. Besar kecilnya koperasi

sangat tergantung seberapa besar jumlah anggota, khususnya anggota yang aktif.

Tabel 5. Koperasi per Penduduk di DIY

Kab/Kota jml

Koperasi

Anggota

(jiwa)

Jumlah

Penduduk

(jiwa)

Koperasi/

penduduk

KULON 73 21,744 458,298 21

BANTUL 75 48,713 911,359 19

GUNUNG 78 43,595 703,632 16

SLEMAN 79 78,192 1,096,972 14

YOGYAKARTA 80 24,887 434,544 17

DIY 385 217,131 3,604,804 17

Indonesia 12,129 4,417,585 237,641,326 54

(11)

11 Penutup

Kemiskinan dan pengangguran tidak bisa ditanggulangi hanya dengan

program-program yang bersifat temporer dan karitatif, tetapi juga harus dilandasi upaya pengembangan

sistem sosial-ekonomi. Pengembangan sistem ekonomi dimaksud adalah demokrasi ekonomi

(istilah lain dari ekonomi kerakyatan), dimana warga masyarakat secara kolektif makin

mampu memproduksi barang dan jasa, mampu mengendalikan secara cerdas jalannya

distribusi dan konsumsinya, serta makin meningkatkan akses warga masyarakat terhadap

faktor-faktor produksi. Kalamana masyarakat warga belum mampu, peran negara tampil ke

depan untuk membantu dan memastikannya.

Tiga hal yang kami kemukakan di atas tentang peranan koperasi dalam perekonomian,

lapangan usaha atau bisnis koperasi, serta pentingnya peran keanggotaan, sebenarnya hanya

bagian kecil dari indikator-indikator penting yang perlu dilihat dan dicermati.

Perkembangannya dari waktu ke waktu perlu dicermati sebagai langkah awal untuk

mengembangkan sistem perekonomian yang mampu memfasilitasi pelaku dan institusi

koperasi untuk mengembangkan diri.

Dalam kasus di kabupaten Bantul yang kami angkat dalam tulisan di atas, yang

mungkin menjadi gejala umum di Indonesia, menunjukkan bahwa peranan koperasi dan

UMKM dalam perekonomian masih jauh dari harapan. Angka investasi UMKM di Bantul

misalnya, masih berkisar 11-12 persen dari PDRB, demikian pula omset 400 koperasi (aktif dan tidak

aktif) yang baru mencapai Rp 264 milyar atau 6% dari PDRB, masih jauh dari harapan. Sementara

penduduk Bantul yang menjadi anggota koperasi hanya 5-6%, bandingkan misalnya dangan kota

Bologna yang berpenduduk 4 juta jiwa, 75%nya adalah anggota koperasi.

Tiga “himbauan PBB” di Tahun Koperasi Internasional tampaknya sangat relevan

untuk mengingatkan kita yang telah abai akan amanat ekonomi konstitusi. Mampukah kita

meningkatkan kesadaran masyarakat akan koperasi, mempromosikan keberadaan dan

pertumbuhan koperasi, serta mendorong pemerintah untuk menegakkan kebijakan, hukum dan

regulasi yang kondusif bagi perkembangan dan stabilitas koperasi. Selamat memperingati

Gambar

Gambar 1. Lapangan Usaha 300 koperasi terbesar dunia
Tabel 1. Perbedaan Social Entrepreneurship gaya “Eropa” dan gaya “Amerika Serikat”
Tabel 2. Kondisi dan Permasalahan Koppas di beberapa pasar di DIY
Tabel 3. Koperasi di DIY berdasarkan lapangan usaha
+2

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, serta anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

Perubahan Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Dalam Pemilihan Over The Counter (OTC di Desa Giwangretno dan Pandansari Kecamatan Sruweng Kabupaten Kebumen Menggunakan Community

(1) Tarip pelayanan rawat inap tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 meliputi biaya untuk perawatan, pemeriksaan, pemberian obat standar yang termasuk dalam

RALS memiliki indikator Macd, Stoc osc dan Rsi mengindikasikan pola Uptrend, RALS berhasil menembus Resistance di level harga 1320 sehingga terbuka peluang untuk

• Ketika ECU menilai bahwa kondisi roda depan sudah mendekati aman dari penguncian berdasarkan info dari speed sensor maka ECU akan memerintahkan katub selenoid yang

Dian Abdi Nusa Di Kabupaten Kutai Barat dari tahun 2010 sampai dengan 2012 adalah telah efektif, Hipotesis yang diajukan diterima atau terbukti

Tugas Akhir ini bertujuan Untuk menghasilkan sebuah rancangan sistem informasi pengawasan masyarakat terhadap angkutan kota memanfaatkan media sosial yang harapannya

Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan protein pada fodder jagung hidroponik dengan