Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan
Dinamika Diasporanya #2
By Hikmawan Saefullah - Aug 11, 2013
Bagian #1
Dinamika Asimilasi Arab Hadrami: Eksklusifme Kaum Sayyid
Kaum Arab Hadrami yang datang ke Nusantara sebelum abad ke18 telah berasimilasi penuh dengan penduduk lokal. Sebagai produk asimilasinya, banyak anak keturunannya yang menggunakan namanama lokal daripada namanama Arab. Sedangkan mereka yang datang setelah abad ke18, lebih sedikit yang melakukan asimilasi. Kaum migran Arab Hadrami yang kebanyakan terdiri dari golongan Sayyid (keturunan Nabi Muhammad SAW) dan Masyaikh (keturunan sahabat Nabi) dari masa ini hanya melakukan pernikahan sesama golongannya sendiri.
Hal ini terutama dilakukan oleh keluarga dari golongan Sayyid/Alawiyyin. Sebagaimana dijelaskan oleh Lodewijk Willem Christiaan Van den Berg (1886/2010) “Anakanak perempuan seorang Sayyid tidak boleh menikah dengan lelaki yang bukan golongan Sayyid. Kepala suku yang paling kuat sekalipun tidak dapat menikah dengan anak perempuan dari golongan Sayyid dengan tingkatan yang paling rendah. Namun, seorang Sayid dapat menikah dengan siapapun yang ia sukai.”
Bagi kelompok Sayyid yang konservatif, adalah terlarang hukumnya menikahkan puteri puteri mereka (Syarifah) dengan lakilaki nonSayyid (Syaikh dan pribumi/ahwal). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Hisyam (1984), hanya pihak lakilaki sajalah yang dapat meneruskan gelar kesayyidan, bukan Syarifah. Maka dari itu, lelaki sayyid boleh menikah baik dengan wanita sayyid/syarifah atau nonsayyid. Sebaliknya, jika ada wanita sayyid/syarifah yang menikah dengan nonsayyid, akan dianggap sebagai onmere atau pelanggaran. Dan yang syarifah yang melakukan pelanggaran mesti dihukum berat, antara lain (Assagaf 2000: 25556): “Ia harus pergi dari desa, dianggap mati, dibunuh atau dianggap tidak pernah ada di dunia, serta diputuskan segala hubungan dengan mereka.”
Muhammad Hasyim Assagaf, penulis buku Derita Putriputri Nabi: Studi Historis Kafa’ah
Syarifah selanjutnya menambahkan dari pengalamannya, bagaimana ia menyaksikan
berbagai kasus yang memilukan yang terjadi pada syarifah yang melakukan pelanggaran terhadap tradisi ini (Assagaf 2000: 256): “Seorang yang gadis (syarifah) ketahuan berhubungan kasih dengan lelaki bukan sayyid akan digunduli dan dikurung dalam kamar. Ia akan segera dinikahkan dengan seorang pemuda sayyid. Si sayyid biasanya bersedia menikah dengan gadis itu demi membela martabat syarifah.”
Menariknya kaum Sayyid yang berpegang teguh pada tradisi ini sebenarnya mempunyai nenek moyang nonsyarifah, dimana para Sayyid yang datang ke Nusantara setelah abad ke18 tidak membawa wanitawanita mereka dan kemudian menikahi wanitawanita pribumi.
Maka dari itu para muwallad Arab Hadrami yang ada di Indonesia sekarang, seperti diantaranya Anies Baswedan (Universitas Paramadina), Habib Rizieq (FPI), Ja’far Umar Thalib (Laskar Jihad), almarhum Munir (KONTRAS), Husein Muhammad (Fahmina dan Rahima) sebenarnya bermoyangkan (beribukan) orang asli Indonesia. Kaum muwallad Arab suka menyebut orangorang pribumi nonArab sebagai ahwal (saudara seibu mereka). Namun karena kuatnya tradisi patriarki dalam kultur arab, identitas asli buyut dari garis ibu ini tidak dianggap signifikan dalam silsilah mereka. Buyut ibu lokal demikian hanya dianggap sebagai ‘penerus’ kesayyidan buyut dari garis ayahnya.
Modernisasi Tradisi dan Konflik Kafa’ah Syarifah: Irsyadi vs. Alawi
Para sarjana Muslim ini menitik beratkan pembaharuannya dalam upaya menyegarkan kembagi ajaran agama Islam, fungsi pendidikan dan mengefektifkan politik pergerakan di tengah masyarakat muslim dunia. Selama ini ajaran para sarjana Muslim ini selalu dikenal sebagai ajaran untuk memberantas praktek bid’ah dan khurafat dalam masyarakat muslim.
Sayyid Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh melakukan gerakan pembaharuannya ini dengan menerbitkan tulisantulisan mereka lewat majalah AlManar, yang menitik beratkan pada pentingnya pembangunan/perbaikan sistem pendidikan. Karena menurut mereka, hanya melalui pendidikan lah umat muslim dapat terbebaskan dari belenggu keterbalakangan dan kebodohan.
Pendekatan modern ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh lembaga dan sarjana Muslim yang ada di Indonesia. Antara lain seperti Yayasan Jamiat Khayr yang didirikan oleh Muhammad AlFakhir, Idrus bin Ahmad bin Syihabuddin, Muhammad bin Abdullah bin Syihabuddin, dan Sayid Syehan bin Syihab pada tahun 1903 di Batavia (Jakarta).
Yayasan pendidikan yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan Islam ini, sebenarnya ditujukan untuk masyarakat umum, meskipun kebanyakan murid dan anggotanya terdiri dari orangorang keturunan Arab. Pada tahun 1911, Jamiat Khayr mengundang tiga sarjana muslim terkemuka dari Arab, yaitu Syekh Muhammad Thaib dari Maroko, Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekah dan yang terakhir, Syekh Ahmad Soorkati dari Sudan. Yang terkahir ini sangat dikenal sebagai sarjana Muslim yang aktif, gigih dan menonjol dalam mendidik kaderkader muslim di Jami’at Khayr dan nantinya, di alIrsyad al Islamiyyah.
Syekh Syurkati, sebagai guru di Jami’at Khayr yang tinggi ilmunya, sebelumnya sangat dihormati oleh komunitas Arab Hadrami, khususnya dari kalangan Sayyid/Alawiyyin. Namun keadaan ini kemudian berubah 2 tahun kemudian (1913) ketika di Solo, Syurkati mengeluarkan fatwa yang membolehkan gadis keturunan Alawi (Syarifah) menikah dengan pria bukan keturunan Alawi (nonSayyid).
Fatwa ini membuat berang banyak kaum ArabHadrami dari golongan Sayyid/Alawiyyin di Indonesia. Banyak diantara tokoh Sayyid yang sebelumnya menghormati Syukari berbalik membenci Syurkati. Hal ini terjadi karena fatwa yang dikeluarkan Syurkati sangat bertentangan dengan ijtihad kebanyakan para ulama dari golongan Sayyid/Alawiyyin di tempat asalnya, Hadramaut.
yang paling dimuliakan. Dan diantara suku Quraish, bani Hasyim lah yang paling tinggi. Dan diantara bani Hasyim, (keluarga) Nabi Muhammad lah yang paling utama.
Seggaff bin Ali AlKaff (1992: 37) dalam bukunya Diraasat fi Nasab asSaadat banii ‘Alawii, bahkan mengutip hadis dari AtTabarani dalam kitab alKabir: “Membenci Bani Hasyim dan Ansar adalah kufur dan membenci orang Arab adalah Nifaq.”
Syurkati menolak pemahaman sistem pernikahan yang didasarkan pada kafa’ah nasab seperti yang diyakini kebanyakan kaum Alawiyyin. Menurutnya, Islam sama sekali tidak menerapkan rasialisme dan superioritas kesukuan dalam pernikahan.
Bagi Syurkati, orang Arab tidak lebih tinggi derajatnya daripada orang nonArab. Hal ini didasarkan pada AlQur’an di surat AlHujuraat ayat 13 dimana dikatakan bahwa manusia itu diciptakan berbangsabangsa dan bersukusuku untuk saling mengenal (li atta’arafuu), dan yang paling mulia diantara mereka adalah yang bertaqwa (at Qaaqum). Selain itu juga ada hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa derajat manusia itu setara seperti gerigi sisir (annaasu sawaasiyatu ka asnan almusyth).
Sandaran fatwa Syurkati juga sejalan dengan pendirian Muhammad Hasyim Assagaf (2000) dan mazhab Ahlul Bayt (Syi’ah) yang tidak melarang wanita keturunan Alawi (Syarifah) untuk menikah dengan lelaki nonAlawi (nonSayyid). Assagaf (2000: 256) mengutip perkataan ulama besar abad 1718, Sayyid Muhammad bin Ismai’l alKahlani alShan’aani yang mengatakan bahwa tradisi kafa’ah syarifah bermula dari Imam alMutawakkil Ahmad bin Sulaiman (11381170M) yang mengharamkan “wanita Fathimah dengan selain lelaki Fathimah”. Menurut alShan’aani, larangan tersebut tidak ada landasannya, dan tidaklah Imam Mazhab alHaadi alaihissalam melarangnya.
Pedasnya penolakan kaum Alawiyyin terhadap fatwa Syurkati yang membolehkan pernikahan antara perempuan Syarifah dengan lelaki nonSayyid/Alawiyyin menyebabkan pengucilan mereka terhadap Syeikh Syurkati.
Tidak lama setelah itu Syekh Syurkati dan kawankawan dekatnya mengundurkan diri dari Jamiat Khayr pada tahun 1913. Kemudian kelompok Arab Hadrami dari kalangan non Alawiyyin (Masyaikh) memberikan simpati kepada Syekh Syurkati dan membujuknya untuk mengajar di madrasah yang mereka dirikan, yang kemudian pada taun 1914 diberi nama oleh Syurkati, alIrsyad alIslamiyyah atau disingkat alIrsyad.
Irsyadi’. Sebutan kaum alIrsyadi ini muncul sebagai oponen dari kaum Alawi atau Sayyid. Dikotomi alIrsyadi dan alAlawi ini baru muncul sebagai konsekuensi sengitnya perdebatan, bahkan permusuhan antara kedua kelompok tersebut mengenai fatwa yang dikeluarkan oleh Syurkati di Solo.
Namun tidak semua dari golongan Alawi membenci Syurkati. Sayyid Abdullah bin Alwi Alattas, seorang Intelektual Arab dan pedagang kaya dari golongan Alawiyyin justru tetap menjaga persahabatannya dengan Syurkati, terlepas dari fatwa yang dikeluarkan Syurkati. Sayyid Abdullah bahkan memberikan F 60.000 kepada Yayasan AlIrsyad ketika awal berdirinya.
Semangat Perubahan dan Persatuan kaum Arab Hadrami: Partai Arab Indonesia (PAI)
Sejak perpecahan internal di kalangan masyarakat ArabHadrami, beberapa upaya persatuan dilakukan oleh berbagai pihak. Baik mereka yang berasal dari golongan Alawi, maupun Irsyadi turut aktif membangun upaya rekonsiliasi. Menurut Bisri Affandi (1999) bahkan Raja Arab Saudi saat itu, Abdul Aziz bin Saud pun pernah ikut turun tangan, namun semua usaha yang pernah ada hanya menemui kegagalan.
Harapan muncul pada 4 Oktober 1934 ketika upaya persatuan dan perdamaian masyarakat Arab di Indonesia diinisiasi oleh seorang wartawan dan nasionalis muda peranakan Arab yang bernama Abdurrachman (AR) Baswedan (Kakek dari Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina dan pendiri Indonesia Mengajar).
mengisolasi diri (tidak berbaur dengan masyarakat nonArab), memenuhi kewajiban sebagai warga negara Indonesia, serta membela kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Ikrar Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab ini kemudian melahirkan Partai Arab Indonesia (PAI) di tahun 1940 yang setahun kemudian diakui sebagai bagian dari Gabungan PartaiPartai Politik Indonesia (GAPPI) dan menuntut agar Indonesia berparlemen. Persoalan tafadul yang didasarkan pada keturunan di kalangan masyarakat Arab Hadrami di Indonesia ini akhirnya berhasil diakhiri. Tidak ada lagi pertentangan antara ‘Partai Syekh’ dan ‘Partai Sayyid’. Sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab, kaum peranakan Arab di Indonesia diharuskan untuk memanggil sesamanya dengan AlAkh, yang artinya ‘saudara’. Sejak saat itu pula, gelar Sayyid untuk kelompok Alawiyyin tidak lagi populer digunakan lagi di Indonesia.
Meskipun perjuangan PAI untuk tidak lagi mempersoalkan kearaban muwallad Arab di Indonesia, kenyataannya, baik keluarga Arab dari golongan sayyid maupun nonsayyid, tetap jarang menikahkan anakanak mereka dengan orang pribumi atau ahwal. Mereka tetap menikahkan puteraputeri mereka dengan sesama mereka sendiri yang berketurunan Arab. Hanya sedikit aktivis PAI yang mau menerima orang Indonesia sebagai menantu. Hamid AlGadri adalah diantaranya. Meskipun demikian, kini telah terjadi banyak perubahan dimana keluarga Arab Hadrami secara terangterangan dan berani menikahkan puteri mereka dengan lelaki nonArab.
Justifikasi dan Penjelasan Historis Eksklusifme Arab Hadrami
Eksklusifme Arab Hadrami menyandarkan diri pada justifikasi agama yang kebanyakan dianut oleh para pengikut Salafi. Seperti contohnya yang saya sebutkan sebelumnya diatas. Tapi ada beberapa pertimbangan lain yang dapat menjelaskan kenapa eksklusifitas ini begitu kenyal dipertahankan oleh komunitas Arab Hadrami:
Pertama, masyarakat Indonesia pada umumnya dibangun di atas fondasi feodalisme yang sangat kuat. Dimana status sosial seseorang lebih banyak dinilai dari given status dibandingkan achieved status. Contohnya, di masyarakat tradisional, orang yang bergelar ‘Raden’ akan cenderung lebih dihormati oleh penduduk setempat karena status kebangsawanannya, meskipun secara riil ia tidak berbuat banyak untuk pembangunan masyarakatnya.
Arab, dan India sebagai kelompok tertinggi kedua, dan yang terendah, ialah (3) kelompok pribumi. Sederhananya, mana ada orang yang tadinya berada pada posisi teratas dalam hirarki sosial kemudian mau berubah untuk berada pada posisi terbawah?
Kedua, eksklusifisme kaum Arab di Indonesia sangat berkenaan erat dengan konstruksi ide yang rasis yang dibangun oleh kolonialisme Eropa di Yaman. Eropa yang pada masa kejayaan kolonialnya (17001800an) mengklasifikasikan peradaban dunia berdasarkan kategori ras dimana orang kulit putih lebih tinggi dibandingkan orang yang berkulit gelap. John M. Hobson (2005) dalam bukunya yang berjudul The Eastern Origins of Western Civilization menjelaskan bagaimana bangsa Eropa mengklasifikasikan bangsabangsa di dunia kepada 3 jenis: (1) ‘Beradab’ (Civilized), (2) ‘Barbar’ (Barbaric), dan (3) ‘Biadab’ (savage). Melalui pembenaran agama (kristen) dan sains (scientific racism) yang mereka buat, bangsabangsa nonEropa dimasukkan kepada kategori kedua dan ketiga (barbar dan biadab). Dan diantara mereka, barangsiapa yang semakin gelap kulitnya, maka ia termasuk pada kategori ras yang paling ‘biadab’.
Jika dikaitkan dengan kasus kolonialisme di Indonesia, dapat dipahami bagaimana masyarakat pribumi yang saat itu secara umum berkulit gelap, dikategorikan oleh Belanda sebagai masyarakat kelas terendah, setelah bangsa Eropa, Arab, dan Cina. Penting untuk dipikirkan secara baikbaik dan kritis mengapa kaum Arab Hadrami dari generasi pertama (sebelum abad ke18) mempunyai sikap yang berbeda dengan generasi kedua (setelah abad ke18) berkenaan dengan asimilasi. Dimana yang pertama lebih terbuka dibandingkan yang kedua. Jika dilihat dari rentang waktunya, kaum Arab Hadrami dari generasi kedua melakukan diaspora pada saat Imperium Inggris menguasai Yaman.
Pada awal abad ke19 Hadramaut sebagai bagian dari Yaman dijajah oleh Imperium Inggris. Inggris adalah salah satu imperium Eropa yang sangat rasis. Inggris melakukan invasi ke wilayah Yaman Selatan (Aden) tepatnya pada awal tahun 1830an dan terus melakukan ekspansi ke seluruh wilayah Yaman hingga akhir abad ke19. Selama Inggris berkuasa, seluruh warga negara Yaman yang saat itu berada dibawah ‘protektorat’ Inggris harus tunduk kepada sistem hukum yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintahan kolonial. Diantara hukum yang diberlakukan ialah klasifikasi warga negara berdasarkan kelas sosial seperti yang dipaparkan oleh Hobson diatas.
Dan tradisi kolonial yang rasis ini tentunya mempengaruhi orangorang Arab yang melakukan diaspora ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Asia Tenggara, khususnya Nusantara. Tradisi ini kemudian disakralkan dan wajib ditaati oleh para pengikutnya, khususnya oleh kaum Sayyid/Alawiyyin. Demikian untuk dijadikan strategi untuk menjaga otentisitas kearaban mereka yang ‘sepaket’ dengan prestise yang terkandung di dalamnya.
Terakhir, Muhammad Hasyim Assagaf (2000) menegaskan bahwa justifikasi agama atas tradisi yang rasis ini sebenarnya tidak jelas asal muasal dalilnya, seperti yang ia kutip dari alShan’aani. Di bagian penutup bukunya, Assagaf mengatakan bahwa salah satu penyebabnya bersifat historis: dimana kebiasaan pernikahan tertutup kafa’ah syarifah ini dibentuk oleh sejarah permusuhan antara kaum Alawiyyin (keturunan Ali) dengan kaum Khawarij. Dalam konteks konflik, demi alasan agama dan (juga) keamanan, kelompok Alawiyyin terpaksa melakukan pernikahan terhadap sesama anggota kelompoknya sendiri. Selain itu juga, Assagaf (Assagaf 2000: 274) menyandarkan penjelasannya pada kitab Bughyat alMustarsydin yang ditulis oleh Abdurrahman bin Husain alMasyhur alHadrami, bahwa hukum diharamkannya Syarifah untuk menikah dengan nonSayyid itu baru dipopulerkan melalui berbagai publikasi setelah kaum Sayyid di Mekah pada awal abad ke 20 berdemonstrasi agar pernikahan Syarifah yang menikah dengan nonSayyid agar di fasakhkan (karena prestise kaum Sayyid terancam).
Terlepas dari dinamika ini, kebanyakan warga pribumi sejak dahulu melihat tradisi kaum Arab Hadrami yang hanya menikahkan anggota keluarganya dengan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak adil (untuk si wanitanya). Sekarang pun tradisi ini masih dipandang sama oleh masyarakat Indonesia yang bukan keturunan Arab.
Penutup
Ada sedikit kasus yang berbeda terjadi di kalangan Arab Hadrami di Kedah, Malaysia. Sharifah Zaleha binte Syed Hassan, dalam presentasinya di konferensi internasional bertajuk The YemenHadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? di International Islamic University Malaysia (IIUM) 2526 Agustus 2004, mengatakan bahwa warga keturunan Arab di Kedah kini lebih suka disebut sebagai orang Melayu daripada orang Arab (Hassan 2004).