• Tidak ada hasil yang ditemukan

hak asasi manusia dan negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "hak asasi manusia dan negara"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

HAK ASASI MANUSIA, DAN KEKERASAN YANG

DILAKUKAN OLEH NEGARA

disusun guna memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Etika Terapan

oleh

Almatius Surya G 1006771913

PROGRAM STUDI FILSAFAT

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA

(2)

ABSTRAK

Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia ? hal ini menjadi pertanyaan kita di dalam kehidupan bernegara. Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan berpendapat bahwa negara harus bisa mengawasi dan juga imenempati kekosongan ketika pelanggaran Hak Asasi Manusia itu terjadi. Namun bagaimana ketika negaralah yang melanggar Hak Asasi Manusia, seperti pada kasus pada zaman Orde Baru. ketika serigala tetap tidak bisa menjadi anjing peliharaan ketika sudah berada di dalam suatu komunitas. Kehidupan bernegara ini tidak akan pernah lepas dari tindakan politik, dan politik adalah sebuah penyingkapan bahwa dirinya adalah manusia. Itu karena politik adalah ruang bagi tindakan (vita activa) dan pemikiran (vita contemplativa). Hannah Arendt berpendapat bahwa manusia yang seharusnya adalah manusia politis

(3)

HAK ASASI MANUSIA DAN NEGARA

1. Proses terbentuk dan prinsip di dalam HAM Proses terbentuknya HAM :

Penindasan (Kesewenang-wenangan)

Penemuan Hak

Penegakan Hak Pengakuan Hak

Pengkodifikasian Hak

HAM terbentuk dari sebuah penindasan karena kesewenang-wenangan suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang lebih kecil, dan lemah. Setelah itu mereka yang merasa tertindas melaporkan penindasan tersebut sehingga ditemukanlah hak tersebut. Lalu agar tidak terjadi sebuah kejahatan yang sama maka diadakan pengakuan hak, yang dilanjutkan dengan pengkodifikasian hak, dan penegakannya. Namun setelah ditegakkan, akan terjadi penindasan dalam bentuk yang berbeda, maka dari itu siklus tersebut akan selalu berputar.

Prinsip-prinsip di dalam HAM :

a. Universal

Hak asasi bersifat universal. Semua orang dimanapun di dunia ini memiliki hak. Manusia tidak dapat memberikan hak tersebut. Demikian pula, seseorang tidak dapat mencabut hak tersebut dari orang lain. Sebagaimana disebut dalam Pasal 1 DUHAM, “Semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan haknya”.

b. Tidak dapat dibagi

(4)

hak, dan mereka tidak dapat dikelompokkan dalam tingkatan-tingkatan, atau aturan-aturan yang bersifat hirarkis

c. Saling terkait

Realisasi dari satu hak tergantung sepenuhnya atau sebagian, terhadap realisasi dari hak yang lain. Sebagai contoh, realisasi hak atas kesehatan dapat tergantung, dalam keadaan tertentu, terhadap realisasi hak atas kesehatan atau hak atas informasi

d. Setara

Semua orang adalah setara sebagai manusia. Dengan demikian, tidak seorangpun, harus menderita karena diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, etnis, gender, umur, bahasa, orientasi seks, agama, pendapat politik atau lainnya, asal usul kebangsaan, sosial dan geografi, disability, kepemilikan, kelahiran atau status lain yang dibangun dengan standard HAM.

e. Akuntabilitas

Negara dapat dimintai pertanggungjawaban mengenai kepatuhannya terhadap HAM. Dalam hal ini, Negara harus menyesuaikan dengan norma dan standard hokum yang ada di dalam instrument HAM internasional. Bilamana Negara gagal untuk melakukannya, pemegang hak yang dirugikan berhak untuk melakukan tindakan redress tertentu sebelum ke pengadilan atau proses hokum lain dalam kesesuaiannya dengan peraturan dan prosedur yang ada di dalam hokum. Individu, media, masyarakat sipil, dan masyarakat internasional memainkan peran penting dalam menjaga akuntabilitas pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi HAM.

2. Undang-Undang HAM di Indonesia

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

I. UMUM

(5)

perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.

(6)

maupun horizontal (atarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).

Pada kenyataanya selama lebih lima puluh tahun usia Rebulik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan , pemerkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya. Selain itu , terjadi juga penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa.

Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembagalembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Disamping kedua sumber hukum diatas, peraturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional ,mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peratuan perundang-undangan yang sudah ada, perlu dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.

Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini adalah sebagai berikut: a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dan segala

(7)

b. pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;

c. untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus);

d. karena manusia merupakan mahluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;

e. hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun; f. setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia

orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;

g. hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat public lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.

Dalam Undang-undang ini, peraturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Peserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Peserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrument internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

(8)

asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia. Disamping itu, Undang-undang ini mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.

Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia. Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administrative sesuai dengan ketentuan peratturan perundang-undangan.

3. Kekuasaan dan negara

Secara etimologis, kata negara sendiri berasal dari bahasa Inggris (STATE), Bahasa belanda (STAAT), Bahasa Perancis (ETAT) yang sebenarnya kesemua kata itu berasal dari Bahasa Latin (STATUS atau STATUM) yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifatsifat yang tegak dan tetap. Dimana makna luas dari kata tersebut juga bisa diartikan sebagai kedudukan persekutuan hidup manusia.

Sedangkan arti dari negara sendiri adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent. Dan untuk bisa dikatakan sebagai negara, maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi :

a. Rakyat

b. Wilayah / territorial

c. Pemerintahan yang berdaulat

d. Pengakuan dari negara-negara yang lain

(9)

membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi lagi agar manusia takut, sehingga setiap manusia tidak menjadi serigala bagi serigala lainnya.

Di dalam bukunya yang berjudul “Leviathan”, Thomas Hobbes menjelaskan bahwa seharusnya negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan. Hal ini dianalogikan oleh Hobbes sebagai Leviathan, yang merupakan binatang buas di dalam mitologi Timur Tengah. Mengapa harus terbentuk negara yang harus ditakuti oleh manusia ? Hobbes berpendapat bahwa seluruh perilaku manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri atau takut akan kehilangan nyawa.[1] Dengan mengetahui

hal tersebut, Hobbes merasa mampu menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu kuasailah rasa takut mati mereka.[1] Bila manusia diancam dan dibuat takut, ia akan dapat mengendalikan

emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat terjamin. Karena itu, negara haruslah menekan rasa takut mati dari warga negaranya, supaya setiap orang berbuat baik.

Namun untuk menghidari kekuasaan mutlak suatu negara, Thomas Hobbes berpendapat bahwa :

a. Pertama, perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan terakhir.

b. Kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga negara, maka setiap warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian akan berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya

KONSEP HAK ASASI MANUSIA HANNAH ARENDT

Di dalam bukunya yang berjudul The Origin of Totalitariianisme, Hannah Arendt berpendapat bahwa sebenarnya hak asasi manusia pada awalnya sudah mengandung paradoks. Hal ini dikarenakan manusia itu hidup di dalam komunitas, dan setiap manusia bukanlah “manusia pada umumnya”. Menurutnya, manusia itu harus dipandang sebagai pribadi konkret yang berbeda dengan pribadi-pribadi yang lain.

(10)

asasi manusia itu bukanlah hak-hak alamiah, melainkan hak-hak historis yang terkait dengan komunitas politik sehingga hak-hak asasi manusia tak dapat dilepaskan dari proses legislasi demokratis. Hak asasi manusia tidak aka nada gunanya tanpa kedaulatan rakyat

Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang kita cita-citakan di dalam suatu konsep negara yang sangat menginginkan sebuah kebebasan yang dianut oleh negara-negara liberalis. Yang perlu dilihat di sini adalah latar belakang terbentuknya liberalism dan republikanisme. Yang pertama adalah liberalisme, liberalisme berpangkal dari pengalaman kekuassaan absolute dalam pemerintahan monarkhi, dan juga penderitaan yang diakibatkan oleh perag agama di Eropa pada abad 17 dan 18. Untuk melawan tirani yang merampas kebebasan individu ini, hak asasi liberal tampil untuk melawan negara. Menurut liberalisme, hak asasi manusia itu harus didahulukan daripada negara, maka dari itu individu adalah sesuatu yang utama. Tujuan negara adalah menjamin kebebasan individu tersebut.

Berbeda dengan liberalisme, republikanisme berangkat dari permasalahan modernitas kapitalis, yang telah membebaskan bangsa-bangsa dari ikatan otoritas dan tradisi sosial, religious, dan historis. Hal ini menyebabkan individu tampil secara bebas dimuka umum. Menurut Arendt, hal ini bukanlah menunjukkan emansipasi individu di dalam kelompok, melainkan atomisasi1. Hal

ini menyebabkan masyarakat kelas dan tidak ada lagi jaminan bahwa setiap individu akan dipandang sama di dalam kelompok. Menurut republikanisme, hal ini seharusnya dilakukan oleh negara. Ketika komunitas-komunitas sosial dan religius sudah tidak bisa lagi menjamin, maka negara harus mengambil alih peran tersebut.

Di sinilah timbul paradoks hak asasi manusia, awal kita membayangkan bahwa hak itu merupakan hak pra-politis, yaitu sebagai sesuatu yang dimiliki oleh manusia sebagai individu sebelum terbentuknya negara, sehingga tugas negara adalah menjamin pelaksanaannya. Padahal untuk menjamin hal tersebut individu tidak bisa tetap dianggap sebagai individu. Statusnya harus berubah menjadi anggota kelompok yaitu warga negara.

Konsep kewarganegaraan dan konsep ruang publik Hannah Arendt adalah dua dari tiga konsep sentral – yang lainnya lagi, dan bahkan paling sentral, adalah “teori tindakan”-nya – dalam teori

(11)

sosial Hannah Arendt. Ketiganya saling berhubungan. Membicarakan kewarganegaraan dan ruang publik tanpa mendasarkannya pada teori tindakan, bagi Arendt, itu tidak mungkin. Karena

itu, sebelum masuk ke konsep Arendt tentang kewarganegaraan dan ruang publik, perlu kita cermati dulu teori tindakannya.

Konsep kewarganegaraan didasarkan pada antropologi khas Hannah Arendt yang memandang manusia dalam tiga dimensi vita activa-nya, yaitu kerja (labor), karya (work), dan tindakan (action). Dari ketiganya, yang mengekspresikan dan mengkonstitusikan dimensi politik manusia adalah tindakan. Apa artinya? Politik bukanlah bawaan, dan karena itu niscaya, melainkan buatan, dan karena itu kontingen. Politik adalah suatu tindakan sengaja. Tetapi, tindakan itu sendiri tidak mungkin tanpa masyarakat. Kalau aktivitas lain (kerja dan karya) dapat dimengerti di luar masyarakat, maka tindakan tidak. Bahkan, tindakan adalah prerogatif eksklusif manusia. Oleh karena itu, tindakanlah yang membedakan manusia dari spesies binatang lainnya, bahkan dari para dewa sekalipun

Manusia masihlah tetap manusia tanpa kerja dan karya, tetapi tanpa ucapan dan tindakan, manusia bukan lagi manusia. Tindakan berarti memulai, menginisiasi. Tindakan memulai ini adalah ekspresi kebebasan manusia, sebuah kondisi dasar lain, selain pluralitas. Dalam kata-kata Arendt sendiri, “Dengan terciptanya manusia, prinsip permulaan masuk ke dunia, ini hanya cara lain untuk menyatakan bahwa prinsip kebebasan itu tercipta ketika manusia diciptakan, bukan sebelum diciptakan.”

1. Pluralitas dan Kebebasan

Menurut Arendt, Pluralitas, yang menjadi prasyarat dasar bagi tindakan dan ucapan, menjadi ruang tempat berlangsungnya dialektika antara kesamaan/kesetaraan (equality) dan kebedaan

(distinction).29 Kesamaan menjadi basis bagi adanya pemahaman terhadap satu sama lain dan

(12)

Politik adalah tindakan (dan juga wicara). Dan tindakan mengimplikasikan kebebasan, karena bertindak menurut Arendt berarti memulai, mencipta; dan memulai dan mencipta berarti melakukan pilihan-pilihan.31 Itu adalah kebebasan. Tindakan mengimplikasikan kebebasan tidak dibaca sebagai tindakan yang menghasilkan atau mengakibatkan kebebasan tetapi tindakan memprasyaratkan kebebasan. Politik adalah tindakan, dan karena itu politik, tidak bisa tidak, memprasyaratkan kebebasan. Politik tanpa kebebasan bukanlah politik. Kebebasan adalah kondisi kemungkinan bagi politik.

Di dalam esai yang berjudul “What is Freedom ?”, Arendt mengembangkan konsepnya tentang kebebasan politik sebagai keutamaan dan membaliknya dengan kebebasan sebagai “kehendak bebas. Walaupun begitu ada sesuatu yang bisa merusak kebebasan yaitu menyamakan kebebasan sebagai “independensi” dan kedaulatan. Menurut Arendt, jika kebebasan dipahami sebagai independensi maka akan timbul kesulitan, karena politik persis mengandaikan kesalingtergantungan (interdependency). Jika demikian, maka kebebasan berarti kebebasan “dari” politik. Hal ini tentu saja absurd bagi Arendt yang memahami kebebasan dalam konsep antiknya, yaitu kebebasan sebagai konsep politik. Kebebasan eksis hanya di dalam ruang politik yang tidak lain adalah ruang publik. Kebebasan juga bertentangan secara antagonistik secara konseptual dengan kedaulatan: “Kebebasan dan kedaulatan tidaklah

sama dan keduanya bahkan tidak dapat eksis secara simultan”. Dikaitkan dengan konsep vita

activa-nya, independensi dan kedaulatan merupakan dua konsep yang masuk dalam kategori

karya (work), dan bukan kategori tindakan. Karena itu keduanya tidak politis. Menurut Arendt, kedaulatan (self-determination) adalah nama lain dari kehendak bebas (free will). Melihat kebebasan sebagai kehendak bebas akan membuat kita memahami politik sebagai arena peperangan.

(13)

Dalam On Revolution, Hannah Arendt membedakan kebebasan politik (political freedom) dari kebebasan personal (personal freedom). Bagi Arendt, kebebasan politik adalah kebebasan warisan pemikir seperti Aristoteles, dan praktik polis di Yunani kuno, dan itulah yang sebenarnya dinamakan kebebasan. Kebebasan jenis ini, sekarang ini, dipahami sebagai kebebasan positif

(positve liberty), yaitu kebebasan untuk (freedom to) melakukan apa pun dan menjadi apa pun

berdasarkan otonomi seseorang. Sementara, kebebasan personal adalah, dalam kaca mata Arendt, kebebasan yang dipahami dalam politik modern (liberty of the moderns). Kebebasan demikian berada di luar politik. Dalam paham sekarang ini, kebebasan itu dinamakan sebagai kebebasan negatif (negative freedom), yaitu kebebasan dari (freedom from) apa pun dan siapa pun yang menjadi penghalang bagi pemenuhan sesuatu atau diri. Tetapi, sebenarnya Arendt tidak memakai konsep positif dan negatif, melainkan politik dan personal, dan konsep itu melampaui konsep kebebasan positif dan negatif, yang bahkan sangat kental mewarnai pertentangan antara liberalisme dan sosialisme, yang kemudian juga tercermin dalam hak asasi manusia.

(14)

praktik negara-kota Yunani kuno, karena ruang privat merupakan ruang sang manusia tunggal

(sphere of Man) dan bukan ruang gaul manusia-manusia atau rakyat.

2. Etika Politik (Negasi dari Kekerasan)

Hannah Arendt tidak setuju dengan Hobbes yang mengatakan kekerasan adalah bagian dari alamiah manusia. Arendt menampik pendapat ini dalam uraian Vita Activa ( The Human Condition). Dia membedakan tiga aktivitas fundamental manuisa: kerja, karya, dan tindakan. Ketiga kegiatan ini erat dengan eksistensi manusia yang paling umum: kelahiran dan kematian. Kerja demi keberlangsungan hidup manusia dan spesies lain secara keseluruhan. Karya memberi kita peluang untuk mencari dan memberi arti kehidupan kita, dan menangkal kesia-siaan kematian; kita mampu untuk selalu terkenang. Karya seni misalnya, tetap abadi walau sang pembuat karya itu sudah mati. Tindakan membiarkan kita menciptakan sejarah, dan megingat masa lampau. Ketiga ini ada demi kehidupan generasi selanjutnnya.

Menurut Arendt, kekerasan bukan merupakan ciri dari sebuah kekuasaan. Walaupun banyak pemikir berpendapat bahwa kekerasan merupakan alat untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, Arendt berpendapat bahwa kekerasan itu terjadi ketika kekuasaan sudah tidak ada. Maka hal itu menjadi kontradiktif ketika dikatakan bahwa kekerasan merupakan alat kekuasaan. Untuk menguraikan kekerasan dari kekuasaan, Arendt membuat distingsi dan klarifikasi yang menarik antara kekuasaan (power), kekuatan (strength), daya paksa (force), otoritas (authority), dan kekerasan (violence).

Kekuasaan berhubungan dengan kemampuan untuk tidak sekedar bertindak, melainkan bertindak bersama sama. Kekuasaan tidak pernah menjadi properti individual. Kekuasaan termasuk dalam satu kelompok dan tetap eksis jika kelompok itu masih bersama. Ketika kita mengatakan seseorang itu berkuasa berarti dia diberdayakan khalayak banyak untuk bertindak atas nama mereka.

(15)

Namun, dalam suatu kondisi tertetu, Arendt menjelaskan bahwa kekerasan itu dapat dibenarkan. Dia berpendapat bahwa satu-satunya solusi terhadap ketidakadilan adalah kekerasan.

Hannah Arendt dengan terang-terangan menolak para filsuf politik sebelumnya yang memungkinkan kekerasan sebagai instrument sebuah negara demi mempertahankan eksistensinya terhadap masyarakatnya maupun dunia internasional untuk tujuan politits tertentu. Dalam The Origins Totalitarianisme, ia berbicara tentang totalitarianisme, imperialisme, dan rasisme sebagai bentuk bentuk kekerasan negara.

Arendt juga mengecam sistem pemerintahan yang terlalu birokratis. Sistem yang tidak memberi ruang pada tanggung jawab. Bagi dia, sistem yang seperti ini membuka peluang untuk terjadinya kekerasan karena tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab.

KASUS TENTANG KEKERASAN YANG

DILAKUKAN OLEH NEGARA

Februari – Mei 1998

Terjadi kasus penculikan dan penghilangan paksa terhadap 23 orang penduduk sipil, dimana sebagian dari mereka adalah aktivis pro demokrasi.

Dari jumlah tersebut, yang dikembalikan hanya 9 orang, terdiri dari ;

1. Aan Rusdiyanto 13 Maret 1998 Diambil paka dirumah susun klender Jakarta Timur 2. Andi Arief 28 Maret 1998 Diambil paksa di Lampung

3. Desmon J Mahesa 4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta

(16)

di depan pintu Taman Mini Indonesia Indah Mugiyanto 13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur

5. Nezar Patria 13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur 6. Pius Lustrilanang 4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta

7. Raharja Waluya Jati 12 Maret 1998 Dikejar dan ditangkap di RS Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat

Sedangkan13 orang yang belum kembali hingga sekarang, terdiri dari;

1. Dedy Hamdun 29 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

2. Hermawan Hendrawan 12 Maret 1998 Diambil paksa di Jakarta 3. Hendra Hambali 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

4. Ismail 29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta 5. M Yusuf 7 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta

6. Nova Al Katiri 29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta

7. Petrus Bima Anugrah Minggu ke III bulan Maret 1998 Diambil paksa di Jakarta 8. Sony 26 April 1997 Diambil paksa di Jakarta

9. Suyat Februari 1997 Diambil paksa di Jakarta

10. Ucok Munandar Siahaan 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta 11. Yadin Muhidin 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

(17)

Analisis Kasus :

Penculikkan dan penghilangan beberapa aktivis yang dilakukan oleh negara pada masa Orde Baru merupakan suatu bentuk pelanggaran negara terhadap rakyatnya sendiri. Sebuah kekerasan yang pada zaman Soeharto dilakukan untuk menjaga stabilitas negara, hanya sebagai kedok semata. Yang lebih mendasar lagi adalah kekerasan dilakukan agar Soeharto bisa tetap menjadi Presiden.

Apabila kita lihat kekerasan yang dilakukan oleh penguasa saat itu adalah sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Apabila kita lihat dari sudut pandang Thomas Hobbes, maka pernyataan Hobbes bahwa terbentuknya negara adalah dengan tujuan agar manusia tidak menjadi individualistis itu salah. Kekerasan yang dilakukan Soeharto saat itu menurut saya adalah sesuatu yang buas yang ada di dalam diri manusia. Jadi tetap ada serigala di dalam negara, namun serigala yang banyak bertindak adalah serigala yang mempunyai posisi di atas, dibandingkan dengan yang lainnya.

Apabila Hobbes melihat dari sisi individu, maka Hannah Arendt akan melihat dari sudut pandang komunitas. Sebuah kekerasan yang dilakukan oleh negara dikarenakan kekuasaan yang saat itu terjadi menjadi terancam, karena masyarakat sudah tidak mempercayainya sebagai seorang pemegang kekuasaan. Maka dari itu kekerasan yang terjadi bukan di dalam suatu kekuasaan lagi, tapi diluar kekuasaan lagi. Hal inilah yang sebelumnya di sebut sebagai kontradiksi. Namun sebenarnya kekerasan itu bukan hanya terjadi dari “penguasa” ke masyarakat, tapi juga masyarakat ke penguasa. Kekerasan yang dilakukan dari masyarakat ke penguasa terjadi dikarenakan ketidakadilan.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Arendt, Hannah, “What Is Freedom?” yang direproduksi ulang dalam Peter Baehr (ed.), The Portable Hannah Arendt, New York: Penguin Books, 2000.

Riyadi, Eddie S., “Politik sebagai Relasi Kebebasan: Sebuah Tilikan terhadap Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Menurut Hannah Arendt”, dalam Rocky Gerung (ed.), Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari Arendt

sampai Zizeck, Jakarta: Marjin Kiri dan P2D, 2008.

Arendt, Hannah, On Revolution, Harmondsworth: Penguin Books, 1990 (1963) (terbitan versi awalnya pada tahun 1963 oleh Viking Press, Amerika).

Referensi

Dokumen terkait

Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode

Hal ini dapat dilihat dari pembuktian pada persoalan TSP (persoalan dengan banyak aplikasi pada bidang teknik) dan Teorema Empat Warna (yang sebelumnya tidak

Hasil dari penelitian ini adalah implementasi Peraturan Daerah yang dilakukan Pemerintah Kota Banjarmasin masih kurang maksimal karena ruang terbuka hijau (RTH)

(3) Peningkatan keterkaitan antara Kawasan Andalan dengan sektor unggulan pariwisata dan kawasan perkotaan nasional sebagai pusat pengembangan Kawasan Andalan yang

Penelitian ini tidak sesuai dengan Teori Tira (2019) dan peneliti berpendapat bahwa terdapat hubungan antara penggunaan media sosial terhadap pengetahuan remaja

Data primer didapatkan dengan survei secara langsung ke tempat, dengan melihat penggunaan listrik (KWh meter per-hari) dan jumlah kendaraan motor dan mobil per-hari

Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya, menganjurkan klien

Berdasarkan penelitian tindakan yang telah dilakukan secara umum dapat disimpulkan bahwa menggunakan media gambar dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas 1 Sekolah