POSITIVISME
_______________________________________________
PENGANTAR
Agus Comte adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah “positivism” dalam bukunya The Course of Positive Philosophy yang diterbitkan pada 1838. Dia dianggap
sebagai bapak Sosiologi dan diakui sebagai pendiri disiplin sosiologi.1 Comte muda, seperti umumnya para pelajar di jamannya di benua Eropa, adalah anak Pencerahan, khususnya
Revolusi Ilmiah yang mulai memberi harapan bahwa sains bisa digunakan atas nama
kemajuan umat manusia.2 Pada saat Comte mulai menulis, semangat moral para Filosof Prancis dipadukan dan diperhalus dengan pandangan bahwa sains dapat menjadi alat untuk
merekonstruksi masyarakat dengan cara yang lebih manusiawi dan adil. Pada 1882, Auguste
Comte menerbitkan pernyataan pertamanya yang jelas mengenai filsafat positifnya dalam
sebuah artikel yang berjudul “Plan of Scientific Operations Necessary for Reorganizing Sosiety”. Bagi Comte, penting untuk menciptakan “sains positif” seperti halnya ilmu pengetahuan lain, dan ilmu pengetahuan ini akan didasarkan pada pengamatan empiric yang
akan digunakan untuk menghasilkan dan menguji hukum-hukum abstrak mengenai organisasi
manusia. Ilmu pengetahuan baru ini kemudian dinamakan “Fisika Sosial” dan setelah hukum
organisasi manusia ditemukan dan dirumuskan, hukum itu harus digunakan untuk
mengarahkan tata kerja masyarakat.
Pendekatan positivisme atau logika positivis, seperti yang dikembangkan oleh Comte
(dan juga diikuti oleh Durkheim dan para sosiolog positivis kontemporer lainnya), berdampak
terhadap metodologi studi social kontemporer. Pendekatan positivisme atau logika positivis
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan metode ilmiah dan metodologi
penelitian social. Positivisme, Seperti dalam teori sosiologi positivisme sangat memerhatikan
ketepatan dalam pembentukan teori atau terikat pada ketepatan konstruksi teori. Teori
terbentuk dari konsep, proposisi, saling hubungan antar proposisi. Melalui penjelasan saling
hubungan antara pernyataan – pernyataan proposisional yang diamati secara empiris inilah
teori itu terbentuk. Dalam kaitan dengan ini, unit dasar suatu teori ialah konsep atau variabel
1 Ulber Silalahi. 2010. Metode Penelitian Sosial. PT Refika Aditama, Bandung. Hal 68.
yang memberikan dasar pengujian empiris. Dalam paradigma positivis atau kuantitatif, suatu
teori harus dapat diuji secara empiris.3
Sekarang, pertanyaannya adalah apa saja yang membangun paradigma positivisme
dalam filsafat, bagaimana positivisme dibangun dalam paradigma ilmu sosial, atau dengan
kata lain bagaimana Comte dan Durkheim membangun positivisme dalam ilmu sosial.
PEMBAHASAN
Positivism berasal dari kata “positive”. Kata positive disini sama artinya dengan
factual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut postivisme, pengetahuan kita tidak
pernah boleh melebihi fakta-fakta.4 Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang
berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data
empiris.5 Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols
mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positive (lawan dari negatif), tegas, pasti,
meyankinkan. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada
sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang
beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang
pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak
sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini
berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang
nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta. Ajaran positivisme
muncul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir
bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya
mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada
pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga
pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman-pengalaman yang subjektif. Tokoh terpenting dari aliran
3 Ulber Silalahi. 2010. Metode Penelitian Sosial. PT Refika Aditama, Bandung, hal 75. 4 Juhaya S. Praja. 2008.
Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Prenada Media, Jakarta. Hal 133.
5 Noeng Muhadjir. 2001. Filsafat Ilmu. Rake Sarasin: Yogyakarta. Hlm. 69-78/
positivisme adalah August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert
Spencer (1820-1903).6
Comte, seperti semua pemikir era pencerahan, terkesan dengan hukum gravitasi
Newton, dan dia merasa bahwa sosiologi mampu membangun hukum yang serupa. Sebagaimana ditegaskannya bahwa karakteristik pertama dari positive Philosophy ialah
bahwa ia menganggap semua fenomena tidak lepas dari hukum alam yang pasti. Yang
menjadi urusan kita adalah melihat betapa sia-sianya penelitian yang dilakukan terhadap apa
yang disebut kausa, yakni penyebab pertama ataukah terakhir. Untuk melakukan penelitian
yang akurat terhadap hukum ini, dengan pandangan untuk mereduksinya menjadi jumlah
yang terkecil. Dengan berspekulasi mengenai penyebab, kita tidak dapat memecahkan
masalah tentang asal-muasal dan tujuan. Urusan kita sebenarnya adalah menganalisis dengan
akurat situasi fenomena, dan mengaitkannya dengan hubungan alami urut-urutan dan
kemiripan. Ilustrasu terbaik dari hal ini bisa diketahui dari kasus doktrin Gravitasi.7
Teori adalah proposisi/pernyataan yang menjelaskan fenomena atau realitas (sosial
atau alam), yang telah dibuktikan kebenarannya melalui prosedur ilmiah. Proposisi
menjelaskan keteraturan (regularity) dari fenomena (alam maupun sosial). Realitas alam
maupun sosial yang diuji melalui metode eksperimental dan menemukan keteraturan, maka
realitas tersebut akan menjadi teori yang dapat diterima kebenarannya. Realitas merupakan
sesuatu yang empris, yakni segala sesuatu yang dapat diidentifikasikan melalui indra. Proses
pengindraan tersebut dapat dilakukan baik secara langsung maupun dengan menggunakan
alat bantu (instrument) dalam melakukan suatu riset.
Positivisme adalah salah satu doktrin dalam epistemologi/filsafat ilmu yang menuntut
bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat dibangun atau diciptakan melalui observasi terhadap
kenyataan-kenyaatn empiris (empirisme). Selain empirisme beberapa paham yang ikut
membangun positivisme adalah objectivisme, measurement, determinisme, reductionisme,
dan value free.
Empirisme
Dalam Kattsoff (2004:132-135) empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang
menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme
6 Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008.
Filsafat Umum. Pustaka Setia, Bandung.
7 George Ritzer dan Barry Smart, 2001. Handbook Teori Sosial. Penerbit Nusa Media dan Diadit Media,
menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika
dilahirkan. John Locke adalah bapak empirisme Britania, menurut pendapatnya sebuah
pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan indera, bahwa pada waktu manusia
dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku cataatan yang kosong, dan di dalam buku catatan
itulah dicatat pengalaman - pengalaman inderawi.8
Menurut Locke seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan
serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan dan refleksi yang
pertama-tama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang
secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi
yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek
material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah
pengetahuan,atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
Kaelan (2009:28) menjelaskan secara singkat bahwa empirisme adalah aliran yang
berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman indera.
Indera memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alam empiris, selanjutnya kesan-kesan
tersebut terkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman.9
Hal ini juga dibahas oleh Russell (2007:799) bahwa empirisme adalah doktrin yang
menyebutkan bahwa semua pengetahuan kita (dengan kemungkinan perkecualian logika dan
matematika) beasal dari pengalaman. Menurutnya ide-ide kita berasal dari dua sumber, (a) indera dan (b) persepsi hasil kerja pikiran kita, yang bias disebut “indera internal”. Karena kita hanya dapat berpikir dengan ide-ide, dan karena semua ini berasal dari pengalaman,
nyatalah bahwa tidak ada pengetahuan kita yang mendahului pengalaman.10
Objectivisme
Angeles (1989:194) menjelaskan objektivisme dalam bukunya :
“Objectivisme is (1) the theory that award: exist in itself in dependently of and external to our comprehension of it. That it is a world which we can come to know about
independently of any subjective view point. (2)The view that knowledge is based on factual
8 Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Terjemahan Soejono Soemargono. Yogyakarta : Tiara
Wacana
9 Kaelan. 2009.
Filsafat Pancasila. Yogyakarta : Paradigma
10Russel, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Terjemahan Agung Prihantoro dkk.Yogyakarta : Pustaka
evidence that : is discovered by objective method of science and reasoning and describes
thing as they are. (3) the view that the only meaningful (true) knowledge is that which is derived from and/or confirmed by sensory experience. Opposite to Solipsism.”11
Dari paparan Anggels dapat kita ambil 3 poin utama. Bahwa objetivisme
mengatakan kebenaran itu independen terlepas dari pandang subjektif, kebenaran itu datang
dari bukti faktual, dan kebenaran hanya bisa didasari dari pengalaman inderawi. Pandangan
ini sangat dekat dan berhubungan erat dengan positivisme dan empirisme.
Dalam Chalmers (1982:128) Karl R. popper mengemukakan pendapatnya tentang
objektivisme yang disadur dari buku Objective Knowledge. Popper mengatakan bahwa :
“Pengetahuan atau fikiran dalam pengertian objektif, terdiri dari problema-problema,
teori-teori, dan argumen-argumen itu sendiri. Pengetahuan dalam pengertian objektif ini
sepenuhnya independen dari klaim seseorang untuk mengetahuinya ; ia pun terlepas dari
keyakinan seseorang atau kecenderungan untuk menyetujuinya, atau untuk berlakukannya
atau untuk bertindak. Pengetahuan dalam pengertian objektif ini adalah pengetahuan tanpa
orang: ia adalah pengetahuan tanpa diketahui subjek.”12
Dengan demikian objectivisme merupakan penjelasan komprehensif terhadap object secara independen (eksistensi sebuah object sebagai “being”) tanpa melibatkan unsur subject terhadap object maupun preferensi subject terhadap object.
Measeurement
Pengukuran (dari Old French, ukur) adalah pemberian angka/nomor terhadap objek
atau peristiwa. Ini adalah landasan yang mendasar dalam ilmu alam, teknologi, ekonomi, dan
penelitian kuantitatif dalam ilmu –ilmu sosial lainnya.
Setiap pengukuran dapat dinilai dengan kriteria meta-pengukuran nilai berikut:
tingkat pengukuran (yang meliputi besarnya), dimensi (unit), dan ketidakpastian. Mereka
memungkinkan perbandingan harus dilakukan antara pengukuran yang berbeda dan
mengurangi kebingungan. Bahkan dalam kasus kesamaan kualitatif yang jelas atau
perbedaan, meningkatkan presisi melalui pengukuran kuantitatif sering disukai dalam rangka
untuk membantu dalam replikasi. Sebagai contoh, warna yang berbeda dapat
dioperasionalkan didasarkan baik pada panjang gelombang cahaya atau (kualitatif)
11 Angeles, Peter A. 1989.
Dictionary of Philosophy. New York : Harper & Row
12 Chalmers, A.F. 1982. Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?.Terjemahan Redaksi Hasta Mitra. Jakarta : Hasta
istilah seperti "hijau" dan "biru" yang sering ditafsirkan secara berbeda oleh orang yang
berbeda. Ilmu pengukuran disebut metrologi.
Pengukuran yang paling sering dibuat dalam sistem Stadard Internasional, yang berisi
tujuh unit dasar : kilogram, meter, candela, kedua, ampere, kelvin, dan mol. Enam dari unit
tersebut (didefinisikan tanpa mengacu pada objek fisik tertentu yang berfungsi sebagai
standar.
Determinism
Determinisme berasal dari bahasa Latin determinare yang artinya menentukan atau
menetapkan batas atau membatasi. Secara umum, pemikiran ini berpendapat bahwa keadaan
hidup dan perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis,
sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada. Determinisme juga berpegangan bahwa
perilaku etis manusia ditentukan oleh lingkungan, adat istiadat, tradisi, norma dan nilai etis
masyarakat. Istilah ini dimasukkan menjadi istilah filsafat oleh William Hamilton yang
menerapkannya pada Thomas Hobbes. Penganut awal pemikiran determinisme ini adalah
demokritos yang percaya bahwa sebab-akibat menjadi penjelasan bagi semua kejadian.
Beberapa Pengertian determinism adalah (a) Determinisme beranggapan bahwa
setiap kejadian pasti sudah ditentukan; (b) Semua kejadian disebabkan oleh sesuatu; (c)
Segala sesuatu di dunia bekerja dengan hukum sebab-akibat; (d) Sudut pandang filsafat alam
melihat determinisme sebagai teori tentang satu-satunya determinasi dari setiap peristiwa
alam. Contoh bentuk pemikiran determinisme: Orang yang bertubuh lemah, geraknya lebih
lamban dari orang yang bertubuh kuat; Orang yang berasal dari keluarga harmonis
diharapkan dapat menjadi manusia yang lebih seimbang dari pada mereka yang berasal dari
keluarga yang kacau. Dalam ilmu alam determinism dapat dipahami dari
keteraturan-ketaratun formulasi terhadap sebuah fenomena seperti untuk menentukan jumlah tegangan
pada arus listrik maka harus diketahui berapa jumlah arus dan hambatan. (V = I . R).
Tegangan, Arus, dan Hambatan merupakan determinan dalam pengukuran listrik.
Reductionism
Reduksionisme adalah posisi filosofis yang menyatakan bahwa sistem yang kompleks
tidak lain adalah jumlah bagiannya, dan bahwa account itu dapat dikurangi
Reduksionisme tidak menghalangi adanya apa yang disebut fenomena yang muncul,
tetapi tidak menyiratkan kemampuan untuk memahami fenomena benar-benar dalam hal
proses dari mana mereka terdiri. Pemahaman reduksionis ini sangat berbeda dari yang
biasanya diimplikasikan oleh istilah 'munculnya' , yang biasanya bermaksud bahwa apa yang
muncul lebih dari jumlah proses dari mana ia muncul .
Sebagai contoh reductionism dalam bidang kependudukan. Jumlah penduduk secara
reductionism ditentukan oleh tiga factor yakni, kelahiran, migrasi, dan kematian. Secara
implisit sebenarnya menjelaskan tentang fakor-faktor lain seperti penghasilan, pendidikan,
kesehatan, dan lain sebagainya. Factor-faktor yang implisit tersebutlah yang direduksi
menjadi factor kelahiran, migrasi, dan kematian.
Value free
Value free merupakan bebas dari kriteria yang ditetapkan oleh nilai-nilai subyektif
atau standard. Value free merupakan kata kunci dalam membangun positivism ilmu sosial.
Dalam ilmu alam, natural reality (realitas alam) merupakan fenomena-fenomena yang
dihasilkan oleh alam berdasarkan hukum-hukum alam. Newton dalam hukum gravitasinya
menemukan reality atau keteraturan dalam fenomena benda yang jatuh dari ketinggian
tertentu selalu jatuh mengarah ke inti bumi. Temuannya tersebut telah berlaku secara
universal dan tidak bisa dimanipulasi secara subyektif. Fenomena tersebut merupakan bebas
nilai dari subject oleh karena telah menjadi realitas alam yang universal. Dengan kata lain
semua realitas alam merupakan fenomena hukum-hukum alam yang hanya dapat diamati,
diteliti, dan diformulasikan manusia (human free) secara objective. Realitas alam adalah
object yang independent dari subject dalam membangunnya sebagai sebuah teori. Penelitian
yang dilakukan oleh Newton terhadap fenomena benda jatuh telah menemukan teori tanpa
pandangan-pandangan subjective dari Newton bahwa besaran gaya gravitasi bumi adalah
sebesar g=10m/s kuadrat. Dengan demikian dalam ilmu alam yang dimaksud dengan value
free adalah keberadaan realitas yang objective yang dapat dibangun sebagai teori berdasarkan
sifat keteraturannya (regularity). Sedangakan keberadaan subject sebagai observer tehadap
object (realitas alam) adalah terpisah yang disebut sebagai value free.
Konsep dalam mengkonstruksi realitas alam menjadi sebuah teori pun menjadi
asal-muasal pemikiran Comte, Durkheim, dan positivis lainnya bahwa realitas sosial dapat
Dalam positivisme ilmu alam sebagaimana yang dipikirkan oleh Durkheim bahwa realitas
sosial yang terjadi dibangun dari individu-individu (subject) yang dinyatakan dalam s1, s2, s3, s4,…..sn yang memiliki nilai dalam interaksi sosial yang menghasilkan social reality (realitas sosial). Dengan demikian realitas sosial yang ada sama sekali tidak dapat disebut
sebagai value free. Namun realitas sosial tersebut merupakan sesuatu yang empiris dan
measurement. Realitas inilah yang dipandang memiliki keteraturan (regurality) dan kemudian
dapat dibangun sebagai teori seperti dalam ilmu alam secara objectivism, determinism, dan
reductionism. Dalam hal inilah Durkheim memikirkan bahwa metode mengkonstruksi teori
dalam ilmu sosial dapat diadopsi dari ilmu alam. Sebagaimana yang diteliti oleh Durkheim
terhadap pola persekutuan gereja katolik dan protestan terkait jumlah kematian akibat bunuh
diri serta perilaku masyarakat modern dan tradisional yang melahirkan teori solidaritas sosial.
Durkheim menyebutnya sebagai fakta sosial (social fact) bahwa kecenderungan perilaku
solidaritas sosial masyarakat modern lebih rendah bila dibandingkan dengan masyarakat
tradisional. Durkheim dalam membangun teori dari realitas sosial menempatkan dirinya
sebagai observer yang independent terhadap object realitas sosial (objectivism). Dalam hal
inilah teori sosial dapat dibangun secara value free berdasarkan paham positivism, namun
tidak dapat disangkal bahwa proses pembentukan realitas sosial sama sekali tidak bebas nilai
karena realitas yang terjadi sebagai akibat dari interaksi individu yang memiliki nilai.
KESIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa positivisme adalah cabang filsafat
epistemologi yang menekankan bahwa ilmu sosial dapat dikonstruksi sebagaimana dalam
membangun ilmu-ilmu alam. Positivisme itu sendiri adalah empirism, objectivisme,
measurement, determinism, reductionism, dan value free. Kriteria tersebut merupakan
landasan kuat bagi pemikir positivism seperti Comte dan Durkheim dalam membangun