IMAGOLOGI POLITIK
(Studi Deskriptif Tentang Opini Publik Terhadap Pencitraan Politik Dalam Meningkatkan Tingkat Elektabilitas Politik Pada Pemilu Presiden 2009 di
Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan)
SKRIPSI
Oleh :
WAHYUDI AULIA SIREGAR NIM : 030906079
DOSEN PEMBIMBING : Drs. Ahmad Taufan Damanik, M.A DOSEN PEMBACA : Drs. P. Anthonius Sitepu, MSi
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PERSETUJUAN
Nama : Wahyudi Aulia Siregar
NIM : 030906079
Departemen : Ilmu Politik
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Judul : IMAGOLOGI POLITIK
(Studi Deskriptif Tentang Opini Publik Terhadap Pencitraan Politik Dalam Meningkatkan Tingkat Elektabilitas Politik Pada Pemilu Presiden 2009 di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan)
Ketua Departemen Ilmu Politik
Drs. Heri Kusmanto, MA NIP. 196410061998031002
Pembimbing I ` Pembimbing II
Drs. Ahmad Taufan Damanik, MA Drs. P. Anthonius Sitepu, MSi
NIP. 196506291988031001 NIP. 195207011985111001
a.n Dekan FISIP USU Pembantu Dekan I
ABSTRAKSI
Imagologi Politik atau yang lebih dikenal dengan nama politik pencitraan merupakan salah satu strategi politik yang kian populer di kalangan para elit politik untuk memperkuat citra diri mereka di mata publik. Namun pada kenyataannya, politik pencitraan juga menghadirkan kontroversi di masyarakat. Kontroversi muncul saat pencitraan dinilai tidak lagi diletakkan pada substansi pencitraan itu sendiri, namun lebih kepada tampilan-tampilan yang kehilangan substansi. Kontroversi semakin menjadi ketika pencitraan politik yang dilakukan dinilai hanya menjadi demagog politik belaka. Asumsi-asumsi di masyarakat tentang politik pencitraan yang melahirkan kontroversi tersebut mendorong keberadaan penelitian ini, khususnya pencitraan politik yang dilakukan oleh SBY. Penelitian ini menjadi penting untuk melihat sejauh opini publik dalam menanggapi pencitraan politik yang dilakukan SBY dalam rangka menjatuhkan pilihan politik pada pemilu 2009 sehingga bisa dilihat tingkat efisiensi dari politik pencitraan itu sendiri. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kuantitatif dengan teknik analisa data berbentuk tabel tunggal dengan menghitung seberapa besar persentase masyarakat yang pro dan kontra terhadap pencitraan politik yang dilakukan oleh pasangan SBY-Budiono dalam kerangka meningkatkan tingkat elektabilitasnya pada pemilu presiden dan wakil presiden 2009 yang lalu. Sedangkan sampel yang digunakan berjumlah 99 orang dengan menggunakan langkah-langkah metode penarikan sampel yaitu Proporsional Stratified Random Sampling (sampling acak di stratifikasi secara proporsional), Sampling Purposive (sejumlah masyarakat yang menjadi objek penelitian harus memenuhi beberapa kriteria) dan Accidental Sampling (sampel yang didasarkan pada sifat kebetulan). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa opini masyarakat yang pro terhadap SBY karena mereka menilai bahwa cara-cara dan pendekatan pencitraan yang digunakan SBY lewat proyek-proyek pencitraannya dinilai baik oleh masyarakat, disamping itu SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang relatif berhasil dengan program-program populernya di masyarakat. Disamping itu sosok SBY juga dinilai memenuhi kriteria pribadi masyarakat sebagai sosok seorang pemimpin. Sementara itu opini masyarakat yang kontra terhadap SBY karena mereka menilai banyaknya kebohongan-kebohongan dan realitas-realitas palsu yang disampaikan SBY lewat pencitraan-pencitraan politiknya.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belarang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 10
1.2.1. Pembatasan Masalah ... 11
1.2.2. Tujuan Penelitian ... 11
1.2.3. Manfaat Penelitian ... 11
1.3. Kerangka Teori ... 12
1.3.1. Citra ... 13
1.3.1.1. Pengertian Citra... 13
1.3.1.2. Jenis Citra ... 14
1.3.1.3. Citra Positif dan Citra Negatif ... 17
1.3.1.4. Citra dan Identitas ... 17
1.3.1.5. Proses Pembentukan Citra ... 18
1.3.2. Politik ... 21
1.3.3. Politik Pencitraan... 24
1.3.4. Opini Publik ... 26
1.3.4.1. Definisi Opini Publik... 26
1.3.4.2. Sifat Opini ... 28
1.3.4.3. Proses Terbentuknya Opini... 29
1.4. Definisi Konsep ... 31
1.4.1. Opini ... 31
1.4.2. Politik Pencitraan... 32
1.5. Definisi Operasional ... 32
1.6. Metodologi Penelitian ... 33
1.6.1. Bentuk Penelitian... 33
1.6.3. Hipotesa ... 34
1.6.4. Populasi dan Sampel ... 34
1.6.4.1. Populasi ... 34
1.6.4.2. Sampel ... 35
1.6.4.2.1. Teknik Sampling ... 37
1.6.5. Teknik Pengumpulan Data ... 37
1.6.5.1. Penelitian Lapangan ... 38
1.6.5.2. Penelitian Pustaka ... 38
1.6.6. Teknik Analisa Data ... 38
1.6.7. Sistematika Penulisan ... 39
BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 41
2.1.1. Sejarah Kota Medan ... 41
2.1.2. Geografis Kota Medan ... 42
2.1.3. Demografi Kota Medan ... 43
2.2. Kecamatan Medan Perjuangan ... 44
2.3. Kelurahan Sidorame Timur ... 45
2.3.1. Demografi Kelurahan Sidorame Timur ... 45
2.3.1.1. Letak Daerah ... 46
2.3.1.2. Luas Daerah ... 47
2.3.1.3. Kependudukan ... 47
2.3.2. Kehidupan Sosial Politik Masyarakat Kelurahan Sidorame Timur ... 50
2.3.3. Kelurahan Sidorame Timur Dalam Pemilihan Umum ... 55
2.3.3.1. Kelurahan Sidorame Timur Pada Pilkada Kota Medan 2005 ... 55
2.3.3.2. Kelurahan Sidorame Timur Pada Pilgubsu 2008 ... 57
2.3.3.3. Kelurahan Sidorame Timur Pada Pemilu 2009 ... 58
2.3.3.3.1. Pileg DPR-RI ... 59
2.3.3.3.3. Pemilu Presiden ... 63
2.4. Masyarakat Majemuk dan Opini Publik ... 64
BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA 3.1. Distribusi Responden ... 69
3.1.1. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin ... 69
3.1.2. Distribusi Responden Menurut Usia... 69
3.1.3. Distribusi Responden Menurut Agama... 70
3.1.4. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 70
3.1.5. Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan ... 71
3.2. Penyajian Data ... 71
3.2.1. Kriteria Responden ... 71
3.2.1.1. Pilihan Pada Pilpres 2009 ... 72
3.2.1.2. Pengetahuan Akan Pencitraan ... 74
3.2.1.3. Partisipasi Dalam Menyaksikan Proses Pencitraan SBY-Budiono ... 77
3.2.1.4. Durasi Menyaksikan Proses Pencitraan SBY-Budiono.. 79
3.2.1.5. Partisipasi Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lain ... 81
3.2.2. Bagian Pencitraan ... 83
3.2.2.1. Pertanyaan Seputar Pencitraan Politik SBY ... 83
3.2.2.1.1. Jargon “LANJUTKAN” ... 83
3.2.2.1.2. Iklan “SBY-PresidenKu” ... 85
3.2.2.1.3. Iklan Penurunan Harga BBM 3x ... 88
3.2.2.1.4. Isu “Bantuan Langsung Tunai” ... 90
3.2.2.1.5. Isu “Perbaikan Ekonomi” ... 93
3.2.2.1.6. Isu “Pemberantasan Korupsi” ... 95
3.2.2.1.7. SBY “Menegur” Pejabat ... 98
3.2.2.1.8. SBY Menangis ... 100
3.2.2.1.9. SBY Dalam Debat Kandidat Capres ... 102
3.2.2.1.10.Tampilan Pencitraan SBY ... 104
3.2.2.2. Persepsi Terhadap Pencitraan SBY ... 108
3.2.2.2.1. Tampilan Fisik SBY ... 108
3.2.2.2.2. Kebijaksanaan SBY ... 110
3.2.2.2.3. Kejujuran SBY ... 113
3.2.2.2.4. Kedekatan SBY Dengan Masyarakat ... 115
3.2.2.3. Kognisi Terhadap Pencitraan SBY ... 118
3.2.2.3.1. Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY ... 118
3.2.2.3.2. Kepercayaan Terhadap Realitas Dalam Pencitraan Politik SBY ... 120
3.2.2.3.3. Pengaruh Pencitraan Negatif Terhadap Kepercayaan Kepada Pencitraan SBY ... 123
3.2.2.3.4. Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY ... 125
3.2.2.4. Motivasi Terhadap Pencitraan SBY ... 127
3.2.2.4.1. Kriteria Pribadi Dan Sosok SBY ... 128
3.2.2.4.2. Kepentingan Pribadi Terhadap Janji Kampanye SBY ... 129
3.2.2.5. Sikap Terhadap Pencitraan SBY ... 132
3.2.2.5.1. Keyakinan Pribadi dan Pilihan Politik ... 132
3.2.2.5.2. Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi ... 135
3.3. Analisis Data ... 136
3.3.1. Pro Kontra Tentang Isu Pencitraan SBY ... 140
3.3.1.1. Penyebab Masyarakat Pro Terhadap Pencitraan SBY ... 140
3.3.1.2. Penyebab Masyarakat Kontra Terhadap Pencitraan SBY ... 142
3.3.1.3. Analisis Mengenai Pro dan Kontra Pencitraan SBY-Budiono ... 143
3.3.2. Opini Publik Terhadap Pencitraan SBY ... 146
3.3.2.1.Persepsi Terhadap Pencitraan SBY ... 147
3.3.2.3.Motivasi Terhadap Pencitraan SBY ... 154 3.3.2.4.Sikap Terhadap Pencitraan SBY... 155
BAB IV : PENUTUP
Daftar Tabel
Tabel 1
Proporsi Sample Berdasarkan Proporsi Suara Pilpres 2009 ... 37 Tabel 2
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Suku ... 47 Tabel 3
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Usia... 48 Tabel 4
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 48 Tabel 5
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Mata Pencaharian ... 49 Tabel 6
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Agama ... 49
Tabel 7
Tabulasi Hasil Suara Pemilihan Walikota Medan 2005 Kelurahan Sidorame Timur ... 56 Tabel 8
Tabulasi Hasil Pilgubsu 2008 Kelurahan Sidorame Timur ... 58 Tabel 9
Hasil Suara Pemilu Legislatif DPR-RI 2009 Kelurahan Sidorame Timur ... 59 Tabel 10
Hasil Suara Pemilu Legislatif DPR-RI 2009 Kelurahan Sidorame Timur ... 61 Tabel 11
Tabulasi Hasil Pemilu Presiden 2009 ... 63 Tabel 12
Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin ... 69 Tabel 13
Distribusi Responden Menurut Usia ... 69 Tabel 14
Distribusi Responden Menurut Agama ... 70 Tabel 15
Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 71 Tabel 16
Tabel 17
Pilihan Politik Responden Pada Pilpres 2009... 72 Tabel 18
Klasifikasi Pilihan Politik Responden Menurut Jenis Kelamin ... 73 Tabel 19
Klasifikasi Pilihan Politik Responden Menurut Pekerjaan ... 73 Tabel 20
Klasifikasi Pilihan Politik Responden Menurut Agama ... 74 Tabel 21
Klasifikasi Pilihan Politik Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 74 Tabel 22
Tanggapan Responden Mengenai Pengetahuan Responden Tentang Bentuk Pencitraan Politik ... 75 Tabel 23
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pengetahuan Responden Mengenai Bentuk Pencitraan Politik ... 75 Tabel 24
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Pengetahuan Responden Mengenai Bentuk Pencitraan Politik ... 75 Tabel 25
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pengetahuan Responden Mengenai Bentuk Pencitraan Politik ... 76 Tabel 26
Klasifikasi Tanggapan Responden Tentang Pengetahuan Responden Mengenai Bentuk Pencitraan Politik ... 76 Tabel 27
Tanggapan Responden Tentang Kuantitas Waktu Dalam Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 77 Tabel 28
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kuantitas Waktu Dalam Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 77 Tabel 29
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Kuantitas Waktu Dalam Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 78 Tabel 30
Klasifikasi Tanggapan Responden Budiono Menurut Agama Tentang Kuantitas Waktu Dalam Menyaksikan Pencitraan SBY ... 78 Tabel 31
Tabel 32
Tanggapan Responden Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 79 Tabel 33
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 79 Tabel 34
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 80 Tabel 35
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 80 Tabel 36
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 80 Tabel 37
Tanggapan Responden Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya ... 81 Tabel 38
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya ... 81 Tabel 39
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya... 82 Tabel 40
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya ... 82 Tabel 41
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya ... 82 Tabel 42
Tanggapan Responden Tentang Jargon “LANJUTKAN” ... 83 Tabel 43
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Jargon “LANJUTKAN” ... 84 Tabel 44
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Jargon “LANJUTKAN” ... 84 Tabel 45
Tabel 46
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat PendidikanTentang Jargon “LANJUTKAN” ... 85 Tabel 47
Tanggapan Responden Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 86 Tabel 48
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 86 Tabel 49
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 86 Tabel 50
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 87 Tabel 51
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 87 Tabel 52
Tanggapan Responden Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x”... 88 Tabel 53
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x” ... 88 Tabel 54
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x” ... 89 Tabel 55
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x” ... 89 Tabel 56
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x” ... 89 Tabel 57
Tanggapan Responden Tentang Kebijakan Bantuan Langsung Tunai ... 91 Tabel 58
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kebijakan Bantuan Langsung Tunai ... 91 Tabel 59
Tabel 60
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Kebijakan Bantuan Langsung Tunai ... 91 Tabel 61
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat PendidikanTentang Kebijakan Bantuan Langsung Tunai ... 91 Tabel 62
Tanggapan Responden Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 93 Tabel 63
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 93 Tabel 64
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 94 Tabel 65
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 94 Tabel 66
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 94 Tabel 67
Tanggapan Responden Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi... 96 Tabel 68
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi ... 96 Tabel 69
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi ... 96 Tabel 70
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi ... 96 Tabel 71
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi ... 97 Tabel 72
Tabel 73
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap “SBY Menegur Walikota dan Menteri Kabinet ... 98 Tabel 74
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap “SBY Menegur Walikota dan Menteri Kabinet ... 99 Tabel 75
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap “SBY Menegur Walikota dan Menteri Kabinet ... 99 Tabel 76
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap “SBY Menegur Walikota dan Menteri Kabinet ... 100 Tabel 77
Tanggapan Responden Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 100 Tabel 78
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 100 Tabel 79
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 101 Tabel 80
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 101 Tabel 81
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 101 Tabel 82
Tanggapan Responden Terhadap Performa SBY Dalam Debat Kandidat ... 102 Tabel 83.
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Performa SBY Dalam Debat Kandidat ... 103 Tabel 84
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Performa SBY Dalam Debat Kandidat ... 103 Tabel 85
Tabel 86
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pendidikan Tentang Performa SBY Dalam Debat Kandidat ... 103 Tabel 87
Tanggapan Responden Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 104 Tabel 88
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 105 Tabel 89
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 105 Tabel 90
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 105 Tabel 91
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 105 Tabel 92
Tanggapan Responden Tentang Tema Pencitraan SBY ... 106 Tabel 93
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Tema Pencitraan SBY ... 106 Tabel 94
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Tema Pencitraan SBY ... 107 Tabel 95
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Tema Pencitraan SBY ... 107 Tabel 96
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Tema Pencitraan SBY ... 107 Tabel 97
Tanggapan Responden Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Memiliki Tampilan Fisik Terbaik ... 109 Tabel 98
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Memiliki Tampilan Fisik Terbaik ... 109 Tabel 99
Tabel 100
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Memiliki Tampilan Fisik Terbaik ... 109 Tabel 101
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Memiliki Tampilan Fisik Terbaik ... 109 Tabel 102
Tanggapan Responden Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya ... 111 Tabel 103
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya... 111 Tabel 104
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya... 111 Tabel 105
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya ... 111 Tabel 106
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya... 112 Tabel 107
Tanggapan Responden Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur ... 113 Tabel 108
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur ... 113 Tabel 109
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur ... 113 Tabel 110
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur... 114
Tabel 111
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur ... 114 Tabel 112
Tabel 113
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kedekatan SBY-Budiono Dengan Rakyat ... 116 Tabel 114
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Kedekatan SBY-Budiono Dengan Rakyat ... 116 Tabel 115
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Kedekatan SBY-Budiono Dengan Rakyat ... 116 Tabel 116
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan... 117 Tabel 117
Tanggapan Responden Tentang Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY-Budiono ... 118 Tabel 118
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY-Budiono ... 118 Tabel 119
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Pesan Pencitraan Kepercayaan Kepada SBY-Budiono ... 119 Tabel 120
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY-Budiono ... 119 Tabel 121
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY-Budiono ... 119 Tabel 122
Tanggapan Responden Tentang Kepercayaan Responden Terhadap Realitas Yang Dibangun Oleh Pasangan SBY-Budiono Lewat Pencitraan Politik ... 120 Tabel 123
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kepercayaan Responden Terhadap Realitas Yang Dibangun Oleh Pasangan SBY-Budiono Lewat Pencitraan Politik ... 121 Tabel 124
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Kepercayaan Responden Terhadap Realitas Yang Dibangun Oleh Pasangan SBY-Budiono Lewat Pencitraan Politik ... 121 Tabel 125
Tabel 126
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Kepercayaan Responden Terhadap Realitas Yang Dibangun Oleh Pasangan SBY-Budiono Lewat Pencitraan Politik ... 121 Tabel 127
Tanggapan Responden Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 123 Tabel 128
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 123 Tabel 129
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 124 Tabel 130
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 124 Tabel 131
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 124 Tabel 132
Tanggapan Responden Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 133
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 134
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 135
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 136
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 137
Tanggapan Responden Tentang Sesuai Tidaknya Sosok SBY-Budiono Dengan Kriteria Pribadi Responden ... 128 Tabel 138
Tabel 139
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Sesuai Tidaknya Sosok SBY-Budiono Dengan Kriteria Pribadi Responden ... 128 Tabel 140
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Sesuai Tidaknya Sosok SBY-Budiono Dengan Kriteria Pribadi Responden ... 128 Tabel 141
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Sesuai Tidaknya Sosok SBY-Budiono Dengan Kriteria Pribadi Responden ... 129 Tabel 142
Tanggapan Responden Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden ... 130 Tabel 143
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden ... 130 Tabel 144
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden ... 130 Tabel 145
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden... 130 Tabel 146
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden ... 131 Tabel 147
Tanggapan Responden Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 2009 ... 133 Tabel 148
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 2009 ... 133 Tabel 149
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 2009 ... 133 Tabel 150
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 2009 ... 134 Tabel 151
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 200 ... 134 Tabel 152
Tabel 153
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi Responden ... 135 Tabel 154
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi Responden ... 135 Tabel 155
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi Responden ... 136 Tabel 156
ABSTRAKSI
Imagologi Politik atau yang lebih dikenal dengan nama politik pencitraan merupakan salah satu strategi politik yang kian populer di kalangan para elit politik untuk memperkuat citra diri mereka di mata publik. Namun pada kenyataannya, politik pencitraan juga menghadirkan kontroversi di masyarakat. Kontroversi muncul saat pencitraan dinilai tidak lagi diletakkan pada substansi pencitraan itu sendiri, namun lebih kepada tampilan-tampilan yang kehilangan substansi. Kontroversi semakin menjadi ketika pencitraan politik yang dilakukan dinilai hanya menjadi demagog politik belaka. Asumsi-asumsi di masyarakat tentang politik pencitraan yang melahirkan kontroversi tersebut mendorong keberadaan penelitian ini, khususnya pencitraan politik yang dilakukan oleh SBY. Penelitian ini menjadi penting untuk melihat sejauh opini publik dalam menanggapi pencitraan politik yang dilakukan SBY dalam rangka menjatuhkan pilihan politik pada pemilu 2009 sehingga bisa dilihat tingkat efisiensi dari politik pencitraan itu sendiri. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kuantitatif dengan teknik analisa data berbentuk tabel tunggal dengan menghitung seberapa besar persentase masyarakat yang pro dan kontra terhadap pencitraan politik yang dilakukan oleh pasangan SBY-Budiono dalam kerangka meningkatkan tingkat elektabilitasnya pada pemilu presiden dan wakil presiden 2009 yang lalu. Sedangkan sampel yang digunakan berjumlah 99 orang dengan menggunakan langkah-langkah metode penarikan sampel yaitu Proporsional Stratified Random Sampling (sampling acak di stratifikasi secara proporsional), Sampling Purposive (sejumlah masyarakat yang menjadi objek penelitian harus memenuhi beberapa kriteria) dan Accidental Sampling (sampel yang didasarkan pada sifat kebetulan). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa opini masyarakat yang pro terhadap SBY karena mereka menilai bahwa cara-cara dan pendekatan pencitraan yang digunakan SBY lewat proyek-proyek pencitraannya dinilai baik oleh masyarakat, disamping itu SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang relatif berhasil dengan program-program populernya di masyarakat. Disamping itu sosok SBY juga dinilai memenuhi kriteria pribadi masyarakat sebagai sosok seorang pemimpin. Sementara itu opini masyarakat yang kontra terhadap SBY karena mereka menilai banyaknya kebohongan-kebohongan dan realitas-realitas palsu yang disampaikan SBY lewat pencitraan-pencitraan politiknya.
BAB I PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang Masalah
Demokrasi merupakan sebuah bentuk sistem politik yang merupakan
respon terhadap sistem monarki-diktator pada Abad ke-5 SM. Namun pada
perkembangannya demokrasi lebih jauh dianggap sebagai jawaban (antitesa) atas
teokrasi dan monarki yang semakin jauh dari kesejahteraan rakyat. Konsep
mengenai demokrasi berasal dari gagasan-gagasan beberapa tokoh yang sampai
hari ini masih berpengaruh dalam dunia ilmu politik. Gagasan-gagasan seperti
gagasan Nicolo Machievelli tentang sekularisme, Thomas Hobes tentang kontrak
sosial, gagasan tentang negara dan pemisahan kekuasaan oleh John Locke yang
selanjutnya dikembangkan oleh Montesqiue serta gagasan tentang kedaulatan
rakyat dan kontrak sosial oleh J.J Rousseau.1
Dalam perjalanannya, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang
paling sempurna. Hal itu dikarenakan demokrasi merupakan sistem yang dapat
diterima secara luas baik sebagai teori maupun sebagai model bagi masyarakat.
2
1
Anthonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2004, hal.5-6
2
Din Syamsudin, Kekuasaan dan Rakyat: Refleksi Pemikiran dan Praktek Politik Islam, Jakarta: Forum Indonesia Bersatu, 2001, hal. 132
suatu sistem yang paling proporsional untuk semua sistem organisasi politik,
sosial dan pemerintahan.3
Perkembangan demokrasi berbanding lurus dengan perkembangan
kehidupan (budaya) sosial politik masyarakatnya. Oleh karena itu, perkembangan
budaya pada masyarakat akan juga diikuti oleh perkembangan demokrasi itu
sendiri.
Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia telah digunakan sejak negara
ini didirikan oleh para founding fathers hingga saat ini. Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia termaktub dalam undang-undang sebagai landasan konstitusi
Indonesia. Dalam perjalanannya, demokrasi Indonesia cukup dinamis. Indonesia
pernah menggunakan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi
pancasila serta juga demokrasi langsung yang diinterprestasikan dengan pemilihan
langsung oleh rakyat terhadap anggota legislatif dan eksekutif. Oleh karena
dipilih langsung, setiap orang yang akan mewakili atau memimpin bangsa ini
haruslah orang yang didukung oleh masyarakat atau setidaknya mayoritas
masyarakat.
4
Budaya Indonesia hari ini dihadapkan pada dinamika yang luar biasa.
Proses akulturasi tak terbendung dari budaya-budaya asing serta kemajuan
teknologi menyebabkan gradasi terhadap batas-batas khas, baik itu batas-batas primordial maupun batas-batas geographis, sehingga budaya tinggi Indonesia
tidak memiliki pilihan selain berasimilasi dengan budaya asing yang cenderung
3
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal.50
4
diterima secara universal dan berlaku sebagai budaya semua orang atau budaya
populer.
Budaya populer sendiri adalah konsep yang “populer”. Kebanyakan orang
membicarakan budaya populer bila berkaitan dengan sesuatu yang negatif,
misalnya selera masyarakat kebanyakan yang rendah dan murahan, produk
budaya yang didistribusikan hanya untuk kesenangan, juga efek budaya populer
yang buruk pada anak muda (hedonitas).
Sejarah konsep budaya populer memang demikian, karena pada awalnya
“budaya populer” adalah konsep yang digunakan sebagai lawan kata dari “budaya
elite”. Konsep budaya populer digunakan untuk mengejek dan menyudutkan
budaya masyarakat kebanyakan. Kemudian secara perlahan dalam
perkembangannya, budaya populer tidak lagi bermakna negatif tetapi berubah
menjadi sebuah konsep netral. Budaya populer kemudian diartikan sebagai
budaya yang dimiliki dan disukai oleh sebagian besar orang dalam suatu
masyarakat. 5
Pada titik inilah, budaya populer mempunyai makna yang demokratis bagi
masyarakat. Budaya populer mengkritik dominasi kelompok elite dan budayanya.
Budaya populer berusaha melakukan perlawanan pada kelompok masyarakat
minoritas yang berstatus elit, yang dianggap memiliki budaya yang “tinggi”,
adiluhung, dan memberikan pencerahan. Konsep budaya populer meruntuhkan itu
semua, tidak penting sebuah budaya itu rendah atau tinggi, yang penting budaya
bisa dinikmati dan disukai oleh banyak orang. Dirasakan dan disukai banyak
5
orang inilah yang menunjukkan bahwa secara inheren budaya populer memiliki
nilai demokrasi.
Dalam mekanisme demokrasi langsung, popularitas adalah satu hal yang
utama dan penting. Orang yang populer tentu saja merupakan orang yang disukai
banyak orang yang cenderung mayoritas. Oleh karena itu upaya untuk menjadi
populer berbondong-bondong dilakukan oleh para elit politik dengan tujuan
mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat. Para elit dituntut tidak hanya
menguasai literatur-literatur ilmu politik dan penguasaan basis massa di
masyarakat baik secara primordial maupun secara ideologis, namun para elit juga
dituntut untuk bisa menjadi “icon populer” dimata publik. Untuk menjadi populer para elit politik mau tidak mau harus menjadi icon dari budaya yang populer itu atau setidaknya menjadi atau seolah-olah menjadi pengusung budaya yang
populer tadi.
Dalam wacana populer, tampilan-tampilan secara audio dan visual di era
kedigdayaan media informasi dan komunikasi dipercaya sebagai strategi yang
ampuh untuk menjadi populer yaitu dengan memenangkan hati rakyat dan
mendapatkan legitimasi dari rakyat, khususnya terhadap pemilih pemula dan
pemilih yang rasional (swing voter) yang cenderung tak terikat pada aliran-aliran tertentu secara politis.6
Cerita-cerita tentang ketokohan, simbol-simbol, jargon-jargon hingga
singkatan nama menjadi penting dalam proses pembentukan popularitas politik.
Dalam wacana politik, kegiatan tersebut dinamakan sebagai politik pencitraan
6
(imagologi politik). Strategi politik Pencitraan merupakan salah satu strategi
untuk memenangi kontes politik disamping strategi yang lebih klasik yaitu dengan
strategi penggalangan suara melalui jejaring politik khususnya partai politik.
Strategi politik pencitraan digunakan sebagai medium untuk publikasi
akuntabilitas politik para kontestan politik.
Karena merupakan medium publikasi, secara ideal politik pencitraan
menjadi strategi lanjutan dalam sebuah proses marketing politik.
Pendekatan-pendekatan konvensional seperti kultural dan ideologis harus dikedepankan.
Namun sering kali pendekatan-pendekatan konvensional tersbuet dinafikan dan
dijadikan sebagai strategi yang usang dan kurang efisien karena membutuhkan
waktu yang panjang. Oleh karena itu Politik Pencitraan sering tidak berjalan
secara ideal dan cenderung praktis.
Hal tersebut sebenarnya bukan hal yang terlalu mengejutkan juga, karena
pada masa-masa jauh sebelumnya sudah pernah diperkirakan. Plato dalam
“Parabale of The Cave” seperti pernah dikutip Susan Bordo mengatakan bahwa politik demokratis modern adalah politik pencitraan, dimana persoalan
penampilan lebih penting dari substansi serta kepribadian lebih penting daripada
kebijakan.7
Pemilihan Umum (PEMILU) 2004 dan 2009 dapat dikatakan sebagai era
keemasan dari Politik Pencitraan. Pemilu Presiden 2004 yang dimenangkan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menjelaskan hal tersebut. SBY yang berasal dari
partai kecil dan dicalonkan oleh beberapa partai kecil waktu itu berhasil
7
mengalahkan 2 calon kuat dari partai yang memiliki basis masa kultural di tingkat
akar rumput yaitu Wiranto yang merupakan calon dari partai Golkar yang
merupakan partai pemenang pemilu 2004 dan calon dari partai besar lainnya yaitu
Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang
memenangi pemilu pada 1999 dan memiliki suara cukup signifikan pada pemilu
2004 sebagai urutan kedua. .
Proses pencitraan dengan menggunakan simbol-simbol, jargon-jargon dan
lain sebagainya dilakukan untuk menciptakan citra tersendiri bagi masyarakat
terhadap sosok elit. Masih hangat mungkin di telinga kita jargon-jargon seperti
“Bersama Kita Bisa” yang pernah dilemparkan SBY pada pemilu 2004 yang pada
akhirnya mengantarkan SBY ke kursi RI-1. Lalu di waktu yang belum lama juga
ini ada jargon “Hidup adalah Perbuatan” yang dilempar oleh Sutrisno Bahir yang merupakan salah satu elit Partai Amanat Nasional, “Lebih Cepat Lebih Baik” yang dilemparkan oleh Muhammad Jusuf Kalla yang merupakan politisi Partai Golkar
sekaligus juga menjadi Calon Presiden Partai Golkar Pada Pemilihan Presiden
2009, maupun jargon-jargon yang dilemparkan oleh tokoh-tokoh personal seperti
“When There is a While There is Way” yang dilemparkan oleh Rizal Malarangeng dan “Indonesia Tanpa Hutang” yang dilemparkan oleh Rizal Ramli yang mengagas blok perubahan, belum lagi beratus-ratus photo ukuran berbagai jenis
dari pada calon legislatif yang dipadukan dengan tulisan-tulisan dan jargon-jargon
kecil pada pemilu legislatif yang lalu.
Disamping jargon-jargon tersebut, beberapa waktu yang lalu kita juga
media. Jendral TNI (Purn) Wiranto misalnya, yang merupakan politisi Partai Hati
Nurani Rakyat (HANURA) yang pada pemilu presiden kali ini maju mencalonkan
diri sebagai Wakil Presiden mendampingi Jusuf Kalla dari Partai Golkar, Wiranto
mempertontonkan kepada masyarakat adegan “dramatis”, “menyentuh”,
“menggugah” ketika dia memakan nasi aking di tengah kerumunan orang di
keluarga miskin di Serang, Banten. Ia merasakan sendiri betapa nasi aking tidak
enak dan tak layak untuk dimakan.
SBY juga pernah meneteskan air mata ketika berkunjung ke Aceh untuk
melihat kondisi masyarakat Aceh pasca terjadinya bencana tsunami di Aceh,
begitu juga dengan gempa di Jogja dan tsunami Pangandaran. Disamping itu,
tindakan SBY membentak para walikota dan bupati yang tertidur saat pertemuan
bupati dan walikota se-Indonesia maupun juga para menteri kabinetnya yang tidak
konsentrasi saat rapat kabinet yang lalu dipertontonkan oleh media.
Terlepas dari tujuannya, namun apa yang dilakukan Wiranto dan SBY bisa
dikatakan sebagai proses pencitraan kepada publik tentang sosok keduanya dalam
rangka kontestasi politik yang akan mereka jalani. Wiranto dan SBY secara tidak
langsung membangun simulasi politik akan sosok masing-masing untuk
menciptakan citra atau gambaran tersendiri di mata publik. Masing-masing ingin
menunjukkan kepada publik bahwa mereka adalah calon pemimpin yang dekat
dengan rakyat dan mengerti dengan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang
dirasakan oleh rakyat.
Dalam kajian antropologi politik, apa yang dilakukan oleh Wiranto dan
symbolism). Politik simbolisme adalah suatu tindakan untuk merepresentasikan sebuah gejala sosial di masyarakat, yang diwujudkan dalam simbol yang
merefleksikan makna politik tertentu (Geertz 1973; Gupta & Ferguson 1992).8
Pemilu legislatif 2009 telah berlalu, masing-masing partai politik kini telah
mengantongi legitimasi politik dari masyarakat dalam wujud kursi di parlemen.
Partai demokrat telah ditetapkan sebagai pemenang pemilu legislatif dengan suara
yang cukup signifikan. Pemilihan presiden pun sudah dilakukan, dan SBY
kembali mendapatkan dukungan rakyat secara dominan untuk menduduki kursi
presiden 5 tahun berikutnya. Terlepas dari indikasi kecurangan yang dilakukan,
banyak praktisi yang beranggapan bahwa SBY dan Partai Demokrat memenangi
Saat ini masyarakat sedikit banyak telah belajar untuk menerjemahkan
proses simbolisme dan pencitraan yang dilakukan para elit politik. Lima tahun
masa kepemimpinan SBY dengan kabinet Indonesia Bersatu bisa dikatakan
sebagai perang pencitraan antara elit politik, ditambah lagi dengan sentimen
negatif yang diakomodasi dalam setiap pencitraan itu baik oleh oposisi maupun
oleh penguasa. Seperti sentimen neoliberal, penjualan aset-aset nasional,
pemberantasan korupsi yang tebang pilih, korupsi di DPR, pembalakan liar, krisis
energi, hingga bantuan langsung tunai (BLT). Meski memang masyarakat awam
belum dapat menerjemahkan esensi dari perang pencitraan itu namun setidaknya
masyarakat memiliki penilaian tersendiri terhadap pencitraan yang dilakukan oleh
masing-masing elit.
8
kontes politik 5 tahunan tersebut dengan pencitraan sebagai senjata
pamungkasnya.
Namun persoalan pemilu presiden berbeda dengan persoalan dalam pemilu
legislatif. Ada perbedaan mendasar dalam masyarakat ketika melihat sosok
anggota legislatif dan calon presiden. Sentimen personal akan lebih besar dalam
upaya menentukan pilihan pada pemilihan presiden dibandingkan dalam pemilu
legislatif. Dan ranah sentimen personal adalah ranah politik pencitraan.
Masyarakat akan lebih menggunakan sentimen personal (persepsi politik) dalam
menilai para kandidat sebelum menjatuhkan pilihan. Oleh karena itu upaya
pembentukan citra pada masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam
rangka menggugah sentimen para calon pemilih.
Tanpa menafikan kekuatan penggalangan suara secara konvensional lewat
mekanisme kultural maupun ideologis, penelitian akan respon masyarakat
terhadap politik pencitraan dalam hubungannya dengan tingkat elektabilitas
politik menjadi sangat menarik untuk dilakukan.
Di kota Medan yang sangat heterogen ini misalnya, strategi politik yang
dilakukan oleh SBY sebagai pemenang pemilihan presiden terbukti berjalan
dengan baik. SBY secara umum menang di seluruh kecamatan di kota ini dengan
tingkat suara yang cukup signifikan dengan persentase yang tidak terlalu jauh
perbedaannya dengan suara nasional. Meskipun secara infrastruktur politik di
tingkat masyarakat, partai pendukung SBY tidak lebih mapan daripada partai
pendukung Megawati dan Jusuf Kalla yang merupakan dua calon presiden
Beberapa media nasional merilis pendapat beberapa praktisi dan pengamat
politik tentang kondisi tersebut. Antara misalnya, merilis pendapat Fadjroel
Rachman, Direktur Eksekutif Pedoman Indonesia yang juga salah seorang yang
digadang-gadangkan menjadi Capres Independen. Fadjroel mengatakan bahwa “SBY itu sudah lama dan lebih dahulu mencitrakan diri sebagai sosok yang gagah, berwibawa, baik hati,”9
I.2.Perumusan Masalah
Disamping itu masih banyak rilis-rilis lainnya
baik dalam bentuk survey maupun opini yang menyatakan pencitraan SBY
merupakan yang terbaik selama periode kampanye berlangsung.
Namun apakah kondisi nasional tersebut juga identik dengan preferensi
politik masyarakat ditingkat akar rumput, khususnya wilayah-wilayah di kota
Medan? Penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjawab hal tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
“Bagaimana opini publik masyarakat Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan
Medan Perjuangan terhadap politik pencitraan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dalam kerangka menjatuhkan preferensi politik pada Pemilu Presiden
2009?”
9
Lihat PemiluIndonesia.com, Mega dan JK Terkepung Politik Pencitraan SBY.,
I.2.1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ini dibuat dengan tujuan untuk memperjelas ruang
lingkup penelitian dan untuk menghasilkan uraian yang sistematis. Adapun
batasan-batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bentuk pencitraan dibatasi kepada pencitraan yang dilakukan oleh
SBY lewat kanal-kanal budaya pop seperti media massa, baik itu iklan
politik, pidato politik maupun berita-berita politik.
2. Bentuk Opini dibatasi pada persepsi, kognisi, motivasi dan sikap
publik yang diteliti.
3. Penelitian hanya akan dilakukan terhadap masyarakat Kelurahan
Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan yang memberikan
suaranya dalam pemilu presiden 2009.
I.2.2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana
efisiensi politik pencitraan sebagai strategi politik SBY dalam memenangkan
kontestasi politik pada pemilu presiden 2009 di kelurahan Sidorame Timur.
I.2.3. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Bagi institusi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
referensi dibidang komunikasi politik khususnya dalam kajian
respon masyarakat terhadap Politik Pencitraan yang dilakukan oleh
kontestan politik
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan mampu
memberikan pendidikan politik pada masyarakat agar dapat
memahami makna komunikasi politik yang disampaikan oleh
kontestan politik.
3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas
pengetahuan dibidang ilmu politik, khususnya mengenai
komunikasi politik sebagai sarana marketing politik dan perilaku
politik masyarakat.
I.3.Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir
dalam memecahkan atau menyoroti masalah.10
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
menghubungkan antar konsep.
Untuk itu diperlukan kerangka
teori yang memuat pokok-pokok pikiran atas penelitian yang akan dilakukan.
11
Sedangkan menurut F.N Karlinger, teori adalah
suatu konsep atau konstruksi yang berhubungan satu dengan lainnya, suatu set
dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari fenomena.12
10
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2001, hal.39
11
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37
12
I.3.1.Citra
I.3.1.1.Pengertian Citra
Citra (image) memiliki banyak arti, yang mungkin merupakan penyebab ia menjadi satu dari sekian banyak kata yang digunakan secara berlebihan. Banyak
orang menganggap bahwa citra sebagai lawan dari kenyataan, persepsi dari
realitas atau kenyataan juga bisa berbeda-beda, sehingga tak dapat diandalkan
sepenuhnya. Pengertian citra itu sendiri abstrak (intangible), tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk, seperti penerimaan dan tanggapan
baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran)
dan masyarakat luas pada umumnya.
Menurut Webster, citra adalah gambaran mental atau konsep tentang
sesuatu. Menurut Kotler secara lebih luas mendefinisikan citra sebagai jumlah dari
keyakinan-keyakinan, gambaran-gambaran, dan kesan-kesan yang dimiliki
seseorang pada suatu objek. Objek yang dimaksud bisa berupa orang, organisasi,
kelompok atau yang lainnya yang dia ketahui.13 Sementara menurut Newsome,
Citra adalah persepsi kolektif tentang sebuah organisasi atau individu dari semua
publik yang didasarkan pada apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat.14
Dalam bukunya yang berjudul Kuliah Komunikasi, Dr. H. Sam Abede Pareno,
MM menyatakan bahwa citra adalah abstrak tentang suatu pandangan, persepsi,
opini, penilaian secara umum.15
13
Sutisna, Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003, hal.331
14
Doug Newsom, Turk, Judy, Vanslyke & Dean Kruckeber, This is PR, USA:Wadsworth/Thomson Learing, 2004, hal.63
15
Sam Abde Pareno, Kuliah Komunikasi : Pengantar dan Praktek, Jakarta: Papyrus, 2002, hal.73
sebagai kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap suatu objek. Atau kesan
yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi.16
Citra untuk tujuan organisasional, bisa dijelaskan sebagai campuran
persepsi dari suatu objek baik itu perorangan atau lembaga. Citra adalah hasil
gabungan dari semua kesan yang didapat, baik itu dengan melihat simbol,
mengamati perilaku, mendengar atau membaca aktifitas atau melalui bukti
material lainnya. Citra terkinilah yang penting bagi kebanyakan organisasi, namun
citra lain juga cukup penting, yaitu bagaimana objek ingin dilihat. Hal ini sama
dengan citra diri individu, yang terbagi atas tiga kompenen yaitu, realitas, yang
ideal dan harapan atau keinginan. Citra yang paling memuaskan muncul jika
didasarkan pada kenyataan.17
I.3.1.2.Jenis Citra
Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai arti yang dimiliki
seseorang bagi orang lain, suatu integrasi mental yang halus dan berbagai sifat
yang diproyeksikan atau dicerminkan oleh seseorang dan yang dipersepsi yang
diinterprestasikan orang lain menurut kepercayaan, nilai dan pengharapan mereka.
Menurut Anggoro ada lima jenis citra, yaitu :18
Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi
mengenai anggapan pihak luar terhadap organisasinya. Dengan kata lain, citra a. Citra Bayangan / Cermin (Mirror Image)
16
Soleh Soemirat & Elvinaro Ardianto, Dasar-Dasar Public Relation, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003, hal.111
17
Anthony Davis, OpCit, hal.11
18
bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam mengenai pandangan luar
terhadap organisasinya. Citra ini sering kali tidak tepat, bahkan hanya sekedar
ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi, pengetahuan maupun
pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam organisasi mengenai pendapat
atau pandangan pihak luar. Citra ini cenderung positif, bahkan terlalu positif,
karena kita bisa membayangkan hal yang serba hebat mengenai diri kita sendiri
shingga kita pun percaya orang lain juga memiliki pemikiran yang serupa dengan
kita
b. Citra Yang Berlaku / Kekinian (Current Image)
Citra ini adalah suatu citra atau pandangan yang melekat pada pihak-pihak
luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya dengan citra bayangan, citra
ini berlaku tidak selamanya, bahkan jarang, sesuai dengan kenyataan karena
semata-mata terbentuk dari pengalaman atau pengetahuan orang-orang luar yang
bersangkutan yang biasanya tidak memadai. Biasanya pula citra ini cenderung
negatif. Citra ini amat ditentukan oleh banyak sedikitnya informasi yang dimiliki
oleh penganut atau mereka yang mempercayainya.
c. Citra Harapan (Wish Image)
Citra harapan adalah suatu citra yang diharapkan oleh pihak pencitra. Citra
ini juga tidak sama dengan citra yang sebenarnya. Biasanya citra harapan lebih
baik atau lebih menyenangkan daripada citra yang ada, walaupun dalam kondisi
tertentu, citra yang terlalu baik juga bisa merepotkan. Namun secara umum yang
disebut sebagai citra harapan itu memang merupakan sesuatu yang berkonotasi
menyambut sesuatu yang relatif baru, yakni ketika khalayak belum mempunyai
informasi yang memadai.
d. Citra Perusahaan / Kelembagaan (Corporate Image)
Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi
bukan citra atas produk dan pelayanan saja. Citra perusahaan terbentuk oleh
banyak hal. Hal-hal positif yang dapat meningkatkan citra suatu perusahaan
antara lain adalah sejarah atau riwayat hidup perusahaan yang gemilang,
keberhasilan-keberhasilan di bidang keuangan yang pernah diraih, sukses ekspor,
hubungan industri yang baik, reputasi yang baik sebagai pencipta lapangan kerja
dalam jumlah besar, kesediaan turut memikul tanggungjawab sosial, komitmen
mengadakan riset dan sebagainya. Marks and Spencer memiliki suatu citra
perusahaan yang cemerlang dan sudah mendapat pengakuan internasional.
e. Citra Majemuk (Multiple Image)
Setiap perusahaan atau organisasi pasti memiliki banyak unit dan pegawai
(anggota). Masing-masing unit dan individu tersebut memiliki perilaku tersendiri,
sehingga secara sengaja ataupun tidak mereka pasti memunculkan suatu citra yang
belum tentu sama dengan jumlah pegawai yang dimilikinya. Untuk menghindari
berbagai hal yang tidak diinginkan, variasi citra itu harus ditegakkan. Banyak cara
yang dapat ditempuh. Antara lain dengan mewajibkan semua karyawan untuk
mengenakan seragam, menyamakan jenis dan warna mobil dinas, bentuk toko
yang khas dan simbol-simbol tertentu serta hal-hal lainnya. Contoh perusahaan
I.3.1.3.Citra Positif dan Citra Negatif
Anggoro menyatakan bahwa citra yang positif dan ideal adalah kesan yang
benar, yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta
pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Itu berarti citra tidak seyogyanya
"dipoles agar lebih indah dari warna aslinya", karena hal itu justru dapat
mengacaukan. Suatu citra yang sesungguhnya bisa dimunculkan kapan saja,
termasuk di tengah terjadinya musibah atau sesuatu yang buruk. Caranya adalah
dengan menjelaskan secara jujur apa yang menjadi penyebabnya, baik itu
informasi yang salah atau suatu perilaku yang keliru.19
I.3.1.4.Citra dan Identitas
Banyak orang mencampur adukkan citra dengan identitas. Padahal
walaupun memiliki kaitan erat, citra tidaklah sama dengan identitas. Hal ini
dikarenakan citra adalah hasil persepsi. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh
Jallaludin Rahkmat dalam bukunya, Psikologi Komunikasi bahwa citra adalah
penggambaran tentang realitas yang tidak harus sesuai dengan realitas sebenarnya.
Identitas adalah apa yang sebenarnya ada pada atau ditampilkan. Identitas
menempatkan jati diri, sedangkan citra adalah persepsi masyarakat terhadap jadi
diri itu. Identitas bukan citra. Tetapi identitas dapat membantu untuk
mengingatkan masyarakat tentang citra mereka.
Dalam kerangka lebih kompleks, Jean Baudrillard mengatakan bahwa citra
dipersepsikan untuk 4 hal, yaitu; sebagai refleksi dari realitas dasar, citra sebagai
19
alat untuk menutupi dan menyesatkan realitas dasar, citra sebagai alat untuk
menutupi ketidakhadiran realitas dasar dan citra sebagai hasil dari realitas yang
tidak memiliki relasi dengan realitas manapun (hyperealitas).
I.3.1.5.Proses Pembentukan Citra / Pencitraan (Imagology)
Citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan
pengertian tentang fakta-fakta atau kenyataan.20 Pencitraan (imagology) merupakan satu upaya untuk menciptakan karya kreatif yang dibalut dengan
berbagai teknik persuasi baik itu dalam bentuk audio, visual maupun narasi yang
hasilnya menampilkan sesuatu gambaran (realitas) yang lebih menarik dan
meyakinkan.21
Kata imagologi (imagology) pertama kali diungkapkan oleh Milan Kundera dalam salah satu novelnya yang berjudul “Immortality”. Imagologi merupakan penggabungan kata imago dan logos yang berarti logika imajinasi. Imagologi merupakan manifestasi dari imaginasi yang berisi kata, tanda dan citra
atau gambar. Imagologi tidak membedakan mana yang realitas aktual dan mana
yang merupakan realitas hasil representasi (virtual). Hal tersebut karena imagologi berada sekaligus dalam dunia yang bergerak maju secara dialektis
dimana terdapat aktualisasi dan virtualisasi. Virtualisasi yang dimaksud dalam
proses imagologi dapat dijelaskan dalam permainan, keindahan dan normatifitas
yang dilogiskan menjadi citra atau gambaran (imagi). Dalam proses selanjutnya,
20
Soleh Sumirat & Elvinaro Ardianto, OpCit, hal.115
21
Lihat Bachtiar Aly, Kompetisi Pencitraan,
virtualisasi menjadi bagian dari aktualisasi yang terimitasi dimana imagi-imagi
dalam proses virtualiasi menjadi rujukan dalam memahami suatu realitas.22
Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui
dari sikapnya terhadap objek tersebut. Semua sikap bersumber pada organisasi
kognitif, pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Tidak akan ada teori
sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyeledikan tentang
dasar-dasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses
pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan
informasi-informasi yang diterima seseorang
Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai dengan
pengertian sistem komunikasi dijelaskan oleh ohn S. Nimpoeno dalam laporan
penelitian tentang tingkah laku konsumen, seperti yang dikutip, sebagai berikut :
Gambar 1. Model Pembentukan Citra23
Hubungan digambarkan sebagai input-output, proses intern dalam model
ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan
22
Lihat Budi Hartanto, Virtual Revolution, http://www.bloxster.net/buzzart/, diakses pada 19 Maret 2009
23
Soleh Sumirat & Elvinaro Ardianto, OpCit, hal.115
Kognisi
Motivasi
Sikap
Persepsi Respon
Perilaku Stimulus
output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Citra itu sendiri digambarkan
melalui persepsi-kognisi-motivasi-sikap.
Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus yang
berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Stimulus
(rangsangan) yang diberikan pada individu diterima atau ditolak.
Jika rangsangan ditolak proses selanjutnya tidak dapat berjalan, hal ini
menunjukkan bahwa rangsangan tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi
individu karena tidak ada perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika
rangsangan itu diterima oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan terdapat
perhatian organisme, dengan demikian proses selanjutnya dapat berjalan.
Empat komponen persepsi-kognisi-motivasi-sikap diartikan sebagai citra
individu terhadap rangsangan. Jika stimulus mendapat perhatian, individu akan
berusaha untuk mengerti tentang rangsangan tersebut.
a. Persepsi
Diartikan sebagai hasil pengamatan unsur lingkungan yang dikaitkan
dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain, individu akan memberikan
makna terhadap rangsangan berdasarkan pengalaman mengenai rangsangan.
Kemampuan mempersepsi itulah yang dapat melanjutkan proses pembentukan
citra. Persepsi pandangan individu akan positif bila informasi yang diberikan oleh
rangsangan dapat memenuhi kognisi individu.
b. Kognisi
Yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan
individu harus diberikan informasi-informasi yang cukup yang dapat
mempengaruhi perkembangan kognisinya.
c. Motivasi
Motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan
individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.
d. Sikap
Adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam
menghadapi objek, ide, situasi ataupun nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi
merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu. Sikap
mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap menentukan apakah orang
harus pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan
dan diinginkan. Sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai
menyenangkan (like) atau tidak menyenangkan (dislike). Sikap ini juga dapat
diperteguh atau diubah.24
I.3.2.Politik
Asal mula politik itu sendiri menurut Robert Dahl, berasal dari kata
“polis” yang berarti “negara kota”, dengan demikian politik memiliki hubungan
khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan ini timbul aturan,
kewenangan, dan pada akhirnya kekuasaan. Tetapi menurut Hoogerwerf, politik
24
bisa saja dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan, pemerintahan,
konflik dan pembagian atau kata-kata serumpun.25
Tetapi dalam kehidupan nyata, penguasa-penguasa bijak tidak mesti selalu
bersikap bijak. Artinya, negara dari hakim atau raja yang bajik tidaklah
permanent. Stabilitas terjadi bila semua kelas rakyat berlainan dapat Secara esensial politik merupakan aspek kehidupan manusia yang
mempunyai nilai luhur dan fundamental. Hal ini karena politik adalah ruang
publik. ia merupakan pola managemen kolektif, lokus bertemunya beragam
kepentingan dan aspirasi manusia. Pada prinsipnya, karakter manusia adalah
keinginan untuk hidup bersama. Manusia manapun tidak mungkin hidup sendiri
tanpa bersinggungan dan ditopang oleh manusia lain. Seseorang bisa eksis karena
terkait dengan teman, saudara, sanak famili, ketua RT, tukang becak, penjual
sayur, guru, mahasiswa, supir bus, tukang sapu, petugas pom bensin, tukang
bakso dan sebagainya. Dan inilah sebenarnya esensi dan fungsi substantif entitas
politik yakni berbagi kerja untuk kemaslahatan bersama. Dari masing-masing
komponen itu, tidak ada yang tidak penting, semuanya penting. Karena apabila
salah satunya macet, maka akan memacetkan komponen yang lain
Politik merupakan suatu fungsi hubungan antara penguasa dan yang
dikuasai. Pemerintahan mungkin dijalankan oleh satu orang (raja, diktator,
otokrat, tiran), beberapa orang (oligarki, yunta, elit), atau banyak orang
(electorates).
25
berpartisipasi; tetapi, demokrasi absolute menimbulkan anarki. Kompromi terbaik
adalah Negara yang mencerminkan kekuasaan kelas.26
Politik berkaitan dengan kekuasaan, begitulah yang dikemukakan oleh
Hans J. Morgenthau dalam tulisannya yang berjudul Politics Among Nation yang mendominasi kegiatan terisolasi realis sesudah Perang Dunia II, menegaskan
proposisi bahwa kekuasaan adalah fokus utama studi dan praktek hubungan
internasional. Pemikirannya tentang realisme politik dan tentang kekuasaan
tercermin dalam kutipan berikut ini.27
Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu Politik internasional, seperti halnya semua politik, adalah perjuangan
memperoleh kekuasaan. Adapun tujuan akhir dari politik internasional, tujuan
menengahnya adalah kekuasaan. Negarawan-negarawan dan bangsa-bangsa
mungkin mengejar tujuan akhir berupa kebebasan, keamanan, kemakmuran atau
kekuasaan itu sendiri. Mereka mungkin mendefinisikan tujuan-tujuan merka itu
dalam pengertian tujuan yang religius, filosofis, ekonomis atau sosial. Mereka
mungkin berharap bahwa tujuan ini akan terwujud melalui perkembangan alamiah
urusan kemanusiaan. Tetapi begitu mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan
mereka dengan menggunakan politik internasional, mereka melakukannya dengan
berupaya memperoleh kekuasaan.
26
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta : LP3ES, hal.68
27
menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari
tujuan-tujuan yang telah dipilih itu Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari
seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang (individu).28
I.3.3.Politik Pencitraan
Politik Pencitraan (imagology politic) dapat didefinisikan sebagai representasi visual dan naratif yang mengedepankan citra atau gambaran dengan
menggunakan medium tertentu yang sifatnya umum (masiv) dengan beberapa proses yang melibatkan simbol-simbol dan entitas-entitas sosial dan politik
dengan tujuan kekuasaan..
Politik pencitraan pada dasarnya adalah merupakan simbiosis antara
strategi politik dengan teknik pencitraan yang di dalamnya ada pengemasan
terhadap sesuatu objek pelaku politik baik itu perorangan (tokoh politik) maupun
kelompok (partai politik). Politik Pencitraan digunakan dalam rangka
mempengaruhi persepsi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka
dapat digiring ke suatu preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.29
Menurut RW Pollay pendekatan pencitraan dalam politik memiliki fungsi
komunikasi, yaitu informasional dan transformasional seperti upaya meyakinkan
28
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 2000 hal.8
29