PENDAPAT GOING CONCERN: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PADA PERUSAHAAN YANG
MENGALAMI FINANCIAL DISTRESS
(Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010 - 2013)
RAISA NANDA BARLIAN YONA PERWITASARI AGUNG NUR PROBOHUDONO
Universitas Sebelas Maret
Abstract
The purpose of this research is to examine the effect of the company’s internal condition such as the audit quality, company growth, company size, debt to equity ratio, and the delay of shareholder’s meeting on the acceptance of going concern opinion of manufacturing firms listed on Indonesia Stock Exchange in 2010-2013. Samples are determined by purposive sampling method with total samples are 54 manufacturing firms listed on Indonesia Stock Exchange in 2010-2013. This study employs The logistic regression to analyze the effect of independent variables on the dependent variable. The results show that the delay of shareholder’s meeting have a negative and significant effect on the acceptance of going concern opinion. On the other hand, audit quality, company growth, company size, and debt to equity ratio do not have significant effect on the acceptance of going concern opinion .
Keywords: Going concern opinion, audit quality, company growth, company size, debt to equity ratio, the delay of shareholder’s meeting, financial distress
∗
1. Pendahuluan
Dalam beberapa dekade, kebutuhan akan praktek audit dalam meningkat atau
dapat dikatakan bahwa praktek audit menjadi penting dalam perusahaan karena adanya
asimetri informasi antara pemegang saham dan manajemen. Praktek audit dapat
mengurangi asimetri informasi dengan cara memungkinkan pihak eksternal perusahaan
untuk melakukan verifikasi atas kehandalan laporan keuangan perusahaan (Setyowati,
2009). Manajemen yang diberi kewenangan oleh pemegang saham untuk mengelola
perusahaan lebih mengetahui segala informasi mengenai kondisi perusahaan
dibandingkan pemegang saham. Dalam teori agensi disebutkan bahwa manajemen
maupun pemegang saham melakukan suatu tindakan dengan tujuan memaksimalkan
kepentingan diri sendiri (Jensen dan Meckling, 1976). Dari hal tersebut, muncul
kemungkinan bahwa manajemen akan melakukan kecurangan ataupun pencurian aset
perusahaan yang menyebabkan manajemen melakukan manipulasi laporan keuangan
untuk menutupi tindakan curang tersebut. Laporan keuangan yang dimanipulasi oleh
manajemen ini sudah tidak sejalan dengan tujuan pelaporan keuangan untuk
memberikan informasi yang benar mengenai kondisi perusahaan.
Oleh karena itu, untuk mengurangi asimetri informasi antara pemegang saham
dan manajemen diperlukan suatu audit atas laporan keuangan oleh auditor eksternal
agar laporan keuangan yang disediakan oleh manajemen menjadi lebih handal. Auditor
eksternal dianggap lebih independen daripada auditor internal karena bagaimanapun
juga auditor internal merupakan karyawan dari perusahaan dan kemungkinan pemegang
saham ataupun pemangku kepentingan memandang auditor internal tidak independen
karena masih terdapat hubungan dengan perusahaan (Arens, et al. 2009). Dalam melaksanakan penugasan audit, seorang auditor harus bersikap independent in fact dan independent in appareance. Jika auditor internal benar-benar independen dalam melaksanakan tugasnya (independent in fact), namun jika pemegang saham atau pemangku kepentingan lainnya menganggap auditor internal tersebut tidak independen
(independent in appereance), maka independensi auditor tidak akan berarti. Independensi merupakan landasan dari profesi akuntansi dan merupakan salah satu aset
yang paling berharga (Mednick, 1997 dalam Geiger dan Blay, 2007). Tanpa
independensi maka tidak ada lagi kebutuhan bagi auditor eksternal untuk membuktikan
keakuratan dan kelengkapan informasi keuangan perusahaan (Sutton 1997; Wallace,
Dalam hasil akhir penugasan, auditor akan menerbitkan sebuah laporan audit
dengan pendapat auditor atas kewajaran laporan keuangan yang diterbitkan manajemen.
Pendapat auditor ini menjadi penting karena menjadi fokus pemegang saham atau
pemangku kepentingan lainnya. Pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya
lebih memperhatikan pada pendapat auditor karena pendapat ini merupakan pendapat
auditor mengenai suatu kepastian yang layak atas kondisi perusahaan di mana auditor
harus dapat mempertanggungjawabkan pendapat yang diterbitkan dalam laporan audit
termasuk pendapat going concern yang merupakan bagian dari pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas. Auditor haruslah berhati-hati dalam
menerbitkan pendapat going concern karena pendapat going concern yang diterima perusahaan merupakan sebuah sinyal mengenai suatu keraguan auditor atas
keberlangsungan usaha (going concern) perusahaan (Setyowati, 2009). Pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya menganggap bahwa pendapat going concern merupakan sebuah pendapat auditor yang dapat memberikan prediksi mengenai suatu
kemungkinan likuidasi atau kebangkrutan perusahaan yang diaudit (Setiawan, 2006).
Chen dan Church (1996) menemukan bukti bahwa pendapat going concern dapat berguna untuk memprediksi kebangkrutan dan menyediakan beberapa kekuatan
penjelasan dalam memprediksi resolusi kebangkrutan.
Pendapat going concern yang diterima oleh perusahaan dapat berakibat buruk bagi perusahaan seperti yang disimpulkan oleh Setyowati (2009) dari berbagai
penelitian yaitu seperti menurunnya harga saham perusahaan, kesulitan dalam
memperoleh pinjaman atau pendanaan, mempercepat kebangkrutan perusahaan.
Pendapat going concern tidak hanya berdampak buruk bagi perusahaan yang menerima pendapat tersebut, namun juga dapat berdampak buruk terhadap auditor yaitu
berpindahnya klien ke auditor yang lain (Carcello dan Neal, 2000). Kondisi dimana
pemegang saham dan pemangku kepentingan yang sangat memperhatikan pendapat
auditor atas laporan keuangan ini mewajibkan auditor untuk mempertanggung jawabkan
pendapat yang dikeluarkannya termasuk pendapat going concern karena pendapat audit ini akan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemegang saham ataupun
pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, dampak atas diterbitkan pendapat going concern bagi perusahaan maupun auditor sendiri mengharuskan auditor untuk lebih berhati-hati dalam menerbitkan pendapat going concern.
perusahaan yang terjadi dalam beberapa dekade terahir ini, seperti kasus Enron dan
WorldCom dengan KAP Anderson, serta di Indonesia sendiri seperti kasus PT. Kimia
Farma Tbk., PT. Indosat Tbk., kasus sembilan KAP yang mengaudit bank-bank, dan
kasus lainnya. Kasus-kasus tersebut menyebabkan menyebabkan profesi akuntan publik
memperoleh banyak kritikan karena auditor dianggap ikut bertanggung jawab dan turut
andil dalam memberikan jaminan atas informasi yang salah yang kemudian merugikan
pengguna laporan keuangan (Rahman dan Siregar, 2012). Disebutkan pula dalam
Rahman dan Siregar (2012) bahwa kasus-kasus yang menimpa dunia internasional
tersebut membuat AICPA mengeluarkan peraturan yang mensyaratkan bahwa auditor
harus mengungkapkan secara eksplisit apakah perusahaan klien akan dapat
mempertahankan keberlangsungan hidupnya atau going concern sampai dengan satu tahun kemudian setelah pelaporan keuangan. AICPA (1988) menerbitkan Satetement on Auditing Standards (SAS) No.59 yang mewajibkan auditor memberikan peringatan kepada pengguna laporan keuangan mengenai adanya kesangsian atas kemampuan
perusahaan untuk dapat bertahan hidup dalam satu periode akuntansi setelah periode
laporan keuangan.
Terdapat beberapa penelitian yang mengungkapkan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi penerimaan pendapat going concern, yaitu Chen et al. (2012), Rahman dan Siregar (2012), Junaidi dan Hartono (2010), Susanto (2009), Rudyawan dan Badera
(2009), Geiger dan Blay (2007), Knechel dan Vanstraelen (2007), Praptitorini dan
Januarti (2007), Santosa dan Wedari (2007), Setyarno et al. (2006), Ballesta dan Garcia (2005), Fanny dan Saputra (2005), Mutchler et al. (1997), Chen dan Church (1996), serta Mckeown et al. (1991). Dalam penelitian Junaidi dan Hartono (2010), kualitas auditor yang diproksikan dengan reputasi auditor (ukuran kantor akuntan publik)
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerbitan pendapat going concern, sedangkan hasil yang berbeda ditemukan oleh Rahman dan Siregar (2012); Susanto
(2009); Rudyawan dan Badera (2009); Geiger dan Blay (2007); Knechel dan
Vanstraelen (2007); Praptitorini dan Januarti (2007); Santosa dan Wedari (2007);
Setyarno et al. (2006); Fanny dan Saputra (2005); Mutchler et al. (1997) yang menemukan bukti bahwa kualitas audit yang diproksikan dengan reputasi auditor
(ukuran kantor akuntan publik) tidak berpengaruh secara signifkan terhadap penerimaan
pendapat going concern.
Rahman dan Siregar (2012) menemukan bukti bahwa pertumbuhan perusahaan
concern. Hasil penelitian tersebut berlawanan dengan penelitian Rudyawan dan Badera (2009); Santosa dan Wedari (2007); Setyarno et al. (2006); Fanny dan Saputra (2005) yang mengungkapkan bahwa pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap penerimaan pendapat going concern. Selanjutnya, Knechel dan Vanstraelen (2007); Santosa dan Wedari (2007); Mutchler et al. (1997); Mckeown et al. (1991) menemukan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap
penerimaan pendapat going concern yang mana kemungkinan penerbitan pendapat going concern akan lebih kecil pada perusahan dengan ukuran besar. Berlawanan dengan penelitian tersebut, dalam penelitian Rahman dan Siregar (2012), ukuran
perusahaan tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pendapat
going concern. Hasil yang sama ditemukan oleh Junaidi dan Hartono (2010); Geiger dan Blay (2007) yang meneliti mengenai ukuran perusahaan dan pendapat going concern yang menemukan bukti bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan diantara keduanya.
Rahman dan Siregar (2012) menemukan bukti bahwa debt to equity ratio memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan pendapat going concern. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Susanto (2009) yang menemukan bahwa debt to equity tidak mempengaruhi seorang auditor dalam memberikan pendapat going concern. Penelitian ini juga melakukan pengujian salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan pendapat going concern yaitu penundaan rapat pemegang saham. Pengaruh cpenundaan rapat umum pemegang saham terhadap penerimaan
pendapat going concern belum banyak diteliti di Indonesia sehingga peneliti tertarik untuk menguji pengaruh keduanya. Knechel dan Vanstraelen (2007) menemukan bahwa
kemungkinan penerbitan pendapat going concern akan lebih besar pada perusahaan yang menunda rapat umum pemegang saham.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil dari berbagai
penelitian tersebut masih beragam, sehingga research gap yang dapat diidentifikasi yaitu hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten. Beberapa penelitian menemukan
hasil signifikan baik hubungan positif maupun negatif serta hasil tidak signifikan dalam
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pendapat going concern. Oleh karena terdapat keberagaman hasil penelitian, penulis ingin menguji kembali mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong auditor mengeluarkan
hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten serta memperluas bukti empiris
mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong auditor mengeluarkan pendapat
going concern
Pentingnya praktek audit dan pendapat audit dalam praktek bisnis membuat
penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai hal tersebut terutama mengenai
pendapat going concern. Pentingnya pendapat going concern sebagai prediktor kebangkrutan perusahaan membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai
faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong auditor mengeluarkan pendapat going concern karena auditor menghadapi trade-off dalam mengeluarkan pendapat going concern. Di satu sisi, merupakan suatu kewajiban bagi auditor untuk mengungkapkan pendapat going concern jika terdapat indikasi bahwa perusahaan tidak dapat mempertahankan kelangsungan usahanya dalam satu tahun ke depan setelah tanggal
pelaporan. Di sisi lain, auditor kemungkinan dapat kehilangan klien jika auditor
mengeluarkan pendapat going concern perusahaan klien (Knechel dan Vanstraelen, 2007). Penelitian ini lebih berfokus mengenai kemungkinan auditor dalam
mengeluarkan pendapat going concern dalam perusahaan yang mengalami financial distress karena karena auditor hampir tidak pernah mengeluarkan pendapat going concern pada perusahaan auditee yang tidak mengalami financial distress atau perusahaan yang memiliki laba bersih setelah pajak positif (McKeown et al., 1991). Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kemungkinan auditor mengeluarkan
pendapat going concern pada perusahaan auditee yang mengalami financial distress.
2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis 2.1 Teori Agensi (Agency Theory)
Teori agensi digambarkan secara jelas oleh (Jensen dan Meckling, 1976) dimana
teori agensi menjelaskan mengenai hubungan antara principal (pemilik) dan agen (manajer), konflik yang terjadi diantara keduanya yang disebut konflik agensi (agency conflict), serta biaya yang terjadi akibat adanya konflik agensi yang disebut biaya agensi (agency cost). Menurut (Jensen dan Meckling, 1976) hubungan keagenan adalah sebuah kontrak yang terjadi antara principal dan agen yang dalam hal ini terdapat suatu
pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan dari principal kepada agen.
Dapat dikatakan di sini bahwa, principal sebagai pihak yang memiliki perusahaan dan
Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa pemisahan wewenang antara
prinsipal dan agen dapat menimbulkan suatu asimetri informasi antara pemegang saham
dan manajemen. Agen yang berwenang dalam mengelola perusahaan tentunya sangat
mengetahui informasi perusahaan yang sebenarnya dibandingkan informasi yang
diketahui oleh principal. Principal hanya mengetahui informasi mengenai perusahaan
melalui laporan keuangan yang diterbitkan oleh agen. Jensen dan Meckling (1976)
dalam teori agensi menyebutkan bahwa asimetri informasi yang muncul akibat adanya
pemisahan wewenang antara principal dan agen merupakan sebab munculnya suatu
konflik diantara principal dan agen yang disebut konflik agensi (conflict agency). Dalam teori agensi, principal sebagai pihak yang memiliki saham sepenuhnya meminta
agen untuk memaksimalkan return bagi mereka (Berle dan Means, 1932). Namun, dalam teori agensi juga menyebutkan bahwa principal dan agen cenderung bertindak
untuk memaksimalkan kepentingan sendiri. Tidak hanya principal yang ingin
memaksimalkan kepentingan, agen pun juga memiliki keinginan yang sama untuk
memaksimalkan kepentingannya sehingga terjadilah konflik agensi antara principal dan
agen.
Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa pemisahan wewenang tidak
hanya memunculkan konflik agensi tetapi juga muncul suatu biaya agensi (agency cost). Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan adanya tiga macam biaya agensi, yaitu biaya
monitoring, biaya bonding expenditures, dan the residual loss. Biaya monitoring expenditures merupakan pengeluaran yang harus ditanggung oleh principal untuk melakukan pengawasan dan evaluasi atas tindakan agen. Biaya bonding merupakan pengeluaran yang harus ditanggung oleh agen untuk memberikan suatu kepastian
kepada pemilik bahwa manajer tidak akan mengambil suatu keputusan atau tindakan
tertentu yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi perusahaan. Salah satu contoh
dari biaya bonding adalah biaya dalam memperkerjakan auditor independen (eksternal) untuk melakukan audit atas laporan keuangan perusahaan untuk memastikan keakuratan
laporan keuangan yang disediakan manajemen. The residual loss merupakan biaya yang harus ditanggung oleh principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan yang diambil
agen atau manajer untuk meningkatkan kesejahteraan principal atau pemilik.
Seperti yang dijelaskan oleh (Jensen dan Meckling, 1976) bahwa konflik agensi
menimbulkan biaya agensi yang salah satunya merupakan biaya bonding yaitu biaya memperkerjakan auditor independen (eksternal) guna melakukan audit atas laporan
satu solusi yang diambil oleh perusahaan dalam melakukan audit atas laporan keuangan
agar mengurangi asimetri informasi yang selanjutnya dapat pula mengurangi konflik
agensi yang terjadi di perusahaan. Auditor bertanggung jawab untuk memberikan
pendapat mengenai kewajaran suatu laporan keuangan agar principal atau pemegang
saham yakin atas kinerja agen atau manajemen yang dilihat melalui laporan keuangan.
2.2 Pendapat Going Concern
Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (2001), pendapat going concern merupakan pendapat dari auditor mengenai apakah sebuah perusahaan yang diaudit
dapat mempertahankan going concern atau kelangsungan hidupnya setidaknya dalam satu tahun ke depan. Pendapat going concern diungkapkan setelah paragraf pendapat dalam laporan audit. Menurut SAS 59 (AU 341) dalam Arens, et al. (2009) auditor memiliki tanggung jawab untuk melakukan evaluasi mengenai apakah perusahaan
mempunyai kemungkinan untuk going concern atau tetap bertahan ke depan, meskipun tujuan dari audit bukanlah untuk mengevaluasi mengenai kesehatan keuangan
perusahaan. Hal ini juga didukung dengan adanya Standar Profesional Akuntan Publik
(2001) yang menyebutkan bahwa auditor bertanggungjawab untuk menilai apakah
terdapat kesangsian terhadap perusahaan dalam usaha mempertahankan kelangsungan
hidupnya atau tetap bertahan dalam suatu periode waktu yang tidak lebih dari satu (1)
tahun sejak tanggal laporan audit. Menurut Arens, et al. (2009), terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan suatu ketidakpastian mengenai kemampuan perusahaan
untuk going concern, yaitu: (1) perusahaan mengalami kerugian operasi yang berulang dan juga cukup signifikan; (2) perusahaan mengalami kekurangan modal kerja secara
berulang dan juga cukup signifikan; (3) meningkatnya ketidakmampuan suatu
perusahaan untuk membayar utang-utangnya atau kewajibannya saat jatuh tempo; (4)
perusahaan kehilangan pelanggan utama; (5) terjadi bencana alam di lokasi perusahaan
yang tidak dijamin oleh asuransi; (6) perusahaan mengalami masalah mengenai tenaga
kerja yang tidak biasa; dan (7) perusahaan mengalami masalah yang berhubungan
dengan perundang-undangan, pengadilan, ataupun hal-hal yang sejenis lainnya yang
telah terjadi serta dapat membahayakan kemampuan perusahan untuk melanjutkan
operasinya.
Akuntansi membuat prinsip going concern yang menjadi dasar dari kebanyakan konsep pengukuran dan penilaian, contohnya seperti konsep pengukuran berdasarkan
perolehan yang didasarkan pada perusahaan menjadi keberlangsungan usaha (going concern) dimana pada akhirnya nilai aset mengalir melalui laporan penghasilan (income statement) untuk mengukur kinerja. Tanpa status going concern, nilai perusahaan dilaporkan berdasarkan nilai likuidasi. Ketika perusahaan menerima pendapat wajar
dengan pengecualian dengan pendapat going concern, pasar akan berekasi dengan abnormal return yang negatif (Fleck and Wilson, 1994). Selanjutnya, jika perusahaan telah menerima pendapat wajar dengan pengecualian tetapi tanpa pendapat going concern, reaksi pasar atas kebangkrutan akan lebih kecil (Chen and Church, 1996). 2.3 Financial Distress
Financial distress merupakan sebuah kondisi dimana perusahaan mengalami penurunan kinerja keuangan yang mana perusahaan masih dalam suatu kondisi solvent namun illiquid dimana hal ini sebagai akibat dari pengelolaan manajemen yang buruk serta terjadinya krisis ekonomi (Nasir dan Abdullah, 2004). Menurut Knechel dan
Vanstraelen (2007), perusahaan dianggap mengalami financial distress jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (1) kerugian operasional, (2) kerugian intinya, (3) laba ditahan
negatif selama dua tahun sebelumnya, dan (4) modal kerja negatif selama dua tahun
sebelumnya. Pada dasarnya, perusahaan seharusnya melaporkan kondisi perusahaan
sesuai dengan kenyataan terutama jika perusahaan mengalami financial distress. Hal tersebut dikarenakan pelaporan perusahaan yang mengalami financial distress memperoleh perhatian yang tinggi dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan (Financial Accounting Standards Board - FASB) serta Dewan Pengawas Akuntansi Perusahaan (Public Company Accounting Oversight Board – PCAOB) dalam upaya untuk menetapkan kebijakan akuntansi dan audit. Proposal terbaru oleh FASB (2008) dalam
Geiger dan Blay (2007) akan membebankan pada pihak yang menyiapkan laporan
keuangan untuk menilai dan melaporkan kemampuan perusahaan untuk melanjutkan
keberlangsungan usaha (going concern) mereka. Dalam penelitian Ballesta dan Garcia (2005) yang memeriksa mengenai pendapat wajar dengan pengecualian yang diperoleh
oleh perusahaan publik di Spanyol, menemukan bahwa kecenderungan perusahaan yang
memperoleh pendapat wajar dengan pengecualian adalah perusahaan yang mengalami
financial distress, sedangkan perusahaan dengan pengelolaan yang baik serta menerbitkan laporan keuangan yang memiliki kualitas yang baik cenderung
memperoleh clean opinion dari auditor. Hasil yang senada juga diungkapkan oleh Setyowati (2009); Knechel dan Vanstraelen (2007) yang menyebutkan bahwa
memiliki keuangan yang sehat (financially healthy) atau tidak mengalami financial distress serta kemungkinan untuk memperoleh opini going concern lebih besar pada perusahaan yang mengalami financial distress.
2.4 Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern Salah satu aset terbesar yang dimiliki auditor adalah reputasi auditor itu sendiri,
sehingga auditor akan berusaha untuk memlihara reputasi mereka dengan cara selalu
mencoba untuk memelihara kualitas mereka (Wardhani, 2013). Junaidi dan Hartono
(2010) menyatakan bahwa semakin besar reputasi dari kantor akuntan publik, maka
semakin besar pula kualitas yang diberikan oleh kantor akuntan publik tersebut. Auditor
yang memiliki nama baik atau reputasi baik mempunyai sebuah kecenderungan untuk
menerbitkan pendapat going concern apabila perusahaan auditee mengalami suatu masalah berkaitan keberlangsungan usaha atau going concern perusahaan (Junaidi dan Hartono, 2010). Kualitas audit merupakan sebuah kemungkinan bahwa laporan
keuangan mengandung kesalahan yang material dan seorang auditor akan dapat
menemukan dan kemudian melaporkan kekeliruan material tersebut (DeAngelo, 1981).
Dalam DeAngelo (1981) disebutkan bahwa kualitas akan meningkat sejalan dengan
peningkatan ukuran kantor akuntan publik karena kantor akuntan publik berukuran
besar akan memiliki kemampuan untuk menjadi spesialis dan melakukan investasi
dalam tekonologi dan juga sumber daya sehingga dapat disimpulkan bahwa kantor
akuntan publik yang berukuran besar akan memiliki kualitas audit yang lebih baik jika
dibandingkan dengan kantor akuntan publik yang berukuran lebih kecil. Lebih lanjut
lagi, DeAngelo (1981) menyatakan bahwa kantor akuntan publik yang berukuran besar
cenderung lebih mengungkapkan masalah-masalah yang terjadi karena kantor akuntan
publik berukuran besar tersebut lebih kuat dalam menghadapi risiko proses pengadilan.
Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa masalah-masalah yang dimaksud juga
termasuk keberlanjutan usaha atau going concern dari klien yang juga akan diungkapkan oleh kantor akuntan publik berukuran besar.
Craswell et al., (1995) menyatakan bahwa klien pada umumnya memiliki persepsi bahwa auditor yang berasal dari Kantor Akuntan Publik berukuran besar dan
auditor yang mempunyai hubungan kerjasama atau afiliasi dengan Kantor Akuntan
Publik internasional, akan mempunyai kualitas yang lebih tinggi karena auditor tersebut
akan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang dapat dihubungkan dengan
Mutchler et al., (1997) berpendapat bahwa auditor big six (big 6) memiliki kecenderungan yang lebih dalam menerbitkan pendapat going concern pada perusahaan auditee yang mengalami financial distress dibandingkan auditor non-big six (non-big 6). Semakin besar skala seorang auditor, maka akan semakin semakin besar pula kemungkinan auditor tersebut untuk menerbitkan pendapat going concern. Auditor dengan skala besar (auditor big six) dapat menghasilkan kualitas audit yang lebih baik dibanding auditor dalam skala kecil (auditor non-big six), termasuk juga saat mengungkapkan masalah yang berhubungan dengan keberlangsungan usaha atau going concern. Junaidi dan Hartono (2010) menemukan bukti empiris bahwa kualitas auditor yang diproksikan dengan reputasi auditor (ukuran kantor akuntan publik) memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap penerbitan pendapat going concern. Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah:
H1 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang
mengalami financial distress akan lebih tinggi pada auditee yang diaudit oleh KAP Big-4 dibandingkan auditee yang diaudit oleh KAP Non Big-4.
2.4.2 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern
Rasio pertumbuhan penjualan yang digunakan dalam penelitian ini untuk
mengukur pertumbuhan perusahaan merupakan rasio yang mengukur seberapa baik
sebuah perusahaan dalam mempertahankan posisi ekonominya, baik dalam kegiatan
ekonomi keseluruhan ataupun dalam industrinya (Weston dan Copeland, 1992).
Setyarno (2006) menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki rasio pertumbuhan
penjualan yang positif mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut dapat
mempertahankan posisi ekonomi secara keseluruhan dan posisi dalam industri, serta
lebih dapat mempertahankan keberlangsungan hidupnya atau going concern. Perusahaan dengan pertumbuhan yang negatif mengindikasikan bahwa perusahaan
memiliki kecenderungan yang lebih besar ke arah kebangkrutan (Altman, 1968).
Kebangkrutan merupakan salah satu dasar bagi seorang auditor untuk memberikan
pendapat going concern sehingga perusahaan dengan pertumbuhan yang negatif akan memiliki kecenderungan yang tinggi dalam menerima pendapat going concern (Santosa dan Wedari, 2007). Setyarno (2006) mengungkapkan bahwa penjualan meningkat dari
meraih peningkatan dalam laba. Semakin tinggi rasio pertumbuhan penjualan
perusahaan, maka akan semakin kecil pula kemungkinan dari seorang auditor untuk
menerbitkan pendapat going concern. Rahman dan Siregar (2012) menemukan bukti empiris bahwa pertumbuhan perusahaan memiliki pengaruh negatif secara signifikan
terhadap penerimaan pendapat going concern. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah:
H2 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang
mengalami financial distress akan lebih rendah pada auditee yang memiliki pertumbuhan penjualan yang tinggi daripada auditee yang memiliki pertumbuhan penjualan yang rendah.
2.4.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern
Sujoko dan Soebiantoro (2007) menyatakan bahwa ukuran perusahaan
merupakan gambaran besar kecilnya perusahaan. Sehubungan dengan total aset untuk
menghitung ukuran perusahaan, apabila perusahaan memiliki total aset yang besar
menunjukkan bahwa perusahaan telah mencapai tahap kedewasaan (maturity) atau well established (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). Perusahaan besar yang dianggap telah mencapai tahap kedewasaan berarti bahwa perusahaan tersebut relatif lebih stabil dan
lebih mampu menghasikan laba dibandingkan perusahaan kecil (Singh dan Singla,
2011). Ballesta dan Garcia (2005) menyebutkan bahwa sebuah perusahaan dengan
ukuran yang besar memiliki manajemen yang lebih baik dalam pengelolaan perusahaan
serta memiliki kemampuan dalam menerbitkan suatu laporan keuangan yang memiliki
kualitas baik jika dibandingkan dengan perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil.
Perusahaan besar yang memiliki manajemen yang lebih baik dalam pengelolaan
perusahaan serta memiliki kemampuan dalam menerbitkan suatu laporan keuangan
yang memiliki kualitas baik cenderung memperoleh clean opinion dari auditor (Ballesta dan Garcia, 2005).
Mckeown et al. (1991) mengatakan bahwa perusahaan yang lebih besar lebih banyak memberikan penawaran fee audit yang tinggi daripada yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Dalam kaitannya mengenai kehilangan fee audit yang signifikan tersebut, auditor mungkin ragu untuk mengeluarkan pendapat audit going concern pada perusahaan besar. Hasil dari penelitian Mckeown et al. (1991) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara ukuran perusahaan dengan penerimaan
menyatakan bahwasannya auditor akan lebih sering mengeluarkan pendapat going concern pada perusahaan kecil. Hal ini dikarenakan auditor percaya bahwa suatu perusahaan yang memiliki ukuran yang besar lebih mampu melakukan penyelesaian
kesulitan-kesulitan keuangan yang dihadapinya daripada perusahaan yang berukuran
lebih kecil. Selain itu, Santosa dan Wedari (2007) menemukan bukti bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh secara negatif pada pendapat going concern. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran perusahaan akan semakin kecil kemungkinan
menerima pendapat audit going concern.
Mutchler et al. (1997) di dalam penelitiannya yang membahas tentang pengaruh informasi yang berlawanan dan faktor- faktor mitigasi terhadap laporan audit pada
perusahaan yang mengalami kebangkrutan, menemukan bahwa terdapat hubungan
negatif antara ukuran perusahaan dengan penerimaan pendapat audit going concern. Hal tersebut berarti bahwa semakin besar skala perusahaan yang diaudit oleh auditor
maka akan memungkinkan perusahaan tersebut menerima pendapat going concern lebih kecil apabila dibandingkan dengan perusahaan yang berskala kecil. Selain itu,
Knechel dan Vanstraelen (2007) juga menemukan bukti empiris bahwa ukuran
perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan pendapat going concern yang mana kemungkinan penerbitan pendapat going concern akan lebih kecil pada perusahan dengan ukuran besar. Hal ini cukup memberikan buktikan bahwa ukuran
perusahaan dapat memberikan pengaruh negatif kepada auditor dalam memberikan
pendapat going concern terhadap laporan auditee. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H3 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang
mengalami financial distress akan lebih rendah pada auditee yang memiliki total aset yang besar daripada auditee yang memiliki total aset yang kecil.
2.4.4 Pengaruh Debt to Equity Ratio Terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern
Seberapa jauh perusahaan mempergunakan pendanaan melalui utang, atau
pengungkit keuangan (financial leverage), akan memiliki tiga implikasi penting (Brigham dan Daves, 2004) yaitu: (1) para pemegang saham dapat melakukan
pertahanan atas kendali mereka pada perusahaan tersebut dengan sekaligus membatasi
investasi yang mereka berikan tersebut, ketika mendapatkan dana melalui utang; (2)
kreditor akan melakukan pengamatan pada ekuitas, ataupun dana yang diperoleh
berkesimpulan bahwa semakin tinggi proporsi dari jumlah modal yang diberikan
pemegang saham, maka akan semakin kecil risiko yang harus dihadapi oleh kreditor; (3)
apabila perusahaan mendapat hasil dari investasi yang didanai oleh dana hasil pinjaman
yang lebih besar dari bunga yang dibayarkan, maka pengembalian yang diperoleh dari
modal pemilik akan diperbesar (leveraged). Suatu Perusahaan yang mempunyai rasio utang relatif tinggi akan mempunyai ekspektasi pengembalian yang lebih tinggi juga
ketika keadaan perekonomian sedang dalam kondisi normal, tapi mempunyai risiko
kerugian saat ekonomi mengalami masa resesi (Brigham dan Daves, 2004). Oleh karena
itu, sebuah keputusan penggunaan utang mengharuskan untuk perusahaan melakukan
penyeimbangan antara tingkat ekspektasi pengembalian yang lebih tinggi dengan
peningkatan risiko. Kreditor lebih menyukai keadaan rasio utang dengan presentase
yang lebih rendah (Brigham dan Daves, 2004). Hal ini disebabkan oleh, adanya suatu
kesimpulan bahwa apabila angka rasio semakin rendah, maka semakin besar pula
peredaman (kemungkinan) dari kerugian yang dialami oleh kreditor jika terjadi
likuidasi. Pemegang saham, di pihak lain, mungkin menginginkan lebih banyak
leverage karena ia akan memperbesar ekspektasi keuangan (Brigham dan Daves, 2004). Petronela (2004) yang meneliti mengenai pertimbangan kondisi going concern perusahaan dalam memberikan pendapat audit menyatakan bahwa tingginya debt to equity ratio mencerminkan tingginya risiko keuangan dari perusahaan. Risiko keuangan perusahaan yang tinggi memberikan indikasi bahwa perusahaan mengalami kesulitan
keuangan. Debt to equity ratio yang tinggi menjadi perhatian auditor karena debt to equity ratio yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan tidak bisa untuk mempertahankan suatu kelangsungan usaha atau going concern dari perusahaan tersebut. Chen dan Church (1992) yang meneliti mengenai hubungan debt default dan penerbitan laporan going concern, menemukan hubungan positif signifikan antara debt default dan penerbitan laporan going concern. Debt default yang dimaksud di sini adalah suatu kegagalan perusahaan untuk membayar hutang-hutangnya baik pokok dari
hutang tersebut maupun bunganya (Chen dan Church, 1992). Praptitorini dan Januarti
(2007) juga menemukan bukti empiris bahwa debt default berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan pendapat going concern. Menurut Rahman dan Siregar (2012), angka debt to equity ratio yang tinggi dapat menjadi sebab timbulnya keraguan atas kemampuan perusahaan dalam mempertahankan going concern atau kelangsungan usahanya. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar dari dana yang didapatkan oleh
yang digunakan untuk beroperasi akan semakin berkurang. Rahman dan Siregar (2012)
menemukan bukti bahwa debt to equity ratio memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan pendapat going concern. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan di dalam penelitian ini adalah:
H4 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang
mengalami financial distress akan lebih tinggi pada auditee yang memiliki Debt to Equity Ratio yang tinggi daripada auditee yang memiliki Debt to Equity Ratio yang rendah.
2.4.5 Pengaruh Penundaan Rapat Umum Pemegang Saham terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern
Penundaan rapat umum pemegang saham pada umumnya mengindikasikan
bahwa perusahaan memiliki masalah atau sedang menghadapi masalah (Knechel dan
Vanstraelen, 2007). Knechel dan Vanstraelen (2007) mengungkapkan bahwa
kemungkinan penerbitan pendapat going concern akan lebih besar pada perusahaan yang menunda rapat umum pemegang saham. Jika perusahaan memiliki masalah dan
melakukan penundaan rapat umum pemegang saham, maka auditor akan bereaksi atas
kondisi tersebut dengan penerbitan pendapat audit yang sesuai atau bahkan menerbitkan
pendapat going concern jika memang masalah yang sedang dialami perusahaan akan mengancam keberlangsungan usaha atau going concern perusahaan tersebut. Oleh karena itu, apabila perusahaan menunda rapat umum pemegang saham, maka akan
semakin tinggi kemungkinan auditor untuk menerbitkan pendapat going concern. Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka hipotesis yang
dapat diajukan dalam penelitian ini adalah:
H5 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang
mengalami financial distress akan lebih tinggi pada auditee yang menunda rapat pemegang saham daripada auditee yang tidak menunda rapat pemegang saham.
3. Metode Penelitian 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kualitas
audit, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, debt to equity ratio, dan penundaan rapat umum pemegang saham. Variabel dependen (variabel terikat) yang digunakan
kemungkinan auditee yang mengalami financial distress memperoleh pendapat going concern dari auditor.
3.1.1. Kualitas Audit (KA). Kualitas audit dalam penelitian ini diukur berdasarkan reputasi auditor yang sesuai dengan penelitian Setyarno et al. (2006); Rahman dan Siregar (2012). Reputasi auditor yang dimaksud adalah apakah KAP yang melalakukan
audit atas laporan keuangan auditee merupakan KAP yang berasaldari the big four atau bukan. KAP yang termasuk ke dalamthe big four antara lain: (1) PricewaterhouseCoopers berafiliasi dengan Haryantono Sahari dan Rekan; (2) Ernst and Young berafiliasi dengan Purwantono, Sarwoko, dan Sandjaja; (3) Deolitte berafiliasi dengan Osman Bing Satrio dan Rekan; dan (3) KPMG yangberafiliasi dengan Siddharta dan Widjaja. Selanjutnya, kualitas audit dalam penelitian ini diukur dengan
menggunakan variabel dummy, yaitu jika KAP yang melakukan audit merupakan KAP
the big fourataupunun KAP berafiliasi dengan KAP the big four akan diberikan kode 1 dan jika KAP yang melakukan audit bukan merupakan KAP non big four ataupunun KAP berafiliasi dengan KAP non big four akan diberikan kode 0 (Setyarno et al., 2006; Rahman dan Siregar, 2012).
3.1.2 Pertumbuhan Perusahaan (PP). Dalam penelitian ini, pertumbuhan perusahaan diukur berdasarkan sales growth ratioatau rasio pertumbuhan penjualan (Setyarno et al., 2006; Rahman dan Siregar, 2012). Rasio pertumbuhan penjualan (sales growth ratio) merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam meningkatkan
penjualan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rasio pertumbuhan penjualan (sales growth ratio) dihitung berdasarkan rumus berikut ini:
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ𝑅𝑅𝑎𝑎𝑝𝑝𝑝𝑝𝑎𝑎𝑝𝑝𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑎𝑎 (𝑅𝑅𝑅𝑅𝑝𝑝𝑝𝑝𝑅𝑅𝑔𝑔𝑝𝑝𝑅𝑅𝑔𝑔𝑝𝑝ℎ𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑅𝑅)
= 𝑃𝑃𝑝𝑝𝑎𝑎𝑝𝑝𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑎𝑎𝐵𝐵𝑝𝑝𝑝𝑝𝑅𝑅𝑅𝑅ℎ𝑝𝑝 − 𝑃𝑃𝑝𝑝𝑎𝑎𝑝𝑝𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑎𝑎𝐵𝐵𝑝𝑝𝑝𝑝𝑅𝑅𝑅𝑅ℎ𝑝𝑝−1
𝑃𝑃𝑝𝑝𝑎𝑎𝑝𝑝𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑎𝑎𝐵𝐵𝑝𝑝𝑝𝑝𝑅𝑅𝑅𝑅ℎ𝑝𝑝−1
3.1.3 Ukuran Perusahaan (UP). Ukuran perusahaan dapat diukur dengan berbagai cara, seperti contohnya pengukuran ukuran perusahaan menggunakan log total
penjualan bersih, log total aset yang dimiliki perusahaan, serta log total karyawan yang
dimiliki oleh perusahaan. Dalam penelitian ini, ukuran perusahaan akan diukur
berdasarkan total aset yang dimiliki perusahaan yang sesuai dalam laporan tahunan
perusahaan dan juga total aset tersebut ditransformasikan dalam bentuk logaritma yang
sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan log total aset untuk
mengukur ukuran perusahaan Setyarno et al. (2006); Rahman dan Siregar (2012). Dalam penelitian ini, ukuran perusahaan ini dihitung berdasarkan rumus berikut ini:
3.1.4 Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Equity Ratio adalah rasio yang menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi
pinjaman. Semakin tinggi rasio, maka akan semakin rendah pendanaan perusahaan yang
disediakan oleh pemegang saham (Susanto, 2009). Dari perspektif kemampuan
membayar kewajiban jangka panjangnya. Debt to Equity Ratio (DER) diukur berdasarkan rumus sebagai berikut (Rahman dan Siregar, 2012):
𝐷𝐷𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑅𝑅𝐸𝐸𝐸𝐸𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝐸𝐸𝑅𝑅𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑅𝑅= 𝑁𝑁𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝐿𝐿𝑅𝑅𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅
𝑁𝑁𝑅𝑅𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝐸𝐸𝐸𝐸𝑝𝑝𝑅𝑅𝑝𝑝𝐸𝐸
3.1.5 Penundaan Rapat Umum Pemegang Saham (RAPAT). Penundaan Rapat Umum Pemegang Saham diukur berdasarkan tanggal rapat umum pemegang saham
untuk melihat apakah ada penundaan atas rapat umum pemegang saham karena
menunda rapat pemegang saham biasanya merupakan indikasi bahwa perusahaan
memiliki masalah (Knechel dan Vanstraelen, 2007). Selanjutnya, rapat umum
pemegang saham diukur menggunakan variabel dummy dengan kode 1 jika jumlah
bulan antara fiskal akhir tahun dan tanggal rapat umum tahunan pemegang saham
melebihi enam bulan (maksimum legal), 0 jika sebaliknya yaitu jika jumlah bulan antara
fiskal akhir tahun dan tanggal rapat umum tahunan pemegang saham tidak melebihi
enam bulan.
3.1.6 Pendapat Going Concern (GC). Dalam penelitian ini, variabel dependen yang digunakan adalah pendapat going concern yang diberi kode GC. Variabel pendapat going concern diukur dengan menggunakan variabel dummy sesuai dengan penelitian Rahman dan Siregar (2012); Knechel dan Vanstraelen (2007); Setyarno et al. (2006) dimana diberikan kode 1 jika pendapat going concern diterbitkan oleh auditor untuk auditee yang mengalami financial distress, dan diberikan kode 0 jika sebaliknya yaitu pendapat going concern tidak diterbitkan oleh auditor untuk auditee yang mengalami financial distress.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan auditee yang bergerak di sektor manufaktur yang mana perusahaan manufaktur tersebut terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) pada periode 2010-2013. Alasan peneliti memilih auditee yang bergerak dalam sektor manufaktur adalah untuk menghindariadanya industrial effect yaitu suatu risiko industri yang berbeda yang muncul antara suatu sektor industri yang
tidak dapat diketahui. Rancangan sampel non-probabilitas pada penelitian ini
menggunakan rancangangan pengambilan sampel bertujuan (purposif sampling) yaitu suatu metode pemilihan sampel berdasarkan pada beberapa kriteria tertentu (Sekaran,
2011). Kriteria khusus perusahaan (auditee) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Auditee telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak sebelum 1 Januari 2010; (2) Auditee tidak delisting atau keluar dari Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode penelitian (2010-2013); (3) Auditee menerbitkan laporan keuangan yang sudah diaudit oleh auditor independen selama periode penelitian (2010-2013); (4) Auditee mempunyai data laporan tahunan yang dipublikasikan dan juga lengkap berhubungan dengan
variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini selama periode penelitian
(2010-2013); dan (5) Auditee mengalami fincancial distress yaitu perusahaan memiliki laba bersih setelah pajak yang negatif minimal dalam dua periode laporan keuangan (dua
tahun) secara berturut-turut.
Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada auditee yang mengalami financial distress karena auditor hampir tidak pernah mengeluarkan pendapat going concern pada perusahaan auditeeyang tidak mengalami financial distress atau perusahaan yang memiliki laba bersih setelah pajak positif (McKeown et al., 1991). Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh sampel sebanyak 54 perusahaan (auditee) dalam periode 2010-2013. Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang
telah tersedia kemudian peneliti mengumpulkan data tersebut sendiri (Sekaran, 2011)
yang mana data tersebut berupa laporan tahunan dari perusahaan manufaktur yang telah
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010-2013. Data sekunder tersebut
diperoleh peneliti dari website BEI (www.idx.co.id) dan/atau website dari masing-masing perusahaan. Alasan peneliti menggunakan laporan tahunan sebagai sumber data
karena seluruh variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditemukan
dalam laporan tahunan perusahaan.
3.3 Metode Analisis Data
Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
logistik (logistic regression), karena dalam penelitian ini variabel bebasnya merupakan sebuah percampuran antara variabel kontinyu atau metrik dan variabel kategorial atau
non-metrik yang menyebabkan asumsi multivariate normal distribution tidak terpenuhi
(Ghozali, 2009). Oleh karena hal tersebut, analisis regresi logistik tidak memerlukan uji
normalitas data serta uji asumsi klasik dalam variabel bebasnya (Ghozali, 2009).
heterokedastisitas (heteroscedasity) yang mana variabel dependen tidak memerlukan homokedastisitas (homoscedacity) untuk setiap variabel independen. Tahap analisis statistik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah adalah (1) menilai model fit dan (2)
estimasi parameter dan interpretasinya. Persamaan yang digunakan dalam penelitian ini
untuk menguji hipotesis secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
𝐿𝐿𝑎𝑎 𝑝𝑝
1− 𝑝𝑝= 𝛼𝛼+𝛽𝛽1𝑋𝑋1 +𝛽𝛽2𝑋𝑋2 +𝛽𝛽3𝑋𝑋3 +𝛽𝛽4𝑋𝑋4 +𝛽𝛽5𝑋𝑋5 + 𝑝𝑝
Keterangan:
𝐿𝐿𝑎𝑎1−𝑝𝑝𝑝𝑝 : Pendapat Going Concern (GC)
X1 : Kualitas Audit (KA)
X2 : Pertumbuhan Perusahaan (PP)
X3 : Ukuran Perusahaan (SIZE)
X4 : Debt to Equity Ratio (DER)
X5 : Penundaan Rapat Umum Pemegang Saham (RAPAT) 𝛽𝛽R1... 𝛽𝛽R5 : Koefisien regresi
α : konstanta
e : error term
4. Hasil Analisis Data dan Pembahasan 4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan adalah seluruh perusahaan yang bergerak di
sektor manufaktur yang mana perusahaan manufaktur tersebut telah terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010-2013. Dalam penelitian ini, prosedur pemilihan
sampel menggunakan metode purposive sampling yaitu metode pemilihan sampel menggunakan berbagai kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Dari kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya, perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 54
perusahaan. Prosedur pemilihan sampel disajikan dalam tabel 4.1.
4.2 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis 4.2.1 Hasil Uji Statistik Deskriptif
Uji statistik deskriptif dalam penelitian ini menjelaskan gambaran atau
mendeskripsi kan data yang dapat dilihat dari nilai maksimum, nilai minimum, nilai
rata-rata (mean), dan nilai standar deviasi atas variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian ini. Hasil pengujian statistik deskriptif disajikan dalam tabel 4.2. Berdasarkan
dengan kode 1 lebih banyak muncul dari 54 perusahaan sampel yang diteliti. Dari 54
perusahaan sampel, 30 perusahaan sampel menerima pendapat audit going concern, dan sisanya sebesar 14 perusahaan sampel tidak menerima pendapat audit going concern.
Variabel independen pertama dalam penelitian ini adalah bahwa variabel
kualitas audit (KA) memiliki nilai rata-rata sebesar 0,24 yang lebih kecil dari 0,50
menunjukkan bahwa kualitas audit dengan kode 1, yakni KAP yang berafiliasi dengan
big four lebih sedikit muncul dari 54 perusahaan sampel. Dari 54 perusahaan sampel, 13 perusahaan sampel diaudit oleh KAP yang berafiliasi dengan big four, dan 41 perusahaan sampel diaudit oleh KAP yang tidak berafiliasi dengan big four. Variabel independen kedua dalam penelitian ini adalah variabel pertumbuhan perusahaan (PP)
mempunyai nilai minimal -1,00 yang dimiliki oleh perusahaan Unitex Tbk pada tahun
2010. Nilai maksimum sebesar 2,94 dimiliki oleh perusahaan Alam Karya Unggul Tbk
pada tahun 2013. Nilai pertumbuhan perusahaan yang positif yang dapat dilihat dari
nilai maksimum menggambarkan pertumbuhan penjualan yang meningkat dari tahun
sebelumnya, sedangkan nilai yang negatif yang dapat dilihat dari nilai minimum
menggambarkan pertumbuhan penjualan sampel yang menurun dari tahun sebelumnya.
Rata-rata sebesar 0.0666 yang berarti bahwa perusahaan sampel telah memiliki
pertumbuhan penjualan hingga 6,66%.
Variabel independen ketiga dalam penelitian ini adalah variabel ukuran
perusahaan (UP) mempunyai nilai rata-rata sebesar 11,4777 yang berarti bahwa nilai
rata-rata tersebut lebih cenderung mendekati nilai maksimum (12,52) dibandingkan
dengan nilai minimum (9,82). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sampel dalam
penelitian lebih banyak yang ukurannya tergolong berskala besar. Variabel independen
keempat dalam penelitian ini adalah variabel debt to equity ratio (DER) mempunyai nilai minimal -31,78 yang dimiliki oleh perusahaan Sumalindo Lestari Jaya Tbk pada
tahun 2012. Nilai maksimum sebesar 70,83 dimiliki oleh perusahaan Schering Plough
Indonesia Tbk pada tahun 2013. Perusahaan yang bernilai negatif (minimum) memiliki
jumlah kewajiban yang kecil atau utang yang sedikit, sedangkan rasio yang bernilai
positif (maksimum) menunjukkan kewajiban yang besar atau utang besar. Variabel debt to equity ratio (DER) mempunyai rata-rata sebesar 2,3148 menunjukkan bahwa sebagian besar menunjukkan rata-rata perusahaan yang diteliti memiliki kewajiban yang
besar. Variabel independen kelima dalam penelitian ini adalah bahwa variabel
penundaan rapat umum pemegang saham (RAPAT) memiliki nilai rata-rata sebesar 0,31
saham dengan kode 1, yakni perusahaan yang memiliki jumlah bulan antara fiskal akhir
tahun dan tanggal rapat umum tahunan pemegang saham melebihi enam bulan
(maksimum legal) lebih sedikit muncul dari 54 perusahaan sampel. Dari 54 perusahaan
sampel, 17 perusahaan memiliki jumlah bulan antara fiskal akhir tahun dan tanggal
rapat umum tahunan pemegang saham melebihi enam bulan (maksimum legal), dan 37
perusahaan sampel memiliki jumlah bulan antara fiskal akhir tahun dan tanggal rapat
umum tahunan pemegang saham tidak melebihi enam bulan.
4.2.2 Analisis Regresi Logistik 4.2.2.1 Menilai Model Fit
Langkah pertama adalah dengan menilai overall fit model terhadap data yang
diteliti (Ghozali, 2009). Untuk menilai overall fit model terhadap data yang diteliti,
dapat dilihat dari hasil statistik -2LogL. Hasil mengenai mengenai statistik –2LogL
dijelaskan dalam tabel 4.3 yaitu tabel perbandingan -2 Log likelihood awal dan akhir.
Berdasarkan tabel 4.3, menunjukkan bahwa nilai -2 Log likelihood (-2LL) untuk model
yang hanya memasukan konstanta dan model dengan konstanta dan variabel independen
menunjukkan angka 74.192 dan 70.047. Nilai -2 Log likelihood (-2LL) tersebut
menunjukkan bahwa model yang hanya memasukan konstanta dan model dengan
konstanta dan variabel independen tidak signifikan pada alpha 5% yang berarti bahwa
hipotesis nol tidak dapat ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa model fit dengan
data.
Selain itu, statistik – 2LogL juga dapat digunakan untuk menentukan apabila
variabel independen ditambahkan ke dalam model apakah dapat memperbaiki model fit
secara signifikan (Ghozali, 2009). Penilaian mengenai perbaikan model fit dilakukan
dengan cara membandingkan nilai antara -2 Log likelihood (-2LL) pada awal (Block
Number sama dengan 0), dimana model hanya memasukkan nilai -2 Log likelihood dan
juga konstanta, dengan nilai -2 Log likelihood (-2LL) pada akhir (Block Number sama
dengan 1), dimana model memasukkan konstanta serta variabel bebas. Nilai -2LL awal
sebesar 74,192 dan kemudian setelah dimasukkan kelima variabel independen, maka
nilai -2LL akhir menurun menjadi sebesar 70,047. Penurunan nilai -2LL ini
menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak yang artinya model regresi dalam penelitian
ini adalah model regresi yang baik atau juga dapat dikatakan bahwa model yang
dihipotesiskan fit dengan data, serta penambahan variabel independen ke dalam model
Nilai Cox dan Snell’s R Square dan Nagelkerke R square juga dapat digunakan
untuk menilai model fit. Cox dan Snell’s R Square adalah sebuah ukuran yang mencoba
meniru ukuran dari R2 dalam multiple regression yang berdasarkan pada teknik estimasi likelihood dengan nilai maksimal kurang dari satu sehingga sulit diinterpretasikan
(Ghozali, 2009). Nagelkerke R square merupakan hasil modifikasi dari koefisien Cox
dan Snell’s R Square yang digunakan untuk memastikan bahwa nilai bervariasi dari nol
(0) sampai satu (1) yang dilakukan dengan cara membagi nilai Cox dan Snell’s R
Square dengan nilai maksimalnya. Nilai Nagelkerke R square bisa diinterpretasikan
atau dipandang seperti nilai R2 pada regresi linier berganda yaitu untuk melakukan uji
koefisien determinasi. Berdasarkan hasil pengujian, nilai Nagelkerke R square dalam
penelitian ini adalah sebesar 0,099 yang berarti bahwa variabilitas atau variasi dari
variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 9,9%, sedangkan
sisanya sebesar 90,1% variasi variabel dependen dijelaskan oleh variabel-variabel lain
berada di luar model penelitian.
Selain cara-cara di atas, model fit dapat pula diuji menggunakan nilai Hosmer
and Lemeshow’s Goodness of fit yang mana menggunakan uji hipotesis nol yaitu data
empiris yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan model penelitian (Ghozali,
2009). Apabila nilai Hosmer and Lemeshow signifikan pada alpha 5% atau lebih kecil
dari 0.05 maka hipotesi nol akan ditolak dan dapat dikatakan bahwa model tidak fit,
begitu pula sebaliknya. Hasil dari uji Hosmer and Lemeshow dijelaskan dalam tabel 4.5.
Hasil uji Hosmer and Lemeshow tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar
0,672 > 0,05. Dengan demikian model regresi logistik yang diajukan telah memenuhi
asumsi Goodness of fit sehingga dapat disimpulkan bahwa model penelitian ini dapat
memprediksi nilai observasinya atau juga dapat dikatakan bahwa model penelitian dapat
diterima dengan alasan bahwa model penelitian cocok atau fit dengan data
observasinya.
Tabel klasisifikasi 2 X 2 menghitung sebuah nilai estimasi yang benar dan juga
yang salah (Ghozali, 2009). Pada kolom merupakan dua nilai prediksi dari variabel
dependen yaitu perusahaan memperoleh pendapat going concern (1) dan perusahaan memperoleh pendapat non-going concern (0). Sedangkan pada baris menunjukkan nilai pengamatan yang sbenarnya dari variabel dependen perusahaan memperoleh pendapat
going concern (1) dan perusahaan memperoleh pendapat non-going concern (0). Pada model penelitian yang sempurna, maka dalam semua kasus akan berada pada diagonal
homoskedastisitas, maka persentase yang benar akan sama untuk kedua baris (Ghozali,
2009). Tabel klasifikasi juga menunjukkan mengenai kekuatan atas prediksi dari model
regresi untuk memprediksi akan kemungkinan penerimaan pendapat going concern oleh perusahaan. Kekuatan prediksi dari model regresi disajikan dalam bentuk persen dalam
tabel 4.6.
Berdasarkan tabel klasifikasi, dapat dilihat bahwa kemungkinan perusahaan
menerima pendapat going concern adalah sebesar 80,0%. Dari tabel tersebut juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan model regresi dalam penelitian ini, terdapat
24 perusahaan diprediksi akan menerima pendapat going concern dari total 30 perusahaan yang menerima pendapat going concern. Sedangkan, kekuatan atas prediksi dari model regresi untuk melakukan prediksi atas kemungkinan perusahaan menerima
pendapat non going concern adalah 45,8%. Dari tabel 4.6 juga menunjukkan bahwa dengan model regresi dalam penelitian ini, terdapat 13 perusahaan yang diprediksi
menerima pendapat non going concern dari total 24 perusahaan yang menerima pendapat non going concern.
4.2.2.2 Estimasi Parameter dan Interpretasinya
Pengujian simultan berdasarkan pada hasil Omnibus Test of Model Coefficient
di mana hasil dari pengujian ini dapat diinterpretasikan seperti nilai uji statistik F pada
regresi linier berganda yaitu untuk melakukan uji signifikasi simultan. Pengujian ini
dilakukan guna menguji apakah beberapa variabel independen secara bersama-sama
berpengaruh terhadap variabel dependen. Apabila pengujian Omnibus Test of Model
Coefficient menunjukkan hasil yang signifikan pada alpha 5% atau lebih kecil dari 0,05,
maka secara keseluruhan variabel independen dapat dimasukkan dalam model atau
dengan kata lain tidak terdapat variabel yang harus dikeluarkan dalam model. Hasil
pengujian Omnibus Test of Model Coefficient disajikan dalam tabel 4.7. Hasil
pengujian Omnibus Test of Model Coefficient menunjukkan nilai chi-square sebesar
4.145 dengan degree of freedom = 1, dan tingkat signifikansi sebesar 0,042 yang
nilainya lebih kecil dari 0,05 (0,042 < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa variabel
kualitas audit, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, debt to equity ratio, dan penundaan rapat umum pemegang saham berpengaruh secara bersama-sama terhadap
kemungkinan penerimaan pendapat going concern.
Uji hipotesis dalam penelitian ini ingin membuktikan bahwa kualitas audit,
going concern. Analisis ini dilakukan dengan uji regresi logit (logistic regression), karena memiliki variabel dependen yang menggunakan data dummy dan memiliki
variabel independen yang diukur dengan skala metrik dan non metrik. Estimasi
maksimal likehood parameter dari model penelitian dapat dilihat pada tampilan output
dari tabel 4.8. Dari tabel 4.8, dapat dilihat bahwa dari keenam variabel dimasukkan
dalam model regresi dengan signifikansi sebesar 5%, dapat disimpulkan bahwa variabel
penundaan rapat umum pemegang saham berpengaruh signifikan terhadap variabel
pendapat going concern yang dapat dilihat pada tabel 4.8. Variabel tersebut mempunyai nilai signifikasi 0,047 yang berada di bawah tingkat signifikasi 0,05 namun hubungan
yang signifikan ini menuju ke arah negatif yang dapat dilihat dari nilai koefisien regresi
sebesar -1,219. Hal ini berarti semua hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Walaupun
hasil menunjukkan bahwa penundaan rapat umum pemegang saham berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perusahaan, namun hubungan di antara keduanya merupakan
hubungan negatif. Dalam penelitian ini, H5 yang diajukan peneliti adalah hubungan
positif yang signifikan, sehingga disimpulkan bahwa H5 ditolak. Untuk H1 H2 H3 H4
dalam penelitan ini ditolak karena nilai signifikansi melebihi 0,05. Berdasarkan tabel
4.8, model regresi logistik dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝐿𝐿𝑎𝑎1− 𝑝𝑝𝑝𝑝 = 0,613 −1.219 𝑅𝑅𝑁𝑁𝑃𝑃𝑁𝑁𝑁𝑁
4.3 Interpretasi Hasil
4.3.1 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern Pada variabel kualitas auditor diperoleh koefisien regresi sebesar (2,153) dan
probabilitas sebesar (0,142 > 0,10) yang berarti bahwa, kualitas auditor tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap pendapat going concern. Hasil penelitian ini tidak menerima hipotesis pertama yang menyatakan bahwa kemungkinan penerimaan
pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih tinggi pada auditee yang diaudit oleh KAP Big-4 dibandingkan auditee yang diaudit oleh KAP Non Big-4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, auditor yang berkualitas (big four) ataupun non-big four memiliki kemungkinan yang sama dalam
memberikan pendapat going concern pada perusahaan yang mengalami financial distress (Rahman dan Siregar, 2012). Hal ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahman dan Siregar (2012); Susanto (2009); Rudyawan dan
Badera (2009); Geiger dan Blay (2007); Knechel dan Vanstraelen (2007); Praptitorini
yang diproksikan dengan reputasi auditor (ukuran kantor akuntan publik) tidak
berpengaruh secara signifkan terhadap penerimaan pendapat going concern.
4.3.2 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern
Pada variabel pertumbuhan perusahaan diperoleh koefisien regresi sebesar
(0,005) dan probabilitas sebesar (0,941 > 0,05) dengan demikian, pertumbuhan
perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapat going concern. Hasil penelitian ini tidak menerima hipotesis kedua yang menyatakan bahwa kemungkinan
penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih rendah pada auditee yang memiliki pertumbuhan penjualan yang tinggi daripada auditee yang memiliki pertumbuhan penjualan yang rendah.
Perusahaan yang mengalami pertumbuhan penjualan bukan berarti perusahaan
tersebut memperoleh jaminan bahwa perusahaan mengalami peningkatan laba
bersihnya, sehingga dengan adanya pertumbuhan penjualan belum tentu perusahaan
dapat lepas dari masalah keuangan yang sedang dihadapinya. Hal tersebut berarti bahwa
pertumbuhan penjualan tidak dapat menjamin perusahaan untuk bebas dari peneriman
pendapat going concern (Rudyawan dan Badera, 2009). Hasil penelitian ini mendukung penelitian Rudyawan dan Badera (2009); Santosa dan Wedari (2007); Setyarno et al. (2006); Fanny dan Saputra (2005) yang juga menemukan bukti bahwa pertumbuhan
perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pendapat going concern.
4.3.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern
Pada variabel ukuran perusahaan diketahui nilai koefisien regresi sebesar (1,269)
dan probabilitas sebesar (0,260 > 0,05) hal ini berarti, hasil penelitian tidak menerima
hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih rendah pada auditee yang memiliki total aset yang besar daripada auditee yang memiliki total aset yang kecil. Hasil ini menunjukkan bahwa baik perusahaan besar maupun perusahaan kecil,
peluang untuk menerima pendapat going concern atas hasil audit adalah sama besar tanpa memandang besar kecilnya perusahaan tersebut (Rahman dan Siregar, 2012).
Hasil penelitian ini konsisten dengen penelitian Rahman dan Siregar (2012), ukuran
perusahaan tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pendapat
Geiger dan Blay (2007) yang meneliti mengenai ukuran perusahaan dan pendapat going concern yang menemukan bukti bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan diantara keduanya.
4.3.4 Pengaruh Debt to Equity Ratio terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern
Pada variabel debt to equity ratio diketahui nilai koefisien regresi sebesar (0,024)
dan probabilitas sebesar (0,878 < 0,05) hal ini berarti hipotesis keempat tidak didukung
yang menyatakan kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih tinggi pada auditee yang memiliki Debt to Equity Ratio yang tinggi daripada auditee yang memiliki Debt to Equity Ratio yang rendah. Hasil ini tidak membuktikan bahwa salah satu indikator utama auditor dalam
memberikan pendapat going concern adalah dengan memperhatikan tingkat rasio utang perusahaan. Tinggi atau rendahnya tingkat rasio ini tidak akan berpengaruh terhadap
kemungkinan perusahaan menerima pendapat going concern. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam memberikan pendapat going concern , auditor tidak hanya berdasarkan pada sejauh mana modal dari pemilik perusahaan dapat menutupi utang perusahaan
kepada pihak eksternal, namun auditor lebih cenderung memperhatikan kondisi
keuangan perusahaan secara keseluruhan (Susanto, 2009). Dalam penelitian Petronela
(2004) juga disebutkan bahwa Debt to Equity Ratio kurang dipertimbangkan oleh auditor dalam memberikan pendapat going concern. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Susanto (2009) yang menemukan bahwa debt to equity tidak mempengaruhi seorang auditor dalam memberikan pendapat going concern.
4.3.5 Pengaruh Penundaan Rapat Pemegang Saham terhadap Pendapat Going Concern
Pada variabel penundaan rapat umum pemegang saham diketahui nilai koefisien
regresi sebesar -1,219 dan probabilitas sebesar (0,047 < 0,05) hal ini berarti penundaan
rapat umum pemegang saham berpengaruh terhadap kemungkinan penerimaan pendapat
going concern namun memiliki pengaruh negatif. Hal tersebut berarti bahwa hasil pengujian ini tidak menerima hipotesis kelima yang menyatakan kemungkinan
penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih tinggi pada auditee yang menunda rapat pemegang saham daripada auditee yang tidak menunda rapat pemegang saham. Hasil penelitian ini berlawanan dengan
hasil penelitian Knechel dan Vanstraelen (2007) yang menemukan bukti bahwa
yang menunda rapat umum pemegang saham. Hasil penelitian ini tidak mendukung
Knechel dan Vanstraelen (2007) bahwa penundaan rapat umum pemegang saham
mengindikasikan perusahaan sedang menghadapi masalah karena dalam keadaan
perusahaan menghadapi financial distress, sebagian besar perusahaan sampel tetap mengadakan rapat umum pemegang saham pada tanggal yang hampir sama dengan
tahun-tahun sebelumnya. Perusahaan yang menunda rapat umum pemegang saham
bukan berarti bahwa perusahaan tersebut sedang mengalami masalah. Perusahaan
menunda rapat umum pemegang saham kemungkinan dapat pula dikarenakan terdapat
perusahaan sedang menyiapkan hal-hal tertentu demi kemajuan perusahaan sehingga
kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih rendah pada auditee yang menunda rapat pemegang saham daripada auditee yang tidak menunda rapat pemegang saham.
5. Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan, dan Saran 5.1 Kesimpulan
Sesuai dengan pembahasan hasil analisis yang telah dilakukan pada bab
sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
(1) Hasil pengujian statistik secara bersama-sama menghasilkan kesimpulan bahwa,
faktor-faktor kualitas audit, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, debt to equity ratio, dan penundaan rapat umum pemegang saham secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap kemungkinan penerimaan
pendapat going concern. Sedangkan besarnya pengaruh kelima variabel independen tersebut terhadap variabel dependen adalah sebesar 9,9%, dan
sisanya sebesar 90,1% dipengaruhi oleh variabel diluar penelitian.
(2) Hasil pengujian statistik secara parsial menunjukkan bahwa hanya variabel
penundaan rapat umum pemegang saham yang memiliki pengaruh signifikan,
namun dalam hubungan negatif. Sedangkan variabel kualitas audit, pertumbuhan
perusahaan, ukuran perusahaan, dan debt to equity tidak memiliki pengaruh
secara signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini seluruhnya ditolak.
5.2 Implikasi
Hasil penelitian ini berkontribusi pada literatur dalam beberapa cara, antara lain:
(1) Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian baik
untuk kepentingan pendidikan ataupun praktisi dalam mengetahui kemungkinan