ANALISIS BIAS BETA SAHAM-SAHAM UNGGULAN
Oleh:
Ferikawita M. Sembiring1), Nunung Aini Rahmah1)
E-mail : ferikawita@yahoo.com 1)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Achmad Yani
ABSTRACT
Capital market in Indonesia is still a viable investment vehicle for investors (including the medium-scale businesses) who want to invest into a stock asset types. This study aims to examine the bias beta stocks that are members of the group LQ-45 Index by Fowler and Rorke correction model. Based on the test results in 40 stocks, it is known that in some beta stocks, the value does not bias the results obtained from the initial regression or from the results of the regression using one period lag and lead. This means that the shares are not overly influenced by non-synchronous trading problems that can lead to bias beta calculation. However, in some stocks, there is also a need correction period up to 4 lag and 4 leads. This means that even relatively illiquid, but leading shares remained potentially affected trade issues are out of sync (non-synchronous trading) so it is necessary to test the beta bias.
Keywords: Beta bias, method of fowler and rorke, LQ-45 Index.
PENDAHULUAN
Pasca krisis keuangan tahun 2008, kondisi pasar modal di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Setelah mengalami keterpurukan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di posisi minus 50,64% pada tahun 2008, pasar modal sempat mengalami
bullish market pada tahun 2009 yang ditandai dengan kenaikan IHSG sebesar 86,98%. Kemudian pada tahun 2010 dan 2011, IHSG mengalami kenaikan masing-masing sebesar
46,13% dan 3,20% (BPS, BEI, dalam Investor, Januari 2012). Selanjutnya pada tahun 2012,
IHSG mengalami kenaikan sebesar 12,94% pada tahun 2012, dan menempati posisi tertinggi keempat di antara bursa di Asia, setelah Hongkong (22,96%), Tokyo (22,90%), dan Singapura (20,50%). Kenaikan IHSG juga diikuti oleh kenaikan indeks saham unggulan Indeks LQ-45 yang naik 5,03 poin atau 0,69% dari tahun sebelumnya (BEI, dalam Investor, Januari 2013).
Mengacu pada kondisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada kenyataannya pasar modal di Indonesia masih merupakan sarana berinvestasi yang layak bagi para pemodal (investor), termasuk para pelaku usaha skala menengah yang ingin berinvestasi ke dalam aset jenis saham. Investasi tersebut dapat dilakukan baik secara langsung dengan berinvestasi pada
saham-saham tertentu atau sekelompok saham (portofolio saham) yang listing di bursa,
Salah satu kelompok saham yang sering menjadi sasaran investasi para investor adalah saham-saham unggulan yang tergabung dalam kelompok Indeks LQ-45. Indeks LQ-45 terdiri dari 45 saham dengan nilai kapitalisasi yang paling likuid dan memiliki nilai kapitalisasi yang tinggi. Investor dapat berinvestasi pada saham tertentu dari kelompok indeks tersebut atau pada sekelompok saham sebagai suatu portofolio, dengan mempertimbangkan
faktor return dan risikonya.
Adapun risiko yang relevan dalam pengambilan keputusan investasi, khususnya
pada saham, adalah risiko sistematik (systematic risk). Ukuran relatif dari risiko sistematik ini
adalah koefisien beta yang dapat diperoleh berdasarkan model indeks tunggal (single index
model). Asumsi model ini adalah bahwa return saham berkorelasi dengan perubahan pasar,
dan untuk mengukur korelasi tersebut adalah dengan cara menghubungkan return suatu saham
dengan return indeks pasar (Elton dan Gruber, 2007 : 133).
Beta menunjukkan ukuran sensitivitas return suatu saham terhadap return pasar.
Semakin sensitif return suatu saham terhadap perubahan pasar, maka akan semakin besar nilai
beta saham tersebut. Sebaliknya, semakin kecil sensitivitas return saham terhadap perubahan
pasar, maka semakin kecil beta saham tersebut.
Pada dasarnya, peran beta dalam manajemen portofolio terbagi tiga, yaitu meramalkan risiko sistematik, meramalkan ukuran risiko sistematik yang terjadi, dan
meramalkan return yang diharapkan (Barra, dalam Tandelilin dan Lantara, 2001). Estimasi
nilai beta yang akurat sangat dibutuhkan oleh para investor agar mereka dapat membuat keputusan investasi yang tepat. Jika estimasi terhadap nilai beta mengandung bias, maka investor dapat membuat keputusan yang salah.
Menurut Klekomsky dan Martin (1975), Arif dan Johnson serta Hartono dan Surianto
(1990 dan 1999, dalam Lantara, 2000), salah satu penyebab terjadinya estimasi beta yang bias
adalah karena masalah non–synchronous trading (perdagangan yang tidak sinkron) di pasar
modal yang perdagangannya jarang terjadi (thin market). Estimasi beta dalam pasar yang
tergolong sebagai pasar tipis (thin market) akan menimbulkan kesalahan pengukuran
(measurement error). Penyebabnya adalah karena indeks pasar yang dipakai untuk
menghitung beta saham–saham individual pada dasarnya hanya merupakan rata–rata dari
sekitar 25% dari total saham yang ada di pasar. Sebagai konsekuensinya, mungkin akan terjadi
estimasi yang terlalu tinggi (over estimation) terhadap beta saham–saham yang relatif sering
diperdagangkan (frequently trading stocks), atau akan terjadi estimasi yang terlalu rendah
(under estimation) terhadap beta saham–saham yang tergolong jarang diperdagangkan
(infrequently trading stocks) (Farrel (1974, dalam Lantara, 2000 : 19).
Adapun permasalahan non–synchronous trading terjadi ketika indeks pasar pada
waktu t, disusun dari harga penutupan (closing price) saham yang tidak sinkron pada saat t
tersebut. Semakin besar tingkat ketipisan suatu pasar (degree of thinly market), semakin besar
tingkat bias beta saham (Arif dan Johnson, 1990 ; Dimson dan Marsh, 1983, dalam Lantara, 2000 : 20). Masalah bias beta ini pada akhirnya mendorong dikembangkannya beberapa model
koreksi bias beta, antara lain model koreksi Fowler dan Rorke.
Berdasarkan data bulanan, Ariff dan Johnson (1990, dalam Lantara, 2000) menggunakan metode Fowler dan Rorke untuk mengoreksi bias beta di Pasar Modal Singapura. Nassir dan Shamser (1996) di pasar modal Malaysia, Tandelilin dan Lantara (2001) di pasar modal Indonesia, serta Ferikawita (2011) menggunakan model koreksi Fowler dan
hasil penelitian tersebut diketahui bahwa rata-rata periode yang diperlukan untuk mengoreksi
bias beta saham di pasar modal Indonesia adalah 4 lag dan 4 lead.
Penelitian tentang bias beta saham kiranya menarik untuk diteliti lebih lanjut. Jika
Tandelilin dan Lantara (2001) menggunakannya pada seluruh saham yang listed di bursa pada
periode tersebut, maka dalam penelitian ini saham-saham yang akan dianalisis nilai betanya lebih difokuskan pada saham-saham unggulan yang tergabung dalam kelompok Indeks LQ-45 selama periode 2009-2011. Dari hasil penelitian ini akan diketahui apakah nilai beta saham-saham unggulan tersebut mengandung bias atau tidak, dan jika mengandung bias dan harus
dikoreksi, maka pada berapa periode lag dan lead beta akan terkoreksi.
Metode Penelitian
Variabel-variabel penelitian yang dioperasionalisasikan berdasarkan model indeks
tunggal adalah adalah return indeks pasar (Indeks Harga Saham Gabungan-IHSG) sebagai
independent variable dan return setiap saham yang masuk ke dalam kelompok Indeks LQ-45
sebagai dependent variable. Model tersebut merupakan model estimasi OLS yang terindikasi
bias akibat masalah thin trading, sehingga perlu dilakukan koreksi dengan menggunakan
metode koreksi Fowler dan Rorke.
Pengambilan sampel ditentukan secara purposive. Berdasarkan metode tersebut,
maka saham-saham yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah saham-saham emiten
yang selama periode 2009–2011 masuk ke dalam kelompok Indeks LQ-45, berjumlah 40
saham. Fokus dari penelitian adalah pada kinerja harian (yang diukur dengan return) dari
setiap saham tersebut selama periode 2009 – 2011, dibagi ke dalam 24 sub periode atau 8 sub
periode per tahunnya. Adapun ke-40 saham tersebut beserta kode emitennya adalah sebagai berikut :
1. (AALI) PT. Astra Agro Lestari Tbk.
2. (ADRO) PT. Adaro Energy Tbk.
3. (ANTM) PT. Aneka Tambang Tbk.
4. (ASII) PT. Astra International Tbk.
5. (BBCA) PT. Bank Central Asia Tbk.
6. (BBNI) PT. Bank Nasional Indonesia Tbk.
7. (BBRI) PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk.
8. (BDMN) PT. Bank Danamon Indonesia Tbk.
9. (BMRI) PT. Bank Mandiri Tbk.
10. (UNSP) PT. Bakrie Sumatra Plantation Tbk.
11. (INDY) PT. Indika Energy Tbk.
12. (MEDC) PT. Medco Energi Internasional Tbk.
13. (ELTY) PT. Bakrieland Development Tbk.
14. (INCO) PT. International Nickel Tbk.
15. (INDF) PT. Indofood Tbk.
16. (INTP) PT. Indocement Tunggal Perkasa Tbk.
17. (ISAT) PT. Indosat Tbk.
18. (ITMG) PT. Indo Tambangeraya Megah Tbk.
19. (JSMR) PT. Jasa Marga Tbk.
20. (KLBF) PT. Kalbe Farma Tbk.
22. (PGAS) PT. Perusahaan Gas Negara Tbk.
23. (PTBA) PT. Tambang Batubara Bukit Asam Tbk.
24. (SMCB) PT. Holcim Indonesia Tbk.
25. (SMGR) PT. Semen Gresik Tbk.
26. (TINS) PT. Timah Tbk.
27. (TLKM) PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk.
28.(BNBR) PT. Bakrie & Brothers Tbk
29. (UNTR) PT. United Tractors Tbk.
30. (UNVR) PT. Unilever Indonesia Tbk. 31. (LSIP) PT. PP London Sumatera Tbk.
32. (ENRG) PT. Energi Mega Persada Tbk.
33. (BISI) PT. BISI Internasional Tbk.
34. (INKP) PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk.
35. (BLTA) PT. Berlian Laju Tanker Tbk.
36. (TBLA) PT. Tunas Baru Lampung Tbk.
37. (CPIN) PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk.
38. (BRPT) PT. Barito Pacific Tbk.
39. (ELSA) PT. Elnusa Tbk.
40. (SGRO) PT. Sampoerna Agro Tbk.
Metode pengolahan dan analisis data didasarkan pada model indeks tunggal dan metode Fowler dan Rorke yang dikembangkan dari model indeks tunggal, sebagai berikut :
1. Model indeks tunggal (single index model) :
Ri = αi+ βi . RM + ei
dimana : Ri adalah return sekuritas ke-i, αi adalah variabel acak yang menunjukkan
komponen return sekuritas ke-i yang yang independen terhadap kinerja pasar, βi
merupakan koefisien yang mengukur perubahan Ri akibat perubahan RM, sedangkan RM
adalah tingkat return dari indeks pasar (Jogiyanto, 2009, 330).
2. Model koreksi Fowler dan Rorke, dengan tahapan (Jogiyanto, 2009 : 414-415) :
a. Mengoperasikan persamaan regresi berganda yang diadopsi dari single index model
sebagai berikut (asumsi menggunakan 1 periode lag 1 periode lead) :
Rit = i + i –1.RMt–1 + i 0.RMt + i +1.RMt+1 + it
b. Mengoperasikan persamaan regresi untuk mendapatkan korelasi serial return indeks
pasar dengan return indeks pasar periode sebelumnya sebagai berikut :
c. Menghitung bobot yang digunakan sebesar :
W1 = 1 + 1
1 + 2 .1
d. Menghitung beta dikoreksi sekuritas ke-i yang merupakan penjumlahan koefisien
regresi berganda dengan bobot :
i = W1.i -1 + i 0 + W1.i +1
Proses ini berlaku untuk setiap saham dan dilakukan berulang-ulang sampai nilai
i yang diperoleh sudah semakin mendekati nilai 1 (m =1). Dengan demikian periode lag
dan lead yang digunakan dapat menjadi bervariasi.
PEMBAHASAN
Kedua tabel di bawah ini menunjukkan nilai beta dari 40 saham-saham Indeks LQ-45
yang telah dikoreksi (unbiased beta) dengan menggunakan satu sampai dengan empat periode
Tabel 1 :
Nilai Beta yang Telah Dikoreksi (Unbiased Beta) Saham-saham Indeks LQ-45
Periode 2009-2011
N o
Emite n
Nilai Unbiased Beta pada Periode
2009 pada Sub Periode 2010 pada Sub Periode 2011 pada Sub Periode
Keterangan : Pangkat menunjukkan jumlah periode lag dan lead yang dibutuhkan untuk mengoreksi nilai beta
Keterangan : Pangkat menunjukkan jumlah periode lag dan lead yang dibutuhkan untuk mengoreksi nilai beta Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
No Emiten
Nilai Unbiased Beta pada Periode
2009 pada Sub Periode 2010 pada Sub Periode 2011 pada Sub Periode
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
21 LPKR 0,8271 0,4692 0,1620 0,2900 0,6001 0,9411 0,9912 0,6451 0,8792 0,7150 1,0420 0,8211 -0,022 0,5110 0,3260 0,7980 1,3120 1,7412 1,7720 09080 1,3750 0,9601 1,0161 1,1590
22 PGAS 1,1500 1,1870 1,0770 1,1171 0,6301 1,0221 1,1333 1,5500 0,7100 1,2033 0,8672 0,9832 0,7962 1,1440 0,9421 1,2740 1,1101 0,8793 0,9090 0,6280 1,2640 1,0472 0,7640 1,2750
23 PTBA 1,5172 0,8952 1,0361 1,6430 1,1011 1,0380 0,9071 1,0990 1,1663 1,0360 0,7751 1,0690 0,9512 0,9230 1,0200 1,2924 0,9782 1,1580 0,6690 1,3740 1,3850 1,5242 -1,246 1,0153
24 SMCB 0,8173 1,0333 1,0890 0,8780 1,0280 0,8870 0,3473 0,8900 0,3661 0,6442 0,8891 0,9163 0,9604 0,8262 0,9104 1,0210 0,8742 1,0834 0,7180 1,0953 1,056 1 0,9131 1,2563 1,1682
25 SMGR 1,2463 1,0554 0,8520 0,8920 1,0000 0,8580 0,9930 0,5900 0,7640 0,8830 1,2162 1,3320 0,8811 1,0423 0,7101 0,9790 1,4400 1,6710 0,9584 1,1883 1,1893 1,3543 1,4072 0,3402
26 TINS 0,9901 0,8180 1,4770 1,5901 0,8351 1,6482 0,9880 1,1303 1,1852 1,1772 1,0541 1,6130 1,3340 0,9643 0,7821 0,8704 1,4461 0,9251 1,8851 1,0081 0,7511 1,0112 1,1553 0,5211
27 TLKM 1,3951 1,1140 1,0260 0,6443 1,0263 0,9783 0,6832 0,5802 0,9300 1,3300 0,6290 0,8031 1,0240 1,0271 1,0620 0,5710 1,1743 1,6423 0,7663 1,2552 0,6402 1,0753 0,1133 1,1132
28 BNBR 0,00 0,00 1,3871 1,0340 1,0562 1,0561 0,5941 2,0520 0,9580 0,9363 1,0262 1,9300 0,4630 0,00 0,8471 1,2140 1,1321 0,6110 0,6790 2,1061 1,3940 0,9700 0,9681 0,4060
29 UNTR 1,4473 1,1303 1,1603 0,9304 1,2364 1,7920 1,5890 1,3050 1,4333 1,0720 1,5940 0,9430 1,2482 1,0513 1,5290 0,8232 1,8080 0,5100 0,5280 0,9730 1,0610 1,0483 1,2690 1,3941
30 UNVR 0,9023 0,8973 0,2002 0,1430 0,6673 0,5012 1,3461 0,8992 0,9582 1,0201 0,3290 1,0392 0,9540 0,6590 1,1060 1,3453 1,0701 0,9690 0,9761 1,1482 0,9450 1,1143 0,7854 0,2731
31 LSIP 2,2320 1,1921 1,7410 1,6740 0,6391 1,3740 1,3740 0,7740 1,0570 1,0942 0,9860 1,0900 0,8514 0,7382 1,0480 1,0020 1,2062 0,8822 1,3881 0,8161 1,2043 1,2032 1,2182 0,2122
32 ENRG 1,1960 0,9080 1,3130 2,2470 0,5263 0,9061 1,3881 1,7030 0,4833 1,0464 0,7850 1,7684 1,2944 0,7353 1,1830 0,4041 1,1770 0,5350 1,8220 0,9271 1,8250 1,0362 2,3600 1,0564
33 BISI 1,7830 1,1573 1,1060 1,0610 1,1073 0,7221 0,6850 1,1171 0,9241 0,4560 1,0450 1,4090 1,2090 0,9490 1,5410 0,9720 1,0823 1,3370 0,6850 1,7220 1,5721 0,0410 7,645 0,7332
34 INKP 1,1380 0,7503 0,4210 0,9853 0,9190 1,1220 0,9720 1,2004 1,0140 0,7173 0,6982 1,1990 1,1580 0,8321 0,9911 1,2762 0,5364 1,0941 0,6263 1,0600 1,3520 0,9880 0,5370 0,9204
35 BLTA 1,5523 0,7374 1,1304 1,0013 0,8801 1,0481 1,1650 1,0201 1,1101 0,4943 0,9541 0,6433 0,7194 0,7462 0,6380 0,9980 1,0090 0,3813 0,1134 1,3091 1,4253 0,8983 0,9073 0,9190
36 TBLA 1,3520 0,9603 1,2731 1,1982 1,0993 1,0264 1,1960 1,3603 1,4210 0,9561 1,4100 1,3374 1,5030 0,5094 0,8512 0,8160 0,9600 0,9540 0,8810 1,6442 1,3710 1,1061 1,3481 0,6970
37 CPIN 1,3210 1,1892 1,3270 0,9032 1,2500 1,0300 1,0590 0,6140 0,9020 1,4052 1,0360 1,4270 2,0392 1,4980 1,3420 1,3481 0,9641 1,0480 0,3910 0,9861 1,1453 1,8002 1,8483 1,4881
38 BRPT 1,1380 1,0821 1,1101 1,0033 1,1353 1,1012 1,2561 1,1530 1,0522 0,8510 0,8891 1,6010 0,7521 1,1070 0,7360 0,5340 0,8080 1,2383 0,7950 0,8110 1,0442 1,1850 1,0101 0,5390
39 ELSA 0,9290 1,2792 1,1860 1,1272 1,1633 0,9920 0,8891 0,9503 0,6050 1,3243 1,1242 0,8151 0,3830 0,9303 1,0510 0,8530 0,7730 0.9603 0,2441 1,1382 1,0910 0,8972 1,0371 0,4710
Berdasarkan kedua tabel tersebut di atas, diketahui bahwa sebagian besar beta saham-saham unggulan tidak perlu dikoreksi atau jika pun dikoreksi cukup dengan
menggunakan 1 (satu) periode lag dan lead. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya
saham-saham unggulan tidak terlalu dipengaruhi oleh masalah non synchronous trading yang
dapat menyebabkan perhitungan beta menjadi bias. Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena karakteristik dari saham-saham LQ-45 yang relatif likuid, artinya pada setiap hari kerja efektif di bursa, selalu ada aktivitas transansi untuk saham-saham tersebut. Juga didukung oleh kondisi dimana pada kenyataannya Indeks LQ-45 merupakan motor penggerak Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) yang dalam penelitian ini merupakan proxy dari indeks pasar.
Walaupun demikian, pada beberapa saham unggulan, ada juga yang memerlukan
periode koreksi sampai dengan 4 periode lag dan lead, artinya bahwa walaupun relatif likuid,
namun pada beberapa periode tertentu, saham-saham LQ-45 tetap dapat terimbas masalah perdagangan yang tidak sinkron. Beberapa hal yang diperkirakan berpotensi menyebabkan masalah tersebut adalah karena strategi investasi yang diterapkan oleh para pengelola dana
(fund manager) yang pada periode tersebut mengalokasikan sebagian dana pada saham-saham unggulan yang relatif mahal dan saham-saham bukan unggulan yang relatif murah. Kondisi ini mengakibatkan tidak semua saham unggulan dapat ditransaksikan pada setiap harinya. Selain itu pada beberapa periode tertentu, ada kemungkinan investor menahan atau melepas sebagian dari sahamnya, dengan mempertimbangkan harga saham yang diharapkannya pada saat menahan atau melepaskan saham tersebut.
Sebelumnya Lantara (2000 : 34) menyebutkan bahwa penggunaan data harian akan
bisa menimbulkan dampak thin trading terutama pada saham-saham yang jarang
diperdagangkan, sehingga beta dapat menjadi bias. Pada penelitian ini telah digunakan data harian, dan pada kenyataannya, beta saham-saham unggulan yang telah diperoleh dengan menggunakan model indeks tunggal, umumnya tidak bias dan tidak perlu dikoreksi. Dengan demikian, pendapat Lantara tersebut ada kemungkinan relevan bila diterapkan pada saham-saham yang jarang diperdagangkan, namun kurang relevan jika diterapkan pada saham-saham-saham-saham unggulan seperti saham-saham Indeks LQ-45.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dari beta saham-saham unggulan ternyata tidak bias atau jika pun harus dikoreksi, cukup menggunakan satu
periode lag dan lead. Ini kemungkinan disebabkan oleh karakteristik saham-saham unggulan
yang likuid dan tidak terlalu dipengaruhi oleh masalah non synchronous trading yang dapat
menyebabkan perhitungan beta menjadi bias. Namun dengan menggunakan data harian ini, pada beberapa saham unggulan ada juga yang memerlukan periode koreksi sampai dengan 4
periode lag dan 4 lead. Hal ini berarti bahwa walaupun relatif likuid, namun pada
saham-saham unggulan seperti saham-saham yang tergabung dalam kelompok Indeks LQ-45 tetap
berpotensi terimbas masalah perdagangan yang tidak sinkron (non synchronous trading),
sehingga tetap perlu dilakukan pengujian dengan tujuan untuk mendapatkan beta yang tidak
bias. Dengan menggunakan estimasi beta yang tidak bias (unbiased beta), akan dapat
DAFTAR PUSTAKA
Elton, Edwin J. and Martin J, Gruber (2007), Modern Portfolio Theory and Investment
Analysis, Sixth Edition, John Wiley & Sons, New York.
Ferikawita MS (2011), Analisis Stabilitas dan Prediktabilitas Beta Sebagai Komponen
Penting dalam Pengambilan Keputusan Investasi pada Portofolio Reksadana Saham,
Prosiding Seminar Nasional SNAP 2011, Volume 2 No.1, Universitas Islam Bandung.
Investor, Edisi Januari 2012.
Investor, Edisi Januari 2013.
Jogiyanto (2009), Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi Pertama, PT. BPFE,
Yogyakarta.
Klemkomsky, R.C and J.D Martin (1975), The Adjusment of Beta Forecast, The Journal of
Finance, Vol. XXX No. 4.
Lantara, I Wayan Nuka (2000), Analisis Stabilitas dan Prediktabilitas Beta Saham : Studi
Empiris di BEJ, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nassir, A. Md, dan Shamsher, M (1996), Stock Pricing in Malaysia, Longman Singapore
Publisher Ltd, Singapore.
Tandelilin, Eduardus dan I Wayan Nuka Lantara (2001), Stabilitas dan Prediktabilitas Beta