• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III. PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

3.3. Analisa Data

3.3.2. Opini Publik Terhadap Pencitraan SBY-Budiono

3.3.2.2. Kognisi Terhadap Pencitraan Politik SBY

Kognisi adalah suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan akan timbul apabila individu telah mengerti rangsangan tersebut, sehingga individu harus diberikan informasi-informasi yang cukup untuk dapat mempengaruhi perkembangan kognisinya. Dengan bahasa lebih sederhana dapat dikatakan bahwa kognisi adalah persepsi yang diyakini.61

Pencitraan Politik yang dilakukan pasangan SBY-Budiono sepertinya tidak terlalu sukses mempengaruhi kognisi pemilih seperti halnya dalam mempengaruhi persepsi pemilih. Hal itu terbukti pada tabel 117, dimana bisa dilihat jarak yang cukup tipis antara responden yang menyatakan percaya dan tidak percaya dengan pesan pencitraan yang disampaikan oleh pasangan SBY-Budiono. 53.54% respondenya menyatakan percaya dengan pesan pencitraan diri pasangan SBY-Budiono. Responden menyatakan bahwa selama 5 tahun periode sebelumnya responden dihadapkan pada kenyataan dimana SBY memang merupakan sosok yang santun, baik hati dan sikap-sikap yang menunjukkan rasa

Kognisi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sejauh mana masyarakat meyakini persepsi yang mereka buat berdasarkan pencitraan yang dilakukan oleh pasangan SBY-Budiono.

61

simpati kepada rakyat. Sementara itu, Budiono menurut mereka dinilai sebagai profesional yang bertangan dingin dalam memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia. Disamping itu, penolakan akan kepercayaan terhadap pasangan ini datang dari 46.46% responden lainnya. Mereka menyatakan bahwa pesan-pesan yang disampaikan lewat pencitraan politik SBY-Budiono cenderung dibuat-buat dan lebih mirip acara drama di televisi. Disamping itu, Budiono yang selama karir politiknya tidak pernah muncul sebagai sosok yang populer dipaksa untuk mengikuti popularitas dan cara-cara pencitraan SBY, sehingga terkesan dipaksakan.

Perdebatan bukan hanya terjadi dalam hal mempercayai citra diri sosok pasangan SBY-Budiono. Dalam hal kepercayaan terhadap realitas yang coba dibangun atau disimulaiskan oleh pasangan SBY-Budiono pun terjadi perbedaan yang sangat kentara, antara yang percaya dengan yang tidak percaya. Pada tabel 122 bisa dilihat bahwa 51.52% responden menyatakan percaya dengan realitas yang ada pada pencitraan SBY-Budiono. Responden beralasan karena selama 5 tahun SBY memimpin realitas-realitas itu memang tergambar jelas dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Jadi menurut mereka tak ada alasan untuk tidak mempercayai realitas yang memang responden itu sendiri telah lihat. Di sisi lain, dengan jumlah yang tidak terlalu berbeda jauh dengan yang menyatakan percaya, 48.48% responden sebaliknya. Responden menyatakan bahwa tidak semua realitas yang digambarkan lewat pencitraan dirasakan masyarakat. Hanya dalam beberapa hal saja realitas itu benar. Namun menurut mereka realitas yang digambarkan SBY-Budiono lewat pencitraan cenderung

merupakan realitas yang dibuat-buat untuk menaikkan popularitas semata. Persoalan ekonomi, keamanan dan pendidikan menurut mereka bisa dijadikan contoh khusus untuk membenarkan hal tersebut.

Agar pencitraan politik berajalan dengan baik, upaya untuk mengeliminir ataupun mengesploitasi lawan politiknya. Salah satu afiliasi dari hal tersebut adalah kampanye negatif (Negative Campaign). Pada kontestasi 2009 yang lalu, masing-masing pasangan calon melakukan pencitraan negatif terhadap lawan politiknya untuk mempengaruhi kognisi masyarakat dalam melihat sosok kontestan politik.

Pada tabel 127, bisa kita lihat bahwa 39.39% responden menyatakan pencitraan negatif tersebut mempengaruhi kerpercayaan responden terhadap pasangan SBY-Budiono. Alasan yang dikemukakan responden adalah karena SBY sendiri tidak berusaha untuk mengklarifikasi dengan seksama pencitraan negatif yang dilakukan pasangan yang lain, entah itu karena menjaga kesantunan politik atau karena memang diserahkan ke publik untuk menilai, namun sikap seperti itu memberikan kebingungan kalangan masyarakat. Sementara itu, 60.61% responden menyatakan bahwa pencitraan politik itu tidak mempengaruhi tingkat kepercayaan responden kepada pasangan SBY-Budiono. Alasan yang pada umumnya disampaikan oleh responden adalah karena pencitraan negatif yang dilakukan tidak disertai dengan data-data yang akurat dan cenderung mengarah kepada fitnah. Disamping itu juga, kedua pasangan calon lainnya pernah merupakan bagian dari kesatuan yang sama, sehingga menurut responden melalukan pencitraan negatif pada satu sama lain berarti memberikan pencitraan

negatif pada diri pasangan calon itu sendiri. Jumlah antara yang menyatakan pencitraan negatif itu mempengaruhi tingkat kepercayaan atau tidak berada pada angka yang tidak terlalu signifikan. Sehingga bisa dinyatakan bahwa masing-masing responden memiliki keyakinan sendiri terhadap calon yang telah mereka pilih meskipun masing-masing calon melakukan pencitraan negatif.

Hal tersebut dapat dibenarkan jika kita merujuk pada tabel 132, dimana 55.56% responden masih percaya terhadap SBY-Budiono, Sementara 44.44%) lainnya menyatakan tidak percaya lagi dengan SBY. Jika dibandingkan dengan jumlah responden yang menyatakan percaya dengan pesan pencitraan yang disampaikan oleh SBY-Budiono seperti pada tabel 117 dan tabel 122, perbedaanya tidak terlalu jauh. Sehingga dapat dikatakan bahwa menurut responden, pencitraan negatif yang dilakukan kandidat lainnya tidak mempengaruhi kepercayaan responden terhadap pasangan SBY-Budiono dan begitu juga terhadap pencitraan negatif yang dilakukan SBY terhadap pasangan lainnya.

Dari analisa data di atas bisa kita lihat sebenarnya, pencitraan SBY tidak terlalu berhasil dalam kerangka membangun kognisi pemilih. Hal tersebut bisa dilihat dari tingginya jumlah responden yang tidak terlalu yakin dengan stimulan-stimulan persepsi yang disampaikan oleh pasangan SBY-Budiono. Bisa dikatakan bahwa tidak begitu berhasilnya SBY-Budiono membangun kognisi publik karena tidak kuatnya substansi pada persepsi yang dibangun. Hal tersebut juga bisa diperkuat dengan temuan-temuan pada data sebelumnya, dimana SBY-JK memang cenderung fokus dalam memberikan stimulan-stimulan tentang

pencitraan pribadi saja, padahal visi yang mengandung substansi juga tak kalah pentingnya dibandingkan citra diri. Menurut Lembaga Survei Indonesia, Pencitraan tanpa substansi tidak mungkin merebut simpati publik. Selain itu, kinerja baik tanpa pencitraan juga bakal menuai hasil yang kurang maksimal.62