PENALARAN VISUAL DAN PENALARAN INTUITIF SISWA
SMP DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA
DITINJAU DARI PERBEDAAN GENDER
Johan Irawan, MAN Bangil Kabupaten Pasuruan Propinsi Jawa Timur, [email protected]
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar oleh manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan bisa mencapai taraf hidup yang lebih baik karena dalam pendidikan manusia akan diajarkan pada suatu proses pembentukan kepribadian, pematangan akal, dan pemecahan masalah melalui ilmu yang ada.
Peningkatan kualitas pendidikan nasional khususnya pada bidang matematika merupakan suatu hal yang strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berorientasi pada peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peningkatan kualitas pendidikan nasional diperlihatkan pada penyempurnaan aspek-aspek pendidikan, antara lain seperti: kurikulum, sarana dan prasarana, dan tenaga pengajar.
Salah satu aspek yang disempurnakan adalah kurikulum. Kurikulum 1994 disempurnakan menjadi kurikulum 2004 yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), lalu KBK menjadi kurikulum 2006 yang lebih dikenal dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan saat ini kurikulum 2006 telah disempurnakan menjadi kurikulum 2013 yang penerapannya masih dilakukan secara bertahap. Orientasi kurikulum tersebut menekankan pada proses dengan tidak melupakan pencapaian hasil pembelajaran. Selain kurikulum, penyempurnaan juga dilakukan pada tujuan pembelajaran matematika.
mengkomunikasikan gagasan dengan lisan, grafik, peta, atau diagram.
Sementara itu, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi [2], dijelaskan bahwa tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan pesan kurikulum tersebut diatas, berarti siswa dalam belajar matematika hendaknya dilatih dan dibiasakan untuk mempertajam aktivitas berpikir dan bernalar dengan menggunakan serangkaian aktivitas secara kreatif yang melibatkan kemampuan imajinatif, prediktif dan intuitif. Melalui kemampuan imajinatif seseorang mampu membayangkan dan memvisualisasikan objek dari permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga ia mampu memberikan interpretasi atau representasi konsep dari masalah tersebut secara lebih jelas. Melalui kemampuan prediktif dapat mengarahkan seseorang untuk peka dan mampu menentukan alternatif solusi dari masalah yang dihadapi. Sedangkan menurut Fischbein (dalam Munir [3]) kemampuan intuitif dapat dijadikan sebagai jembatan pemahaman sesesorang sehingga dapat membantu dan memudahkan dalam mengaitkan objek yang dibayangkan dengan alternatif solusi yang diinginkan. Atau dengan kata lain mampu untuk menentukan strategi atau langkah apa yang harus dilakukan untuk mencapai solusi tersebut.
yang diberikan serta ketrampilan berhitung.
Menurut Zeev dan Star (dalam Munir [3]), Pada saat siswa dihadapkan pada masalah matematika, yang menuntut untuk segera ditemukan penyelesaiaannya, mungkin saja siswa dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan “segera” apabila ia telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik mengenai masalah yang diberikan atau bahkan ia mengalami kebuntuan dalam menyelesaikannya. Jika siswa mengalami kebuntuan, maka siswa akan cenderung berusaha menyajikan masalah dengan perantara (baik melaui gambar, grafik, atau coretan-coretan lainya) agar secara intuitif mudah diterima dan dipahami. Siswa yang telah menggunakan perantara berupa gambar, grafik, diagram, ataupun coretan lainnya untuk merepresentasikan suatu masalah, maka dikatakan bahwa siswa tersebut telah melakukan penalaran visual (visualisasi). Disamping itu, jika representasi yang dilakukan siswa merupakan suatu gagasan yang muncul secara tiba-tiba dengan sendirinya dan menyebabkan siswa mampu membuat dugaan tentang permasalahan yang dihadapi dengan cepat, maka dapat dikatakan bahwa siswa tersebut telah melakukan penalaran intuitif.
Sumedi [4] menyebutkan bahwa penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran atau dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Karakteristik yang dimaksud oleh Sumedi adalah: 1) Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, dan 2) adanya sifat analitik dari proses berpikir.
Sedangkan penalaran visual sendiri dapat didefinisikan sebagai sesuatu pemikiran yang aktif sebagai bentuk interaksi antara melihat, membayangkan, dan menggambarkan suatu tujuan serta proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan visual yang biasa berupa gambar dua dimensi maupun tiga dimensi. Giaquinto (dalam Bråting [5]) menyatakan bahwa penalaran visual pada matematika dapat digunakan secara khusus untuk "menemukan" kebenaran dalam geometri tetapi hanya untuk beberapa kasus khusus dalam analisis matematis. Gardner (dalam Yustisia [6]) mengungkapkan bahwa seorang anak yang memiliki kecerdasan visual atau penalaran visual yang tinggi akan dapat menyelesaikan masalah ruang (spasial) dengan lebih mudah dibanding dengan anak-anak lain. Selain itu, mereka mampu mengamati dunia spasial secara akurat, bahkan membayangkan bentuk-bentuk geometri dan dimensi tiga, serta mampu memvisualisasikan dengan grafik atau ide keruangan (spasial).
individu-individu perseorangan dapat berinteraksi dengan visualisasi matematika dengan cara yang lebih baik atau lebih buruk tergantung pada pengetahuan sebelumnya dan tergantung pada konteks yang dipelajari. Seseorang dengan sedikit Pengalaman matematika mungkin tidak menyadari bahwa visualisasi dapat direpresentasikan dengan lebih dari satu cara, dan dapat memberikan hasil yang berbeda. Dengan pengalaman yang dimiliki, seseorang bisa belajar untuk menafsirkan visualisasi dengan cara yang berbeda, tergantung pada apa yang dituju. Semakin akrab, seseorang dapat "membaca" visualisasi menjadi lebih dari apa yang mungkin. Dan pada intinya menurut Bråting [5] adalah bahwa visualisasi pasti cukup untuk meyakinkan diri sendiri tentang kebenaran dari sebuah pernyataan dalam matematika, asalkan seseorang memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang mereka representasikan.
Sedikit berbeda dengan penalaran visual, melalui penalaran intuitif yang baik, seseorang dapat membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian. Penalaran intuitif seperti ini dekat dengan suasana permainan, dimana kesalahan dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Dan Intuisi merupakan kegiatan yang lebih menghargai proses bermatematika, yang tidak hanya menekankan pentingnya jawaban benar saja, tetapi juga menghargai proses yang telah dilalui seseorang untuk menemukan sebuah jawaban.
Fischbein (dalam Munir [3]) menawarkan pengertian intuisi ditinjau dari sifatnya. Dari sifatnya, intuisi digunakan untuk mengantisipasi suatu hal yang dapat terjadi dalam suatu kegiatan. Berdasarkan sifat ini, dapat dikatakan bahwa intuisi dapat memberikan inspirasi serta mengarahkan dalam menentukan langkah-langkah untuk mengkonstruksi dan menemukan solusi dari suatu permasalahan termasuk dalam masalah matematika.
Banyak hasil penelitian dari para ahli matematika yang menunjukkan adanya keragaman mengenai peran gender dalam pembelajaran matematika. Beberapa hasil menunjukkan adanya faktor gender dalam pembelajaran matematika, namun pada sisi lain, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa gender tidak berpengaruh signifikan dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu, cukup menarik dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana peran gender dalam penalaran, khususnya dalam menggunakan penalaran visual dan penalaran intuitif dalam memecahkan masalah matematika.
perbedaan gender.
B. Pertanyaan Dalam Makalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, pertanyaan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kharakteristik penalaran visual siswa laki-laki tingkat SMP dalam memecahkan masalah matematika?
2. Bagaimana kharakteristik penalaran visual siswa perempuan tingkat SMP dalam memecahkan masalah matematika?
3. Bagaimana kharakteristik penalaran intuitif siswa laki-laki tingkat SMP dalam memecahkan masalah matematika?
4. Bagaimana kharakteristik penalaran intuitif siswa perempuan tingkat SMP dalam memecahkan masalah matematika?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Berkaitan dengan rumusan pertanyaan yang diajukan, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendiskripsikan kharakteristik penalaran visual siswa laki-laki tingkat SMP dalam memecahkan masalah matematika.
2. Untuk mendiskripsikan kharakteristik penalaran visual siswa perempuan tingkat SMP dalam memecahkan masalah matematika.
3. Untuk mendiskripsikan kharakteristik penalaran intuitif siswa laki-laki tingkat SMP dalam memecahkan masalah matematika. 4. Untuk mendiskripsikan kharakteristik penalaran intuitif siswa
perempuan tingkat SMP dalam memecahkan masalah matematika.
D.Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran makna dalam makalah ini, maka diperlukan definisi operasional sebagai berikut :
1. Penalaran adalah suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu peryataan baru yang benar berdasarkan beberapa peryataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. 2. Penalaran visual adalah sesuatu pemikiran yang aktif sebagai
bentuk interaksi antara melihat, membayangkan, dan menggambarkan suatu tujuan serta proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan visual yang biasa berupa gambar dua dimensi maupun tiga dimensi.
atau konsep tersebut sulit untuk dipahami atau dibayangkan. 4. Masalah matematika adalah soal-soal non rutin yang belum
diketahui prosedur pemecahannya oleh siswa. Dan pada makalah ini soal-soal tersebut difokuskan pada soal-soal yang berkaitan dengan geometri.
5. Pemecahan masalah matematika adalah upaya memperoleh solusi masalah dengan menerapkan pengetahuan matematika dan melibatkan keterampilan berpikir dan bernalar yang telah dimiliki sebelumnya.
6. Perbedaan Gender adalah perbedaan jenis kelamin, yaitu antara laki-laki dan perempuan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penalaran Matematis
Turmudi (dalam Wahidin [7]) menyatakan bahwa penalaran dan pembuktian matematika menawarkan suatu cara untuk mengembangkan wawasan siswa tentang fenomena. Orang yang nalar dan berpikirnya analitik cenderung mencatat pola, struktur, dan keteraturan dalam situasi nyata (real-world) dan benda-benda simbolik. Secara umum permasalahan dalam dunia matematika adalah bagaimana menghasilkan suatu konsep dari konsep yang sudah diketahui, dan untuk memecahkan masalah ini, dibutuhkan kemampuan penalaran yang memadai sehingga langkah demi langkah penyelesaiannya akan terarah dan sistematis.
mental dalam mengembangkan pikiran dari beberapa fakta dan prinsip. Penalaran juga merupakan suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu peryataan baru yang benar berdasarkan beberapa peryataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.
Sedangkan Sumedi [4] menyebutkan bahwa penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran atau dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Karakteristik yang dimaksud oleh Sumedi adalah: 1) Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, 2) adanya sifat analitik dari proses berpikir.
Menurut Keraf (dalam Wahidin [7]), penalaran adalah proses berpikir yang menghubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Sebagai contoh, jika diketahui besar dua sudut dalam suatu segitiga adalah 30o dan 45o, maka dapat disimpulkan atau dibuat pernyataan bahwa sudut yang ketiga dalam segitiga tersebut besarnya adalah 105o.
Schonfeld (dalam Sumarmo [9]) menyatakan bahwa matematika merupakan proses yang aktif, dinamik, generatif dan eksploratif. Hal ini berarti bahwa proses matematika dalam penarikan kesimpulan merupakan kegiatan yang membutuhkan pemikiran dan penalaran tingkat tinggi. Beberapa indikator penalaran matematik dalam pembelajaran matematika menurut Sumarmo [9] antara lain, siswa dapat: 1) Menarik kesimpulan logik, 2) Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan, 3) Memperkirakan jawaban dan proses solusi, 4) Mengunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, 5) Menyusun dan menguji konjektur, 6) Merumuskan lawan contoh (counter example), 7) Mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argumen, 8) Menyusun argumen yang valid, 9) Menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi matematik.
B. Penalaran Visual (Visualisasi)
pemahaman yang lebih baik tentang arah, tata letak, dan posisi jika dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Menurut Gardner (dalam Yustisia [6]), seorang anak yang memiliki kecerdasan visual atau penalaran visual yang tinggi akan dapat menyelesaikan masalah ruang (spasial) dengan lebih mudah dibanding dengan anak-anak lain. Selain itu, mereka mampu mengamati dunia spasial secara akurat, bahkan membayangkan bentuk-bentuk geometri dan dimensi tiga, serta mampu memvisualisasikan dengan grafik atau ide keruangan (spasial).
Penalaran visual sendiri dapat didefinisikan sebagai sesuatu pemikiran yang aktif sebagai bentuk interaksi antara melihat, membayangkan, dan menggambarkan suatu tujuan serta proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan visual. Giaquinto (dalam Bråting [5]) menyatakan bahwa penalaran visual pada matematika dapat digunakan secara khusus untuk "menemukan" kebenaran dalam geometri tetapi hanya untuk beberapa kasus khusus dalam analisis matematis.
Goldsmchmidt (dalam Surya [10]) menyatakan bahwa penalaran visual mengandalkan proses berpikir dengan bahasa gambar visual, bentuk, pola, tekstur, dan symbol. Sedangkan Zimmerman dan Cunningham (dalam Surya [10]) menyebutkan bahwa visualisasi adalah suatu tindakan dimana seseorang individu membentuk hubungan yang kuat antara proses internal dalam dirinya dengan objek atau peristiwa eksternal yang dirasakan oleh dirinya. Objek atau peristiwa eksternal ini diakses melalui alat indra dan kemudian disambungkan dengan kontruksi mental dalam pikiran.
Arcavi (dalam Surya [10]) mengistilahkan penalaran visual dengan kiasan “melihat yang gaib”. Ia menganggap bahwa matematika merupakan dunia yang “abstrak” dan berkaitan dengan benda-benda atau entitas yang cukup berbeda dari fenomena fisik, sehingga sangat bergantung pada visualisasi dalam bentuk yang berbeda dan pada tingkat yang berbeda.
Terkait dengan penalaran visual, Yustisia [6] mengemukaan empat kemampuan yang sangat terkait dengan penalaran visual yaitu: 1) Kemampuan untuk mengenal bentuk-bentuk bangun, seperti lingkaran, bola, balok, kubus, prisma, limas, dan sebagainya; 2) Kemampuan untuk membuat bentuk atau rancangan suatu bangun; 3) Kemampuan untuk mengenal warna dengan baik, dan; 4) Kepekaan terhadap garis yang tinggi.
C. Peran Penalaran Visual
selama abad ke-19 berpikir visual jatuh ke dalam kehinaan. Alasannya karena matematika telah diklaim secara jelas berkaitan dengan perhitungan intuitif dan visualisasi secara langsung, tetapi kenyataannya pandangan ini menjadi keliru ketika metode matematis yang baru diterapkan dan matematika tidak hanya berhubungan dengan perhitungan intuitif dan visualisasi semata.
Penalaran visual memainkan fungsi atau peran yang berbeda pada siswa yang menggunakan penalaran visual untuk memecahkan masalah. Presmeg (dalam Surya [10]) mengungkapkan bahwa ada tujuh peran penalaran visual yaitu: 1) Untuk memahami masalah. Dengan merepresentasi masalah secara visual, siswa dapat memahami bagaimana unsur-unsur dalam masalah berhubungan satu sama lain; 2) Untuk menyederhanakan masalah. Penalaran visual memungkinkan siswa untuk mengidenfikasi masalah secara lebih sederhana dan mengidentifikasi metode yang akan digunakan untuk memecahkan masalah tersebut; 3) Untuk melihat keterkaitan (koneksi) antara masalah dengan masalah lain yang telah dialami sebelumnya; 4) Untuk memenuhi gaya belajar individual yaitu gaya belajar visual; 5) Sebagai pengganti komputasi/perhitungan. Jawaban masalah dapat diperoleh secara langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa memerlukan komputasi secara detail; 6) Sebagai alat untuk memeriksa solusi. Representasi visual dapat digunakan untuk memeriksa kebenaran dari jawaban yang diperoleh; 7) Untuk mengubah masalah ke dalam bentuk matematis. Bentuk matematis dapat diperoleh dari representasi visual untuk memecahkan masalah.
Tanpa adanya penalaran visual siswa atau bahkan guru sendiri sering terjebak dalam berpikir rutin, maka dari itu penalaran visual juga perlu dikembangkan. Pada contoh berikut memperlihatkan bagaimana siswa seringkali terjebak dalam berpikir rutin.
Misalnya diketahui sebuah lingkaran memiliki jari-jari sepanjang r, kemudian lingkaran tersebut dipotong seperempat daerahnya. Tentukan luas dan keliling lingkaran tersebut setelah dipotong!. (diolah dari Surya [10])
Siswa yang terbiasa berpikir rutin maka akan dengan sangat yakin mungkin akan menjawab:
luas lingkaran setelah dipotong = 2 4 3
r
keliling lingkaran menjadi
r
r 2inilah letak kesalahan yang mungkin terjadi jika kita tidak melakukan penalaran visual. Secara visual lingkaran yang dimaksud akan tampak seperti berikut
Gambar sebuah lingkaran utuh Gambar tiga perempat lingkaran
(lingkaran dipotong seperempat bagian)
Melalui representasi visual terlihat bahwa seharunya keliling
lingkaran yang dimaksud adalah r r r 2r 2 individu perseorangan dapat berinteraksi dengan visualisasi matematika dengan cara yang lebih baik atau lebih buruk tergantung pada pengetahuan sebelumnya dan tergantung pada konteks yang dipelajari. Seseorang dengan sedikit Pengalaman matematika mungkin tidak menyadari bahwa visualisasi dapat direpresentasikan dengan lebih dari satu cara, dan dapat memberikan hasil yang berbeda. Sebagai contoh konkret, Bråting [5] memberikan ilustrasi mengenai apa yang terjadi ketika seorang guru menggambarkan lingkaran dengan menggambar di papan tulis, seperti Gambar di bawah ini.
Gambar " Lingkaran di papan tulis " .
pernyataan dalam matematika, asalkan seseorang tersebut memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang mereka representasikan
D.Penalaran Intuitif
Menurut Zeev dan Star (dalam Munir [3]), Pada saat siswa dihadapkan pada masalah matematika, yang menuntut untuk segera ditemukan penyelesaiaannya, mungkin saja siswa tersebut dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan segera apabila ia telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik mengenai masalah yang diberikan atau bahkan ia mengalami kebuntuan dalam menyelesaikannya, tentu ia akan cenderung berusaha menyajikan dengan perantara (gambar, grafik, atau coretan-coretan lainya) agar secara intuitif mudah diterima dan dipahami. Oleh karena itu, penalaran intuitif dapat diartikan sebagai suatu sarana untuk memudahkan seseorang memahami objek atau konsep secara intuitif, pada saat objek atau konsep tersebut sulit untuk dipahami atau dibayangkan.
Menurut Taber (dalam Munir [3]), Penalaran intuitif bisa bermula dari realitas konkret menjadi bentuk abstrak dan juga bisa sebaliknya dari bentuk abstrak suatu fenomena menjadi representasi konkret. Sebagai contoh misalnya rumus fungsi
kuadrat s =½ a t2 adalah model abstrak dari fenomena nyata tentang jarak tempuh benda yang diperoleh dari gerak yang dipercepat dengan percepatan a dalam waktu t unit waktu. Pada sisi lain, penalaran intuitif tidak harus berupa refleksi langsung dari realitas konkret, namun juga bisa berdasarkan interpretasi abstrak dari suatu realitas. Sebagai contoh, grafik yang merepresentasikan sebuah fungsi merupakan model penalaran intuitif untuk fungsi, dan fungsi tersebut merupakan bentuk abstrak dari sebuah fenomena tertentu. Seperti halnya fenomena jatuhnya benda yang direpresentasikan dengan fungsi kuadrat adalah bentuk dari model abstrak, kemudian dibuat grafik fungsi yang merupakan representasi dari hubungan variabel yang terkandung di dalamnya adalah bentuk dari model penalaran intuitif. Begitu juga halnya dengan konsep-konsep geometri, seperti gambar-gambar garis, sudut, segitiga, segiempat, kubus, kerucut dan sebagainya, adalah merupakan representasi konkret dari bentuk abstrak.
esensi/intisari suatu fenomena. Bahkan Poincare (dalam Usodo [11]) menyatakan bahwa tidak ada aktivitas yang benar-benar kreatif dalam sains dan matematika tanpa adanya intuisi.
Fischbein sendiri (dalam Munir [3]) mendefinisikan intuisi sebagai immediate cognition (kesadaran yang tiba-tiba) yang disetujui secara langsung tanpa proses pembenaran. Begitu juga Piaget (dalam Usodo [11]) memandang intuisi sebagai kesadaran yang diterima langsung tanpa kebutuhan untuk menjastifikasi atau menginterpretasi secara eksplisit.
Menurut Bruner (dalam Usodo [11]), penalaran intuitif adalah tindakan seseorang menggapai suatu makna atau struktur suatu masalah, yang tidak bergantung secara eksplisit pada analisis dalam bidang keahliannya. Membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-contoh intuisi. Intuisi dekat dengan suasana permainan, dimana kesalahan dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Intuisi merupakan kegiatan yang lebih menghargai proses bermatematika, yang tidak hanya menekankan pentingnya jawaban benar saja.
Adapun klasifikasi model penalaran intuitif yang dikemukakan oleh Fischbein (dalam Munir [3]), mencakup 4 model yaitu: 1) model eksplisit dan implicit (tacit); 2) model analogy; 3) model paradigmatic; dan (4) model diagrammatic.
Model eksplisit dan implicit (model tacit) sering digunakan oleh seseorang manakala mencari dan menentukan model yang memudahkan atau mengarahkan dalam menyelesaikan masalah, model ini dipilih dan dibuat secara sengaja diarahkan secara tegas untuk membantu menemukan solusi. Sebagai contoh, seseorang membuat alat peraga atau bentuk simulasi untuk keperluan penelitian seperti gambar grafik, diagram, dan histogram. Akan tetapi tidak jarang juga dijumpai suatu model diciptakan secara otomatis dan secara implisit (tacit) dikaitkan atau dihubungkan dengan realitas tertentu. Dengan kata lain kita boleh percaya bahwa penyelesaian masalah memiliki tujuan yang terkait dengan fenomena tertentu.
memudahkan proses penghitungannya. Begitu juga untuk konsep perkalian, yang dipandang sebagai penjumlahan berulang dapat dimodelkan serupa dengan penjumlahan, misalnya dengan menggabung beberapa himpunan yang memiliki banyak elemen sama. Contoh lain adalah pada saat seseorang diminta untuk mencari luas Jajaran Genjang, ia menggunakan rumus bahwa luas Jajaran Genjang sama dengan alas kali tinggi (ditulis L = a.t), ia menganalogikan bahwa Jajaran Genjang sebagai bentuk dari dua Segitiga, sehingga diperoleh rumusnya adalah dua kali luas segitiga atau L = 2.½.a.t = a.t. Bentuk lain dari model intuisi analogi juga dapat digunakan untuk menentukan volume Tabung, dengan menggunakan analogi dari Prisma.
Pada sisi lain, manakala suatu model termuat sebagai subkelas dari sistem yang dimodelkan, kita menyebutnya model paradigmatic. Sebagai contoh, seorang mahasiswa mempelajari sifat-sifat grup bilangan bulat dengan operasi penjumlahan, lalu menyimpulkan secara umum bahwa sifat-sifat grup tersebut juga berlaku untuk sembarang himpunan bilangan yang mencakup bilangan bulat. Bagi mahasiswa tersebut grup bilangan bulat merupakan model paradigmatic untuk grup sembarang himpunan yang mencakup bilangan bulat. Contoh lain ketika seorang anak menganggap zat cair adalah air, air adalah model paradigmatic untuk zat cair. Sama halnya “lelehan lilin” merupakan model paradigmatic untuk zat cair, disebabkan karena ia mengalir dan tidak terbakar sebagai halnya sifat air.
Model penalaran intuitif yang terakhir adalah model diagrammatic. Model ini menganggap bahwa diagram atau grafik merupakan representasi dari suatu fenomena dan keterkaitannya. Sebagai contoh yang memenuhi kategori ini seperti halnya diagram Venn, diagram pohon, dan histogram yang digunakan untuk representasi statistik. Dalam hal ini diagram dipandang memiliki peran penting bagi munculnya intuisi seseorang, karena diagram adalah merupakan alat yang ideal (sangat baik) untuk menjembatani antara interpretasi konsep dan ekspresi praktis dalam realita tertentu. Sebagai contoh, untuk menunjukkan bahwa himpunan A merupakan himpunan bagian B ditulis dengan AB
, artinya bahwa setiap elemen A merupakan elemen B. Untuk memudahkan dalam memahami konsep ini kita dapat merepresentasikannya dengan diagram, yang biasa dikenal dengan sebutan diagram Venn seperti berikut:
A B
Gambar diagram Venn dari AB
Berdasarkan diagram di atas, seseorang akan lebih mudah memahami posisi A. apabila dikembangkan ke konsep pada level berikutnya, misalnya jika AB maka
A
B
B
atauA
B
A
, untuk memahami masalah diatas secara intuitif dapat dengan cara mengamati daerah arsiran pada diagram tersebut.Lebih lanjut Fischbein (dalam Usodo [11]) menyajikan 5 karakteristik umum penalaran intuitif dalam matematika sebagai berikut:
1. Direct and self evident cognitions (kesadaran langsung dan kejelasan secara pribadi)
Kesadaran langsung dan self evident yang dimaksud adalah bahwa intuisi adalah kesadaran yang diterima sebagai feeling individual tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih lanjut. Sebagai contoh: jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus, hal ini adalah self evident, pernyataan yang diterima secara langsung.
2. Intrinsic certainty
Kepastian penalarn intuitif biasanya dihubungkan dengan perasaan tertentu akan kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah subjektif, terasa seperti sudah menjadi ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung eksternal yang diperlukan untuk memperoleh kepastian langsung (baik secara formal atau empiris)
3. Coerciveness
Penalaran intuitif mempunyai sifat menggiring kearah sesuatu yang diyakini. Hal ini berarti bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi intuisinya. Sebagai contoh biasanya siswa dan bahkan orang dewasa percaya bahwa perkalian akan menjadikan lebih besar dan pembagian akan menjadikan lebih kecil. Hal ini karena pada masa kanak-kanak terbiasa dengan mengoperasikan bilangan asli. Di kemudian hari setelah belajar bilangan rasional masih dirasa untuk memperoleh keyakinan yang sama, yang secara jelas sudah tidak sesuai lagi.
4. Extrapolativeness
diterima secara intuitif sebagai suatu kepastian atau self evident.
5. Globality
Penalaran intuitif dalah kesadaran umum yang berlawanan dengan kesadaran yang diperoleh secara logis, berurutan dan secara analitis. Sebagai contoh: salah satu anak berumur 4 – 5 tahun diberikan dua lembar kertas A dan B yang sama. Pada kertas A anak tersebut diminta menggambar titik (P1) dan selanjutnya di minta untuk menggambar titik (P2) pada kertas B yang letaknya sama persis dengan titik P1 di lembar A. Anak tersebut biasanya akan menggambar titik P2 pada lembar B kurang lebih tempatnya sama. Jika anak tersebut diminta untuk menjelaskan mengapa ia meletakkan titik tersebut di lembar B, anak tersebut tidak dapat memberikan penjelasan. Dia memecahkan masalah tersebut langsung secara intuitif melalui perkiraan secara umum.
E. Pemecahan Masalah Matematika
Masalah dalam matematika merupakan soal-soal non rutin yang belum diketahui prosedur pemecahannya oleh siswa. Pemecahan masalah merupakan upaya memperoleh solusi masalah dengan menerapkan pengetahuan matematika dan melibatkan keterampilan berpikir dan bernalar siswa. Menurut Stanick dan Kilpatrick (dalam Sofan [12]), pemecahan masalah matematika dapat berfungsi sebagai konteks (problem solving as context), sebagai keterampilan (problem solving as skill), dan sebagai seni dari matematika (problem solving as art) atau mengistilahkannya sebagai heart of mathematics.
Kemampuan untuk memecahkan masalah adalah jantung matematika, dan visualisasi merupakan inti pemecahan masalah matematika. Visualisasi adalah kemampuan untuk melihat dan memahami situasi masalah. Menurut Moe (dalam Surya [10]), memvisualisasikan suatu situasi atau objek melibatkan “Manipulasi mental” sebagai altenatif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan suatu situasi atau objek. Visualisasi dapat menjadi alat kognitif yang kuat dalam pemecahan masalah matematika karena merupakan salah satu ketrampilan yang penting dalam pembelajaran dan penerapan matematika serta dapat membangun karakter positif bagi siswa.
merupakan bagian dari proses aplikasi matematika, dan (4) memotivasi siswa untuk belajar matematika. Berdasar penjelasan tersebut, maka pemecahan masalah merupakan salah satu cara untuk mendorong kreativitas sebagai produk berpikir kreatif siswa.
Pemecahan masalah matematika seperti halnya pemecahan masalah pada umumnya mempunyai berbagai interpretasi. Menurut Branca (dalam Sofan [12]) ada tiga jenis interpretasi pemecahan masalah matematia yaitu: sebagai tujuan, proses, dan keterampilan dasar. Interpretasi lain menurut Baroody (dalam Sofan [12]), pemecahan masalah dapat dianggap sebagai pendekatan, proses, dan tujuan pembelajaran.
Dalam makalah ini, pemecahan masalah matematika diinterpretasikan sebagai pendekatan, proses, dan tujuan. Interpretasi ini didasarkan pada pendapat bahwa pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa. Dengan kata lain, suatu rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika seyogyanya ditemukan kembali oleh siswa di bawah bimbingan guru. Dengan demikian pemecahan masalah matematika dapat dilihat sebagai upaya mencari jalan keluar yang dilakukan siswa dengan menggunakan pengetahuan matematika yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan kemampuan dalam pemecahan masalah matematika merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh siswa dan mencakup proses berpikir siswa tentang kemampuan dirinya dalam membangun strategi untuk memecahkan masalah.
Di lain pihak, proses pemecahan masalah matematika, berkaitan erat dengan tahap-tahap pemecahan masalah yang dilakukan. Polya (dalam Usodo [11]) menyusun prosedur memecahkan masalah dalam empat langkah, yaitu: (1) analyzing and understanding problem (pemahaman dan analisis masalah); (2) designing and planning a solution (mendesain dan merencanakan solusi pemecahan masalah); (3) explorating solutions to diffcult problems (mencoba solusi pada masalah yang lebih rumit); dan (4) verifying a solution (memverivikasi solusi yang diberikan). Walaupun siswa menguasai langkah-langkah penyelesaian masalah, terkadang sering mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah. Berkaitan dengan penggunaan penalaran intuitif dalam pemecahan masalah, maka keberadaan penalaran intuitif dalam proses pemecahan masalah dapat dilacak dari tahap-tahap pemecahan masalah.
Sebuah kolam renang memiliki panjang 60 meter, lebar 20 meter, dan kedalaman berbeda dari yang paling dangkal 1 meter dan paling dalam 5 meter.
Dasar kolam renang landai dari yang dangkal hingga yang dalam. Jika kolam diisi penuh air. Permasalahan yang diberikan kepada siswa: a) Gambarlah situasi kolam renang tersebut. b) Tentukan volume air kolam renang tersebut. (diolah dari Surya [10])
Hasil yang diperoleh pada kasus ini : Siswa dan guru tidak dapat berpikir visual atau mempresentasikan kasus tersebut dan memecahkan masalah kolam renang tersebut. Berdasarkan subjek yang diteliti ditemukan 75% guru SMP dari 40 guru yang diteliti kesulitan menggambarkan visualisasi masalah kolam renang tersebut dan salah dalam memecahkan permasalahan kasus itu. Serta Hampir keseluruhan siswa (60 siswa) juga keliru dalam menggambarkan kasus kolam renang itu. Hal ini dapat terjadi karena pembelajaran di sekolah berdasarkan text book (buku pegangan), guru terbiasa mengajarkan konsep, rumus, contoh soal dan memberikan latihan berdasarkan yang ada di buku matematika pegangan siswa. dan tidak terbiasa memecahkan masalah matematika berdasarkan masalah kehidupan sehari-hari.
Kesulitan yang dialami siswa dalam belajar matematika dan rendahnya hasil yang diperoleh dapat disebabkan karena metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan kemampuan peserta didik. Seperti yang diungkapkan oleh Hudojo (dalam Surya [10]) bahwa: ”Nampaknya matematika bukanlah suatu bidang studi yang sulit dipelajari, asalkan strategi penyampaiannya cocok dengan kemampuan yang mempelajarinya”. Oleh karena itu seorang guru dituntut untuk mencari dan menemukan suatu cara yang dapat menumbuhkan motivasi belajar peserta didik. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru diharapkan dapat mengembangkan, menemukan, menyelidiki dan mengungkapkan ide peserta didik itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Slameto (dalam Surya [10]) bahwa: ”Agar siswa dapat belajar dengan baik maka metode mengajar harus diusahakan yang tepat, seefisien dan seefektif mungkin”. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru matematika haruslah pembelajaran yang mengaktifkan siswa, menyenangkan dan membuat tidak bosan bagi siswa serta guru dapat menarik minat siswa dan membuat siswa belajar baik mandiri maupun secara berkelompok.
F. Perbedaan Gender
jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Witelson (dalam Ningrum [14]) menemukan bahwa otak perempuan secara keseluruhan lebih kecil daripada otak laki-laki. Lobus parital bawah pada laki-laki lebih besar daripada perempuan sehingga penguasaan terhadap pengenalan ruang dimensi tiga laki-laki lebih unggul. Ukuran dan bentuk otak yang berbeda, secara otomatis membedakan perempuan dan laki-laki dalam cara dan gaya berpikir, termasuk kemampuan-kemampuan khusus keduanya. Implikasi perbedaan struktur tersebut terjadi pada cara dan gaya melakukan sesuatu. Lelaki dan perempuan cenderung menunjukkan perbedaan dalam beberapa hal, meliputi emosi, tingkah laku seksual, proses berbahasa, kemampuan visual dan problem-problem matematis.
Kartono (dalam Ningrum [14]) menyatakan bahwa perempuan pada umumnya lebih akurat dan lebih mendetail dalam memperhatikan sesuatu dibandingkan laki-laki. Namun, perempuan cenderung kurang kritis sehingga kurang mampu membedakan antara bagian-bagian yang penting dan bagian yang kurang pokok. Sedangkan Dagun (dalam Ningrum [14]) berpendapat bahwa anak perempuan memiliki skor yang lebih tinggi di bidang tertentu dibandingkan anak laki-laki. Kemampuan verbal perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki, meskipun kemampuan spasialnya rendah. Selanjutnya menurut Dagun, pada usia 11 tahun keatas, anak laki-laki memiliki kemampuan matematika yang jauh lebih baik dibandingkan anak perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh cara berpikir laki-laki dan perempuan yang berbeda, yakni pria lebih analisis dan fleksibel dibandingkan perempuan.
Selanjutnya menurut Maccoby dan Jacklin (dalam dalam Ningrum [14]) menyatakan bahwa perempuan memiliki kemampuan verbal lebih tinggi daripada laki-laki selama periode awal sekolah sampai masa remaja. Kemampuan verbal yang dimaksud adalah kemampuan memahami kosa kata dan hubungan antar kata dalam kalimat. Laki-laki lebih unggul dalam kemampuan visual-spasial (penglihatan ruang) daripada perempuan, kemampuan visual spasial pada laki-laki ditemukan secara konsisten pada masa remaja dan dewasa (sekitar 12 tahun ke atas) dan kurang terlihat pada masa anak-anak. Namun laki-laki dan perempuan akan mempunyai kemampuan yang hampir sama dalam hal “analytic and non analytic spatial”.
terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan interaksi dan kemampuan menyelesaikan soal-soal matematika pada laki-laki dan perempuan, tetapi tidak ada perbedaan yang mencolok yang terlihat ketika mereka menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan penalaran analogi.
Bila diperhatikan secara seksama, banyak siswa pandai dalam memecahkan soal matematika sering menggunakan cara-cara yang cerdas di luar dugaan dan kebiasaan, sehingga mampu memberikan jawaban yang singkat dan akurat. Sebaliknya pada siswa yang mempunyai kemampuan matematika sedang atau rendah, cara yang digunakan untuk memecahkan soal, cenderung memberikan jawaban yang panjang lebar dan terkadang kurang akurat, bahkan banyak siswa yang kemampuan matematika rendah mengalami kesulitan untuk menemukan cara dalam memecahkan masalah matematika. Hal tersebut menunjukkan ada kaitan antara kemampuan matematika yang dimiliki siswa dengan penalaran intuitif yang digunakan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Dari hasil penelitian Fischbein dan Grossman (dalam Usodo [11]), penalaran intuitif selalu didasarkan pada struktur skemata tertentu. Selain itu ditemukan bahwa penalaran intuitif sebagai dugaan spontan yang merupakan fakta di balik layar skemata.
Di sisi lain, perbedaan gender dalam mempelajari matematika dan sains dalam penelitian di awal tahun 1980-an menunjukkan dominasi laki-laki dalam matematika dan sains ditemukan dalam beberapa penelitian. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Benbow & Stanley, 1988; Halpern, 1986; Hyde, Fennema, & Lamon, 1990; Reis & Park, 2001. Setelah itu beberapa penelitian menunjukkan hasil berbeda. Hightower (dalam Usodo [11]) menemukan bahwa perbedaan gender tidak berperan dalam kesuksesan belajar, dalam artian tidak dapat disimpulkan dengan jelas apakah laki-laki atau perempuan yang lebih baik dalam belajar matematika, dan fakta menunjukkan bahwa ada banyak perempuan yang sukses dalam karir matematikanya.
Beberapa peneliti percaya bahwa pengaruh faktor gender (perbedaan laki-laki dan perempuan) dalam matematika adalah karena adanya perbedaan biologis dalam otak laki-laki dan perempuan yang diketahui melalui observasi. Maccoby dan Jacklin (dalam dalam Ningrum [14]) menatakan bahwa anak perempuan, secara umum lebih unggul dalam bidang bahasa dan menulis, sedangkan anak laki-laki lebih unggul dalam bidang matematika karena kemampuan-kemampuan ruangnya yang lebih baik.
dalam pembelajaran matematika, namun pada sisi lain, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa gender tidak berpengaruh signifikan dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu, cukup menarik dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana peran gender dalam penggunaan penalaran, khususnya dalam menggunakan penalaran intuitif atau intuisi dalam memecahkan masalah matematika.
BAB III KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan jawaban atas pertanyaan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik penalaran visual yang digunakan oleh siswa laki-laki tingkat SMP dalam menyelesaikan masalah matematika adalah siswa laki-laki mampu berpikir lebih kritis dan lebih fleksibel dalam melakukan analisis permasalahan sehingga mereka lebih mampu untuk menemukan bagian-bgian penting dalam permasalahan, akan tetapi siswa laki-laki cenderung tidak menuliskan secara detail langkah-langkah dalam penyelesaian soal dan mereka kurang mampu dalam mengkomunikasikan secara verbal gagasan yang dimiliki.
perempuan kurang mampu untuk membedakan antara bagian-bagian yang penting dan bagian-bagian-bagian-bagian yang kurang penting dalam masalah yang dihadapi.
3. Karakteristik penalaran intuitif yang digunakan oleh siswa laki-laki tingkat SMP dalam menyelesaikan masalah matematika cenderung mengarah pada model tacit/implisit, dan model diagrammatic, yaitu siswa cenderung berpikir pada alat peraga atau diagram berkaitan dengan masalah matematika yang dihadapi dan sering menggunakan bantuan gambar untuk mempermudah dalam pengerjaan soal.
4. Karakteristik penalaran intuitif yang digunakan oleh siswa perempuan tingkat SMP dalam menyelesaikan masalah matematika cenderung mengarah pada semua model penalaran intutif yaitu model tacit/implisit, model analogi dan model diagrammatic, artinya selain menggunakan bantuan gambar atau diagram, siswa perempuan lebih mengarah pada metode dan langkah-langkah yang telah dipelajari sebelumnya dalam penyelesaian soal.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Matematika SMP dan MTs. Jakarta: depdiknas.
[2] Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Kemendiknas – Depdiknas.
[3] Munir. 2012. Model Penalaran Intuitif Siswa. Diakses pada tanggal
02 Oktober 2013 pukul 19.30 WIB dari
http://eprints.uny.ac.id/7555/1/P%20-%2027.pdf
[4] Sumedi, Pudjo & Mustakim. 2008. Penalaran Deduktif dan Induktif. Diakses pada tanggal 21 November 2013 pukul 13.43
WIB dari
[5] Bråting, Kajsa. 2012. Visualizations and intuitive reasoning in mathematics. The Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440, Vol. 9, nos.1&2, pp.1-18. Diakses pada tanggal 16 September 2013
pukul 15.20 WIB dari
http://search.proquest.com/socialsciences/docview/1435753256/f ulltextPDF/14230BC2BB756E4D3C5/1?accountid=139588
[6] Yustisia, N. 2013. 75 Rahasia Anak Cerdas: Mengenali Potensi dan Strategi Mengembangkan Kecerdasan Buah Hati. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
[7] Wahidin. 2010. Analisis Metapedadidaktik Kemampuan Penalaran Matematik Mahasiswa PGSD FKIP UHAMKA, Ditinjau dari Aspek Pembelajaran Metode Laboratorium. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013 pukul 14.30 WIB dari http://www.slideshare.net/WahidinHeadi/analisis-kemampuan-penalaran-mat-pgsd
[8] Hayanti, Novi Dwi. 2012. Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mengukur Penalaran Matematis. Diakses pada tanggal 28
November 2013 pukul 12.24 WIB dari
http://novidwihayanti.blogspot.com/2012/01/pembelajaran-berbasis-masalah-untuk.html
[9] Sumarmo, Utari. 2010. Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Artikel pada FPMIPA UPI Bandung. Diakses pada tanggal 16 November 2013 pukul 15.20 WIB dari http://math.sps.upi.edu/? p=58.
[10] Surya, Edi. 2008. Visual Thinking dalam Memaksimalkan Pembelajaran Matematika Siswa Dapat Membangun Karakter Bangsa. Diakses pada tanggal 16 November 2013 pukul 13.27 WIB dari http://jurnal.upi.edu/file/Edi_S.pdf
[11] Usodo, Budi. 2011. Karakteristik Intuisi Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Kemampuan Matematika dan Perbedaan Gender. Diakses pada tanggal 16
November 2013 pukul 13.49 WIB
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/AKSIOMA/article/view/12 68/922
[13] Siswono, Tatag Y.E.. 2009. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa. Diakses pada tanggal 16 November 2013 pukul
15.23 WIB dari
http://suaraguru.wordpress.com/2009/02/23/meningkatkan-kemampuan-berpikir-kreatif-siswa/
[14] Ningrum, Retno Kusuma & Abdul Haris Rosyidi. 2012. Profl Penalaran Permasalahan Analogi Siswa SMP Ditinjau dari Perbedaan Gender. Diakses pada tanggal 16 November 2013
pukul 15.16 WIB dari