SEJARAH PEMBERONTAKAN G 30 S/ PKI
Peristiwa sejarah terbunuhnya tujuh jendral TNI Angkatan Darat akibat
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga kini masih menyisakan
sejumlah tanya. Buntut dari kejadian yang dikenal dengan G30SPKI itu juga
mengakibatkan tewasnya ratusan ribu penduduk Indonesia yang diduga penganut
paham ataupun keturunan komunis.
Pemberontakan yang menurut versi Orde Baru disebut-sebut sebagai sebuah
peristiwa yang merusak keutuhan Pancasila dimana terjadi penculikan dan
pembunuhan terhadap 7 orang jenderal yaitu Jendral TNI Ahmad Yani, Letjen TNI
MT Haryono, Letjen TNI S Parman, Letjen TNI Suprapto, Mayjen TNI Sutoyo,
Mayjen TNI DI Panjaitan dan Jenderal AH Nasution yang berhasil lolos sehingga
ajudannya Letnan Pierre Tandean yang diculik oleh gerombolan PKI. Selang hanya
satu hari yaitu pada 1 Oktober 1965 para pelaku pemberontakan itu berhasil
diringkus dan ke 7 korban penculikan dan pembunuhan berhasil ditemukan di
kawasan Lubang Buaya, Halim, Jakarta Timur dibawah komando seorang perwira
tinggi yang lolos dari target penculikan dan pembunuhan yaitu Mayjen TNI Soeharto.
pada tanggal 30 September 1965 meletuslah pemberontakan PKI. Pada tanggal 1
Oktober 1965 dini hari menjelang subuh, PKI mengadakan penculikan terhadap
perwira-perwira Angkatan Darat dan mengumumkan adanya Dewan Revolusi.
Penculikan-penculikan itu dilakukan oleh beberapa anggota pasukan Cakrabirawa
(Barisan Pengawal Presiden) di bawah pimpinan Kolonel Untung. Mereka menculik
dan menyiksa para perwira Angkatan Darat tanpa mengenal perikemanusiaan.
Setelah itu jasad para perwira tadi dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya di
Jakarta. Adapun beberapa perwira TNI Angkatan Darat yang diculik tersebut adalah:
1. Letnan Jenderal Akhmad Yani
2. Mayor Jenderal Suprapto
3. Mayor Jenderal M.T. Haryono
4. Mayor Jenderal S. Parman
5. Brigadir Jenderal Panjaitan
6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo
menjadi korban keganasan para penculik PKI.
Peltu Polisi Karel Sasuit Tubun juga gugur dalam melawan gerombolan penculik
yang sedang memasuki halaman rumah Leimena. Disamping itu, pembunuhan juga
berlangsung di berbagai daerah. Di Yogyakarta kaum pemberontak telah menculik
Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono.
Kemudian kesepuluh perwira di atas, oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai
Pahlawan Revolusi.
Melihat keadaan yang cukup gawat itu, maka Mayor Jenderal Soeharto sebagai
Panglima KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), segera mengambil
tindakan tegas. Tanggal 1 Oktober 1965 keadaan ibu kota sudah dapat dikuasai.
Kemudian untuk menumpas kekuatan G 30 S/PKI di berbagai daerah di kirimkanlah
pasukan RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Sarwo Edi. Dalam waktu singkat PKI
dapat dilumpuhkan. Pemimpin-pemimpinnya ditangkap. Sedang D.N Aidit yang
merupkan pimpinan utama PKI tertembak mati di daerah Surakarta. Dengan
demikian keadaan keamanan dapat dipulihkan.
Peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 merupakan tragedi nasional. Pada hari itu Dasar
Negara Pancasila akan diganti komunisme oleh PKI. Berkat pertolongan Tuhan
Yang Mahakuasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, maka ABRI dan rakyat
di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto dapat menggagalkan usaha PKI.
Pancasila tetap kokoh sebagai dasar negara RI.
Oleh karena itu, maka pada setiap tanggal 1 Oktober kita peringati sebagai Hari
Kesaktian Pancasila.
PKI merupakan partai yang mendapat dukungan dari Soekarno begitupun
sebaliknya PKI sangat mendukung kepemimpinan Soekarno yang anti Amerika dan
pro kepada Uni Soviet dimana politik sosialis demokratik dan azas pemerataan
diutamakan itulah yang membuat PKI merasa sangat berkepentingan untuk
mencegah pemberontakan dewan jenderal tersebut. Setelah melakukan
pertemuan-pertemuan diantara petinggi PKI akhirnya disepakati bahwa aksi penumpasan
dewan jenderal akan dilakukan pada tanggal 30 September 1965. Dalam rapat-rapat
yang dilakukan para pimimpin PKI tidak disinggung sedikitpun tentang Soeharto
meskipun termasuk seorang perwira berpangkat tinggi tapi mungkin dianggap tidak
membahayakan kepentingan mereka.
Hingga pada tanggal 30 September 1965 pukul 4 pagi dilaksanakanlah aksi
penumpasan para jenderal dengan menculik 7 jendral yang dijadikan target PKI.
Para jenderal tersebut kemudian dibawa ke lubang buaya dimana disana telah
menunggu massa pendukung PKI, mereka telah berkumpul sejak tanggal 29
September sore. Massa pendukung PKI diberikan kebebasan untuk melakukan apa
saja terhadap ketujuh orang jenderal tersebut yang dianggap telah menyengsarakan
rakyat. Sebelum melakukan penyiksaan dan pembunuhan mereka bernyanyi-nyanyi
dan berpesta pora di lubang buaya tersebut.
bahwa apabila Menteri/Panglima Angkatan Darat berhalangan maka Penglima
Kostrad yang mewakilinya sehingga untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan
Darat dipegang oleh Mayor Jenderal Soeharto. Berdsarkan laporan lengkap yang
disampaikan oleh Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya yang saat itu dijabat
Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah maka diambil langkah-langkah
mengkoordinasikan kesatuan-kesatuan yang berada di Jakarta, kecuali Angkatan
Udara yang ternyata panglimanya adalah salah seorang pendukung G 30 S/PKI
tersebut.
Setelah dilakukan penelitian dan penilaian maka Panglima Kostrad mengambil
kesimpulan sebagai bahwa penculikan dan pembunuhan para Jenderal merupakan
bagian daripada usaha perebutan kekuasaan pemeritah; pimpinan Angkatan Udara
terlibat dalam membantu usaha tersebut; pasukan-pasukan Batalyon 454/Para Divisi
Diponegoro dan Batalyon 530/Para Divisi Brawijaya yang berada di lapangan
Merdeka, berdiri di pihak yang melakukan perebutan kekuasaan. Kedua pasukan ini
di datangkan ke Jakarta dalam rangka hari ulang thaun ABRI 5 Oktober 1965.
TNI dibawah komando Soeharto pada 1 Oktober berhasil menguasai pangkalan
udara Halim Perdanakusumah dan Lubang Buaya, kemudian keesokan harinya yaitu
tanggal 2 Oktober 1965 jenazah perwira TNI AD berhasil di temukan di Lubang
Buaya dan dimakamkan bertepatan dengan ulang tahun ABRI yaitu tanggal 5
Oktober 1965 di TMP Kalibata. Beberapa orang yang terlibat dalam pemberontakan
G 30 S/PKI kemudian melarikan diri ke berbagai tempat di Pulau Jawa termasuk
Letkol Untung yang akhirnya berhasil ditangkap di Tegal pada tanggal 11 Oktober
1965, D.N. Aidit sebagai pimpinan PKI waktu itu ditangkap di Surakarta pada 22
November 1965 dan tokoh-tokoh PKI lainnya.
Tuntutan untuk membubarkan PKI, bubarkan kabinet seratus menteri dan turunkan
harga kemudaian dikumandangkan oleh para mahasiswa yang melakukan aksi
demonstrasi hingga salah seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia Arif
Rahman Hakim tewas dalam aksi demonstrasi tersebut yang kemudian mendapat
gelar pahlawan amanat penderitaan rakyat (Ampera). Gejolak politik yang terjadi
pada saat itu membuat Soekarno mengeluarkan surat perintah yang dibuat pada
tanggal 11 Maret 1966 yang kemudian dikenal dengan Supersemar, isinya
memberikan amanat kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan
demi mencapai keamanan dan ketenangan. Supersemar ini merupakan titik awal
berdirinya rezim Orde Baru karena pada tanggal 12 Maret 1966 PKI dinyatakan
sebagai partai terlarang di seluruh Indonesia, semua orang yang diindikasikan
terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI dibersihkan dari kabinet dan berdirilah kabinet
Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun.
LATAR BELAKANG LAHIRNYA ORDE BARU
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto.
- Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
- Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. - Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
- Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Latar belakang lahirnya Orde Baru :
1. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
2. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama. 3. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan
timbulnya keresahan masyarakat.
4. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
1) Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya 2) Pembersihan Kabinet Dwikora
3) Penurunan Harga-harga barang.
7. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
9. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966
(SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.
Upaya menuju pemerintahan Orde Baru :
*Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam
lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan.
*Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI.
*Munculnya konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan.
*Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk
mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno .
*12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru.
*Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
II. KEHIDUPAN POLITIK MASA ORDE BARU Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
Melakukan pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
Menetapkan Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Melaksanakan Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga negara. Pelaksanaan Orde Baru :
—Awalnya kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan.
—Perkembangannya, kehidupan demokrasi di Indonesia tidak berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin.
—Untuk menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untuk menganut sistem pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana terdapat tiga pemisahan kekuasaan di pemerintahan yaitu Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun tidak diperhatikan/diabaikan. Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan kehidupan Politik :
A. PENATAAN POLITIK DALAM NEGERI 1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut.
1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan. 2. Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
_-_Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
_-_Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama _-_Pelaksanaan Pemilihan Umum
_-_Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 3o September
2. Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
+ Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966..
+ Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
+ Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
3. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai.
Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
- Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
- Golongan Karya (Golkar) 4. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
- Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
- Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
- Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
- Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).
2) Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI. 3) Pemilu 1982
4) Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah: _ PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
_ Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
_ PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi. PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
5. Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
6. Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
7. Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan disaksikan oleh wakil PBB pada tanggal 2 Agustus 1969.
B. PENATAAN POLITIK LUAR NEGERI
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.
1) Kembali menjadi anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
2) Normalisasi hubungan dengan beberapa negara (1) Pemulihan hubungan dengan Singapura
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah
Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik. (2) Pemulihan hubungan dengan Malaysia
#Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik. Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
#Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing negara..
III. KEHIDUPAN EKONOMI MASA ORDE BARU
Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut. 1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
2. Kerja Sama Luar Negeri 3. Pembangunan Nasional
Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu, 1) Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
2) Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling berkaitan/berkesinambungan.
Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu : 1. Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia.
Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang. 2. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
\Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
\Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. \Pemerataan pembagian pendapatan
\Pemerataan kesempatan kerja \Pemerataan kesempatan berusaha
\Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
\Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air \Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Supersemar adalah sebuah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. Surat perintah ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Latar Belakang Dikeluarkannya Supersemar
Menurut versi resmi, latar belakang dikeluarkannya Supersemar adalah ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama “kabinet 100 menteri”. Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal Presiden “Tjakrabirawa” melaporkan bahwa banyak “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal” yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S/PKI di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio.
menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.
Karena tidak bisa hadir dalam rapat tersebut, Mayor Jendral Soeharto pun mengutus 3 orang perwira tinggi angkatan darat ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Mereka adalah Brigadir Jenderal M. Jusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara 3 perwira tinggi angkatan darat dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayor Jenderal Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jenderal (purn) M. Jusuf, pembicaraan mereka dengan Presiden Soekarno saat itu berlangsung hingga pukul 20.30 malam.
Akhirnya Presiden Soekarno pun setuju dengan usulan itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang ditujukan kepada Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Surat Supersemar tersebut pun tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar Angkatan Darat, Brigjen Budiono H.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar belakang dikeluarkannya Supersemar adalah untuk mengamankan situasi negara dari gerakan PKI yang saat itu telah menjadi ancaman bagi stabilitas pertahanan dan keamanan dalam negara Indonesia sendiri. Mayjen Soeharto pun ditunjuk sebagai pelaksana dari isi Supersemar tersebut dimana beliau diperintahkan untuk mengambil tindakan demi terjaminnya keamanan, ketenangan, dan kestabilan jalannya pemerintahan serta menjaga keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan demi keselamatan Pemimpin Besar Revolusi.
4. Indonesia berhasil meraih posisi ketua di Organisasi Konferensi Islam (OKI), Gerakan Non Blok dan Kerjasama Ekonomi Asia Pasifk (APEC).
5. Perbaikan hubungan luar negeri Indonesia dengan negara- negara Barat dan negara- negara tetangga
6. Banyak dukungan ekonomi yang mengalir ke dalam negeri sehingga tercipta stabilitas ekonomi nasiona
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanyaAS$70
Sukses transmigrasi Sukses KB
Sukses memerangi buta huruf Sukses swasembada pangan
Pengangguran minimum
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Sukses Gerakan Wajib Belajar
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
Sukses keamanan dalam negeri
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius”
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
Sistem Pemerintahan Tahun 1998-Sekarang (Reformasi)
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat
Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran
pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa
orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh
karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut
sebagai “Era Pasca Orde Baru”. Era Reformasi di Indonesia dimulai
pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden
BJ Habibie.
Krisis fnansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia
melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat
Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti
pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998
sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir
diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam
maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk
mengundurkan diri dari jabatannya.
1. Sistem Pemerintahan Periode 1945-1949
Lama periode : 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik Sistem Pemerintahan : Presidensial Konstitusi : UUD 1945
Sistem pemerintahan awal yang digunakan oleh Indonesia adalah sistem
pemerintahan presidensial. Namun, seiring datangnya sekutu dan dicetuskannya Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 November 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan legislatif dijalankan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap dipegang oleh presiden sampai tanggal 14 November 1945. Berdasarkan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 ini, kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya sistem pemerintahan parlementer.
2. Sistem Pemerintahan Periode 1949-1950
Lama periode : 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 Bentuk Negara : Serikat (Federasi)
Bentuk Pemerintahan : Republik
Konstitusi : Konstitusi RIS
Adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dengan delegasi Belanda menghasilkan keputusan pokok bahwa kerajaan Balanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya tanpa syarat dan tidak dapat dicabut kembali kepada RIS selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949. Dengan diteteapkannya konstitusi RIS, sistem pemerintahan yang digunakan adalah parlementer. Namun karena tidak seluruhnya diterapkan maka Sistem Pemerintahan saat itu disebut Parlementer semu.
3. Sistem Pemerintahan Periode 1950-1959 Lama periode : 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk Pemerintahan : Republik Sistem Pemerintahan : Parlementer Konstitusi : UUDS 1950
UUDS 1950 adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut. Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.Isi dekrit presiden 5 Juli 1959 antara lain :
1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950 2. Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Demokrasi Parlementer (1945-1959) Presiden : Soekarno
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Kemudian diperkuat dalam UUD 1949 (Konstitusi RIS) dan UUDS 1950. Sistem ini kurang cocok
diterapkan di Indonesia. Terlihat dari melemahnya persatuan bangsa.Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
4. Sistem Pemerintahan Periode 1959-1966 (Orde Lama) Lama periode : 5 Juli 1959 – 22 Februari 1966
Bentuk Negara : Kesatuan Bentuk Pemerintahan : Republik Sistem Pemerintahan : Presidensial Konstitusi : UUD 1945
Demokrasi Terpimpin / Orde Lama (1959-1965) Presiden : Soekarno
Demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai "Ayah" dalam famili besar bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat ditangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Sokarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
5. Sistem Pemerintahan Periode 1966-1998 (Orde Baru) Lama periode : 22 Februari 1966 – 21 Mei 1998
Bentuk Negara : Kesatuan Bentuk Pemerintahan : Republik Sistem Pemerintahan : Presidensial Konstitusi : UUD 1945
Demokrasi Pancasila yang Murni dan Konsekuen / Orde Baru (1965-1998) Presiden : Soeharto
Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat
mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga non pemerintah
6. Sistem Pemerintahan Periode 1998 – sekarang Lama periode : 21 Mei 1998 – sekarang
Bentuk Negara : Kesatuan Bentuk Pemerintahan : Republik Sistem Pemerintahan : Presidensial
Reformasi (1998-Sekarang)
Presiden: BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo
Orde reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi
demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan dibangun.
Sistem pemerintahan RI menurut UUD 1945 tidak menganut suatu sistem dari negara manapun, melainkan suatu sistem yang khas bagi bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dari proses pembentukan bangsa NKRI yang digali dari nilai-nilai
kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Menurut UUD 1945, kedudukan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sistem ketatanegaraan yang kepala pemerintahannya adalah Presiden dinamakan sistem presidensial . Presiden memegang kekuasaan tertinggi negara di bawah pengawasan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan ini, terdapat beberapa perubahan pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia, sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945
1. Soekarno ( 18 Agustus 1945 - 22 Februari 1967 )
3. BJ. Habibie ( 21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999 )
4. Abdurrahman Wahid ( 20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001 )
5. Megawati Soekarno Putri ( 23 Juli 2001 - 20 Oktober 2004 )