• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PRESDISPOSING KETERLAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK DENGAN CEREBRAL PALSY DI RSJD Dr. RM. SOEDJARWADI PROVINSI JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR PRESDISPOSING KETERLAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK DENGAN CEREBRAL PALSY DI RSJD Dr. RM. SOEDJARWADI PROVINSI JAWA TENGAH"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 1

FAKTOR PRESDISPOSING KETERLAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK DENGAN CEREBRAL PALSY DI RSJD Dr. RM.

SOEDJARWADI PROVINSI JAWA TENGAH

Intan Nugraheni1, Lailatif Nadiah Safitri2

Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Kebidanan jkaffah@gmail.com

ABSTRACT

Background: The preliminary study in Region Psychological Hospital Dr. RM. Soedjarwadi Central Java Province obtained approximately 50 patients with cerebral palsy who came to perform stimulation treatments. The report of data result in the Medical Records Installation stated that, cerebral palsy is the first rank diagnosis in the top 10 of the most diagnostic in the Growth Child and Adolescent Clinic of Region Psychological Hospital Dr. RM. Soedjarwadi Central Java Province.

Objective: To determine the description of the presdisposing factors the developmental delay in cerebral palsy’s children.

Method: The research is descriptive retrospective. The sampling technique used is incidental sampling. Members ofthe sampleamounted to 45respondents. The data analysis technique used is the frequency distribution of descriptive statistics. Result: Most respondents were age 0-5 years (68,89%), male sex (55,56%), had a history of birth cephalic presentation (93.33%), never exposed to toxins / chemicals during the prenatal period (73.33%), were never infected with TORCH during the prenatal period (91.11%), was never infected with an STD during the prenatal period (100%), plan and get excited over the pregnancy (75.56%), spontaneous delivery method (75.56%), were born at term (86.67%), and asphyxia at birth (28.89%).

Conclusion: The internal and external factors can affect the developmental delay in cerebral palsy’s children.

Keywords: Developmental Delayed, Cerebral Palsy

ABSTRAK

Latar Belakang : Studi pendahuluan di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah didapatkan sekitar 50 pasien dengan cerebral palsy yang datang untuk melakukan perawatan stimulasi. Data hasil laporan dalam Instalasi Rekam Medik, menyatakan bahwa, cerebral palsy merupakan diagnosa peringkat pertama dari 10 besar diagnosa terbanyak di Klinik Tumbuh Kembang Anak dan Remaja RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui faktor presdisposing keterlambatan perkembangan pada anak dengan cerebral palsy di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

(2)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 2

Hasil Penelitian : Sebagian besar responden adalah berumur 0-5 tahun (68,89%), berjenis kelamin laki-laki (55,56%), memiliki riwayat lahir presentasi kepala (93,33%), tidak pernah terpapar toksin/zat kimia selama masa prenatal (73,33%), tidak pernah terinfeksi TORCH selama masa prenatal (91,11%), tidak pernah terinfeksi PMS selama masa prenatal (100%), merencanakan dan merasa senang atas kehamilan (75,56%), metode persalinan spontan (75,56%), lahir aterm (86,67%), dan asfiksia saat lahir (28,89%).

Kesimpulan : Faktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi keterlambatan perkembangan pada anak dengan cerebral palsy.

Kata kunci : Keterlambatan Perkembangan, Cerebral Palsy

PENDAHULUAN

Cerebral palsy ialah gangguan kelainan tonus otot atau kelumpuhan yang disebabkan gangguan menetap di otak. Cerebral palsy bukan merupakan penyakit yang menular ataupun bersifat herediter (Pertamawati, 2008: 2).

Palsiserebralmerupakansuatukeadaankerusakanjaringanotak yang menetapdantidakprogresif,

terjadipadausiadinisehinggamenggangguperkembanganotakdanmenunjukkankelai nanposisi, tonus ototdankoordinasimotorik, sertakelainanneurologislainnya. Secaraumum, palsiserebraldibagiatas 4 tipeyaituspastik, atetoid, ataksia, dancampuran.Angkakejadianpalsiserebral di berbagainegarabervariasiantara 2-2,5 per 1000 kelahiranhidup (Wibowo, 2012: 1).

Lin (2003) dalamMardiani (2006: 1) menyebutkanbahwaThe National

Collaborative Perinatal Project di

AmerikaSerikatmerekomendasikanperingatanbahwa ⅔ anak–anak yang didiagnosamengalamidiplegiaspastikdan ½ darisemuaanak yang

menunjukkantanda–tanda CP

padatahunpertamakehidupanmerekaakantampaksebagai CP setelahmerekaberusia 7 tahun.

Menurut Soetjiningsih (1995) dalam Mardiani (2006: 2) menyatakan bahwa di Indonesia, prevalensi penderita CP diperkirakan sekitar 1 – 5 per 1.000 kelahiran hidup. Laki–laki lebih banyak daripada perempuan. Seringkali terdapat pada anak pertama.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada tahun 2014 di Klinik Tumbuh Kembang Anak dan Remaja RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah didapatkan data sekitar 50 pasien dengan cerebral palsy yang datang untuk melakukan perawatan stimulasi. Dan angka kejadian cerebral palsy tersebut, adalah kejadian yang terbanyak di Klinik tersebut jika dibandingkan dengan diagnosa keterlambatan lainnya. Hal ini berbanding lurus dengan data hasil laporan dalam Instalasi Rekam Medik di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah, bahwa dalam peringkat 10 besar diagnosa terbanyak di Klinik Tumbuh Kembang, cerebral palsy dengan kode G. 80.9 merupakan diagnosa pasien yang menduduki peringkat pertama.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor presdisposing keterlambatan perkembangan pada anak dengan cerebral palsy di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

(3)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 3

Menurut Suyitno (2002: 51), pertumbuhan adalah proses yang berhubungan dengan bertambah besarnya ukuran fisik karena terjadi pembelahan dan bertambah banyaknya sel, disertai bertambahnya substansi intersiil pada jaringan tubuh. Proses tersebut dapat diamati dengan adanya perubahan-perubahan pada besar dan bentuk yang dinyatakan dalam nilai-nilai ukuran tubuh, misalnya berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan sebagainya. Perkembangan adalah proses yang berhubungan dengan fungsi organ atau alat tubuh karena terjadinya pematangan. Pada pematangan ini terjadi diferensiasi sel dan maturasi alat atau organ sesuai dengan fungsinya.

Nursalam (2005: 34) menjelaskan bahwa meskipun pertumbuhan dan perkembangan mempunyai arti yang berbeda, namun keduanya saling mempengaruhi dan berjalan secara simultan. Pertambahan ukuran fisik akan disertai dengan pertambahan kemampuan anak. CerebralPalsy diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan dibagi dalam 4 kategori, yaitu: 1) CP Spastikyaitudisertai tremor hemiparesis, dimana seseorang tidak dapat mengendalikan gerakan pada tungkai pada salah satu sisi tubuh. Jika tremor memberat, akan terjadi gangguan gerakan berat (Saharso, 2006: 6); 2) CP Ataksidyaitu penderita yang terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk; berjalan tidak stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling berjauhan; kesulitan dalam melakukan gerakan cepat dan tepat, misalnya menulis atau mengancingkan baju; 3) CP Campuranyaituspastik dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai (Saharso, 2006).

Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar antara lain 1) Letak sungsangyaitu kelainan letak seperti disproporsio cephalopelvik dan letak abnormal, merupakan salah satu penyebab partus lama atau macet yang menyebabkan trauma berkepanjangan terhadap janin; 2) Proses persalinan sulitadalah masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permanen; 3) Apgar skore rendahyaituapgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran merupakan faktor risiko cerebral palsy; 4) Asfiksia BBLR atau prematuritas yaitu berat badan lahir rendah dan prematuritas adalah faktor risiko utama CP (Stanley et al., 2000 dalam Mardiani, 2006: 49).

Bayi prematur memiliki kemungkinan risiko lebih besar yang tidak terelakkan daripada bayi cukup bulan, namun beberapa faktor yang disebabkan oleh infeksi dapat meningkatkan kemungkinan bayi cukup bulan mengalami CP hingga 9 kali. Variabel–variabel infeksi yang ada antara lain infeksi air ketuban, placenta, traktus urinaria, chorioamnioitis atau infeksi yang menyerang membran di sekeliling janin dan amniotic sac (Stanley et al., 2000 dalam Mardiani, 2006: 51-52).

(4)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 4

besar mengalami CP daripada bayi yang dilahirkan cukup bulan. Semakin muda usia gestasi, semakin rendah BBL, maka semakin tinggi risiko untuk menderita CP. Secara ekstrim bayi dengan BBLR 100 kali lebih berisiko mengalami CP daripada bayi dengan BBL normal (Stanley et al., 2000 dalam Mardiani, 2006: 59).Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur seperti imaturitas pada otak dan vaskularisasi cerebral merupakan suatu bukti yang menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian CP (Boosara, 2004 dalam Mardiani, 2006).

Dalam menegakkan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan kemampuan motorik bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai dari riwayat kehamilan, persalinan dan kesehatan bayi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan lingkar kepala anak (Capture AJ, 1996 dalam Saharso, 2006: 16). Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan penyebab CP perlu dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan kepala, yang merupakan pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur jaringan otak. CT scan dapat menjabarkan area otak yang kurang berkembang, kista abnormal, atau kelainan lainnya. Dengan informasi dari CT Scan, dokter dapat menentukan prognosis penderita CP. Pada akhirnya, klinisi mungkin akan mempertimbangkan kondisi lain yang berhubungan dengan CP, termasuk kejang, gangguan mental, dan visus atau masalah pendengaran untuk menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan (Saharso, 2006).

Menurut Nurhiyani (1990: 31) bahwa meskipun dijumpai kesulitan dalam menentukan kepastian diagnosis dan tipe palsi serebral, yang paling penting jangan sampai terlampaui saat yang tepat untuk melakukan penatalaksanaan. Diagnosis palsi serebral biasanya dapat dilakukan dengan pasti setelah bayi berumur 6 bulan.

Menurut Voyta (1974) dalam Nurhiyani (1990: 32) bahwa bila palsi serebral dialami lebih dari 6 bulan tanpa terapi, ‘abnormal motor pattern’ menjadi menetap. Ini mengakibatkan palsi serebral menjadi kenyataan, yang akan lebih sulit ditangani. Diagnosis dini memberi peluang untuk penatalaksanaan yang tepat dengan kemungkinan besar dapat berhasil, karena gejala motorik abnormal belum menetap.

Prognosis kesembuhan dalam arti regenerasi dari otak yang sesungguhnya, tidak pernah terjadi pada palsi serebralis. Tetapi akan terjadi perbaikan sesuai dengan tingkat maturitas otak yang sehat sebagai kompensasinya. Pengamatan jangka panjang yang dilakukan oleh Cooper dkk (dikutip dari Oka Adnyana) menunjukkan adanya tendensi perbaikan fungsi koordinasi dan fungsi motorik dengan bertambahnya umur anak yang mendapat stimulasi yang baik (Soetjiningsih, 2012: 234).

METODE PENELITIAN

(5)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 5

Populasi dalam penelitian adalah semua ibu yang memeriksakan anaknya dengan cerebral palsy ke Klinik Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jenis pengambilan sampel penelitian ini menggunakan nonprobability sampling (Sugiyono, 2010: 66).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalahincidental samplingyaitusiapa saja yang kebetulan dijumpai oleh peneliti selama masa pengambilan data penelitian padatahun2014 di Klinik Tumbuh Kembang Anak dan Remaja RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengahdengan sampel penelitian berjumlah 45 responden.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Umur Responden

Tabel 1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur

No. Umur Ƒ %

1. Balita 31 68,89

2. Anak 14 31,11

Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa jumlah anak dengan cerebral palsy paling banyak berumur 0-5 tahun yaitu sebanyak 31 orang (68,89%).

Jenis kelamin

Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin

Tabel 2 menunjukkan jumlah terbanyak anak dengan cerebral palsy berjenis kelamin laki-laki yaitu 55,56%.

Faktor zat kimia

Tabel 3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan zat kimia

Tabel 3 menunjukkan paling banyak responden tidak pernah terpapar zat kimia selama masa prenatal yaitu 73,33%.

Faktor infeksi a. TORCH

Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan TORCH No. Jenis

Kelamin Ƒ %

1. Perempuan 20 44,44 2. Laki-laki 25 55,56 Jumlah 45 100

No. Zat Kimia Ƒ %

1. Pernah 12 26,67 2. Tidak Pernah 33 73,33 Jumlah 45 100

No. TORCH Ƒ %

1. Pernah 4 8,89

(6)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 6

Tabel 4 menunjukkan paling banyak responden tidak pernah terpapar infeksi TORCH selama masa prenatal yaitu 91,11%.

b. PMS

Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan PMS

Tabel 5 menunjukkan seluruh responden tidak pernah terpapar PMS selama masa prenatal sebanyak 100%.

Psikologis ibu

Tabel 6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan psikologis ibu

Berdasarkan tabel 6 diperoleh bahwa sebagian besar ibu merencanakan kehamilannya dan merasa senang atas kehamilan tersebut sebesar 34 orang (75,6%).

Faktor mekanis dan persalinan

Tabel 7. Distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor mekanis dan persalinan

KondisiAnak

Aterm BBLR Asfiksi

f % f % f %

39 86,6 8 17,7 13 28,8

Total 65

Berdasarkan tabel 7 didapatkan hasil bahwa paling banyak responden lahir aterm sebesar 86,6% , mengalami BBLR sebesar 17,7% dan asfiksia sebesar 28,8%.

Pembahasan Umur responden

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden adalah balita yang berumur 0-5 tahun (68,89%). Hal ini disebabkan karena tanda awal CP biasanya tampak pada usia < 3 tahun dan orang tua sering mencurigai

Jumlah 45 100

No. PMS ƒ %

1. Pernah 0 0

2. Tidak Pernah 45 100 Jumlah 45 100

No. Psikologis Ƒ %

(7)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 7

ketika kemampuan perkembangan motorik tidak normal. Bayi dengan CP sering mengalami kelambatan perkembangan, misalnya tengkurap, duduk, merangkak, tersenyum atau berjalan (Blasco, 1989 dalam Saharso, 2006). Menurut Sacharin (1996) menjelaskan bahwa pada kasus yang lebih parah, gejala dapat terlihat sejak lahir. Bayi memperlihatkan keadaan cengeng dan muntah. Kasus yang lebih ringan tidak memperlihatkan adanya defisiensi motorik hingga anak gagal untuk melakukan keterampilan motorik utama pada periode perkembangan tertentu anak tidak dapat duduk pada sekitar umur 6 bulan atau berjalan pada umur setahun. Teori lain menyebutkan bahwa gangguan dapat terjadi mulai saat kelahiran sampai usia 1 tahun (Hendarto dkk, 1985 dalam Nurhiyani, 1990). Atau 3 tahun (Vining, 1986 dalam Nurhiyani, 1990) atau 5 tahun (Pharoah dkk, 1989 dalam Nurhiyani, 1990).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mardiani (2006:93) menyebutkan bahwa sebagian besar (26,7%) responden terdeteksi mengalami gejala CP pada usia 19–24 bulan.Menurut Nurhiyani (1990) bahwa meskipun dijumpai kesulitan dalam menentukan kepastian diagnosis dan tipe palsi serebral, yang paling penting jangan sampai terlampaui saat yang tepat untuk melakukan penatalaksanaan. Diagnosis palsi serebral biasanya dapat dilakukan dengan pasti setelah bayi berumur 6 bulan.

Menurut Voyta (1974) dalam Nurhiyani (1990) bahwa bila palsi serebral dialami lebih dari 6 bulan tanpa terapi, ‘abnormal motor pattern’ menjadi menetap. Ini mengakibatkan palsi serebral menjadi kenyataan, yang akan lebih sulit ditangani. Diagnosis dini memberi peluang untuk penatalaksanaan yang tepat dengan kemungkinan besar dapat berhasil, karena gejala motorik abnormal belum menetap.

Jenis kelamin responden

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa sebanyak 25 responden berjenis kelamin laki-laki (55,56%). Dalam Nurhiyani (1990) dijelaskan bahwa menurut Wishburn dkk. (1965); Mckinlav (1983); El-Zawahry (1985); Hartono dkk. (1986), hal ini diduga karena angka kejadian meningitis dan ensefalitis lebih tinggi pada laki-laki, karena perempuan punya sawar darah otak lebih kuat. Tetapi ada pula pendapat bahwa perbedaan ini karena kromatin seks perempuan bersifat memberi perlindungan terhadap infeksi dan benda toksik.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mardiani (2006:118) bahwa laki-laki berisiko 2,5 kali mengalami CP daripada perempuan. Begitu juga menurut hasil penelitian Nurhiyani (1990:77) yang menunjukkan bahwa rasio pasien laki-laki dan perempuan adalah 1,24:1. Selain itu menurut Winarno dkk. (1976) dalam Nurhiyani (1990:78), mendapatkan angka perbandingan laki-laki dan wanita sekitar 51,4:49,6 di YPAC Semarang.

Faktor toksin/zat kimia

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa jumlah anak dengan cerebral palsy paling banyak tidak pernah terpapar toksin/zat kimia selama masa prenatal yaitu sebesar 33 orang (73,33%).

(8)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 8

satu faktor yang menimbulkan efek perkembangan yang buruk pada bayi (Merrit, 1973; Stanley et al., 2000 dalam Mardiani, 2006).

Kelainan kromosom atau pengaruh zat–zat teratogen yang terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan, dapat berpengaruh terhadap proses embriogenesis sehingga dapat mengakibatkan kelainan yang berat. Pengaruh zat–zat teratogen setelah trimester I akan mempengaruhi maturasi otak (Soetjiningsih, 2012).

Menurut United States Food and Drugs Administration, bahwa ada beberapa jenis obat yang dilarang untuk dikonsumsi oleh wanita hamil dan obat yang boleh dikonsumsi hanya dengan resep dokter. Obat-obat tersebut antara lain: aspirin, ibuprofen (Motrin, Advil) dan thalidomide. Obat-obat tersebut berbahaya bagi perkembangan janin jika dikonsumsi pada ibu hamil, terutama pada usia gestasi kurang dari 3 bulan (Anonim, 2005 dalam Mardiani, 2006). Selain itu, penggunaan antibiotik pada saat hamil juga terbukti sebagai fakor risiko terjadinya CP (Stanley et al., 2000; O’Shea, 1998 dalam Mardiani, 2006).

Menurut Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1991) menyatakan bahwa pengaruh obat yang diberikan kepada ibu hamil terhadap janin sangat tergantung dari umur kehamilan, jumlah obat, waktu dan lama pemberian.

Teori ini sesuai dengan hasil penelitian Mardiani (2006:111), yang menunjukkan bahwa pada responden yang ibunya mengalami keracunan saat hamil, berisiko 66 kali lebih besar terjadi CP dibandingkan dengan yang tidak mengalami keracunan saat kehamilan. Secara statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara keracunan kehamilan dengan kejadian CP. Faktor infeksi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa paling banyak responden tidak pernah terpapar infeksi TORCH selama masa prenatal yaitu sebesar 41 orang (91,11%). Dan semua responden tidak pernah terpapar PMS (Penyakit Menular Seksual) selama masa prenatal sebesar 45 orang (100%). Didapatkan hasil diatas, sebab sebagian besar ibu tidak mengetahui tentang infeksi TORCH dan PMS. Sehingga gejala terpapar infeksi juga tidak dipahami oleh mereka, oleh karena itu ibu tidak pernah memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan berkaitan dengan infeksi tersebut.

Hal ini tidak sesuai dengan teori menurut Leviton & Gilles (1984) dalam Saharso (2006) menyatakan bahwa rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan menyebabkan kerusakan sistem saraf yang sedang berkembang. Infeksi lain yang dapat menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus dan toxoplasmosis. Pada saat ini sering dijumpai infeksi maternal lain yang dihubungkan dengan CP.

(9)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 9

berakibat terjadinya CP. Infeksi parasit ringan seperti toksoplasmosis juga seringkali tidak diketahui oleh ibu hamil, hingga waktu kelahiran (Mardiani, 2006).

Menurut Pillitteri (2002) menjelaskan bahwa penyakit menular seksual (PMS) merupakan penyakit yang disebarkan melalui koitus. PMS mencakup kandidiasis, trikomonas, bacterial vaginosis (infeksi Gardnella), klamidia trakomatis, sifilis, virus herpes simpleks tipe 2, human papilloma virus, gonorrhea, infeksi streptococcus grup B, dan human immunodeficiency virus (HIV). Hampir semua PMS mempengaruhi janin. Hanya sedikit imunisasi dibuat untuk melawan PMS, sehingga terdapat kemungkinan kambuh jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.

Psikologis ibu

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar ibu merencanakan kehamilannya dan merasa senang atas kehamilan tersebut sebesar 34 orang (75,56%).

Menurut Pillitteri (2002) bahwa menerima kehamilan adalah tugas psikologis pada trimester pertama kehamilan. Selama 9 bulan kehamilan, wanita berada dalam lingkaran emosi, dari rasa terkejut mendapatkan dirinya hamil (atau berharap dia tidak hamil) sampai rasa senang dan menerima terhadap kenyataan bahwa ia akan memiliki anak, mencemaskan dirinya dan anak tersebut, bosan dengan proses dan berharap untuk dapat segera melaluinya sehingga dapat menuju ke langkah selanjutnya yaitu mendekati persalinan dan mengakhiri kehamilan. Berbagai reaksi terhadap kehamilan muncul dari wanita, salah satunya adalah ambivalen; dia ingin hamil tetapi dia juga tidak menikmati hal tersebut. (Hal ini tidak berarti bahwa perasaan positif bertentangan dengan perasaan negatif, oleh karena itu perasaan yang tersisa dari wanita hampir tidak ada mengenai kehamilannya; perasaan tersebut bersifat pribadi).

Respon yang umum pada kehamilan mencakup berduka (sebelum menjalani peran sebagai ibu, dia harus melepaskan perannya saat ini), egois, tertutup, perubahan dalam gambaran diri dan batasan, penurunan kemampuan mengambil keputusan, emosi yang labil dan perubahan keinginan seksual. Beberapa wanita yang merasa kaget atas kehamilannya akan merasa kurang senang dan kecewa atau cemas pada saat berita ini disampaikan; kebanyakan wanita mampu untuk merubah perilaku mereka menghadapi kehamilan pada saat mereka merasakan quickening (Pillitteri, 2002).

Faktor prenatal dan persalinan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa paling banyak responden mengalami lahir aterm sebesar 39 orang (86,6%), BBLR sebanyak 17,7% serta asfiksia sebesar 13 orang (28,8%).

Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permanen (Saharso, 2006).

(10)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 10

menyebabkan perdarahan dan menurunnya aliran darah ke bagian otak lain yang belum rusak (Stanley et al., 2000 dalam Mardiani, 2006).

Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural, subarakhnoid dan perdarahan intraventrikular (Soetomenggolo & Ismael, 1999 dalam Mardiani, 2006).

Menurut Mardiani (2006) bahwa cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10 % dari semua bentuk CP, umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Sebab perdarahan subarakhnoid dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi cukup bulan. Manifestasi neurologik dapat berupa iritabel dan kejang (Soetomenggolo & Ismael, 1999 dalam Mardiani, 2006).

Begitu juga dengan status marmoratus yaitu suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan oleh neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi pada bayi cukup bulan daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus munculnya gumpalan karena suatu abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini merusak ganglia basal dan thalamus yang menyebabkan fenotipe CP diskinetik (Boosara, 2004 dalam Mardiani, 2006).

Menurut Glenting (1982); Sacks (1984); Hendarto dkk (1985) dalam Nurhiyani (1990), menyatakan bahwa dari sekian banyak faktor yang dapat menyebabkan kerusakan otak, mekanisme utama terjadinya palsi serebral adalah melalui asfiksia/hipoksia dengan atau tanpa perdarahan intra kranial. Freeman dan Nelson (1988) dalam Nurhiyani (1990) menyebutkan bahwa hanya bayi dengan nilai Apgar rendah pada menit ke-15 dan ke-20 yang akan mempunyai risiko kelak menjadi palsi serebral.

Hipoksia janin berkaitan erat dengan asfiksia neonatorum, dimana terjadi perubahan pertukaran gas dan transpor oksigen yang akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan otak (Wiknjosastro, 2002 dalam Mardiani 2006).

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. Nilai Apgar mempunyai hubungan yang erat dengan beratnya asfiksia, dan biasanya dinilai satu menit dan lima menit setelah bayi lahir (Wiknjosastro, 2002 dalam Mardiani, 2006). Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Stanley et. al. menunjukkan bayi dengan skor Apgar 3 pada 20 menit pertama setelah kelahiran, berisiko 250 kali lebih besar mengalami CP daripada bayi dengan skor Apgar normal (Stanley et. al., 2000 dalam Mardiani, 2006:117).

Teori menurut Nelson, et al (1994) dalam Saharso (2006), asfiksia sering dijumpai pada bayi-bayi dengan kesulitan persalinan. Asfiksia menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi pada periode lama, anak tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal hipoksik iskemik encephalopathy. Angka mortalitas meningkat pada kondisi asfiksia berat, tetapi beberapa bayi yang bertahan hidup dapat menjadi CP, dimana dapat bersama dengan gangguan mental dan kejang.

(11)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 11

penurunan oksigenasi (Boosara, 2004 dalam Mardiani, 2006). Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak (Mardiani, 2006).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian beberapa peneliti yaitu Franky (1994) dalam Soetjiningsih (2012:223) di RSUP Sanglah Denpasar, mendapatkan bahwa terdapat 87,5% penderita palsi serebral berasal dari persalinan spontan letak kepala dan 75 % penderita palsi serebral berasal dari kehamilan cukup bulan.

KESIMPULAN

1. Sebagian besar respondenberumur 0-5 tahun sebanyak 68,89%. 2. Sebagian besar respondenberjenis kelamin laki-laki sebanyak 55,56%.

3. Sebagian besar responden memiliki riwayat lahir dengan riwayat presentasi kepala sebesar 93,33%.

4. Sebagian besar respondentidak pernah terpapar zat kimia selama masa prenatal sebesar 73,33%.

5. Sebagian besar ibu respondentidak pernah terinfeksi TORCH (Toksoplasma, Other, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simpleks) selama masa prenatal sebesar 91,11%, dan tidak pernah terpapar PMS (Penyakit Menular Seksual) selama masa prenatal sebanyak 100%.

6. Sebagian besar ibu respondenmerencanakan kehamilannya dan merasa senang atas kehamilan tersebut sebesar 75,56%.

7. Sebagian besar metode persalinan adalah lahir aterm sebesar 86,6%, sebanyak 17,7% mengalami BBLR danasfiksia sebesar 28,89%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

2. Budiarto, E. 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Cetakan ke-I. EGC. Jakarta.

3. Danim, S., dan Darwis. 2003. Metode Penelitian Kebidanan: Prosedur, Kebijakan, dan Etik. EGC. Jakarta.

4. Gayatri, A. 1995. Kamus Kesehatan. Cetakan ke-5. Arcan. Jakarta.

5. Hadi, S. 2001. Statistik Jilid 2. Edisi pertama. Cetakan 19.Andi. Yogyakarta. 6. Hidayat, A.A.A. 2011. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis

Data. Edisi Pertama. Salemba Medika. Jakarta.

7. Mardiani, E. 2006. Faktor – faktor Risiko Prenatal dan Perinatal Kejadian Cerebral Palsy (Studi Kasus di YPAC Semarang). Tesis. Program Studi Epidemiologi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. 8. Markam, S., S. Ganiswarna, dan H. Laksman. 2001. Kamus Kedokteran. Edisi

ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

9. Narendra, M.B. 2002a. Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Editor M.B. Narendra, T.S. Sularyo, Soetjiningsih, H. Suyitno, IG. N. G. Ranuh. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Sagung Seto. Jakarta.

(12)

JurnalIlmiahRekamMedisdanInformatikaKesehatan 12

11.Nurhiyani, L. 1990. Beberapa Aspek Klinik Palsi Serebral pada Anak. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta.

12.Nursalam, R. Susilaningrum, dan S. Utami. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan). Edisi Pertama. Salemba Medika. Jakarta.

13. Pertamawati, N. 2008. Penerapan Metode Glenn Doman Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Anak Yang Memiliki Gangguan Cerebral Palsy. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN). Malang.

14. Pillitteri, A. 1995. Pocket Guide For Maternal & Child Health Nursing. Lippincot-Raven. Philadelphia. Terjemahan Y. Asih, Setiawan, K.S. Kadar, M. Ester. 2002. Buku Saku Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

15. Pratiknya, A.W. 2003. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi pertama. Cetakan kelima. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

16. Ramali, A., dan Pamoentjak. 1993. Kamus Kedokteran: Arti dan Keterangan Istilah. Cetakan ke-18. Djambatan (anggota IKAPI). Jakarta.

17. RSJD Dr. RM. Soedjarwadi. 2014. Profil RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah. Bagian DIKLAT. Klaten.

18. Sacharin, R.M. 1986. Principles of Paediatric Nursing. Longman Group UK Limited. London. Terjemahan R.F. Maulany.1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 19. Saharso, D. 2006. Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana. Continuing

Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. 29-30 Juli 2006. Kelompok Studi Neuro-developmental Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya.

20. Soetjinigsih. 2002. Perkembangan Anak dan Permasalahannya. Dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Editor M.B. Narendra, T.S. Sularyo, Soetjiningsih, H. Suyitno, IG. N. G. Ranuh. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Sagung Seto. Jakarta.

21. Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Cetakan Ke-16. Alfabeta. Bandung.

22. Suyitno, H. dan M.B. Narendra. 2002. Pertumbuhan Fisik Anak. Dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Editor M.B. Narendra, T.S. Sularyo, Soetjiningsih, H. Suyitno, IG. N. G. Ranuh. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Sagung Seto. Jakarta.

23. Tanuwidjaya, S. 2002a. Konsep Umum Tumbuh dan Kembang. Dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Editor M.B. Narendra, T.S. Sularyo, Soetjiningsih, H. Suyitno, IG. N. G. Ranuh. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Sagung Seto. Jakarta.

Gambar

Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pene- litian yang dilakukan di SMA Negeri 1 Sukoharjo ini efektif dalam meningkatkan keterampilan berpikir

siswa yang taraf penguasaannya kurang dari 60% diberikan remidi pada pokok bahasan yang belum dikuasai, sedangkan bagi siswa yang telah mencapai penguasaan 60% atau

Briket adalah bahan bakar padat yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif yang mempunyai bentuk tertentu.. Pemilihan proses pembriketan tentunya harus mengacu pada

Belanja Modal Peralatan dan Mesin Alat Kantor dan Rumah Tangga Pembelian almari makanan, bor tunner, gergaji lidtrik, dll, sesuai SPK no.. Rizqi Cendikia

Alhaq Nafsi Setyawan Wakil

Setelah atau saat ada konsultasi dengan pasien gangguan pernafasan - Masker bedah - Gaun - Penutup kepala - Sarung tangan rumah tangga - Pelindung mata /

Dalam rangka menjamin penyelenggaraan tata kelola kepemerintahan yang baik dengan prinsip demokratis, transparan, akuntabel, efektif dan efisien, harus didukung

“DFD level 1 dibuat untuk menggambarkan arus data secara lebih mendetail lagi dari tahapan proses yang ada di dalam diagram nol.”. 3.12 Entity Relational