• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH FILSAFAT sejarah ilmu sejarah (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH FILSAFAT sejarah ilmu sejarah (2)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Kritik Terhadap Historisitas Kesadaran

Menurut Hans- Georg Gadamer

1. Pendahuluan

Gadamer adalah pewaris sejati tradisi hermeneutik Jerman. Sebagai seorang pewaris tradisi yang otentik, ia dengan sungguh-sungguh mengangkat persoalan menyangkut metodologi ilmu pengetahuan tentang manusia yang berasal dari Schleiermacher dan Dilthey. Di lain pihak, sebagai murid Heidegger, ia mengambil bagian dalam pandangan gurunya terhadap eksistensi manusia; bahwa eksistensi manusia secara radikal bersifat terbatas dan temporal, dan bahwa pemahaman berciri ontologis.1 Dengan konsep temporalitas historis, Gadamer mengeritik refleksi sejarah

yang terlalu terbingkai oleh metode.

Kritik Gadamer terhadap kesadaran historis bertolak dari pemikiran hermeneutis Heidegger tentang pra-struktur pemahaman dan historisitas (inheren) keberadaan manusia yang menjadi fondasi dan titik awal analisisnya terhadap kesadaran sejarah. Gadamer hendak menunjukkan bahwa pemahaman itu sendiri merupakan way of being dan hakikatnya adalah temporal. Kesimpulan ini muncul dari analisisnya tentang temporalitas Dasein, sebagaimana dipaparkan Heidegger dalam buku Being ang Time.2 Heidegger berbicara tentang temporalitas pemahaman.

Berdasarkan konsep temporalitas Heidegger, Gadamer berbicara tentang temporalitas seorang penafsir tradisi (sejarahwan). Menurut Gadamer, seorang interpretator sejarah tidak dapat begitu saja menyingkirkan kondisi historisnya yang sekarang ini, karena historisitas tidak bersifat kebetulan tetapi ontologis. Manusia secara radikal adalah entitas temporal-historis. Dengan demikian seorang sejarahwan tidak pernah terlepas dari sejaranya sendiri. Dia adalah makhluk historis.

Keterikatan (ketermasukan) seorang penafsir (sejarah) pada horizonnya yang sekarang ini adalah hal yang tidak mungkin terabaikan dan tak terelakkan. Setiap usaha untuk menceraikan temporalitas penafsir dari teks sesungguhnya dapat dilihat sebagai suatu faktor negatif, suatu alienasi; namun jarak itu bisa juga dijadikan sebagai sesuatu yang produktif. Dengan menegaskan historisitas teks maupun penafsir, Gadamer menjadikan proyek pemahaman reproduktif sebagai sesuatu yang

1 Leo Kleden, “Hans- Georg Gadamer (1900-2002): Historisitas Pemahaman”, dalam

Hermeneutika Modern dan Kontemporer (ms), (Maumere: STFK Ledalero, 2008), p. 38.

2 Martin Heidegger, Being and Time, penterj., Joan Stambaugh ( New York: SUNY Press, 1996),

(2)

mustahil. “Pada berbagai taraf semua pemahaman berciri produktif”,3 demikian kata

Gadamer.

Kritik Gadamer terhadap kesadaran sejarah berlandaskan pada argumen bahwa masa lalu bukanlah sebuah tumpukan realitas yang dapat dijadikan sebagai objek kesadaran, namun lebih sebagai ‘arus’ di mana kita bergerak dan berpartisipasi dalam setiap tindakan pemahaman. Dengan demikian, setiap tradisi yang diwarisi bukanlah sesuatu yag bertentangan dengan kita, tetapi merupakan sesuatu di mana kita ‘berdiam diri’ sepanjang keberadaan kita.4

Kritiknya terhadap kesadaran sejarah tidak dapat terpisahkan dari bangunan pemahamannya tentang prasangka, otoritas dan tradisi. Gadamer mengeritik kecurigaan masa pencerahan yang mengabaikan dan memandang secara negatif konsep prasangka, otoritas dan tradisi Karena itu, usaha Gadamer terhadap historisitas pemahaman merupakan bagian dari usahanya untuk memulihkan gagasan tentang prasangka, otoritas dan tradisi.

2. Pandangan Gadamer Tentang Prasangka, Otoritas dan Tradisi 2.1. Tentang Prasangka.

Gadamer memiliki perspektif yang berbeda tentang prasangka. Ia berseberangan dengan zaman pencerahan yang mengartikan prasangka sebagai penilaian yang tidak berdasar dan tidak rasional. Menurut Gadamer prasangka (Jerman: Vorurteil, Latin: praejudicium, Inggris: prejudice) sebenarnya berarti “ sebuah penilaian yang diberikan sebelum semua unsur yang menentukan sebuah situasi dikaji seluruhnya”.5 Maka, prasangka merupakan sebuah penilaian

sementaran sebelum seseorang memahami sesuatu (teks) secara menyeluruh. Jadi prasangka tidak berarti sebuah pertimbangan palsu, tetapi bagian dari ide yang memiliki kemungkinan nilai positif atau negatif.6 Namun kesementaraan unsur

prasangka yang dipahami Gadamer justru mendapat kritikan tajam dari para filsuf masa pencerahan. Bagi zaman pencerahan (yang menekankan rasionalitas), prasangka tidak mendapat tempat istimewa, karena dimensi kesementaraan prasangka semata-mata merupakan penilaian yang tidak berdasar. Menurut pencerahan penilaian yang tidak berdasar ini terjadi karena sikap tunduk pada otoritas orang lain atau karena sikap tergesa-gesa yang berlebihan.7

3 Hans -Georg Gadamer, Kebenaran Dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, penterj.,

Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), p. 357.

4 Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, penerj. Musnur Hery &

Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), p. 208.

5 Gadamer, Op. Cit., p. 327. 6 Ibid.

(3)

Sikap tunduk atau takluk pada otoritas orang lain berarti seseorang sama sekali tidak menggunakan pendapatnya sendiri untuk memaknai dan menafsir sesuatu. Sedangkan ketergesaan penilaian menunjukkan bahwa seseorang tidak mengadakan pertimbangan yang matang dan rasional untuk mencapai penilaian yang valid dan benar. Dalam artian demikian prasangka termasuk penilaian yang irasional. Penampikan zaman pencerahan terhadap konstruk pemikiran tentang prasangka bagi Gadamer merupakan prasangka itu sendiri. “Prasangka fundamental dari pencerahan adalah prasangka melawan prasangka itu sendiri, sehingga tradisi kehilangan daya kekuatannya”.8 Zaman pencerahan sendiri merupakan warisan dari

bangunan pemikiran para filsuf pendahulu, seperti Descartes, Kant, dll. Mengatakan bahwa zaman pencerahan merupakan era yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari tradisi pendahulu adalah naïf. Bagi Gadamer, untuk memahami sejarah, masa sekarang (temporalitas seorang sejarahwan) tidak dapat ditinggalkan begitu saja untuk masuk pada masa lalu. Makna dari masa lalu tidak dapat dilihat secara inheren

dalam dirinya sendiri. Sebaliknya pemahaman akan makna masa lalu, mesti didefinisikan dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya dari masa sekarang.9 Seorang sejarahwan memberi makna sejarah dari situasi kekiniannya. Dia

tidak mungkin melepaskan situasi sekarang yang telah membentuknya. Dengan demikian prasangka merupakan basis keberadaan kita yang membuat kita mampu memaknai sejarah secara integral dan komprehensif.

2.2. Tentang Otoritas

Berbeda dengan masa pencerahan, Gadamer memiliki konsep yang sangat positif terhadap otoritas. Dalam usaha untuk memahami sejarah, warisan masa lampau, seseorang tidak mungkin meninggalkan sebuah otoritas pewaris tradisi. Ada pribadi-pribadi tertentu yang telah ‘berjasa’ mewarisi pandangan, atau pengetahuannya, sehingga seseorang dapat memiliki kapasitas pengetahuan tertentu untuk menilai dan memaknai sesuatu. Otoritas bukanlah pelepasan terhadap penggunaan akal budi, atau sebuah ketundukan buta pada sesuatu, tetapi lebih sebagai pengakuan terhadap kelebihan orang lain. Tentang hal itu Gadamer menulis:

Benar bahwa orang peroranglah yang pertama-tama memiliki otoritas; namun otoritas mereka pada ujung-ujungnya tidak didasarkan pada penundukan dan pelepasan akal budi, tetapi pada pengakuan dan pengetahuan- pengetahuan bahwa orang lain lebih unggul dari diriku sendiri dalam penilaian dan wawasan, dan karena alasan ini maka penilaiannya menjadi lebih utama,

8 Ibid., p. 327.

(4)

artinya memiliki prioritas atas penilaianku sendiri. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa otoritas sebenarnya tidak dapat dihadiahkan, tetapi diperoleh dan mesti diperoleh, bila seseorang hendak mengklaim bahwa ia memilikinya. Otoritas bersandar pada pengakuan dan karenanya pada suatu tindakan akal budi itu sendiri yang, seraya menyadari keterbatasannya, menerima bahwa orang lain memiliki pemahaman yang lebih baik. Dalam arti ini otoritas, bila dipahami dengan benar, sama sekali tidak bersangkut-paut dengan ketaatan secara membabi buta terhadap sebuah perintah.10

Dengan demikian tampak jelas bahwa pengakuan terhadap otoritas bukanlah suatu tindakan yang membabi buta atau irasional. Sebaliknya pengakuan itu adalah suatu tindakan akal budi yang menyadari beragam keterbatasannya sendiri. Dalam setiap proses belajar, setiap orang mesti mengakui otoritas semacam ini dari seorang guru, pemimpin atau pakar, sebelum seseorang mampu menemukan dan menyumbangkan sesuatu yang baru. Demikian juga seorang sejarahwan juga mesti mengakui otoritas, keunggulan pengetahuan sejarahwan terdahulu sebelum ia dapat memaknai sejarah tersebut secara lebih tepat dan lebih komprehensif.

2.3. Tentang Tradisi

Tradisi merupakan otoritas paling utama, karena tradisi memiliki keseluruhan proses pelestarian dan pewarisan capaian-capaian budaya di tengah masyarakat di mana kita hidup.11 Kita memiliki tradisi sebelum kita memiliki diri sendiri secara

reflektif. Menurut Gadamer kita selalu berpijak pada tradisi, karena tradisi adalah sesuatu yang dekat dengan kita, ia (tradisi) selalu merupakan bagian dari kita.12

Seseorang menjadi matang dalam berpikir dan mengambil keputusan dengan menggunakan akal budinya sendiri tidak pernah bisa melepaskan dirinya dari tradisi. Karena itu, tradisi bukan semata-mata suatu prakondisi ke mana kita masuk, melainkan kita sendirilah yang menghasilkannya, sejauh kita memahami dan berpartisipasi dalam pengembangan tradisi tersebut. Dengan demikian kita sendirilah yang menentukan tradisi itu lebih lanjut.13

Bila zaman pencerahan dan romantisisme (masih) memahami tradisi sebagai sesuatu yang kontradiksi dengan akal budi dan kebebasan, gagasan Gadamer tentang tradisi justru melampaui kedua posisi yang bertentangan tersebut. Bagi Gadamer, tradisi juga dilandaskan pada akal budi dan kebebasan, karena tradisi berlangsung melalui tindakan manusia untuk menghasilkan dan melestarikannya. Usaha pelestarian ini merupakan suatu tindakan manusia yang terseleksi secara bebas dan

10 Hans – Georg Gadamer, Truth and Method (London: Sheed and Ward, 1988), p. 248. Bdk. Juga

Leo Kleden, Op. Cit., p. 40.

11 Leo Kleden, Loc. Cit.

(5)

sekaligus merupakan usaha revolusi dan pembaharuan.14 Karena itu manusia tidak

mungkin melepaskan diri dari tradisi karena dia sendiri adalah anak dari tradisi, produk tradisi yang kemudian melestarikan tradisi itu secara lebih kreatif.

Pemulihan perspektif Gadamer tentang prasangka, otoritas dan tradisi dimaksudkan untuk menjernihkan historisitas pemahaman. Karena itu untuk mempertajam penjernihan ini, Gadamer mengembangkan konsepnya tentang kesadaran historis-efektif.

3. Wirkungsgeschichtliches Bewutsein (Kesadaran historis-efektif).

Gadamer menjelaskan bahwa kesadaran historis efektif bukanlah kesadaran historis Hegelian yang menempatkan kesadaran dalam atmosfir refleksifitas dan menjadikannya sebagai mediasi sejarah dan masa kekinian. Kesadaran sejarah efektif merupakan suatu kesadaran spekulatif dan dialektis, namun makna dialektis bukanlah mediasi-diri terhadap nalar tetapi merupakan struktur pengalaman itu sendiri.15 Karena itu, bagi Gadamer historisitas pemahaman tidak bersifat kebetulan

tetapi ontologis.

Sejarah yang efektif menurut Gadamer, bergiat melalui prasangka-prasangka, melalui otoritas yang kita andalkan dan melalui tradisi di mana kita termasuk. Karena itu pemahaman historis selalu mengandaikan paradoks historisitas berikut: bagaimana mungkin satu makhluk historis memahami sejarah secara historis? Kalau begitu apa sebenarnya yang dimaksud Gadamer dengan Wirkungsgeschichtliches Bewutsein itu?

(6)

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa Gadamer sangat menekankan ketermasukan seorang sejarahwan pada sejarah. Seorang sejarahwan tidak mungkin melepaskan dirinya dari sejarah hidupnya, sejarah perjalanan pemberian makna terhadap apa yang sudah terjadi, yang memuncak pada yang sekarang. Namun ketermasukan kita pada sejarah juga menegaskan, distansiasi atau jarak historis kita, sebab apa yang hendak kita maknai (dalam sejarah) telah lewat. Distansiasi menjadi momen kritik yang tepat terhadap sejarah untuk menemukan objektifitasnya. Penemuan objek yang benar itu, tidak terlepas dari kebenaran setiap tradisi (tertulis) yang diwariskan oleh generasi terdahulu melalui teks-teks sejarah.

Menurut Gadamer kesadaran sejarah efektif mencakup relasi dengan sejarah di mana teks tidak pernah sepenuhnya dan secara objektif merupakan hal ‘lain’, karena pemahaman bukanlah ‘rekognisi’ pasif dari keberadaan masa lalu namun lebih dari itu merupakan suatu penempatan diri seseorang sehingga dimungkinkan klaim oleh yang lain.17 Di sini Gadamer menekankan ketermasukan primordial kita

pada sejarah itu sendiri. Kita selalu berada dalam sejarah dan kemanjuran historis itu bergiat juga dalam pemahaman ilmiah kita tentang sejarah, termasuk teks-teks yang diwariskan oleh sejarah masa lampau. Ketika sebuah teks historis dibaca ‘semata historis’, maka suasana kekinian telah menjadi dogmatis dan ditempatkan di luar pertanyaan dan persoalan yang akan diajukan. Di sisi lain, kesadaran sejarah efektif tidak melihat masa kini sebagai puncak kebenaran; ia membiarkan dirinya terbuka bagi klaim di mana kebenaran dalam karya dapat mengarah kepadanya. Orang yang memiliki pengalaman tidak lagi semata memiliki pengetahuan objektif, namun lebih memiliki pengalaman yang tidak dapat diobjektifkan yang telah mematangkannya dan menjadikannya terbuka terhadap tradisi dan masa lampau.18

Kesadaran kita tentang kemanjuran sejarah sebenarnya merupakan suatu kesadaran reflektif tentang paradoks antara distansi dan kedekatan sejarah. Ada distansi karena sejarah mengisahkan berbagai tindakan manusia dan peristiwa yang telah terjadi di masa lampau dan kini sama sekali tidak lagi berlangsung. Namun bagaimanapun ada kedekatan tertentu sejauh kejadian-kejadian di masa lampau itu tetap efektif dan bergiat dalam masa kini melalui seluruh warisan budaya.19 Karena

itu kesadaran sejarah efektif itu mestinya dapat dirumuskan dalam tiga tema berikut.

Pertama, Kesadaran historis efektif dimungkinkan melalui suatu dialektika antara ketermasukan dan distansiasi.20 Di satu pihak, kita dapat menjadikan sejarah

17 Richard palmer, Op. Cit., p. 228. 18 Ibid.

(7)

melulu sebagai objek (distansiasi) karena kita secara niscaya termasuk dalam proses sejarah; dan kesadaran kita sendiri terkondisi secara historis. Di pihak lain, sejarah bukan semata-mata suatu prakondisi di mana kita masuk, melainkan kita sendiri jualah yang menghasilkannya, dan kita sendirilah yang menentukan perkembangannya lebih lanjut.21

Kedua, Dialektika antara ketermasukan dan distansiasi memilki dua konsekuensi.22 Di satu pihak, ketermasukan kita pada proses sejarah memustahilkan

kita membuat suatu peninjauan menyeluruh untuk menangkap semua dampak sejarah itu sekejap mata melalui satu pandangan tunggal. Di pihak lain, distansiasi menyanggupkan kita untuk melampaui situasi tertentu saat ini. Karena itu, ada satu kemungkinan untuk melihat situasi kita sekarang ini dari rupa-rupa sudut pandang.

Ketiga, paham tentang kesadaran sejarah yang efektif berpuncak dalam pembauran horizon. Menurut Gadamer horizon adalah “cakrawala penglihatan yang merangkum segala sesuatu yang dapat dilihat dari satu sudut pandang tertentu”.23

Karena itu Gadamer berbicara tentang pemahaman sebagai peleburan horizon. Memahami berarti mengalami peleburan antara yang sudah dikenal dan yang belum dikenal.24 Menurut Gadamer, untuk memahami pembauran horizon maka kita harus

ingat bahwa kita tidak berada dalam horizon yang tertutup, juga tidak dalam horizon yang unik. Kita selalu berada dalam keterbukaan sebuah horizon. Horizon kita dibentuk oleh kejadian masa lampau dan situasi kita saat ini. Tentang hal itu Gadamer mengatakan:

… horizon masa kini tidak bisa dibentuk tanpa masa lalu. Tidak ada lagi sebuah horizon masa kini yang terasing tidak lebih daripada horizon historis. Agaknya pemahaman selalu merupakan penggabungan dari horizon-horizon yang kita bayangkan ada dengan sendirinya… Di dalam sebuah tradisi, proses penggabungan ini secara terus-menerus berlangsung, karena di sana yang lama dan yang baru secara terus-menerus berkembang bersama untuk membuat segalanya yang hidup bernilai.25

Melalui kutipan di atas tampak jelas konsep Gadamer tentang pembauran horizon, antara horizon masa lalu dan horizon yang sekarang. Hal itu dijelaskan Gadamer dalam uraiannya tentang teks-teks historis. Sebuah teks dari masa lalu memiliki horizon historisnya sendiri, sama seperti pembaca saat ini yang memiliki cakrawalanya sendiri. Dalam proses pemahaman si pembaca berupaya sejauh mungkin untuk memahami teks itu seturut horizon teks itu sendiri, namun reproduksi

21 Ibid. 22 Ibid., p. 44.

23 Gadamer, Kebenaran dan Metode, Op. Cit., p. 364.

24 Paul Budi Kleden, Membongkar Derita: Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi

(Maumere: Ledalero, 2006), p. 62.

(8)

total masa lampau sebagai masa lampau adalah hal yang mustahil.26 Pada akhirnya

kita hanya dapat memahami dari sudut pandang kita dalam horizon sekarang ini. Pembauran horizon merupakan syarat mutlak yang memungkinkan suatu mediasi atau komunikasi antara dua kesadaran yang tersituasikan secara berbeda. Melalui pembauran horizon ini horizonku yang sekarang senantiasa mengalami pergeseran dan perubahan lewat teks-teks yang kubaca. Horizonku akan senantiasa terbuka dan melampaui apa yang kusadari sekarang. Horizon pengalaman masa lalu senantiasa melebur dengan cakrawala masa kini untuk mencapai pemahaman yang tepat terhadap sejarah. Karena itu, pembauran horizon menjadi jawaban Gadamer terhadap pertanyaan pelik menyangkut bagaimana seorang makhluk historis memahami sejarah secara historis.

4. Catatan Kritis

Sumbangan Gadamer terpenting terhadap pemahaman sejarah tampak dalam

konsepnya tentang kesadaran historis efektif (wirkungsgeschichtliches Bewutsein). Dalam paham ini Gadamer merumuskan secara sangat bagus historisitas pemahaman yang terkondisi oleh bahasa. Bahasa adalah mediasi antara masa lalu dan masa kini. Namun dalam perdebatannya melawan keterasingan distansiasi, Gadamer secara berlebihan menekankan ketermasukan primordial seorang sejarahwan, sehingga ia gagal melihat nilai positif penjarakan (distansiasi) tersebut. Padahal, distansiaisi itu penting dalam usaha mengkritisi warisan masa lampau, agar kita dapat menemukan objektifitasnya. Distansiasi adalah suatu sikap fundamental yang memungkinkan kita meluruskan sebagian prasangka kita, membuat pertimbangan kritis dan menafsir ulang tradisi kita, dan hanya dengan cara ini kita dapat dan mampu melestarikan dan mengembangkan warisan budaya kita. Jelas bahwa distansiasi total tetap mustahil bagi makhluk yang terbatas secara historis; namun derajat tertentu penjarakan itu secara niscaya diandaikan oleh proses sejarah yang efektif.27 Semua kesadaran

sejarah yang efektif tidak saja ditentukan dan dibatasi secara historis, tetapi juga menentukan dan membatasi secara historis.28

Kesadaran sejarah efektif berpuncak pada peleburan horizon (Horizontverschmelzung). Ini berarti bahwa semua pemahaman historis dan interpretasi atasnya berakhir pada titik di mana horizon teks dan horizon penafsir melebur. Namun Gadamer mengingatkan bahwa pembauran itu bukanlah sebuah

26 Leo Kleden, Op. Cit., p. 45. 27 Ibid.

(9)

proses yang serampangan.29 Pemahaman kita atas sebuah teks dipandu oleh apa yang

dikatakan atau pokok persoalan dalam teks. Justru pokok persoalan teks itulah yang mengarahkan pembicaraan atau interpretasi sehingga bisa tercapai pembauran horizon.30 Namun kesukaran yang kita hadapi ialah bagaimana menentukan apakah

kita sungguh-sungguh memiliki pembauran horizon (fusion of horizons) dan bukannya kerancuan horizon (confusion of horizons).31 Pertanyaan ini menjadi sulit

dijawab lantaran Gadamer tidak mengembangkan metode menyangkut interpretasi, bahkan dia sendiri menjadi penentang setiap metode.

Pembauran horizon mengandaikan semua pemahaman historis berciri produktif, dan bukannya reproduktif. Makna sebuah teks selalu terlahir baru setiap kali seorang menafsir dan memahaminya. Namun Gadamer mengingatkan, pemahaman produktif itu tidak niscaya menyiratkan bahwa kita memahami lebih baik dari pada sang pengarangnya sendiri, karena hal itu bisa berarti bahwa kita dapat mereproduksi pemahaman sang pengarang dan membandingkannya dengan pemahaman kita sendiri. Gadamer lebih rendah hati dengan mengatakan “cukuplah bila dikatakan bahwa kita memahami secara berbeda, itu pun kalau kita memang memahami”.32 Setiap pemahaman terhadap sejarah selalu terjadi dalam peleburan

horizon antara horizon penafsir dengan horizon teks. Seorang penafsir tidak mungkin dapat melepaskan horizonnya saat ini. Seluruh kesadaran diri dan horizon berpikirnya bergiat ketika dia hendak memahami setiap teks yang diwariskan masa lampau. Oleh karena itu, setiap kita adalah bagian dari tradisi (sejarah) dan dibentuk oleh tradisi dalam setiap usaha pencarian dan pemberian makna hidup untuk mencapai kesadaran diri yang lebih penuh di masa yang akan datang.

5. Penutup

Kritik terhadap historisitas kesadaran oleh Gadamer merupakan usaha ‘pelurusan’ terhadap ‘prasangka’ zaman pencerahan. Pencerahan tidak pernah setuju dengan konsep tentang prasangka, tradisi dan otoritas. Bagi pencerahan konsep kunci yang dikembangkan Gadamer ini adalah kontra rasional dan mesti diluruskan. Gadamer justru lebih positif menanggapi kecurigaan zaman pencerahan. Bagi

29 Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid.

(10)

Gadamer setiap usaha seorang sejarahwan untuk memahami warisan masa lampau, tidak terlepas dari prasangka (penilaian awalnya), otoritas (pengakuan akan kemampuan yang lebih dari orang lain) dari para pewaris tradisi, dan tradisi itu sendiri sebagai otoritas tertinggi. Bagi Gadamer, kita mustahil dapat memahami sesuatu tanpa ‘mengaktifkan’ prasangka, mengakui otoritas para pewaris tradisi, dan tradisi itu sendiri yang telah membentuk dan membesarkan kita. Karena itu, agar pemahaman akan sejarah menjadi lebih sempurna, Gadamer mengembangkan konsep kesadaran historis efektif sebagai sumbangan terbesarnya terhadap usaha seorang makhluk historis memahami peristiwa historis. Kesadaran sejarah yang efektif berpuncak dalam peleburan horizon.

Peleburan horizon menjadi perjumpaan yang tepat antara horizon teks dengan horizon penafsir. Dalam perjumpaan itu, horizon teks akan bertemu dengan horizon penafsir untuk mencapai pemaknaan yang untuh dan integral terhadap teks. Gadamer lebih jauh menekankan pemaknaan yang produktif terhadap teks, agar teks menjadi sesuatu yang memiliki daya transformatif bagi setiap penafsir. Setiap momen perjumpaan dengan teks akan membawa pembaharuan sikap dan tingkah laku bagi sang penafsir, dan sejarah menjadi peristiwa yang bermakna bagi seorang sejarahwan.

OLEH YAKOBUS SILA

NPM: 05.75.4108

DAFTAR PUSTAKA

Gadamer, Hans- Georg. Truth and Method.London: Sheed and Ward, 1988.

(11)

Heidegger, Martin. Being and Time. New York: SUNY Press, 1996.

Kleden, Leo. “Hans- Georg Gadamer: Historisitas Pemahaman.”. Dalam

Hermeneutika Modern dan Kontemporer (ms),Maumere: STFK Ledalero, 2008

Kleden, Paul Budi. Membongkar Derita: Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi. Maumere: Ledalero, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

The objective of this study was to elucidate the effect of goat manure and Urea application with EM4 and to obtain the best dose of combination in order to improve growth and yield

MENINGKATKAN KECERDASAN KINESTETIK ANAK MELALUI RANGSANGAN AUDITIF DALAM PEMBELAJARAN TARI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Amelioration using 2.5 t/ha manure, liming with dolomite equivalent to 20% of Al saturation, and NPK fertilizer at dose of 45 kg N - 72 kg K 2 O – 60 kg P 2 O 5 /ha improved

Kita umumnya lebih bersedia dalam memenuhi permintaan untuk melakukan beberapa tindakan jika tindakan tersebut konsisten dengan apa yang kita percaya dilakukan atau dipikirkan

Setelah selesai mengajar baik guru kelas maupun guru pamong memberikan arahan dan saran terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan sebagai bahan

Buat program Java untuk menghitung nilai faktorial sebuah

Hasil penetapan kandungan fenolat total (GAE), dan kandungan flavonoid total (QE) dapat dilihat pada Tabel 3, dimana sampel yang memiliki kandungan total fenolat dan

Pergunakan huruf kapital sesuai yang digunakan pada teks!... Lani Anak