• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi Studi Islam Interdisipliner Di E (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Urgensi Studi Islam Interdisipliner Di E (1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Urgensi Studi Islam Interdisipliner Di Era Disrupsi Dan Millenial (Aini Nur Faizah)

A. Pendahuluan

Era milenial adalah era digital dan on line. Di era milenial dimana

teknologi digital dapat diakses oleh hampir semua kalangan, informasi

berkembang dengan pesat dan penyebarannya semakin cepat1. Era millenial sering dikaitkan dengan era disrupsi (disruption era). Era

disrupsi yaitu terjadinya perubahan yang sangat radikal menembus

tantangan dan hambatan. Hal paling parah dari era ini adalah terjadinya

penjungkir balikan sistem dan tatanan yang dianggap mapan dan sudah ada

sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya, berganti dengan sistem

baru yang dilakukan oleh anak-anak muda.

Generasi muda yang hidup pada era ini dikenal dengan generasi

millenial (millenial generation).Secara umum generasi millenial memiliki

karakter sangat akrab dengan media dan internet. Penelitian menunjukkan

bahwa generasi millennial cenderung malas untuk memvalidasi kebenaran

berita yang mereka terima dan cenderung menerima informasi hanya dari

satu sumber yaitu media sosial. Mereka juga terbuka terhadap ide dan

gagasan orang lain. Namun disisi lain mereka rawan memiliki potensi

karakter negatif seperti kurang peka terhadap lingkungan sosial, pola

hidup bebas, cenderung bersikap individualistik, kurang realistis, dan

kurang bijak dalam menggunakan media sosial2.

Di era disrupsi, kehadiran generasi millenial memiliki peluang

untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam yang universal. Sebab

1

Miftah Mucharomah. Guru di Era Milenia dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin. Jurnal Edukasia Islamika: Volume 2, No.2 Desember 2017

2Prof. Dr. Sutrisno, M.A ”

Era Disrupsi dalam Bidang Pendidikan”. Workshop Perumusan

(2)

perubahan bagi Islam adalah sebuah keniscayaan, dan daya kreativitas

adalah cara untuk menyiasati, mengelola dan mengarahkan perubahan

yang eksponensial ke arah yang lebih beradab, berbudaya, dan

berkemajuan.

Realitas sebuah perubahan harus disikapi secara flexibility, karena

itu merupakan suatu hukum alam dan juga merupakan “realitas keagungan Tuhan”. Perubahan yang terus bergulir akan mengubah perspektif yang

memandang dunia ini penuh keteraturan menjadi dunia yang penuh

tantangan untuk mencapai ketenangan. Hal tersebut diindikasikan dengan

berubahnya fase newtonian menjadi fase quantum dan economical capital

menjadi intellectual capital. Perubahan-perubahan ini juga akan berimbas

pada realitas konsumtif menuju realitas reinventor bahkan juga

membangun realitas regional menjadi realitas

kompetitif-global3.

Dalam bidang studi Islam, para akademisi studi Islam harus mampu

menempatkan dirinya dalam rangka menghadapi perkembangan zaman

yang terus mengalami perubahan dengan permasalahan-permasalahan

yang semakin kompleks. Dalam rangka menjawab persoalan-persoalan

tersebut, kajian studi Islam interdisipliner dipandang perlu dan menjadi hal

yang sangat dibutuhkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang terus

berkembang ini.

B. Pembahasan

1. Studi Islam dengan Pendekatan Interdisipler

Istilah “Islamic Studies” atau Studi Islam dapat didefinisikan berdasarkan pendekatan definisi sempit dan definisi luas. Pendekatan

pertama melihat Islamic Studies sebagaisuatu disiplin dengan

metodologi, materidan teks-teks kuncinya sendiri; bidang studiinidapat

didefinisikan sebagaistuditentang tradisiteks-teks keagamaan klasik

3

(3)

dan ilmu-ilmu keagamaan klasik; memperluas ruang lingkupnya

berartiakan mengurangikualitas kajiannya. Pendekatan kedua

mendefinisikan Islamic Studies berdasarkan pada pernyataan bahwa

Islam perlu dikajidalam konteks evolusiIslam modern yang penuh

teka-teki. Termasuk juga adanya kebutuhan untuk memahamiapa yang

dimaksudkan oleh teks-teks tentang cara orang-orang mengalamidan

menjalankan kehidupan mereka. Membatasibidang kajian pada

studiteks saja akan berisiko memberikan kesan yang salah tentang

seperangkat praktik keagamaan Islam, sehingga menutupirealitas yang

lebih kompleks. Islam mestidiajarkan baik sebagaitradisiteks maupun

sebagai realitas sosial4.

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam studi islam

adalah pendekatan interdisipliner. Pendekatan interdisipliner yang

dimaksud disini adalah kajian dengan menggunakan sejumlah

pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi islam

misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis dan normatif

secara bersamaan. Pentingnya penggunaan pendekatan ini semakin

disadari karena adanya keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang

hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam

mengkaji teks agama, seperti Al-Qur’an dan sunah Nabi tidak cukup

hanya mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi

dengan pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih

perlu ditambah dengan pendekatan hermeneutik misalnya.

Dari kupasan di atas melahirkan beberapa catatan. Pertama,

perkembangan pembidangan studi islam dan pendekatannya sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Kedua, adanya

penekanan terhadap bidang dan pendekatan tertentu dimaksudkan agar

mampu memahami ajaran islam lebih lengkap (komprehensif) sesuai

dengan kebutuhan tuntutan yag semakin lengkap dan komplek. Ketiga,

4

(4)

perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya

memang terjadi, kalau tidak menjadi pertanda agama semakin tidak

mendapat perhatian5.

Contoh penggunaan pendekatan interdispiner adalah dalam

menjawab status hukum aborsi. Untuk melihat status hukum aborsi

perlu dilacak nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tentang larangan

pembunuhan anak dan proses atau tahap penciptaan manusia

dihubungkan dengan teori embriologi.

Perkembangan studi Islam dengan kajian interdisipliner dapat

dijelaskan secara ringkas melalui penggunaan istilah yang berbeda.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah integrasi (integratif), induksi

(induktif), interkoneksi (interkonektif), dan pendekatan dan analisis

sistem. Secara sederhana integrasi berarti menyatukan, induksi berarti

mengeneralisir, interkoneksi berarti menghubungkan, dan analisis

sistem adalah menyeluruh. Adapun ilmu yang hendak diintegrasikan

muncul dalam beberapa bentuk, diantaranya adalah:

a. Antara normatif (agama) dan saintifik.

b. Antara burhani, bayani dan ‘irfani

c. Antara ‘ilm, nash, dan

d. Antara ilmu agama, sosial sain, natural sain, humaniora.

e. Antara intelektual, emosional, spiritual.

f. Antara ‘alim dan arif.

g. Antara normatif dan empiris6

Adapun hubungan antar ilmu (integratif dan/atau interkonektif)

dapat dikembangkan dengan tiga model, yaitu:

5

Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution,MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009,hlm. 230-232

6

(5)

a. Informatif, berarti satu disiplin ilmu perlu diperkaya dengan

informasi yang dimiliki disiplin ilmu lain, sehingga dengan

pengayaan tersebut membuat wawasan civitas akademika

bertambah luas. Misalnya Islam normatif perlu diperkaya dengan

teori ilmu sosial yang bersifat historis, demikian sebaliknya.

b. Konfirmatif, bahwa untuk membangun teori studi Islam perlu

diperkuat dan diperkokoh oleh disiplin ilmu lain. Misalnya, teori

tujuan penetapan syari‘ah (maqashid al-syari‘ah), yang lima dikonfirmasi dengan teori kebutuhan dasar manusia oleh Abraham

Maslow yang membagi kebutuhan pokok manusia menjadi lima,

yakni: a. physiology (fisiologi), b. safety (keamanan), c. love and

belongingness (cinta dan rasa memiliki), d. esteem (penghormatan),

dan e. self-actualization (aktualisasi diri).

c. Korektif, yakni saling koreksi antara penemuan di bidang kajian

Islam dengan bidang ilmu lainnya. Dengan demikian

perkembangan disiplin ilmu akan semakin dinamis 7.

Dalam pendekatan interdisipliner dilakukan kombinasi

pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ilmu sosial, antara

lain:

a. PendekatanFilsafat

Filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan

kata shopos yang berarati ilmu atau hikmah. Secara etimologi

filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.

Menurut istilah (terminologi) filsafat islam adalah cinta terhadap

hikmah dan berusaha mendapatkan falsafah dan menciptakan sikap

positif terhadap falsafah islam.

Islam menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran filsafat,

itulah yang disebut filsafat Islam bukan karena orang yang

melakukan kefilsafatan itu orang muslim, tetapi dari segi obyek

(6)

membahas mengenai keislaman. Perkembangan filsafat Islam pada

prinsipnya mampu bersaing dengan filsafat Barat. Dari kedua

filsafat ini ditambah dengan kajian Yahudi, maka tersusunlah

sejarah pembahasan teoretis filsafat Islam dengan filsafat klasik,

pada pertengahan dan modern.

Hubungan filsafat Islam dengan filsafat modern, secara

khusus terdapat berbagai usaha yang ditujukan untuk menemukan

hubungan antara keduanya, baik sumber maupun

pengantar-pengantar filsafat modern. Batasannya yaitu terdapat pola titik

persamaan dalam pandangan dan pemikiran. Filsafat Islam juga

dikatakan sebagai ilmu karena di dalamnya terkandung pertanyaan

ilmiah, yaitu bagaimanakah, mengapakah, dan apakah, jawaban

atas pertanyaan itu adalah sebagai berikut:

a. Pengetahuan yang timbul dari pedoman yang selalu

berulang-ulang.

b. Pengetahuan yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam

adat istiadat yang berlaju dalam masyrakat.

c. Pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai suatu hal

dijadikan pegangan.

Konsep Filsafat Islam

a. Konsep Ar-Razi

Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al- Razi lahir di Rai

kota dekat Teheran pada tahun 862 M. Falsafahnya terkenal

dengan Lima Yang Kekal.8

1) Materi; merupakan apa yang ditangkap panca indra tentang

benda itu

2) Ruang ; karena materi mengambil tempat.

3) Zaman: karena materi berubah-ubah keadaannya.

4) Adanya roh

5) Adanya Pencipta.

(7)

b. Konsep Al Farabi

Abu Ali Husin Ibn Sina lahir di Afsyana 980 M di dekat

Bukhara. Terkenal dengan:

1) Falsafah Jiwa

2) Falsafah Wahyu dan Nabi

3) Falsafah Wujud

4) Konsep Al Kindi

c. Konsep Al Kindi

Ya’kub Ibn Ishaq Al Kindi berasal dari Kindah di

Yaman.tahun 796 M. terkenal dengan:

1) Falsafah Ketuhanan

2) Falsafah Jiwa

Manfaat yang didapat ketika seseorang menggunakan

pendekatan filsafat dalam kajiannya antara lain:

1) Agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat

dimengerti dan dipahami secara seksama.

2) Setiap individu dapat memberi makna terhadap segala

sesuatu yang dijumpainya dan mengambil hikmah sehingga

ketika melakukan ibadah atau apa pun, ia tidak mengalami

degradasi spriritualitas yang menimbulkan kebosanan

3) Membentuk pribadi yang selalu berpikir kritis (critical

thought).

4) Adanya kebebasan intelektual (intellectual freedom).

5) Membentuk pribadi yang selalu toleran

b. Pendekatan Sosiologi

Sosiologi adalah ilmu tentang kemasyarakatan, ilmu yang

mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat.

Sosiologi didefinisikan secara luas sebagai bidang penelitian yang

tujuannya meningkatkan pengetahuan melalui pengamatan dasar

manusia,dan pola organisasi serta hukumnya. Pendekatan sosiologi

(8)

masalah-masalah pendidikan, melainkan juga dalam memahami

bidang lainnya, seperti agama sehingga munculah studi tentang

sosiologi agama9.

Misalnya mengenai salah satu implikasi teologis terhadap

penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hadist mengenai wanita. Wanita

Islam dalam kontekstual adalah munculnya rasa takut dan berdosa

bagi kaum wanita bila ingin “menggugat”dan menolak penafsiran

atas diri mereka yang tidak hanya disubordinasikan dari kaum

laki-laki, tetapi juga dilecehkan hak dan martabatnya. Akibatnya secara

sosiologis mereka terpaksa menerima kenyataan-kenyataan

diskriminatif bahwa lelaki serba lebih dari perempuan, terutama

dalam hal-hal seperti: pertama, wanita adalah makhluk lemah

karena tercipta dari tulang rusuk pria yang bengkok; kedua, wanita

separuh harga laki-laki; ketiga, wanita boleh diperistri hingga

empat; keempat: wanita tidak bisa menjadi pemimpin Negara.

Dalam kejadian wanita, kata nafs pada surat An-nisa ayat

1, tidak ditafsirkan Adam, seperti anggapan mufasir tradisional,

sebab konteks awal turunnya ayat ini tidak hanya bermaksud

menolak atau mengklaim tradisi-tradisi jahiliyyah yang masih

masih menganggap wanita sebagai makhluk yang rendah dan hina,

tapi juga sekaligus mengangkat harkat dan martabat mereka,

sebagaimana terlihat pada ayat sesudahnya. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan konteks ayat ini,

maka kata nafs harus ditafsirkan dengan jenis sebagaimana

dipahami para mufasir modern, bahwa baik laki-laki maupun

perempuan diciptakan dengan jenis yang sama.

Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka

agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama

merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah

9

(9)

mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu

yang tidak diketahui dan tidak terkontrol dan masih banyak lagi

teori lainnya.Pada intinya pendekatan ilmu- ilmu sosial

menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari

norma sosial. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial

memberikan penjelasan mengenai fenomena agama.

d. Pendekatan Sejarah

Sejarah adalah ilmu yang membahas berbagai masalah

yang terjadi di masa lampau, baik yang berkaitan dengan masalah

sosial, politik ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, kebudayaan,

agama dan sebagainya. Melalui pendekatan sejarah ini, ilmu

pendidikan Islam akan memiliki landasan sejarah yang kuat

sehingga terjadi hubungan dan mata rantai yang jelas antara

pendidikan yang dilaksanakan sekarang dengan pendidikan yang

pernah ada di masa lalu. Bangunan ilmu pendidikan Islam yang

didasarkan pada pendekatan sejarah akan memiliki landasan yang

lebih realistis dan empiris, karena bertolak dari praktik

pendidikan yang benar-benar telah terjadi. Ilmu pendidikan Islam

dengan pendekatan sejarah merupakan sebuah bentuk apresiasi

atas berbagai peristiwa masa lalu untuk digunakan sebagai bahan

renungan dan pelajaran bagi pengembangan ilmu pendidikan

Islam di masa lalu.

Pendekatan sejarah dalam mempelajari Islam merupakan

profil campuran, yakni sebagian dari praktik tersebut ada yang

dipengaruhi oleh sejarah dan ada pula yang dipengaruhi oleh adat

istiadat dan kebudayaan setempat. Praktik pendidikan dalam

sejarah tidak selamanya mencerminkan apa yang dikehendaki

ajaran Al-Qur'an dan al-sunnah.Informasi yang terdapat dalam

sejarah bukanlah dogma atau ajaran yang harus diikuti, melainkan

(10)

renungan, memilah dan memilih bagian yang sesuai dan relevan

untuk digunakan.

Pada Studi islam interdisipliner melalui pendekatan sejarah,

para pakar pendidikan Islam menggunakan pola pemikiran

rasionalistik-fenomenologik untuk memahami pesan sejarah

pendidikan Islam10.

2. Urgensi Studi Islam Interdisipliner di Era Millenial

Perlunya pendekatan interdisipliner bidang keilmuan dalam

studi keislaman di era millenial ini membawa kita memasuki wilayah

yang tidak bisa dipikirkan dan disentuh oleh kalangan pengajar yang

tidak open mind terhadap perubahan. Nash-nash keagamaan yang dari

itu muncul fatwa-fatwa keagamaan sejak dahulu hingga sampai

kapapun tidak bisa terlepas dari kepentingan politik,

sosial-ekonomi, sosial-budaya. Keras lemahnya hubungan antar agama, etnis,

ras, dan suku sangat tergantung pada pertimbangan sosiologis, politis,

dan ekonomi. Oleh karenanya studi sosial keagamaan yang historis

empiris termasuk psikologi keagamaan sangat diperlukan. Pentingnya

memahami batas-batas hak dan kewajiban dalam frame hubungan

sosial keagamaan yang bersifat publik dalam era multikultural dan

multireligius dirasakan sangat mendesak seperti sekarang ini.

Dalam melakukan pengkajian Islam ada beberapa fase yang

harus dilalui untuk mendapatkan jawaban dari kajian tersebut. Menurut

Qodri A.Azizy11 terdapat enam fase: Pertama, pengkajian Islam lewat al-Qur’an dan hadits. Kedua, ulama-ulama Islam harus mencoba

memahami atau menafsirkan nash, sambil memberi jawaban terhadap

kasus-kasus yang tidak secara tegas disebutkan dalam nash. Ketiga,

10

Tabrani, ZA, Islamic Studies Dalam Pendekatan Multidisipliner. International Multidisiplinary Journal.Vol.II,No.02, Mei 2014

11

Qodri Azizy,2001. Membangun IAIN Walisongo Ke Depan (Langkah Awal). Semarang:

(11)

pengkajian Islam berupa mempelajari pemikiran ulama yang sudah

terbangun sebagai disiplin keilmuan. Namun pada tahap ini sering

terjadi bentuk dogmatic dan normative. Sebagai akibatnya bukan saja

pemahaman nash yang tidak kontekstual, namun pemahaman terhadap

karya ulama yang seakan-akan tidak tersentuh oleh akal manusia

sekarang. Padahal itu semua merupakan hasil ijtihad dimasa itu dengan

adanya pengaruh budaya, adat, dan subyektivitas perorangan.

Oleh karena itu fase keempat, perlu adanya penyegaran

pengkajian dengan merekonstruksi proses pemikiran utama dengan

tidak meninggalkan nilai-nilai yang ada. Disini sudah mulai jelas

menempatkan apa yang selama ini dianggap doktrin merupakan hasil

ijtihad ulama. Namun disini ternyata masih berkutat pada aktivitas

eksploratif yakni hanya menjelaskan secara deskripsi apa yang telah

terjadi. Akibatnya muncul stagnasi meskipun telah menyentuh

aktivitas kritis, artinya pemikiran ulama waktu itu tidak lepas dari

kondisi yang mengitarinya sehingga mempengaruhi keputusan pribadi

ulama.

Disisi lain, kondisi saat ini tidak selalu sama dengan masa itu.

Ini yang menyebabkan stagnasi dan berputar-putar. Namun proses

fenomenologis sudah dimulai, meskipun bentuknya yang utuh tidak

ada dalam fase berikutnya. Oleh karena itu diperlukan usaha radikal

dan berani untuk membongkar kembali apa yang terjadi dan apa yang

telah dipraktikkan oleh ulama terdahulu konsekuensinya akan terjadi

de-absolutisasi atau desaklarisasi ilmu-ilmu keislaman, ini

digolongkan fase kelima. Beda antara fase keempat dan kelima adalah,

fase keempat pengkajian Islam mempunyai target berupa

pengungkapan sejarah pemikiran ulama secara apa adanya tanpa

prasangka tanpa agenda penitipan sesuatu. Dalam fase keempat ini

sebenarnya juga sudah mulai usaha inovatif dan obyektif untuk menilai

kembali terhadap pemikiran mengenai Islam. Lebih dari itu, dalam

(12)

variable yang tidak dapat dipisahkan sama sekali atau justru

berpengaruh dalam pemahaman keagamaan. Disini kajian kritis

terhadap disiplin ilmu-ilmu keislaman yang ada selama ini tidak

tersentuh baru dimulai.

Fase keenam adalah usaha kelanjutannya, yaitu

merekonstruksi keilmuan Islam yang dianggap baku untuk kemudian

disesuaikan dengan tuntutan yang ada. Ini merupakan ijtihad baru

sebagai konstruksi ulang atas disiplin ilmu-ilmu keislaman yang sudah

ada dan selama ini dianggap baku. Ini dapat berupa perbaikan disiplin,

pengembangan atau pengurangan disiplin, atau penciptaan disiplin

baru, meskipun dengan merformulasi ulang terhadap apa yang sudah

ada. Sudah barang tentu tidak bisa menafikan bangunan disiplin ilmu

yang sudah dihasilkan oleh para ulama terdahulu. Dikarenakan ketika

menafikan akan terjadi keterputusan alur atau proses pemikiran dari

apa yang sudah dilakukan oleh ulama. Sehingga ada kontinuitas dan

proses historikal, seperti terjadi dalam keilmuan pada umumnya (di

Barat).

Dalam fase ini dapat dilakukan pendekatan secara

interdisipliner, multidisiliner atau bahkan transdisipliner. Tentu harus

mengacu pada misi utama Islam yaitu kemaslahatan umat di satu sisi,

dan keterkaitannya dengan ciri utama Islam di sisi lain. Bahwa Islam

akan senantiasa bisa berjalan beriringan dengan setiap jaman yang

dilalui. Setiap faktor yang terjadi di setiap jaman tidak dapat diabaikan

karena Islam mampu menjawab tuntutan perkembangan jaman yang

ada.

Paradigma interdisipliner secara aksiologis menawarkan

pandangan dunia manusia beragama dan ilmuan yang baru yang lebih

terbuka mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat

dipertanggungjawabkan kepada public dan berpandangan ke depan.

Secara ontologism, hubungan antara berbagai disiplin keilmuan

(13)

wilayah antara budaya pendukung keilmuan yang bersumber pada

teks-teks dan budaya pendukung keilmuan factual-historis-empiris,

yakni ilmu-ilmu sosial dan kealaman serta budaya pendukung

keilmuan etis filosofis masih tetap ada. Hanya saja, cara berfikir dan

sikap ilmuan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini yang perlu

berubah. Tegur dan saling menyapa antara ketiganya dalam birokrasi

pendidik, dan terlebih lagi dalam diri para ilmuan, dosen, akademisi

atau researchers, yang termanifestasikan dalam keanekaragaman

perspektif yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisa persoalan,

program penelitian, tatap muka perkuliahan, pengembangan kurikulum

serta evaluasi pembelajarannya menjadi sibghah dan core values yang

harus dipegang teguh dan dikembangkan terus-menerus oleh para

pelaku transformasi12.

Pada era milenial dan disrupsi, pendekatan studi islam

interdisipliner sangatlah urgen dalam rangka menyikapi arus

perkembangan informasi digital yang sedemikian tak terbendung.

Pendekatan interdisipliner menjadikan studi islam lebih bijak, dinamis

dan integratif dalam mengkaji dan memberikan solusi terhadap

berbagai permasalahan yang semakin kompleks, sehingga idealitas

kehidupan masyarakat di era millenial dan disrupsi dapat tercapai.

Idealitas tersebut adalah masyarakat yang beranggotakan orang-orang

yang sadar akan hak dan kewajibannyasebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa (abdullah/hamba Allah yang mengerti tujuanhidupnya

adalah untuk beribadah), sebagai makhluk individu, dan sebagai

makhluk sosial(anggota masyarakat setempat, daerah, nasional,

internasional). Orang-orang yangdemikian adalah mereka yang

berimtaq (memiliki kecerdasan spiritual), beripteks(memiliki

kecerdasan intelektual dan seni), berkepribadian Indonesia yang kuat

(memilikikecerdasan emosional Indonesia), sadar hukum, demokratis,

12

M. Amin Abdullah. 2009. Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep Kontemporer, Ahwan

(14)

mencintai danmempraktekkan keadilan, kebenaran, dan kedamaian,

dan sehat jasmani dan rohani.

C. Penutup

Untuk dapat menghidupkan kembali gerakan kebangkitan Islam

maka perlu dilakukan studi yang' cermat tentang situasi dan kondisi dalam

ruang dan waktu serta sejarah perjalanan umat Islam dalam mengarungi

dialektika segi normatifdan sosiologis-historis tentang pemahaman

keagamaan. Tantangan di era millenial dan disrupsi perlu disikapi dengan

kreatif dan cerdas, sehingga Islam mampu menjawab tantangan dunia

modern.

Problematika era millenial tidak cukup diselesaikan dengan

kajian-kajian Islam secara klasik, karena semakin maju pergolakan

kehidupan zaman, konsekuensinya juga akan semakin banyak pula

permasalahan baru yang semakin rumit untuk dipecahkan, metodologi

studi Islam di era millenial juga harus menyesuaikan dengan era dan kultur

budaya yang ada, selain itu juga harus dikaji dari beberapa disiplin ilmu

yang ada, agar pemahaman Islam menjadi lebih kompleks dan selalu

memberikan solusi yang solutif, tidak stagnan dan kaku jika diterapkan

dalam kondisi yang lain.

Pendekatan Interdisipliner merupakan pemahaman ilmu “agama islam” dengan menggunakan beberapa keilmuan yang saling berkaitan.

Dalam mengkaji islam dengan studi interdisipliner haruslah dengan

beberapa ilmu yang serumpun atau ilmu yang saling berkaitan. Dengan

pendekakatan ilmu filsafat, sejarah dan sosial secara bersamaan.

Pendekatan studi islam interdisipliner sangatlah urgen dalam

rangka menyikapi arus perkembangan informasi digital yang sedemikian

tak terbendungPendekatan interdisipliner menjadikan studi islam lebih

bijak, dinamis dan integratif dalam mengkaji dan memberikan solusi

terhadap berbagai permasalahan yang semakin kompleks, sehingga

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.Amin. 2009. Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep

Kontemporer, Ahwan Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner,

Normatif Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen,

Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, Jakarta: Rajawali

Press, 2009, 203

Azizy, Qodri A,2001. Membangun IAIN Walisongo Ke Depan (Langkah

Awal). Semarang: Gunungdjati.

Baidhawy, Zakiyuddin, 2011. Studi Islam Pendekatan dan Metode, Yogyakarta:

Insan Madani

Harun Nasution. Falsafah Dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1995,21.

Mucharomah, Miftah. Guru di Era Milenia dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin.

Jurnal Edukasia Islamika: Volume 2, No.2 Desember 2017

Nasution, Khoiruddin. 2010. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA

TAZZAFA.

____________________. 2013. Islam, Agama- agama, dan Nilai Kemanusiaan:Festchrift Untuk M. Amin Abdullah. Yogyakarta:CIS Form UIN Sunan Kalijaga.h121

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) pendekatan saintifik dengan media konkret sudah dilaksanakan sesuai langkah-langkah yaitu mengamati media konkret, menanya media

Akan tetapi, dari berbagai pertemuan tersebut, telah menegaskan bahwa hubungan Muslim- Kristiani telah terjadi dalam dunia akademis, tidak saja ditunjukkan

rhinoceros memiliki bakteri simbion di dalam ususnya dan menghasilkan enzim hidrolitik yang berpotensi dan dapat dikembangkan untuk mendegradasi limbah tandan kosong kelapa

Universitas Negeri Semarang Koordinator

Characteristic of tree`s damage, distribution of holes based on sunlight exposure, distribution of holes based on vertical position of stem, distribution of holes

sebuah isu global menyatakan bahwa HAM dipandang sebagai suatu persoalan nilai.. kemanusian yang penting adalah sejak ditetapkannya DUHAM oleh PBB tahun 1948. Sejak saat itu, secara

Observed variables on the plant growth and yield of rice were the green level of leaf, angle of tillers, number of productive tillers, dry weight, number

Perubahan kurikulum pendidikan nasional terus diupayakan yang bertujuan meningkatkan kualitas dan kompetensi dasar dalam pembelajaran, mulai dari kurikulum berbasis