• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI POTENSI KEANEKARAGAMAN POHON DI PEKARANGAN PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KABUPATEN KARANGANYAR Ratna Setyaningsih Elmi Sujono H 0708038 Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SKRIPSI POTENSI KEANEKARAGAMAN POHON DI PEKARANGAN PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KABUPATEN KARANGANYAR Ratna Setyaningsih Elmi Sujono H 0708038 Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

SKRIPSI

POTENSI KEANEKARAGAMAN POHON DI PEKARANGAN PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KABUPATEN

KARANGANYAR

Oleh

Ratna Setyaningsih Elmi Sujono H 0708038

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

POTENSI KEANEKARAGAMAN POHON DI PEKARANGAN PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KABUPATEN KARANGANYAR

SKRIPSI

untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Oleh

Ratna Setyaningsih Elmi Sujono H 0708038

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(3)

commit to user

SKRIPSI

POTENSI KEANEKARAGAMAN POHON DI PEKARANGAN PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KABUPATEN KARANGANYAR

Ratna Setyaningsih Elmi Sujono H 0708038

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Prof. Dr. Ir. Mth. Sri Budiastuti, MP Ir. Endang Setia Muliawati, MSi NIP.19591205 198503 2 001 NIP. 19640713 198803 2 001

Surakarta, Maret 2013

Fakultas Pertanian UNS DEKAN

(4)

commit to user

SKRIPSI

POTENSI KEANEKARAGAMAN POHON DI PEKARANGAN PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KABUPATEN KARANGANYAR

Yang dipersiapkan dan disusun oleh Ratna Setyaningsih Elmi Sujono

H 0708038

telah dipertahankan di depan Tm Penguji pada tanggal: 26 Februari 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

untuk memperoleh gelar (derajat) Sarjana Pertanian Program Studi Agroteknologi

Susunan Tim Penguji

Ketua

Prof. Dr. Ir. Mth. Sri Budiastuti, MP NIP.19591205 198503 2 001

Anggota I Anggota II

(5)

commit to user

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan karunia,

nikmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Potensi Keanekaragaman Pohon di Pekarangan pada

Beberapa Ketinggian Tempat di Kabupaten Karanganyar”. Skripsi ini

disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Pertanian di Fakultas Pertanian UNS.

Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan, bimbingan

dan dukungan berbagai pihak, sehingga penulis tak lupa mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian

UNS.

2. Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi selaku Ketua Program Studi Agroteknologi.

3. Prof. Dr. Ir. Mth. Sri Budiastuti, MP selaku Pembimbing Utama.

4. Ir. Endang Setya Muliawati, MSi selaku Pembimbing Akademik sekaligus

Pembimbing Pendamping.

5. Prof. Dr. Ir. Purwanto, MS selaku Dosen Pembahas

6. Keluargaku tercinta dan tersayang: Papi, Bunda, dan Abang-Abang,

Adik-Adik, dan Mas Anwar selalu memberikan dukungan baik materi, semangat,

dan doa.

7. Sahabatku A5 dan A7, tim survei pekarangan, Mas Munawir, teman-teman Solmated ’08, dan para laboran yang telah banyak membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini, yang tidak

bisa saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada

umumnya.

Surakarta, Maret 2013

(6)

commit to user

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

RINGKASAN ... xii

SUMMARY ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

1. Tujuan Penelitian ... 3

2. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Pekarangan dan Pemanfaatannya ... 5

B. Agrobiodiversitas Pohon ... 6

C. Fungsi Pohon di Pekarangan ... 7

D. Keanekaragaman Jenis Pohon di Pekarangan ... 10

E. Produktivitas Tanaman Pohon di Pekarangan ... 15

III. METODE PENELITIAN ... 18

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

B. Alat dan Bahan ... 18

C. Cara Kerja Penelitian ... 18

1. Metode Penelitian ... 18

2. Pelaksanaan Penelitian ... 19

3. Variabel Pengamatan dan Cara Pengambilan Data ... 20

4. Analisis Data ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

(7)

commit to user

1. Deskripsi Wilayah ... 28

2. Kondisi Lingkungan Pekarangan ... 30

B. Analisis Vegetasi ... 41

1. Kerapatan Pohon ... 42

2. Dominansi Pohon ... 44

3. Frekuensi Pohon ... 46

4. Kerapatan Relatif ... 49

5. Dominansi Relatif ... 50

6. Frekuensi Relatif ... 51

7. Indeks Nilai Penting ... 52

8. Indeks Kelimpahan Spesies/Species Richness (Margalef Index), Indeks keanekaragaman jenis/Index of Diversity, Indeks kemerataan jenis/Evenness index, dan Indeks Asosiasi dan Indeks Kesamaan Komunitas/Association Index and Index of Similarity ... 57

C. Pengelolaan Pekarangan ... 61

D. Analisis Produktivitas Tanaman Pohon ... 64

E. Pekarangan yang Ideal ... 67

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(8)

commit to user

DAFTAR TABEL

Nomor Dalam Teks Halaman

1. Hasil analisis kimia tanah di pekarangan pada ketinggian < 300

m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 37

Dalam Lampiran 2. Kuesioner identitas pekarangan ... 79

3. Kuesioner tindakan pengelolaan pekarangan ... 79

4. Borang peubah lingkungan ... 81

5. Borang biofisik Pekarangan ... 81

6. Borang peubah biologi (jenis pohon dan jumlah) ... 81

7. Borang peubah biologi (habitus dan produktivitas tanaman) ... 82

8. Kriteria Analisis Kesuburan Tanah ... 84

9. Kriteria Kemasaman Tanah ... 84

10. Data Monografi Desa/Kelurahan Jantiharjo, Kecamatan Karanganyar ... 86

11. Data Monografi Desa/Kelurahan Bolong, Kecamatan Karanganyar ... 87

12. Data Monografi Desa/Kelurahan Dawung, Kecamatan Matesih . 88 13. Data Monografi Desa/Kelurahan Plosorejo, Kecamatan Matesih 89

14. Data Monografi Desa/Kelurahan Karang Bangun, Kecamatan Matesih ... 90

15. Data Monografi Desa/Kelurahan Koripan, Kecamatan Matesih .. 91

16. Data Monografi Desa/Kelurahan Bandar Dawung, Kecamatan Tawangmangu ... 92

17. Data responden pada sampel di ketinggian < 300 m dpl ... 93 93 18. Data responden pada sampel di ketinggian 300-400 m dpl ... 95

19. Data responden pada sampel di ketinggian > 400 m dpl ... 97

(9)

commit to user

21. Nilai Suhu (oC) dan Kelembaban Udara Relatif (%) di

Ketinggian 300-400 m dpl ... 99

22. Nilai Suhu (oC) dan Kelembaban Udara Relatif (%) di Ketinggian > 400 m dpl ... 100

23. Data Perhitungan Persentase Intersepsi Cahaya dalam Pekarangan (%) ... 101

24. Schmidt-Ferguson ... 102

25. Curah hujan di Kecamatan Jumantono (ketinggian < 200 m dpl) 103

26. Curah hujan di Kecamatan Jumantono (ketinggian < 300 m dpl dan 300- 400 m dpl) ... 103

27. Analisis Vegetasi pada ketinggian < 300 m dpl ... 104

28. Analisis Vegetasi pada ketinggian 300-400 m dpl ... 105

29. Analisis Vegetasi pada ketinggian > 400 m dpl ... 107

30. Analisis Kelimpahan Spesies (Margalef Index), Keragaman Jenis (Index of Diversity), dan Indeks Kemerataan Jenis (Pielou Index) ... 108

(10)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Nomor Dalam Teks Halaman

1. Suhu rerata harian di pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl,

300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 31

2. Kelembaban rerata harian di pekarangan pada ketinggian < 300

m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 32

3. Persentase intersepsi cahaya matahari di dalam pekarangan pada

ketinggian < 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 33

4. Kerapatan pohon terbanyak di pekarangan pada ketinggian <

300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 42

5. Dominansi pohon terbanyak di pekarangan pada ketinggian

< 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 44

6. Frekuensi pohon terbanyak di pekarangan pada masing-masing

ketinggian ... 47

7. Kerapatan relatif pohon terbanyak pada ketinggian < 300 m dpl,

300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 49

8. Dominansi relatif pohon terbanyak pada ketinggian < 300 m dpl,

300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 50

9. Frekuensi relatif pohon terbanyak pada ketinggian < 300 m dpl,

300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 51

10. Indeks Nilai Penting (INP) pohon terbanyak pada ketinggian <

300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 53

11. Indeks Kelimpahan Spesies/Species Richness (Margalef Index),

Indeks keanekaragaman jenis (Shannon-Wiener Index) dan

indeks kemerataan jenis (Evenness Index) pada ketinggian < 300

m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 58

12. Perbandingan Indeks Asosiasi dan Indeks Kesamaan

Komunitas/Association Index and Index of Similarity pada

ketinggian antara < 300 dan 300-400 m dpl, < 300 dan >

(11)

commit to user

13. Persentase jumlah pemilik pekarangan pada ketinggian < 300 m

dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl dalam pengolahan lahan,

pemupukan, pemangkasan, pengairan, pengendalian hama dan

penyakit (PHT), dan penggunaan pemacu pembungaan ... 62

14. Persentase jumlah pemilik pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl dalam kegiatan pra-panen, panen, dan pasca panen ... 63

15. Produktivitas pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl ... 64

16. Rerata Input (Rp) dan output (Rp) pekarangan per 100 m2 ... 65

Dalam Lampiran 17. Teknik Pengukuran Tinggi Pohon dan Posisi Pengukur ... 83

18. Segitiga Tekstur ... 84

19. Peta Kabupaten Karanganyar ... 85

20. Segitiga klasifikasi tipe hujan Schmidt-Ferguson ... 102

21. Pengukuran tinggi pohon ... 109

22. Pengukuran DBH ... 109

23. Contoh sampel pekarangan di ketinggian < 300 m dpl ... 109

24. Contoh sampel pekarangan di ketinggian 300-400 m dpl ... 110

25. Contoh sampel pekarangan pada ketinggian > 400 m dpl ... 110

(12)

commit to user

xii RINGKASAN

POTENSI KEANEKARAGAMAN POHON DI PEKARANGAN PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KABUPATEN KARANGANYAR. Skripsi: Ratna Setyaningsih Elmi Sujono (H0708038). Pembimbing: Mth. Sri Budiastuti, Endang Setia Muliawati. Program Studi: Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Pemanfaatan pekarangan Di Kabupaten Karanganyar dengan tanaman pohon produktif bukan merupakan hal asing. Pemanfaatan ini memunculkan agrobiodiversitas yang berbeda pada suatu ketinggian tempat. Namun, informasi mengenai hal tersebut belum memadai, sehingga perlu dilakukan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman tanaman pohon di pekarangan yang mengacu pada kondisi agroekosistem setempat dan membanding-kan produktivitas pohon di pekarangan pada ketinggian tempat berbeda.

Penelitian menggunakan metode survei. Unit sampel diambil di sepanjang aliran sungai Samin pada tiga tingkat ketinggian tempat, yaitu < 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl dengan letak koordinat sampel pada tiap-tiap ketinggian berturut-turut antara 7°37'09,2"7°38'12,3”LS dan 110°58'33,6" 110°59'37,3"BT;

7°37’50,99”7°38’58,81”LS dan 111°01’04,55”111°01’58,65” BT; dan

7°39’07,4”7°40’14,8”LS dan 111°03’27,9” 111°04’46,5”BT. Pengamatan meliputi

kondisi mikroklimat, tingkat kesuburan tanah, inventarisasi pohon, dan habitus pohon (tinggi pohon, tinggi kanopi, luas kanopi, dan diameter batang). Analisis data menggunakan analisis vegetasi, indeks kelimpahan jenis menggunakan Margalef

Index (DMg), indeks keanekaragaman jenis menggunakan Shannon-Wiener Index

(H’), indeks kemerataan jenis menggunakan Pielou Index (E), indeks asosiasi dan indeks kesamaan komunitas menggunakan Sorenson’s Index of Similarity (Cs), dan analisis produktivitas menggunakan model David J. Sumanth.

Jenis tanah pada semua ketinggian tempat adalah mediteran cokelat dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Tipe iklim di ketiga ketinggian adalah C (agak basah). Suhu udara di ketinggian < 300 m dpl lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara pada ketinggian 300-400 m dpl dan > 400 m dpl. Kelembaban udara relatif tertinggi terdapat di pekarangan pada ketinggian > 400 m dpl. INP tertinggi pada ketinggian < 300 m dpl yaitu mangga (48,32), pada ketinggian 300-400 m dpl dan > 400 m dpl adalah kelapa (45,01) dan (46,65).

(13)

commit to user

xiii SUMMARY

POTENTIAL OF TREES DIVERSITY IN HOMEGARDEN AT SOME ALTITUDES IN KABUPATEN KARANGANYAR. Thesis-S1: Ratna Setyaningsih Elmi Sujono (H0708038). Advisers: Mth. Sri Budiastuti, Endang Setia Muliawati. Study Program: Agrotechnology, Faculty of Agriculture, University of Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Utilization of homegarden to plant a productive tree is anusual thing, especially in Karanganyar. This utilization shows different agrobiodiversity at an altitude. However, information about it is not provided, so we need an observations. This study aimed to identify trees in homegardens which refers to the agroecosystem, as well as to compared the productivity of trees in homegarden at each altitude level.

This study used survey method. Sample unit taken along Samin river at three altitude levels (< 300 m asl, 300-400 m asl, and > 400 m asl) and latitude position at 7°37'09,2"7°38'12,3”S and 110°58'33,6"110°59'37,3"E; 7°37’50,99”7°38’58,81”

S and 111°01’04,55”111°01’58,65”E; 7°39’07,4”7°40’14,8”S and 111°03’27,9”

111°04’46,5”E. The observations involved microclimate condition, soil fertility, tree

inventory, and measurement of habitus for each tree (tree height, trunk girth, canopy height and canopy diameter). Data analysis using analysis of vegetation, species Richness index using Margalef Index (DMg), species diversity index using

Shannon-Wiener Index (H’), evenness index using Pielou Index (E), association index and

index of similarity using Sorenson’s Index of Similarity (Cs) and productivity analysis using David J. Sumanth model.

(14)

commit to user

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pekarangan adalah sebidang tanah yang terletak di sekitar rumah tinggal

dan jelas batasan-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman,

dan masih mempunyai hubungan pemilikan dengan rumah yang bersangkutan.

Pekarangan dari sudut ekologi merupakan lahan dengan sistem yang terintegrasi

dan mempunyai hubungan yang kuat antara manusia, tanaman, serta hewan.

Pekarangan sebagai habitat suatu keluarga dalam bentuk halaman atau taman

rumah memiliki fungsi multiguna antara lain: tempat diprakteknya sistem

agroforestri, konservasi sumberdaya genetik, konservasi tanah dan air, produksi

bahan pangan dari tumbuhan dan hewan, dan tempat terselenggaranya aktivitas

sosial dan budaya, terutama pekarangan yang berada di pedesaan. Oleh karena itu,

pekarangan merupakan salah satu model pemanfaatan lahan yang optimal dan

dapat berkelanjutan dengan menghasilkan produktivitas yang relatif tinggi di

daerah tropis (Arifin et al. 2008).

Pekarangan yang multiguna, dimanfaatkan oleh masyarakat desa untuk

berbagai kegiatan pertanian, aktivitas sosial, dan konservasi. Bagi masyarakat

Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Karanganyar, pemanfaatan pekarangan

dengan tanaman produktif dalam bentuk pohon (kayu, buah-buahan, dan

komoditas perkebunan/industri) bukan merupakan hal yang asing lagi.

Pemanfaatan pekarangan sebagai lahan pertanian, khususnya untuk budidaya jenis

pohon-pohonan, menampilkan suatu struktur agrobiodiversitas yang bervariasi

yang dipengaruhi kondisi agroekosistem setempat, dan dapat menjadi penciri khas

suatu daerah. Namun, informasi mengenai keanekaragaman tanaman pohon di

pekarangan saat ini belum memadai, sehingga perlu dilakukan pengamatan

tentang keanekaragaman tanaman pohon di pekarangan pada ketinggian tempat

yang berbeda.

Keanekaragaman hayati melingkupi berbagai perbedaan atau variasi

bentuk, penampilan, jumlah, dan sifat-sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan,

(15)

commit to user

ekosistem, seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalamnya selalu melakukan

hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik ini terjadi baik antar komponen

biotik maupun antara komponen biotik dengan komponen abiotik, sehingga

hubungan timbal balik ini menimbulkan keserasian hidup di dalam suatu

ekosistem (Jumin 2002). Biodiversitas lahan pertanian dikenal dengan istilah

agrobiodiversitas. Secara umum agrobiodiversitas merupakan semua komponen

yang terdapat di lahan pertanian termasuk di dalamnya adalah semua organisme

yang hidup di lahan pertanian dan memberikan fungsinya pada proses yang terjadi

di lahan pertanian tersebut (Jackson et al. 2007).

Molles (1999) menyatakan bahwa hampir semua tanaman pohon

terdistribusi secara merata pada tempat yang memiliki kelembaban yang tinggi.

Oleh karena itu, penentuan lokasi penelitian di DAS Samin ini diperlukan untuk

mengetahui perbedaan keanekaragaman jenis dan komposisi tanaman pohon serta

produktivitasnya pada ketiga ketinggian tempat yang berbeda.

Pada ketinggian tempat (altitude) yang berbeda, suhu udara pun akan

mengalami perbedaan. Semakin tinggi suatu tempat, maka suhu akan mengalami

penurunan, yang akibatnya kelembaban udara relatif juga akan berbeda-beda.

Kondisi lingkungan yang berbeda-beda ini menimbulkan perbedaan pada

keanekaragaman tanaman pohonnya. Molles (1999) menyatakan bahwa jumlah

spesies tanaman terbanyak ditemukan pada daerah dataran sedang dan dataran

tinggi, sedangkan pada dataran rendah jumlah spesies tanaman yang dapat

ditemukan lebih sedikit. Perbedaan letak geografis menyebabkan perbedaan iklim

pada suatu tempat. Perbedaan iklim menyebabkan terjadinya perbedaan

temperatur, curah hujan, intensitas cahaya matahari, dan lamanya penyinaran.

Keadaan ini akan berpengaruh terhadap jenis-jenis tanaman pohon yang

menempati suatu daerah pada ketinggian tertentu. Dengan melihat

keaneka-ragaman tanaman pohon yang ada di pekarangan serta tingkat keanekakeaneka-ragaman

jenisnya, maka dapat dilihat pula potensi produksi (produktivitas) tanaman pohon

di pekarangan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

(16)

commit to user

jenisnya, dan potensi produksi tanaman pohon di pekarangan pada ketinggian

tempat yang berbeda.

B. Rumusan Masalah

Kondisi lingkungan suatu daerah pada ketinggian tempat yang berbeda

akan memunculkan gambaran yang berbeda mengenai biodiversitas tanaman

pohon di pekarangan. Keanekaragaman jenis dan pola pengelolaan lahan

pekarangan dapat menunjukkan pula tingkat produktivitas tanaman pohon di

pekarangan pada masing-masing ketinggian tempat. Oleh karena itu, rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah kondisi keanekaragaman tanaman pohon di pekarangan pada

tiga rentang (range) ketinggian tempat yaitu < 300 m dpl (dataran rendah),

300-400 m dpl (dataran sedang-tinggi), dan > 400 m dpl (dataran tinggi)?

2. Berapa besar rasio produktivitas tanaman pohon di pekarangan pada tiga

ketinggian tempat (< 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl) dan

berapa besar output yang dihasilkan per 100 m2 luas pekarangan dan input

yang dikeluarkan per 100 m2?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengidentifikasi tanaman pohon di pekarangan pada tiga lokasi

dengan ketinggian tempat yang berbeda (< 300 m dpl, 300-400 m dpl,

dan > 400 m dpl) dan mengacu pada kondisi lingkungan yang berbeda

pada ketiga ketinggian tempat.

b. Menentukan dan membandingkan potensi produksi tanaman

(produktivitas) pohon di pekarangan pada ketinggian tempat yang

berbeda serta menghitung output yang dihasilkan pekarangan per 100

(17)

commit to user

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini:

a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman jenis dan

komposisi tanaman pohon berdasarkan kondisi lingkungan lahan

pekarangan pada ketiga ketinggian tempat yang berbeda.

b. Memberikan informasi mengenai potensi tanaman pohon yang

berperan sebagai bahan pangan dan non pangan di pekarangan pada

ketiga ketinggian tempat yang berbeda.

c. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Karanganyar

tentang pemanfaatan pekarangan dengan tanaman pohon untuk

(18)

commit to user

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pekarangan dan Pemanfaatannya

Pekarangan adalah sebidang tanah yang mempunyai batas-batas tertentu,

yang di atasnya terdapat bangunan tempat tinggal dan mempunyai hubungan

fungsional baik secara ekonomi, biofisik, maupun sosial budaya dengan

penghuninya (Rahayu dan Prawiroatmodjo 2005). Menurut Harjadi (1989)

Pekarangan disebut “Erfbouw” atau “Compound garden” atau “mixed garden

oleh G.J.A. Terra (ahli pertanian Belanda) diberi definisi: sebidang tanah darat

(mencakup kolam) yang terletak langsung di sekeliling rumah, dengan batas-batas

yang jelas (boleh berpagar, boleh tidak berpagar), ditanami dengan berbagai jenis

tanaman.

Peranan dan pemanfaatan pekarangan bervariasi dari satu daerah dengan

daerah lainnya, tergantung pada tingkat kebutuhan rumah tangga atau keluarga

pemilik, sosial budaya, pendidikan masyarakat maupun faktor fisik dan ekologi

setempat. Di Indonesia, peranan pekarangan belum mendapat perhatian

sepenuh-nya, padahal jika dikelola dengan baik pekarangan dapat menambah pendapatan

keluarga (Rahayu dan Prawiroatmodjo 2005).

Pekarangan dapat diatur untuk tujuan komersial atau mata pencaharian,

dan dapat memproduksi lebih dari 100 produk pertanian atau bahkan sebaliknya,

menghasilkan kurang dari 10 produk pertanian (Kabir dan Webb 2009).

Sepanjang waktu, pemilik pekarangan berusaha membudidayakan dan menyeleksi

tanaman yang diinginkan untuk ditanam di pekarangannya, sehingga pekarangan

dapat berperan sebagai bank gen bagi sumber daya nabati potensial tertentu

(Molebatsi et al. 2010).

Di pedesaan, umumnya pekarangan ditanami dengan tanaman buah,

sayuran, tanaman obat tradisional, menambah nilai estetika rumah dengan

menanam tanaman hias atau dengan memberi sentuhan desain outdoor seperti

meja dan kursi taman, ayunan, kolam ikan, dan lain-lain, serta memiliki nilai

spiritual (Molebatsi et al. 2010, Rahayu dan Prawiroatmodjo 2005). Kabir dan

(19)

commit to user

tradisional, pekarangan juga dapat membantu finansial petani ketika mengalami

gagal panen, sehingga pekarangan memiliki fungsi sebagai penyelamat

kesejah-teraan kehidupan para petani.

B. Agrobiodiversitas Pohon

Biodiversitas lahan pertanian dikenal dengan istilah agrobiodiversitas.

Secara umum agrobiodiversitas merupakan semua komponen yang terdapat di

lahan pertanian termasuk di dalamnya adalah semua organisme yang hidup di

lahan pertanian dan memberikan fungsinya pada proses yang terjadi di lahan

pertanian tersebut (Jackson et al. 2007). Menurut Singh dan Varaprasad (2008)

agrobiodiversitas merupakan keanekaragaman yang terdapat pada suatu lahan

pertanian yang terkait dengan kondisi agroekosistem dan variasi yang ada dalam

suatu sistem pertanian (tanaman, hewan, hama, dan mikroba). Variasi ini

berkaitan dengan terciptanya rantai makanan yang memberikan manfaat secara

ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Meskipun agrobiodiversitas selalu dikaitkan dengan sistem produksi

pangan untuk manusia, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam agrobiodiversitas selalu

mengandung nilai kultural, spiritual, religi, dan estetika bagi kehidupan sosial

masyarakat. Nilai-nilai ini menjadi sangat penting dalam suatu agroekosistem,

karena sistem ini terbentuk tidak hanya oleh keberadaan tanaman, tetapi juga oleh

komponen abiotik dan manusia. Jadi, pengetahuan mengenai agrobiodiversitas

merupakan hal yang sangat penting dalam berbagai kondisi ekosistem sebagai

acuan konservasi keanekaragaman tanaman (Jackson et al. 2007).

Pendekatan lain yang digunakan dalam konservasi agrobiodiversitas yaitu

secara ekologis dan sosioekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan

mem-prioritaskan perlindungan terhadap aset kunci dari agrobidiversitas yang

di-terapkan berdasarkan konsep ecoagriculture atau pertanian berbasis ekologi.

Penerapan beberapa pendekatan tersebut ditujukan untuk merealisasikan kegiatan

pertanian yang berkelanjutan (Jackson et al. 2007).

Derajat perkembangan jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan dalam

(20)

commit to user

Menurut kondisi agroklimat, agrobiodiversitas tanaman pekarangan di dataran

tinggi kurang berkembang dibanding di dataran rendah, demikian pula di daerah

beriklim kering keanekaragaman jenis tanaman pekarangan kurang dibanding

dengan daerah beriklim basah (Harjadi 1989). Faktor-faktor lingkungan sangat

mempengaruhi fungsi fisiologis dan morfologis tanaman. Respon tanaman

sebagai akibat faktor lingkungan terlihat pada habitus. Walaupun genotipnya

sama, dalam lingkungan yang berbeda, penampilan tanaman akan berbeda pula

(Jumin 2002).

Menurut Millang (2008), setiap jenis tanaman memiliki sifat silvik dan

penyebaran ekologis yang berbeda khususnya ketinggian tempat dari permukaan

laut. Namun, ia juga mengutarakan bahwa ketinggian tempat dari permukaan laut

tidak menjadi faktor pembatas pemilihan dan penyebaran jenis tumbuhan. Hal ini

bertentangan dengan teori bahwa semakin tinggi dari permukaan laut maka

semakin banyak tumbuhan yang sulit beradaptasi sehingga semakin sedikit jumlah

jenis tumbuhan yang dijumpai. Umumnya, jenis-jenis tanaman yang diusahakan

masyarakat relatif sama disebabkan oleh adanya kesamaan budaya, pengalaman,

dan tujuan. Hal ini mencerminkan bahwa yang paling berperan dalam penentuan

jumlah tanaman dan jenisnya adalah faktor kepentingan atau tujuan

penanaman-nya.

C. Fungsi Pohon di Pekarangan

Menurut Rahayu dan Rugayah (2007) masyarakat tradisional

me-ngelompokkan dunia tumbuhan menjadi dua kelompok yaitu tumbuhan berguna

dan tumbuhan tidak berguna. Tumbuhan berguna berdasarkan pemanfaatannya

dikelompokkan kembali menjadi beberapa kelompok seperti tumbuhan yang

berfungsi sebagai bahan pangan, sandang, bangunan, obat-obatan dan kosmetika,

tali temali dan kerajinan, permainan anak-anak, upacara adat dan sebagainya.

Penggunaan pengobatan tradisional terutama oleh sebagian besar masyarakat yang

hidup di pedalaman bukan disebabkan kekurangan fasilitas kesehatan formal,

namun lebih disebabkan oleh faktor-faktor sosial budaya pada masyarakat

(21)

commit to user

Biodiversitas pohon di pekarangan tentunya sangat berperan dalam

mencukupi kebutuhan pangan manusia. Pangan merupakan semua bahan yang

dapat memberi asupan energi dan gizi. Jika pada suatu lahan pertanian dilakukan

monokultur, maka ketersediaan pangan untuk bahan yang lain akan mengalami

kekurangan (Harjadi 1989). Pekarangan merupakan suatu sistem lahan pertanian

yang terintegrasi dan ditanami dengan berbagai macam tanaman (Altieri dan

Hecth 1990), sehingga pekarangan memiliki nilai lebih dalam penyediaan pangan

untuk pemenuhan gizi. Rahayu dan Prawiroatmodjo (2005) mengemukakan

pekarangan juga disebut sebagai lumbung hidup atau warung hidup, karena

pekarangan diarahkan sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari.

Pekarangan berperan sebagai pendapatan alternatif apabila pada suatu

tempat terjadi krisis (misalnya gagal panen). Di Asia Selatan dan Asia Tenggara

6-54% pendapatan rumah tangga berasal dari pekarangan. Besarnya pendapatan

yang diperoleh dari pekarangan berdasarkan pada jenis tanaman yang

dibudidayakan di pekarangan, kegunaan tanaman, dan kondisi lingkungannya

(Kabir dan Webb 2009).

Berdasarkan penelitian Kabir dan Webb (2009) di Bangladesh bagian

Barat Daya dapat diketahui bahwa 99% dari total responden pemilik pekarangan

yang diobservasi menyatakan pekarangannya dapat memberikan penghasilan

tambahan sebesar 6% dari total penghasilan keluarga. Jumlah ini sangat

dipengaruhi oleh luas penguasaan lahan dan waktu yang dialokasikan oleh tenaga

kerja untuk pengelolaan pekarangan.

Ditinjau dari segi ekologinya, pekarangan merupakan habitat yang serasi

untuk berbagai jenis tanaman yang tumbuh secara beragregasi dan berasosiasi

dalam sistem berlapis-tingkat atau etagebouw atau multistoryed yang dapat

menunjukkan efisiensi penggunaan cahaya matahari tropik oleh berlapis daun

pohon-pohonan dan penekanan erosi tanah akibat benturan air hujan dan sengatan

cahaya matahari tidak langsung terkena tanah. Agroekosistem dengan jenis dan

jumlah pohon yang banyak dapat membantu konservasi air. Selain itu, sebagai

transisi dari alam hutan ke alam budidaya, pekarangan menjadi wilayah

(22)

commit to user

dapat tumbuh sebagai pagar, tumbuhan merambat atau pohon pelindung yang

bernilai tinggi sebagai sumber bahan pemuliaan atau induk batang bawah, yang

umumnya tahan terhadap hama dan patogen penyebab penyakit setempat

(Harjadi 1989).

Terjadinya siklus tertutup pada pekarangan menunjukkan bahwa

pekarangan sebenarnya mampu memenuhi kebutuhannya sendiri yang

ditunjuk-kan oleh proses dekomposisi seresah-seresah yang dihasilditunjuk-kan tanaman di

pekarangan, sehingga pekarangan mampu mensuplai kebutuhan nutrisi tanaman

tanpa mengandalkan masukan dari luar. Menurut Harjadi (1989) pada prinsipnya

pengomposan di pekarangan dapat meniru apa yang terjadi di alam bebas. Dalam

alam, kematian suatu makhluk hidup memungkinkan kehadiran makhluk baru.

Tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang mati pada permukaan tanah di hutan,

melapuk menjadi kompos oleh pengaruh waktu, air, mikroorganisme, sinar

matahari dan udara, yang kemudian menghasilkan tanah berstruktur baik dan

lingkungan tumbuh yang baik serta kaya humus.

Penyebaran berbagai vegetasi dibatasi oleh kondisi iklim dan tanah serta

daya adaptasi dari masing-masing spesies. Namun, sebenarnya tanaman memiliki

hubungan yang saling berpengaruh. Keberadaan vegetasi juga dapat

mem-pengaruhi iklim mikro di sekitarnya. Semakin besar total biomassa vegetasi yang

terlibat di dalamnya dan semakin ekstensif penyebarannnya, maka akan semakin

nyata pengaruhnya terhadap iklim mikro di wilayah tersebut (Lakitan 1994).

Selain itu, vegetasi juga dinilai dari kemampuannya dalam memperbaiki sifat

fisika, kimia, dan biologi tanah, serta mendukung siklus air tanah

(Yulistyarini dan Sofiah 2011).

Penutupan kanopi pohon yang sangat rapat, penguasaan daerah basal yang

besar, spesies bawah tegakan, dan lapisan seresah sangat membantu dalam

memelihara jumlah pori makro tanah, dan membantu infiltrasi air bawah tanah.

Pengaruh penutupan pohon dalam siklus air yaitu kaitannya dengan intersepsi air

hujan, melindungi agregat tanah dari titik air hujan, dan infiltrasi air. Vegetasi dan

lapisan seresah akan melindungi tanah dari titik air hujan yang menyebabkan

(23)

commit to user

menghambat infiltrasi air bawah tanah, akibatnya akan terjadi peningkatan

limpasan (runoff) permukaan tanah (Yulistyarini dan Sofiah 2011).

Pohon memegang peranan yang sangat penting sebagai penyangga

kehidupan, baik dalam mencegah erosi, siklus hidrologi, menjaga stabilitas iklim

global, dan sebagai penyimpan karbon. Perubahan iklim global yang terjadi

akhir-akhir ini dikarenakan ketidakseimbangan antara konsentrasi CO2 di atmosfer

dengan ketersediaan vegetasi tanaman, yang dalam hal ini adalah pohon

(Sujarwo dan Darma 2011).

Pohon juga memiliki fungsi sebagai penyedia cadangan karbon. Karbon

tersimpan merupakan karbon yang mampu diserap oleh tumbuhan dalam bentuk

biomassa. Nilai karbon tersimpan ditentukan dengan pengukuran biomassa pohon

yang dinyatakan dalam berat kering. Jumlah emisi karbon yang semakin

meningkat saat ini perlu diimbangi dengan jumlah penyerapannya. Hal tersebut

perlu dilakukan untuk mengurangi dampak dari pemanasan global dengan cara

menanam pohon sebanyak-banyaknya, karena melalui proses fotosintesis dapat

mengubah CO2 menjadi O2 (Sujarwo dan Darma 2011).

D. Keanekaragaman Jenis Pohon di Pekarangan

Ekologi tanaman (agroekologi) mengandung dua pengertian, yaitu ekologi

sebagai ilmu dan tanaman sebagai objek. Tanaman sendiri mengandung arti

tumbuhan yang telah dibudidayakan untuk maksud tertentu, sehingga hasilnya

dijadikan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang memiliki nilai ekonomis.

Secara etimologis, ekologi tanaman berarti ilmu tentang tanaman di rumah

(lingkungan) sendiri. Dengan demikian, ekologi tanaman dapat diberi batasan,

yaitu ilmu yang membicarakan tentang spektrum hubungan timbal balik yang

terdapat antara tanaman dan lingkungannya serta antara kelompok-kelompok

tanaman. Tanaman saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan dengan

lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, faktor lingkungan juga mempengaruhi

kehidupan tanaman. Ekologi tanaman meliputi tiga aspek yaitu agronomi,

fisiologi, dan klimatologi pertanian yang saling berhubungan timbal balik. Faktor

(24)

commit to user

meteorologi lain merupakan kajian klimatologi yang langsung berpengaruh

terhadap aspek fisiologi tanaman. Aspek-aspek fisiologi tanaman sebagai

pengaruh faktor lingkungan merupakan suatu pertimbangan untuk mengelola

tanaman agar diperoleh produksi yang maksimum (Jumin 2002).

Kabir dan Webb (2009) mengemukakan bahwa kekayaan spesies (species

richness) pada pekarangan sangat dipengaruhi oleh luas pekarangan dan jumlah

pekerja yang dikerahkan dalam pengelolaan pekarangan. Vlkova et al. (2011)

menambahkan ukuran luas pekarangan berkorelasi dengan kelimpahan spesies,

dan tidak berkorelasi dengan jumlah spesies. Ukuran pekarangan yang sempit

memiliki keanekaragaman spesies tanaman yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pekarangan yang memiliki ukuran luas. Sebaliknya, jumlah individu

tanaman akan semakin meningkat pada ukuran pekarangan yang makin luas.

Umur pekarangan tidak mempengaruhi keanekaragaman jenis tanaman pada suatu

pekarangan.

Pekarangan memiliki ritme musiman. Tanaman tahunan tumbuh sepanjang

tahun, tetapi pengairan sangat diperlukan ketika musim kemarau. Tanaman

tahunan (seperti kelapa, pisang, dan belimbing) dapat diusahakan untuk berbuah

sepanjang tahun selama tanaman tahunan lainnya diatur dan dibatasi musim

berbuahnya. Sebagai contoh, duku (Lansium domesticum) berbuah pada bulan

Desember-Januari, jambu Semarang (Syzygium javanicum) berbuah pada bulan

April-Juni, dan Mangga (Mangifera indica) berbuah pada bulan

September-November. Pola pemanenan seperti ini dapat mendukung ketersediaan pangan

khususnya buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan subsisten, mengurangi resiko

kegagalan, dan meningkatkan stabilitas finansial rumah tangga

(Altieri dan Hecht 1990).

Kabir dan Webb (2009) melakukan observasi tentang pekarangan di

Bangladesh bagian Barat Daya, dan menyatakan dari 420 pekarangan yang

observasi ditemukan 419 jenis tanaman pohon dan bawah tegakan pohon. Enam

jenis terbanyak yaitu Amomum aromaticum, Andrographis paniculata, Calamus

guruba, Mangifera sylvatica, Rauvolfia serpentia, dan Schleichera oleosa.

(25)

commit to user

pada ketinggian < 10 m dpl, memiliki daerah yang datar, dan tanahnya didominasi

jenis alluvial. Iklim Bangladesh adalah tropika Monsoon-sub tropik yang

memiliki 3 musim yaitu musim hujan, musim panas, dan musim dingin. Rata-rata

curah hujan tahunannya ± 268 mm/tahun, suhu rata-rata tahunan 26oC (mencapai

40oC pada musim panas, dan mencapai 7oC pada musim dingin). Pertanian

merupakan mata pencaharian utama para warganya dengan komoditas utamanya

adalah beras, gandum, rami, tebu, pulses (buah-buahan sejenis kacang), dan

kentang. Wilayah ini juga menjadi wilayah yang penting untuk produksi beberapa

jenis sayur, rempah-rempah, buah-buahan, dan kacang-kacangan.

Observasi mengenai keanekaragaman jenis tanaman juga dilakukan oleh

Vlkova et al. (2010) di Phong My, Provinsi Thua Thien Hue, Vietnam Tengah.

Luas area Phong My mencapai 39.400 ha dengan jumlah kepala keluarga ± 1.200.

Phong My memiliki iklim tropika basah dan kering, dan memiliki variasi suhu

musim dingin, musim panas, dan monsoon tropika timur. Phong My terletak pada

dataran rendah di ketinggian ± 0-50 m dpl. Wilayah ini berbatasan dengan

pegunungan di bagian barat (ketinggian puncak tertinggi ± 1.500 m dpl). Curah

hujan rata-rata tahunan sebesar 2.500-3.000 mm. Curah hujan tertinggi pada bulan

September-Desember. Suhu rata-rata tahunan 25oC dengan kelembaban relatifnya

berkisar antara 85-88%. Phong My berjenis tanah alluvial dan tanah feralit merah

kuning yang terbentuk dari batuan sedimen.

Komoditas utama yang dibudidayakan di Phong My adalah Acacia spp.

dan Hevea brasiliensis. Sebanyak 70 spesies tanaman ditemukan di Phong My

(komoditas pohon dan bawah tegakan pohon), dengan frekuensi tertinggi pada

Areca catechu, Citrus grandis, dan Artocarpus heterophyllus. Jumlah ini sangat

kecil dibandingkan dengan vegetasi yang diobservasi di Bangladesh bagian Barat

Daya. Tanaman pohon yang ditemukan sebesar 49% dari total vegetasi yang

diobservasi, khususnya buah-buahan. Produksi pohon-pohonan ini mendukung

produksi tanaman bawah tegakan (Vlkova et al. 2010).

Pohon buah-buahan memiliki syarat tumbuh tertentu untuk dapat

berproduksi secara optimum, seperti kelapa, duku, durian, alpukat, nangka,

(26)

commit to user

daerah dengan curah hujan antara 1.300-2.300 mm/tahun, bahkan sampai 3.800

mm/tahun atau lebih, selama tanah mempunyai drainase yang baik. Kelapa sangat

peka pada suhu rendah dan tumbuh baik pada suhu 20-27oC dengan variasi suhu

harian 7oC. Suhu yang rendah (< 15oC) akan mengakibatkan perubahan fisiologis

dan morfologis tanaman kelapa. Kelembaban rata-rata bulanan yang dibutuhkan

kelapa berkisar antara 780%. Tanaman kelapa dapat tumbuh pada ketinggian

600 m dpl, tetapi ketinggian yang optimal untuk pertumbuhan kelapa adalah

0-450 m dpl. Pada ketinggian 0-450-1.000 m dpl waktu berbuahnya akan menjadi

lambat, produksinya sedikit dan kadar minyaknya rendah (Suhardiono 1993).

Duku (Lansium domesticum Corr) umumnya dapat tumbuh di daerah yang

curah hujannya tinggi dan merata sepanjang tahun. Tanaman duku tumbuh secara

optimal di daerah dengan iklim basah sampai agak basah yang bercurah hujan

antara 1500-2500 mm/tahun. Tanaman duku dapat tumbuh subur jika ditanam di

daerah dengan suhu rata-rata 19°C. Kelembaban udara yang tinggi juga dapat

mempercepat pertumbuhan tanaman duku, sebaliknya jika kelembaban udara

rendah dapat menghambat pertumbuhan tanaman duku. Umumnya tanaman duku

menghendaki lahan yang memiliki ketinggian tidak lebih dari 650 m dpl

(BPPT 2000b).

Durian (Durio zibethinus Murr) dapat tumbuh optimum pada daerah

dengan curah hujan maksimum 3000-3500 mm/tahun dan minimal 1500-3000

mm/tahun. Curah hujan merata sepanjang tahun, dengan kemarau 1-2 bulan

sebelum berbunga lebih baik daripada hujan terus menerus. Intensitas cahaya

matahari yang dibutuhkan durian adalah 60-80%. Sewaktu masih kecil (baru

ditanam di kebun), tanaman durian tidak tahan terik sinar matahari di musim

kemarau, sehingga bibit harus dilindungi/dinaungi. Tanaman durian cocok pada

suhu rata-rata 20-30°C. Pada suhu 15oC durian dapat tumbuh tetapi pertumbuhan

tidak optimal. Bila suhu mencapai 35°C daun akan terbakar. Ketinggian tempat

untuk bertanam durian tidak boleh lebih dari 800 m dpl (BPPT 2000c).

Nangka (Artocarpus heterophyllus Merr) cocok tumbuh di daerah yang

memiliki curah hujan tahunan rata-rata 1.500-2.500 mm dan musim kemaraunya

(27)

commit to user

yang mempunyai bulan-bulan kering lebih dari 4 bulan. Sinar matahari sangat

diperlukan nangka untuk memacu fotosintesis dan pertumbuhan, karena pohon ini

termasuk intoleran terhadap naungan. Kekurangan sinar matahari dapat

menyebabkan terganggunya pembentukan bunga dan buah serta pertumbuhannya.

Rata-rata suhu udara minimum 16-21°C dan suhu udara maksimum 31-31,5°C.

Kelembaban udara yang tinggi diperlukan untuk mengurangi penguapan. Pohon

nangka dapat tumbuh dari mulai dataran rendah sampai ketinggian tempat 1.300

m dpl. Namun ketinggian tempat yang terbaik untuk pertumbuhan nangka adalah

antara 0-800 m dpl (BPPT 2000e).

Rambutan (Nephelium lappacceum L) cocok ditanam pada daerah dengan

intensitas curah hujan antara 1.500-2.500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun.

Sinar matahari harus dapat mengenai seluruh areal penanaman dalam 1 hari

penuh, intensitas pancaran sinar matahari erat kaitannya dengan suhu lingkungan.

Tanaman rambutan akan dapat tumbuh berkembang serta berbuah dengan optimal

pada suhu sekitar 25°C yang diukur pada siang hari. Kekurangan sinar matahari

dapat menyebabkan penurunan hasil atau kurang sempurna (kempes).

Kelembaban udara yang dikehendaki cenderung rendah karena kebanyakan

tumbuh di dataran rendah dan sedang. Apabila udara mempunyai kelembaban

yang rendah, berarti udara kering karena miskin uap air. Rambutan dapat tumbuh

subur pada dataran rendah dengan ketinggian antara 30-500 m dpl. Pada

ketinggian dibawah 30 m dpl rambutan dapat tumbuh namun hasilnya tidak begitu

baik (BPPT 2000f).

Alpukat (Persea Americana Mill) termasuk dalam marga Persea. Alpukat

dibagi ke dalam tiga tipe keturunan/ras yaitu Ras Meksiko, Ras Guatemala, dan

Ras Hindia Barat. Angin diperlukan oleh tanaman alpukat, terutama untuk proses

penyerbukan. Namun, angin dengan kecepatan 62,4-73,6 km/jam dapat dapat

mematahkan ranting dan percabangan tanaman alpukat yang tergolong lunak,

rapuh dan mudah patah. Curah hujan minimum untuk pertumbuhan alpukat adalah

750-1000 mm/tahun. Ras Hindia Barat dan persilangannya tumbuh dengan subur

pada dataran rendah beriklim tropis dengan curah hujan 2500 mm/tahun. Untuk

(28)

commit to user

tanaman alpukat masih dapat tumbuh asal kedalaman air tanah maksimal 2 m.

Kebutuhan cahaya matahari untuk pertumbuhan alpukat berkisar 40-80%. Untuk

ras Meksiko dan Guatemala lebih tahan terhadap cuaca dingin dan iklim kering,

bila dibandingkan dengan ras Hindia Barat. Suhu optimal untuk pertumbuhan

alpukat berkisar antara 12,8-28,3°C (BPPT 2000a)

Tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi,

yaitu 5-1500 m dpl. Namun tanaman ini akan tumbuh subur dengan hasil yang

memuaskan pada ketinggian 200-1000 m dpl. Untuk tanaman alpukat ras Meksiko

dan Guatemala lebih cocok ditanam di daerah dengan ketinggian 1000-2000 m

dpl, sedangkan ras Hindia Barat pada ketinggian 5-1000 m dpl. Mengingat

tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, tanaman

alpukat dapat mentolerir suhu udara antara 15-30oC atau lebih. Besarnya suhu

kardinal tanaman alpukat tergantung ras masing-masing, antara lain ras Meksiko

memiliki daya toleransi sampai –7oC, Guatemala sampai -4,5oC, dan Hindia Barat

sampai 2oC (BPPT 2000a).

Mangga (Mangifera indica L) cocok ditanam di daerah dengan musim

kering selama 3 bulan. Masa kering diperlukan sebelum dan sewaktu berbunga.

Jika ditanam di daerah basah, tanaman mengalami banyak serangan hama dan

penyakit serta gugur bunga/buah jika bunga muncul pada saat hujan. Tanaman

mangga dapat tumbuh hampir pada semua ketinggian tempat, tetapi mangga yang

ditanam didataran rendah dan menengah dengan ketinggian 0-500 m dpl

menghasilkan buah yang lebih bermutu dan jumlahnya lebih banyak dari pada di

dataran tinggi (BPPT 2000d).

E. Produktivitas Tanaman Pohon di Pekarangan

Pekarangan memberikan sumbangan pendapatan kepada keluarga pemilik

pekarangan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pendapatan yang diperoleh dari

pekarangan juga diperoleh dari sumbangan masukan (input) yang diberikan pada

pekarangan untuk produksi tanaman. Secara ekonomi, produktivitas diartikan

(29)

commit to user

pertanian, penghitungan nilai produktivitas bertujuan untuk meminimalkan input

dan memaksimalkan output (Theresia 2004).

Usahatani buah-buahan cukup menguntungkan secara ekonomi, terutama

buah-buahan tahunan yang umumnya tanpa biaya produksi. Pemeliharaannya

mudah dan petani tinggal memetik buah pada musimnya. Berbeda dengan

buah-buahan tertentu seperti pepaya dan jeruk yang pemeliharaannya lebih intensif dan

membutuhkan modal cukup besar mulai tahun pertama dan selama umur produktif

(Hosen 2010).

Permasalahan usahatani pada lahan pekarangan saat ini yaitu pemanfaatan

lahan belum optimal, produktivitas tanaman relatif rendah, dan belum berorientasi

ekonomi; penataan tanaman tidak teratur dan pemeliharaan belum optimal; mutu

hasil relatif rendah terutama komoditas buah-buahan; dan belum dilakukan

peng-olahan hasil buah-buahan tingkat rumah tangga untuk memperoleh nilai tambah.

Hal demikian terjadi karena lemahnya kelembagaan (permodalan dan pemasaran)

dan sistem alih teknologi serta pembinaan oleh instansi terkait. Karena itu,

pengembangan komoditas pada suatu kawasan yang didukung oleh inovasi

teknologi perlu mendapat perhatian (Hosen 2010).

Khususnya bagi masyarakat desa, peran pekarangan dalam menunjang

ekonomi rumah tangga tidak dapat diabaikan. Rushartati (1993) menyatakan

bahwa pekarangan dapat memberikan sumbangan sebesar dua puluh persen dari

seluruh pendapatan petani. Padahal untuk mengurus pekarangan tersebut hanya

dicurahkan delapan persen biaya dan tujuh persen tenaga kerja.

Berdasarkan observasi yang dilakukan Kabir dan Webb (2009) di

Bangladesh Barat Daya pekarangan dapat memberikan sumbangan pendapatan

keluarga sebesar 2-49% dengan alokasi waktu untuk pengelolaan pekarangan < 5

jam per minggu. Karakteristik rumah tangga yang ada di Bangladesh Barat Daya

bukan merupakan patokan untuk memprediksi struktur vegetasi pada pekarangan.

Namun, jika dilihat dari segi tenaga kerja, maka alokasi waktu yang disediakan

oleh tenaga kerja yang dikerahkan pada pekarangan sangat mempengaruhi

komposisi jenis tanaman pada pekarangan, kualitas tenaga kerja juga memiliki

(30)

commit to user

semakin tinggi waktu yang sediakan untuk pengelolaan pekarangan maka semakin

tinggi juga kekayaan jenis pada suatu pekarangan serta meningkatnya pendapatan

keluarga.

Pekarangan juga merupakan sumber investasi jangka panjang bagi

pemiliknya. Penanaman pohon kayu yang umumnya berumur lebih dari 15 tahun

menjadi tabungan bagi pemilik pekarangan untuk 15-20 tahun yang akan datang.

Tanaman kayu seperti sengon dan jati memiliki nilai jual yang tinggi. Sengon

termasuk kayu yang tahan terhadap rayap dan jamur pelapuk kayu

(Hidayat 2006). Penanaman komoditas pohon kayu juga dimanfaatkan secara

pribadi sebagai bahan bangunan. Masyarakat Wawonii di Sulawesi Tenggara

memanfaatkan pohon kayu yang ada di pekarangannya untuk membangun rumah.

Selain memberikan sumbangan dari segi ekonomi melalui produksi

tanaman, pekarangan juga memberikan kontribusi bagi ketahanan pangan melalui

nilai gizi yang terkandung di dalam produk pertanian. Gizi dideskripsikan sebagai

pemenuh kebutuhan makhluk hidup yang berhubungan dengan makanan dan

berkaitan dengan kesehatan dan proses metabolisme tubuh untuk memelihara

kehidupan dan pertumbuhan serta memproduksi tenaga. Kecukupan kebutuhan

suplai zat gizi dari makanan dapat dipenuhi melalui budidaya tanaman di

pekarangan. Oleh karena itu, pemilihan jenis-jenis tanaman untuk pekarangan

harus sesuai dengan kebutuhan pemilik dan kondisi lingkungan pekarangan

(Harper et al. 1986).

Sumbangan nutrisi dari komoditas yang ditanam di pekarangan, khususnya

tanaman pohon, cukup membantu pemenuhan kecukupan gizi keluarga.

Komoditas yang ditanam di pekarangan dapat memenuhi asupan karbohidrat,

protein, lemak, vitamin, dan mineral. Tanaman nangka dan sukun mampu

memenuhi kebutuhan karbohidrat. Berbagai jenis jeruk, jambu, dan dapat

memenuhi kebutuhan vitamin C dan kalsium. Alpukat juga dapat memenuhi

kebutuhan karbohidrat dan vitamin B kompleks (Harper et al. 1986). Setiap 100 g

buah duku mengandung 63 kalori, 1 g protein, 0,20 g lemak, 16,10 g karbohidrat,

18 mg kalsium, 9 mg fosfor, 0,90 mg zat besi, 0,05 mg vitamin B1, 9 mg vitamin

(31)

commit to user

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga lokasi dengan ketinggian tempat yang

berbeda di Kabupaten Karanganyar, yaitu di Kecamatan Karanganyar, Kecamatan

Matesih, dan Kecamatan Tawangmangu pada ketinggian antara < 300 m dpl

(Desa Jantiharjo dan Desa Bolong), 300-400 m dpl (Desa Dawung dan Desa

Plosorejo), dan > 400 m dpl (Desa Karang Bangun, Desa Koripan, dan Desa

Bandar Dawung). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012-

Januari 2013.

B. Alat dan Bahan

Obyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan pekarangan

warga yang berada di tiga lokasi dengan ketinggian tempat berbeda. Alat-alat

yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: GPS (Global Positioning

System), peta desa monografi desa pada masing-masing ketinggian tempat,

altimeter, termohigrometer, kompas, klinometer, lux meter, alat tulis, kamera

digital, roll meter, plastik, cetok, cangkul, dan tali.

C. Cara Kerja Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode survei yang berlokasi di tiga

ketinggian tempat yang berbeda. Unit sampel pekarangan dalam penelitian

ini diambil pada jalur di sepanjang aliran sungai Samin. Sampel untuk

ketinggian < 300 m dpl berada pada rentang ketinggian 219-272 m dpl

dengan koordinat titik antara 7°37'09,2"7°38'12,3” LS dan 110°58'33,6"

110°59'37,3" BT; untuk ketinggian 300-400 m dpl diambil pada rentang

ketinggian 364-376 m dpl dengan koordinat titik sampel berada antara

7°37’50,99”7°38’58,81” LS dan 111°01’04,55”111°01’58,65” BT; untuk ketinggian > 400 m dpl diambil pada rentang ketinggian 515-673 m dpl

(32)

commit to user

111°03’27,9”111°04’46,5” BT. Satuan amatan dipilih secara acak berupa

lahan pekarangan tradisional dengan luasan ± 500-1.500 m2, berikut pohon

yang ada di pekarangan.

2. Pelaksanaan Penelitian

a. Pendataan kepemilikan lahan

Pendataan dilakukan melalui Kepala Dusun untuk mengetahui

lokasi dan luas lahan pekarangan yang dimiliki oleh warga, serta

tinjauan lapang untuk melihat keragaan pekarangan yang akan

digunakan sebagai sampel.

b. Penetapan unit sampel lahan pekarangan

Penetapan sampel dilakukan dengan memilih secara acak

sampel yang telah didata sesuai dengan kriteria pekarangan yang

digunakan sebagai sampel. Masing-masing ambang (range)

ke-tinggian tempat (< 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl)

diambil 30 unit lahan pekarangan, sehingga jumlah semua sampel

adalah 90 unit lahan pekarangan. Penetapan unit sampel berdasarkan

luas pekarangan, umur pekarangan, dan jumlah pohon. Unit sampel

pekarangan yang diambil tidak boleh berdampingan. Lahan

pekarangan yang sudah ditentukan sebagai sampel kemudian dicatat

letak lintang dan ketinggian tempatnya, kemudian diplot dalam peta

untuk memastikan bahwa unit sampel pekarangan yang diambil masih

berada dalam wilayah dengan jenis tanah yang sama.

c. Pengamatan dan wawancara

Pengamatan yang dilakukan pada masing-masing unit

pekarangan yaitu pengukuran luas total lahan pekarangan, pengukuran

luas pekarangan efektif, pengukuran kondisi fisik lahan pekarangan

(temperatur, kelembaban udara relatif, intensitas cahaya, ketinggian

tempat, dan kemiringan lahan), pengambilan sampel tanah di tiap-tiap

sampel pekarangan pada masing-masing ketinggian, inventarisasi

jenis tanaman pohon yang ada di pekarangan, pengukuran tinggi

(33)

commit to user

pengukuran diameter kanopi, dan wawancara kepada pemilik

pekarangan perihal pengelolaan lahan pekarangan, sosial ekonomi,

sosial budaya, dan persepsi pemilik lahan mengenai produktivitas

lahan pekarangan.

3. Variabel Pengamatan dan Cara Pengambilan Data

a. Variabel fisik

1) Tanah

a) Pengambilan sampel tanah dilakukan pada area dengan

jarak ± 0,5–1 m dari batang pohon dan tidak terkena sinar

matahari langsung. Sampel tanah diambil pada kedalaman

15–25 cm dari permukaan tanah. Kemudian, tanah

dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label

lokasi, nomor sampel pekarangan, dan jenis tegakan

dimana sampel tanah diambil.

b) Sampel tanah dikeringanginkan selama satu minggu,

kemudian dikompositkan. Sampel tanah yang

dikompositkan adalah sampel tanah yang ada pada

tegakan petai, melinjo, kelengkeng, dan mangga untuk

unit sampel pada ketinggian < 300 m dpl; untuk unit

sampel pada ketinggian 300-400 m dpl diambil pada

tegakan pohon duku, nangka, durian, dan rambutan;

sedangkan pada unit sampel pada ketinggian > 400 m dpl

diambil pada tegakan alpukat, durian, dan pundung.

c) Analisis tanah di lakukan di Laboratorium Kimia dan

Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas

Maret Surakarta. Analisis tanah meliputi penentuan

tekstur, kadar lengas, pH, kejenuhan basa, dan kesuburan

tanah (kandungan N total, K, dan bahan organik).

Pengukuran tekstur tanah menggunakan metode

pemipetan. Kemasaman tanah (pH tanah) yang diukur

(34)

commit to user

Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk

yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanah, Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen

Pertanian (2005).

2) Unsur iklim mikro pekarangan

Pengukuran suhu udara (OC) dan kelembaban udara

relatif (%) menggunakan termohigrometer. Suhu udara diukur di

dalam pekarangan (di bawah tegakan pohon). Pengukuran

intensitas cahaya menggunakan lux meter dan dinyatakan dalam

satuan foot candle (FC). Intensitas cahaya di luar pekarangan

dilakukan satu kali pada satu titik, sedangkan intensitas cahaya

di dalam pekarangan diambil pada tiga titik berbeda kemudian

dirata-rata dan dihitung persentase intersepsi cahaya matahari

yang dapat lolos ke dalam pekarangan.

3) Unsur iklim makro

Data iklim makro yang digunakan adalah data curah hujan

bulanan yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi, Pusat

Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Fakultas Pertanian,

Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kecamatan Jumantono,

mewakili ketinggian tempat < 300 m dpl. Data curah hujan

bulanan yang digunakan untuk mewakili ketinggian 300-400 m

dpl dan > 400 m dpl diperoleh dari Balai Benih Padi

Karang-pandan, Kecamatan Tawang-mangu. Klasifikasi iklim

meng-gunakan metode Schmidt-Ferguson yaitu didasarkan pada

per-bandingan antara Bulan Basah (BB) dan Bulan Kering (BK)

(Lakitan 1994). Ketentuan penetapan BB dan BK mengikuti

aturan sebagai berikut:

a) Bulan Kering (BK): bulan dengan curah hujan kurang dari

60 mm.

b) Bulan Lembab (BL): bulan dengan curah hujan antara

(35)

commit to user

c) Bulan Basah (BB): bulan dengan curah hujan lebih dari

100 mm

Nilai Q dihitung dengan persamaan berikut:

Q =

x 100%

b. Variabel biologi

Variabel biologi yang diukur di sampel lahan pekarangan

meliputi: jenis tanaman pohon, jumlah tanaman pohon per jenis,

habitus tanaman pohon per jenis (tinggi tanaman, lingkar batang,

diameter kanopi, dan tinggi kanopi). Pengukuran tinggi pohon dan

tinggi/tebal kanopi pohon menggunakan klinometer dengan mengukur

persentase sudut elevasi antara mata pengamat dengan ujung pohon

teratas (lampiran 3). Pengukuran tebal kanopi juga dilakukan dengan

menggunakan klinometer, caranya dengan mengukur persentase sudut

elevasi antara mata pengamat dengan batas kanopi paling bawah dan

akan diperoleh tinggi batang di bawah kanopi, kemudian tinggi

keselurahan pohon dikurangi dengan tinggi batang di bawah kanopi,

sehingga diperoleh tebal kanopi (lampiran 3). Lingkar batang diukur

setinggi dada orang dewasa/Diameter Breast Height (± 1,3 m).

Diameter kanopi pohon diukur dengan mencari rata-rata dari jumlah

empat sisi jari-jari kanopi.

4. Analisis Data

a. Analisis vegetasi

Analisis vegetasi digunakan untuk menganalisis variabel

biologi. Analisis vegetasi bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis

(susunan) tumbuhan yang ada di wilayah yang dianalisis dengan

melakukan inventarisasi vegetasi pada tiap-tiap sampel pekarangan

(Fachrul 2007).

Analisis vegetasi yang dilakukan meliputi:

1) Kerapatan tanaman (K)

Kerapatan tanaman diketahui dengan menghitung

(36)

commit to user

unit pekarangan yang mengandung jenis tersebut (A), kemudian

dibagi dengan jumlah sampel unit pekarangan dalam satu

ambang ketinggian tempat (30 unit sampel pekarangan). Jadi,

kerapatan yang disajikan adalah kerapatan per jenis tanaman

dalam 30 pekarangan.

Rumus yang digunakan: K = ( )/30 pekarangan

2) Dominansi (D)

Dominansi diketahui dengan menghitung luas kanopi

(m2) suatu jenis tumbuhan yang merupakan luas penguasaan

pada area tertentu oleh sejenis tumbuhan (ai) pada luas tertentu

(A) di suatu tempat.

Rumus yang digunakan: D = A ai

3) Frekuensi (F)

Frekuensi diketahui dengan membagi jumlah petak

sampel yang mengandung suatu spesies ( Xni) dengan jumlah seluruh petak sampel (X).

Kerapatan relatif diketahui dengan membagi kerapatan

suatu spesies (Ki) dengan jumlah kerapatan seluruh spesies

Frekuensi relatif diketahui dengan menghitung

persentase perbandingan antara frekuensi suatu spesies (Fi)

(37)

commit to user

Dominansi relatif diketahui dengan menghitung

persentase perbandingan antara dominansi suatu spesies (Di) dengan dominansi seluruh spesies ( D) dikalikan 100%.

Rumus yang digunakan: DR = x100%

menunjukkan kedudukan suatu jenis terhadap jenis lain di dalam

suatu komunitas. Besaran INP diturunkan dari hasil

penjumlahan nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan

dominasi relatif dari jenis-jenis yang menyusun tipe komunitas.

Semakin besar nilai indeks berarti jenis yang bersangkutan

semakin besar berperanan di dalam komunitas yang

bersangkutan (Prasetyo 2007).

Rumus yang digunakan: INP = KR+FR +DR

8) Indeks Kelimpahan Jenis/Species Richness(Margalef Index)

Kelimpahan spesies/species richness dihitung dengan

rumus Margalef Index (DMg) yaitu dengan membagi jumlah

spesies (S) dikurangi 1 dengan jumlah seluruh individu pada

sampel (N) (Magurran 1988).

Rumus yang digunakan: DMg =

9) Indeks Keanekaragaman Jenis/Index of Diversity

Keanekaragaman jenis yang terdapat dalam komunitas

dapat diketahui dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener

Index (H’) (Magurran 1988).

Rumus yang digunakan: H’ = -∑ ( )

(38)

commit to user

N = Jumlah total individu seluruh jenis

10) Indeks kemerataan jenis (Equitability)/Evenness Index (Pielou

Index)

Indeks kemerataan jenis dihitung dengan menggunakan

rumus Pielou Index (Magurran 1988).

Rumus yang digunakan: E =

H’ = Indeks kemerataan jenis

S = Jumlah seluruh individu pada sampel

11) Indeks Asosiasi dan Indeks Kesamaan Komunitas (Association

Index and Index of Similarity)/Sorenson’s Index of Similarity

(Cs)

Indeks Asosiasi dan Indeks Kesamaan Komunitas

merupakan suatu koefisien untuk mengetahui kesamaan jenis

tumbuhan di dua daerah yang berbeda (Magurran 1988).

Rumus yang digunakan: Cs =

x 100%

a = Jumlah jenis tumbuhan daerah 1

b = Jumlah jenis tumbuhan daerah 2

j = Jumlah jenis tumbuhan yang sama di kedua daerah 1 dan 2

b. Pengharkatan

Pengharkatan dimaksudkan untuk mempermudah penjelasan

suatu indeks (yang dinyatakan dalam angka) dan dinyatakan dalam

suatu kriteria agar lebih mudah dipahami.

1) Karakteristik tanah

Pengharkatan karakterisik kesuburan tanah berdasarkan

Buku Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan

Pupuk yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanah, Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian

(39)

commit to user

2) Indeks Keanekaragaman Jenis/Index of Diversity

(Shannon-Wiener Index)

Besarnya indeks keanekaragaman jenis menurut

Shannon-Wiener didefinisikan sebagai berikut:

a) Nilai H’ < 2,30 menunjukkan bahwa keanekaragaman

spesies pada suatu wilayah adalah sedikit atau rendah.

b) Nilai 2,30 ≤ H’ ≤ 3,45 menunjukkan bahwa

keaneka-ragaman spesies pada suatu wilayah adalah sedang

melimpah.

c) Nilai 3,46 ≤ H’ ≥ 5,75 menunjukkan bahwa keaneka

-ragaman spesies suatu wilayah adalah tinggi.

d) Nilai 5,76 ≤ H’ ≥ 6,90 menunjukkan bahwa

keanekaragaman spesies pada suatu wilayah adalah

melimpah tinggi.

(Mason 1981 cit. Saputro dan Edrus 2008).

3) Indeks kemerataan jenis (Equitability)/Evenness Index (Pielou

Index)

Besarnya indeks kemerataan jenis didefinisikan sebagai

berikut:

a) Nilai 0,6 < E < 1 menunjukkan kemerataan jenis spesies

yang tinggi

b) Nilai 0,4 < E < 0,6 menunjukkan kemerataan jenis spesies

sedang.

c) Nilai E < 0,4 menunjukkan kemerataan jenis spesies

rendah.

(Krebs 1989 cit. Saputro dan Edrus 2008).

4) Indeks Asosiasi dan Indeks Kesamaan Komunitas (Association

Index and Index of Similarity)/Sorenson’s Index of Similarity

(Cs)

Besarnya indeks asosiasi dan indeks kesamaan

(40)

commit to user

a) Nilai Cs ≈ 1 menunjukkan bahwa daerah a dan b memiliki

kemiripan yang sangat tinggi (complete similarity).

b) Nilai 0 < Cs > 1 menunjukkan bahwa daerah a dan b

memiliki kemiripan yang sedang.

c) Nilai Cs ≈ 0 menunjukkan bahwa daerah a dan b tidak

memiliki kemiripan sama sekali (dissimilar).

(Magurran 1988).

c. Analisis Produktivitas Tanaman Pohon

Produktivitas tanaman berkesesuaian dengan kapasitas

tanaman untuk menyerap input produksi dan menghasilkan output

dalam produksi pertanian. Penghitungan nilai produktivitas

menggunakan model David J. Sumanth (Theresia 2004), yaitu:

Produktivitas =

Output yang dimaksud adalah jumlah semua produk yang

dihasilkan, dan input semua sumber daya yang digunakan untuk

menghasilkan output. Total output dan semua input yang digunakan

dinyatakan dalam satuan yang sama. Satuan output dan input yang

digunakan adalah rupiah (Rp), dan satuan produktivitas dinyatakan

dalam rasio. Analisis produktivitas juga dilakukan dengan

membandingkan total input/100 m2 pekarangan dan output/ 100 m2

pekarangan untuk mengetahui tingkat produktivitas pekarangan secara

Gambar

Gambar 1. Suhu rerata harian di pekarangan pada ketinggian < 300 m
Gambar 2. Kelembaban rerata harian di pekarangan pada ketinggian  < 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl
Gambar 3. Persentase intersepsi cahaya matahari di dalam pekarangan
Gambar 3. Rerata intensitas curah hujan dalam 10 tahun terakhir
+7

Referensi

Dokumen terkait