• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang Desa Adat dalam Memperkuat Hak H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peluang Desa Adat dalam Memperkuat Hak H"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Peluang Desa Adat dalam Memperkuat Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat

1

Oleh

Nurul Firmansyah

A. Pengantar

Desa adat atau disebut juga dengan nagari, huta, marga dan lain-lain adalah unit pemerintahan (politik), sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat hukum adat. Desa adat adalah susunan asli yang mempunyai hak-hak asal

usul berupa hak mengurus wilayah (hak ulayat) dan mengurus kehidupan masyarakat hukum adatnya. Dalam

menjalankan pengurusan tersebut, Desa adat mendasari diri pada hukum adat untuk mengatur dan mengelola

kehidupan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya.

Pada masa rezim orde baru, desa adat mengalami tekanan luar biasa dari negara melalui penyeragaman sistem

pemerintahan desa dalam kesatuan administrasi sentralistik melalui UU 5/79 tentang Desa. Desa (termasuk

desa adat) tidak lagi berdaya dalam mengurus masyarakat hukum adat berdasarkan hukum adat. Desa orde

baru telah menjadi “perpanjangantangan” pemerintah pusat yang bertindak dan berprilaku seragam dalam

komando yang sentralistik. Desa adat kemudian hancur sebagai unit pemerintahan, sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat hukum adat. Desa adat terpecah-pecah menjadi desa-desa administrasi atau tidak diakui sebagai

unit pemerintahan asli (asal usul) masyarakat hukum adat.

Seiring dengan itu, wilayah desa adat terbagi-bagi dalam pengurusan berbasis sektor sumber daya alam oleh

pemerintah melalui undang-undang sektoral Sumber Daya Alam, seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan

dan lain-lain. Hak ulayat menjadi persil-persil yang terpecah-pecah di tangan pengurus tanah, hutan, dan

tambang dalam institusi pemerintah. Akibatnya, masyarakat hukum adat kehilangan penguasaan dan akses atas

sumber daya alamnya. Konflik pun membara dimana-mana. Dalam catatan HuMa (2012) terdapat 232 konflik

sumber daya alam dan agraria. Konflik berlangsung di 98 kota / kabupaten di 22 provinsi. Luas area konflik

mencapai 2.043.287 hektar (ha), atau lebih dari 20.000 kilometer persegi (km²) dengan korban sebanyak

91.968 orang dari 315 masyarakat hukum adat.

B. Otonomi Daerah ; “Jauh Panggang Dari Api”

1Artikel ini juga diterbitkan pada :

(2)

Runtuhnya rezim orde baru yang melahirkan reformasi tahun 1999 mendorong perubahan struktur

pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik atau lazim disebut dengan otonomi daerah. Ternyata

otonomi daerah tidak merubah banyak kondisi desa adat dan masyarakat hukum adat. Reformasi hanya

melahirkan delegasi kekuasaan antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah (otonomi daerah). Desa dalam

hal ini tetap menjadi unit pemerintahan yang menjalankan fungsi pelimpahan administratif semata, yang

dahulunya di dominasi oleh pemerintah pusat menjadi dominasi pemerintah daerah.

Di beberapa tempat, beberapa Pemerintah daerah menangkap perubahan sistem pemerintahan untuk

memperkuat desa melalui basis hukum UU Pemda dan PP 72/2005 tentang Desa. Implementasi penguatan

tersebut melalui Peraturan Daerah (Provinsi dan Kabupaten) yang mengatur desa termasuk didalamnya desa

adat, seperti yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat dengan nagari dan Provinsi Bali dengan desa adat dan

desa dinas. Penguatan tersebut ternyata belum mampu mengembalikan keutuhan desa adat dan hak

asal-usulnya. Desa masih menjadi unit pemerintahan administrasi yang menjalankan tugas-tugas pemerintah pusat

dan daerah oleh desa, sedangkan desa adat masih tetap terbagi-bagi dalam desa administratif.

Walaupun terdapat desa administratif yang mempunyai wilayah yang sama dengan desa adat seperti nagari di

Sumatera Barat, tetap saja terdapat dualisme sistem pemerintahan desa antara desa administratif yang

dijalankan wali nagari dengan desa adat yang dijalankan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dualisme

kelembagaan desa melahirkan konflik kewenangan untuk menjalankan hak asal usul terutama terkait

pengurusan wilayah adat (hak ulayat). Hal tersebut berakibat pada lemahnya vitalitas nagari (desa adat) dalam

mengekspresikan hak asal usulnya. Di sisi lain, penguasaan sumber daya alam masih ditangan pusat.

Pemerintah pusat mendominasi kekuasaan atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya. Tanah-tanah adat

(ulayat) masih terbagi-bagi oleh sektor pengurusan sumber daya alam oleh pemerintah.

C. Desa Adat dalam UU Desa : “HarapanBaru”

UU 6/2014 (UU Desa) berupaya mengkoreksi kesalahan-kesalahan Negara dalam mengatur desa dan

masyarakat hukum adat. UU desa ingin mengembalikan hak asal usul yang melekat pada desa adat untuk

mengurus kehidupan masyarakat hukum adat dan pengurusan wilayah masyarakat hukum adatnya (hak ulayat).

UU Desa mengakomodir desa dan hak asal–usul tersebut melalui pengaturan desa adat. Desa adat dalam UU

Desa mempunyai peluang dalam menjawab persoalan hak-hak masyarakat hukum adat, seperti yang dijelaskan

dibawah ini:

(3)

Desa adat dalam UU Desa adalah pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dalam

sistem pemerintahan, yaitu menetapkan unit sosial masyarakat hukum adat seperti nagari, huta,

kampong, mukim dan lain-lain sebagai badan hukum publik. Desa adat sebagai badan hukum publik

mempunyai kewenangan tertentu berdasarkan hak asal usul (pasal 103), yaitu :

1. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli atau dengan kata lain

pemerintahan berdasarkan struktur dan kelembagaan asli, seperti nagari, huta, marga dan lain-lain,

2. Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat,

3. Pelestarian nilai sosial dan budaya adat,

4. Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat yang selaras dengan Hak Asasi Manusia,

5. Penyelenggaraan sidang perdamaian desa adat yang sesuai dengan UU yang berlaku,

6. Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat,

7. Pengembagan kehidupan hukum adat.

Selain menjalankan tugas kewenangan berdasarkan hak asal usul diatas, desa adat juga menjalankan

kewenangan yang dilimpahkan pemerintah pusat dan daerah. Sehingga desa adat adalah perpaduan

unit sosial masyarakat adat dengan unit pemerintahan. Dalam konteks ini, desa adat adalah

Quasi-negara.

2) Memperkuat hak-hak konstitusional Desa Adat (hak asal usul)

Kewenangan desa adat secara hukum lebih kuat dibandingkan pengaturan desa dalam UU Pemda.

Sifat kewenangan desa dalam UU Pemda adalah delegatif, yaitu menjalankan kewenangan Pemda

oleh desa, sedangkan dalam UU Desa bersifat atributif, yaitu menjalankan kewenangan berdasarkan

UU secara langsung sebagai perwujudan pelaksanaan UUD 1945, khususnya pasal 18 dan 18 B ayat 2.

Konsekuensi hukumnya adalah desa adat mempunyai kewenangan yang kuat dalam menjalankan hak

asal usulnya yang dijamin UU.

3) Mempertegas garis antara Desa Adat (volksgemeenschappen) dengan Kerajaan (Zelfbesturende

Landschappen)

Susunan asli dalam pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) terdiri dari : (1) kerajaan/kesultanan

(Zelfbesturende Landschappen) dan (2) Desa adat (Volksgemeenschappen). Kedua susunan asli

(4)

perbedaan termasuk hak asal usulnya. Kerajaan adalah negara tradisional yang hidup sebelum negara

Indonesia lahir, sedangkan desa adat adalah unit sosial masyarakat hukum adat. Dalam kerajaan bisa

terdapat unit-unit sosial masyarakat hukum adat.

Implementasi pengakuan Kerajaan dalam sistem pemerintahan Indonesia hanya terjadi terhadap DIY

Yogyakarta, melalui UU 13/2012. UU ini mengakui keberadaan DIY Yogyakarta beserta hak-hak asal

usulnya dalam sistem pemerintahan sebagai unit Pemerintah Daerah. Artinya, pengakuan kerajaan

dalam sistem hukum Indonesia dilaksanakan melalui instrumen UU. Hal tersebut berbeda dengan

Desa Adat. Desa Adat adalah susunan asli dari unit sosial masyarakat hukum adat berupa nagari, huta,

marga dan lain-lain. Artinya, hak-hak asal usul desa adat adalah hak asal usul yang melekat pada

masyarakat hukum adat, terutama yang terkait dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dengan

dilahirkannya UU Desa, maka ruang lingkup pengakuan hak asal usul desa adat adalah pengakuan

hak-hak masyarakat hukum adat bukan kerajaan.

D. Penutup

Akhir kata, penulis menutup artikel singkat ini dengan merujuk risalah PPKI (Sekretariat Negara Republik

Indonesia, 1995) yang menjelaskan pernyataan Moh. Yamin tentang pentingnya pengakuan desa adat :

“… Kesanggupan dan kecakapan Bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak tanah yang semenjak beribu-ribu tahun menjadi dasar negara dan rakyat murba, dapat diperhatikan pada susunan

persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan

Referensi

Dokumen terkait

Telah dipenksa dan divalidasi dengan baik, dan sampai pernyataan ini dibuat sebagai karya ilmiah original / plagiat*, sehingga kami turut bertanggung jawab bahwa karya ilmiah

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

1 AMAG-R RIGHT I ASURANSI MULTI ARTHA GUNA Tbk Asuransi Multi Artha Guna Tbk, PT 150 21-Oct-2011 2 CFIN-R RIGHT V CLIPAN FINANCE INDONESIA Tbk Clipan Finance Indonesia Tbk, PT 400

Menurut Bapak/Ibu, berapa luas lubang asap dapur yang terdapat pada rumah sehatb. Tidak ada lubang

Jelaslah bahwa bahasa Inggris sangat potensial dalam pengembangan suatu usaha mengingat di era globalisasi, seorang wirausaha dituntut mau tidak mau untuk bersaing

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan kuesioner. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 17 Juni 2009 sampai dengan tanggal 26 Juni 2009 dan

Keberhasilan Mangkunegoro VII dalam mendirikan organisasi kepanduan kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh kebangsaan lainnya, Kasunanan Surakarta juga nampaknya tidak mau

Setiap pemain harus dapat menguasai keterampilan bermain bola voli, agar mampu untuk berprestasi, akan tetapi setelah peneliti melakukan survei atau observasi pada UKM BolaVoli