• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASA DEPAN SEKTOR MIGAS SEBAGAI PENOPANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MASA DEPAN SEKTOR MIGAS SEBAGAI PENOPANG"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ERINA MURSANTI

SEPTEMBER 2015

Discussion Paper

(2)

1

MASA DEPAN SEKTOR MIGAS SEBAGAI PENOPANG ANGGARAN NEGARA

GAMBARAN SEKTOR MIGAS INDONESIA

Indonesia telah dikenal sebagai negara produsen minyak pada era 1960-1990-an, dan menjadi anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) di tahun 1961-2008. Dalam masa kejayaannya, Indonesia mengalami dua kali puncak produksi minyak. Puncak pertama terjadi pada tahun 1977 dengan tingkat produksi yang mencapai 1,65 juta barel per hari (bph) dan tingkat konsumsi yang hanya sebesar 300.000 bph. Produksi yang sebesar itu dihasilkan dari kegiatan produksi yang dilakukan secara primary recovery1. Kemudian, puncak kedua terjadi pada tahun 1995 dengan produksi mencapai 1,6 juta bph dan tingkat konsumsi yang hanya 800 ribu bph. Puncak produksi yang kedua ini dapat tercapai dari hasil kegiatan Enhanced Oil Recovery (EOR)2

dengan cara injeksi air dan injeksi uap.

Namun setelah memasuki puncak

produksi di tahun 1990an, produksi

minyak Indonesia kemudian terus

mengalami penurunan.

Menurut data dari Kementerian ESDM, pada tahun 1997 produksi minyak mentah Indonesia sebesar 1,557 juta bph. Kemudian pada tahun 2006 turun lagi menjadi 1,071 juta bph dan pada tahun 2007 merosot hingga di bawah 1 juta bph yaitu 952 ribu bph. Gambar 1 menunjukkan tren dari produksi minyak Indonesia yang terus merosot sejak tahun 1965 hingga saat ini.

1

Menurut Widjajono Partowidagdo di dalam website Kementerian ESDM, primary recovery adalah cara memproduksikan sumur secara alamiah untuk dapat menghasilkan hidrokarbon (minyak dan gas bumi) dengan tekanan reservoir yang ada menggunakan pompa (pompa angguk maupun pompa subpermisible) atau dengan gas lift. http://esdm.go.id/berita/56-artikel/3102-mengenal-ekonomi-migas-1-kegiatan-sektor-hulu-migas.html

2

Diketahui dari berbagai sumber bahwa penggunaan metode EOR dalam kegiatan eksploitasi migas dapat menyedot cadangan migas yang tidak dapat disedot ketika kegiatan eksploitasi menggunakan teknologi konvensional seperti yang ada dalam metode primary dan secondary recovery.

Sumber: BP Stastical Review 2013

(3)

2

Perubahan angka produksi minyak ini memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian nasional Indonesia. Sebab pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menetapkan lifting minyak dan gas sebagai salah satu asumi dalam menyurun kerangka ekonomi makro yang merupakan patokan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lifting atau volume yang minyak mentah dan gas bumi yang dijual dari titik penyerahan merupakan dasar bagi perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas.

Ketika produksi minyak menurun, dapat dipastikan bahwa lifting minyak pun ikut menurun. Dan dalam kurun waktu belas tahun terakhir, terlihat bahwa realisasi lifting

minyak Indonesia terus mengalami penurunan hingga 40% apabila dibandingkan dengan tahun 2000. Bahkan, realisasi lifting minyak juga tak mampu mencapai target yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam APBN tahun 2000 pemerintah menetapkan target lifting minyak sebesar 1.460 ribu bph, namun realisasi yang tercapai hanya sebesar 1.328 ribu bph. Demikian pula pada tahun 2015, dimana target lifting minyak yang ditetapkan dalam APBN-Perubahan 2015 sebesar 825 ribu bph; namun diperkirakan realisasi yang akan tercapai hingga akhir tahun 2015 hanya berkisar 812 ribu bph. Tingkat penurunan realisasi lifting

minyak ini mencapai hingga 40% apabila dibandingkan dengan tahun 2000 (lihat gambar 2).

Melihat kecenderunan penurunan ini, maka pada tahun APBN 2016 Pemerintahan menetapkan target lifting minyak bumi sebesar 830 ribu bph, sebuah angka yang dianggap sangat realistis dengan situasi saat harga minyak di pasar internasional yang terus merosot sejak awal tahun 2015. Namun angka ini juga belum dianggap final karena masih menjadi pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

(4)

3

Penurunan lifting minyak itu sendiri merupakan sebuah situasi yang tak dapat dihindarkan lagi karena banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan tersebut , seperti:

(a) proses penemuan sumber minyak yang semakin lama (sukses rasio eksplorasi yang mengecil) dan juga keterlambatan izin yang menyebabkan kegiatan eksplorasi terlambat beroperasi sehingga pada akhirnya mengakibatkan cadangan minyak yang tersedia semakin menipis;

(b) cuaca yang tidak mendukung untuk melakukan kegiatan eksplorasi serta kondisi sumur eksplorasi yang sudah tua dengan fasilitas operasi produksi yang sudah menua ikut turut menyebabkan penurunan produksi minyak;

(c) faktor politis seperti kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam menetapkan target lifting minyak nasional yang sering sekali menjadi faktor yang sangat berpengaruh.

REFLEKSI KONTRIBUSI MIGAS DALAM APBN

Dengan melihat kecenderungan realisasi minyak bumi yang terus menurun dan tren realisasi gas bumi yang meningkat, maka penting bagi banyak pihak untuk melihat lebih dalam mengenai perkembangan dan kecenderungan penerimaan dari sektor minyak dan gas ke depan. Sebab terlihat adanya sebuah fenomena yang menarik, dimana dalam kurun waktu 2000-2014 (lihat gambar 4), penerimaan sektor migas justru mengalami peningkatan hingga 220,34%. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, tingkat

0

Realisasi Lifting Minyak Bumi (ribu barel per hari)

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Realisasi Lifting Gas Bumi (ribu barel setara minyak per hari)

Realisasi

Sumber: diolah dari data Kementerian Keuangan dan ESDM

Gambar 2

Realisasi lifting minyak bumi 2000-2014

Gambar 3

(5)

4

dibandingkan tingkat kenaikan dalam periode 2000-2008, yang mencapai hingga 220,34 (dari Rp 95.000 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 304.322 miliar).

Tingkat kenaikan penerimaan sektor migas yang, bisa dibilang, sangat kecil selama 7 tahun terakhir ini tentunya akan mempengaruhi anggaran pembangunan Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa dapat dikatakan jika tingkat kenaikan penerimaan sektor migas yang sangat kecil ini diakibatkan oleh menurunnya realisasi

lifting minyak nasional yang sangat drastis. Kenaikan lifting gas nasional selama

beberapa tahun belakangan kenyataannya tidak mampu menggantikan penurunan

lifting minyak nasional dan penerimaan sektor migas.

Ketidakpastian dalam merealisasikan lifting migas nasional tentunya akan

menyebabkan ketidakstabilan fiskal dalam APBN. Pemerintah bersama dengan DPR tentu harus memikirkan situasi ini secara serius. Sebab seperti yang dijelaskan oleh pemerintah melalui Dirjen Migas, Kementerian ESDM, setiap penurunan lifting minyak sebesar 10 ribu barel dengan kurs, ICP dan cost recovery tetap akan berdampak pada hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 1,6-3 triliun. Sedangkan menurut pemerintah melalui Dirjen Anggaran, Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa ketika ada

0

Penerimaan sektor migas (Rp miliar)

Penerimaan sektor migas (Rp miliar)

Gambar 4

Penerimaan sektor migas 2000-2014

(6)

5

berdampak pada hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 3,4-3,9 triliun.

Konsekuensi lain dari menurunnya atau stagnasi lifting minyak nasional adalah ketidakpastian alokasi Dana Bagi Hasil Migas (DBH Migas) yang dibagi pemerintah pusat ke pemerintah daerah-daerah penghasil migas. Berdasarkan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, besaran angka DBH untuk masing-masing daerah disesuaikan dengan memperhatikan potensi daerah dalam menghasilkan migas. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi jumlah lifting migas nasional suatu daerah maka DBH daerah tersebut akan ikut meningkat dan sebaliknya.

Volatilitas harga komoditi minyak mentah dunia yang terus turun dari tahun 2011 dengan ditambah menurunnya lifting minyak nasional telah mengakibatkan jumlah DBH migas yang dialokasikan pemerintah pusat untuk daerah ikut merosot hampir 50%. Berdasarkan data realisasi APBN dari Kementerian Keuangan, diketahui bahwa jumlah DBH yang dialokasikan pemerintah pusat menurun dari Rp 47.397 miliar pada tahun 2012 menjadi sekitar Rp 24.5550 miliar (dalam APBNP) pada tahun 2015. Akibatnya pemerintah daerah harus melakukan rasionalisasi anggaran untuk dapat menyesuaikan realisasi pendapatan dengan rencana pembangunan yang ada.

Seperti yang terjadi pada pemerintah daerah Riau, pada awal tahun 2015, yang harus melakukan rasionalisasi anggaran sampai dengan 1 triliun lebih untuk menutupi pemasukan kas daerah. Hal ini adalah sebagai konsekuensi dari rendahnya realisasi

ICP yang mengakibatkan DBH migas ke Riau ikut menurun hingga 50%3. Sama halnya

dengan Bojonegoro. Sebagai salah satu kabupaten kaya minyak, Bojonegoro harus menunda beberapa proyek yang telah direncanakan sebagai akibat dari penurunan PAD 2015 yang dikarenakan harga minyak mentah yang merosot.

SEKTOR

MIGAS

MASIH

DIANDALKAN

SEBAGAI

PENOPANG

ANGGARAN NEGARA?

Situasi ini kemudian memunculkan pertanyaan apakah sektor migas masih mampu diandalkan sebagai penopang APBN dan APBD ke depannya? Ada empat alasan yang

3

Menurut penuturan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), M Yafiz, kepada riauplus.com

(7)

6

menjadi penyebab mengapa sektor migas perlu dipertimbangkan ulang sebagai sumber pendapatan dan belanja negara di masa depan. Empat alasan tersebut adalah:

1) Penurunan kontribusi sektor migas dalam pendapatan negara

Peranan penerimaan sektor migas tidak lagi dominan seperti dalam pendapatan negara pada kurun waktu 1969-1993. Berdasarkan realisasi anggaran yang diperoleh dari Kementerian Keuangan, tren kontribusi sektor migas terhadap pendapatan negara pada periode 2000-2014 menurun, dari 46% pada tahun 2000 menjadi hanya sekitar 17% pada tahun 2014 (lihat gambar 5).

Penurunan kontribusi sektor migas dalam pendapatan negara juga tercermin dari menurunnya kontribusi PNBP dari sektor migas di dalam PNBP pada periode 2004-2014; meskipun PNBP dari sektor migas tersebut masih merupakan komponen yang dominan dalam PNBP. Berdasarkan data realisasi APBN dari Kementerian Keuangan, kontribusi PNBP dari sektor migas dalam PNBP pada tahun 2004 yaitu sebesar 70% dan kemudian turun menjadi sekitar 54% pada

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Kontribusi penerimaan migas terhadap pendapatan negara

Kontribusi

Kontribusi penerimaan migas terhadap pendapatan negara

(8)

7

2) Penurunan kontribusi sektor migas dalam pendapatan daerah

Alokasi DBH migas ke daerah dari pusat menganut dua prinsip, yaitu by origin

(dimana daerah penghasil mendapatkan porsi yang lebih besar dan daerah lain dalam propinsi tersebut mendapatkan bagian pemerataan dengan porsi tertentu) dan based on actual revenue (dimana penyalurannya berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan). Oleh karena itu, ketika tren dari kontribusi penerimaan sektor migas dalam pendapatan negara menurun, maka tren dari kontribusi penerimaan sektor migas dalam pendapatan daerah akan ikut menurun, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 7.

0 Kontribusi sektor migas dalam PNBP

Kontribusi sektor migas dalam PNBP

Gambar 6

Kontribusi penerimaan dari sektor migas terhadap PNBP

(9)

8

3) Penurunan ketersediaan cadangan minyak dan gas bumi

Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan minyak bumi semakin turun dari 8,61 milyar barel pada tahun 2004 hingga 7,73 milyar barel pada tahun 2011. Selain itu, diketahui pula bahwa pada tahun 2013, Indonesia yang berada di posisi ke 28 dalam daftar negara kaya minyak di dunia hanya memiliki 0,3% dari cadangan terbukti minyak dunia, yaitu sekitar 3,74 miliar barel (BP Statistical Review of World Energy, 2013).

Dengan asumsi tingkat produksi minyak bumi konstan pada angka 800 ribu bph setiap tahun, maka cadangan minyak bumi tersebut memiliki reserve to

production ratio hingga 11 tahun. Sebagai kelanjutan dari produksi minyak yang

terus turun, maka pada tahun 2025 produksi minyak Indonesia hanya akan mencapai 400.000 bph. Bahkan, menurut proyeksi dari Pengkajian Energi Universitas Indonesia, kandungan minyak diperkirakan hanya akan bertahan

Sumber: Kementerian Keuangan

Gambar 7

(10)

9

hingga tahun 2025 jika cadangan-cadangan minyak di Indonesia yang baru tidak dapat diketemukan.

Begitu pula halnya dengan gas bumi. Cadangan gas bumi pun terus turun dari tahun ke tahun dalam periode 2004-2012. Pada tahun 2004, cadangan gas bumi sebesar 188,34 milyar barel lalu turun menjadi 150,70 milyar barel. Berdasarkan status pada tahun 2008, jumlah cadangan gas bumi mencapai 170 TSCF dan dengan tingkat produksi per tahun yang mencapai 2,87 TSCF, maka Indonesia memiliki reserve to production ratio mencapai 59 tahun.

4) Volatilitas harga komoditi minyak dan gas

Harga minyak mentah Indonesia dari tahun 2005-2014 sangat fluktuatif namun sejak tahun 2011 hingga saat ini harga minyak mentah Indonesia selalu mengalami penurunan dari 111 US$/barel pada 2011 menjadi tidak lebih dari 40 US$/barel pada pertengahan 2015. Hal ini sebenarnya sebagai konsekuensi dari menurunnya harga minyak mentah dunia.

STRATEGI PEMERINTAH UNTUK MENGANTISIPASI KURANGNYA

PENERIMAAN NEGARA DARI SEKTOR MIGAS

Selama ini, Indonesia memiliki pola pembangunan yang berbasis pada sektor migas. Hal ini terlihat pada dijadikannya lifting migas nasional dan ICP sebagai asumsi dasar makro dalam penyusunan APBN setiap tahun anggarannya. Hal ini tidak akan menjadi persoalan besar jika cadangan minyak dan gas Indonesia sangat berlimpah. Namun, saat ini, ketika cadangan migas semakin menurun sehingga diperkirakan akan habis 10-15 tahun lagi, apabila tidak ada penemuan cadangan yang baru, maka diperlukanlah strategi pemerintah untuk mengantisipasi kurangnya penerimaan negara dari sektor migas supaya rencana pembangunan yang sudah dianggarkan dalam APBN tidak akan terganggu.

Di atas sudah dijelaskan bahwa reserve to production ratio minyak bumi adalah 11 tahun dan gas bumi adalah 59 tahun. Kemudian situasi ini memunculkan dua pertanyaan, yaitu:

(11)

10

migas di dalam bumi Indonesia, sehingga diharapkan rencana pembangunan yang ada tidak akan terganggu;

(2) Langkah apa yang harus dilakukan pemerintah daerah, terutama daerah-daerah penghasil minyak dimana APBD nya memiliki ketergantungan yang tinggi pada DBH migas supaya kejadian seperti pemerintah daerah Riau dan Bojonegoro tidak akan terulang kembali pada pemerintah daerah yang lain.

Harus ada upaya sinergis dalam pemerintah untuk dapat mengatasi situasi ini sehingga dapat menjawab dua pertanyaan di atas. Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian ESDM, harus dapat menjamin ketersediaan pasokan migas untuk memenuhi kebutuhan migas di saat Kementerian Keuangan harus memikirkan secara detil bagaimana komposisi pendapatan dan belanja negara supaya kegiatan pembangunan yang sudah dianggarkan dalam APBN tidak terganggu.

Strategi menjaga ketersediaan pasokan minyak dan gas bumi

Dalam rangka mengatasi cadangan migas yang menipis di saat kebutuhan migas meningkat, Kementerian ESDM saat ini merubah paradigma dalam pengelolaan industri migas menjadi:

(1) energi, ke depannya, bukan dipandang sebagai komoditas, melainkan sebagai pendorong untuk memicu kegiatan ekonomi lainnya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi;

(2) energi, ke depannya, tidak lagi mengikuti orang, namun orang yang akan mengikuti energi sehingga kegiatan ekonomi yang diikuti dengan meningkatnya kebutuhan energi akan lebih diarahkan di luar pulau jawa sehingga diharapkan, pada akhirnya, kegiatan ekonomi tidak hanya berpusat di pulau jawa saja;

(3) pengelolaan energi yang selama ini sarat dengan polusi yang dihasilkannya, diharapkan, ke depannya, pengelolaan energi akan lebih ramah lingkungan.

Secara teknisnya, ada beberapa hal yang menjadi program strategis hulu migas yang dilakukan Kementerian ESDM untuk meningkatkan cadangan migas Indonesia, yaitu:

(a) melakukan pergeseran pencarian cadangan migas dari kawasan barat Indonesia ke bagian timur Indonesia;

(12)

11

(c) mempercepat produksi di lapangan, yang saat ini berjumlah sekitar 60-an;

(d) melakukan konservasi produksi migas dengan metode EOR, pengelolaan sumur tua dan pemanfaatan gas suar.

Sementara itu, Kementerian ESDM juga melakukan beberapa program strategis hilir migas seperti:

(a) pembangunan kilang baru dengan tiga skenario yaitu dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, dibiayai oleh investor, atau melalui kerjasama antara pemerintah dan investor (skema pulic private partnership);

(b) diversifikasi bahan bakar dari bbm dan minyak tanah menjadi bbg dan elpiji. Diversifikasi energi ini perlu dilakukan dari sekarang untuk mencapai target bauran energi primer pada tahun 2025 yang telah diatur di dalam PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang menyatakan bahwa pada tahun 2025 peran energi baru dan terbarukan paling sedikit 23%, minyak bumi kurang dari 25%, batubara minimal 30% dan gas bumi minimal 22%;

(c) perbaikan infrastruktur energi seperti pembangunan pipa, pembangunan virtual

pipeline untuk daerah yang tidak bisa dipasok dengan pipa, pembangunan bbm storage

untuk masyarakat Indonesia bagian timur.

Selain program hulu dan hilir migas, di bawah paradigma bahwa energi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga sedang melakukan revisi UU migas untuk mengatur bagaimana pengelolaan energi yang lebih baik dimana salah satu tujuannya yaitu untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi penunjang supaya terciptalah suatu kondisi dimana expenditure perusahaan energi bisa dinikmati oleh masyarakat luas sehingga tercipta multiplier effect yang besar, sebagai contoh dari penyerapan tenaga kerja yang lebih besar, bahan baku dari industri manufaktur yang lebih baik, teknologi yang lebih baru, penerimaan pajak yang lebih besar (dari pph tenaga kerja dan ppn industri), dan lain sebagainya. Hal ini didasari bahwa, menurut Kementerian ESDM, sektor migas memberikan multiplier 1,5 kali dibandingkan penerimaan migas itu sendiri.

Strategi menjaga kestabilan pendapatan negara

(13)

12

penerimaan dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dimana PNBP dari sektor migas merupakan komponen yang paling mendominasi PNBP. Oleh karena itu, ketika PNBP migas menurun yang kemudian menyebabkan PNBP ikut menurun, maka sebaiknya penerimaan dari pajak dapat ditingkatkan untuk meningkatkan pendapatan negara dalam rangka mengantisipasi turunnya penerimaan dari sektor migas. Gambar 8 menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 kontribusi penerimaan dari pajak terhadap pendapatan negara mengalami peningkatan, bahkan dalam periode 2000-2014 kontribusi penerimaan dari sektor migas perlahan-lahan mulai digantikan oleh kontribusi penerimaan dari pajak.

Bagi pemerintah daerah, selain penerimaan dari pajak daerah, pemerintah daerah memiliki alternatif sumber pendapatan yang diharapkan dapat mengkompensasi turunnya penerimaan dari sektor migas yaitu penerimaan dari retribusi dan penerimaan dari aset pemerintah daerah yang disimpan di perbankan seperti tabungan simpanan, deposito, giro, dan lain sebagainya.

0%

Kontribusi penerimaan migas dan penerimaan pajak terhadap pendapatan negara

(14)

13

Strategi pembangunan (jangka panjang) tanpa sektor migas

Pada saat ini, ketika penerimaan dari sektor migas semakin menurun dan kontribusinya terhadap pendapatan, baik negara dan daerah, juga semakin menurun, lifting minyak bumi pada nyatanya masih bisa dan masih pantas untuk dijadikan sebagai patokan asumsi makro ekonomi dalam penyusunan APBN karena jumlahnya secara nominal masih dirasa signifikan.

Meskipun begitu, pemerintah harus memikirkan bagaimana pendapatan negara dapat mengurangi ketergantungannya terhadap sektor migas sehingga pembangunan tetap akan berjalan sesuai rencana walaupun ada ketidakstabilan penerimaan dari sektor migas. Ada beberapa hal untuk dapat melakukan ini:

(1) melakukan shifting pembangunan ekonomi seperti yang telah dilakukan oleh Dubai yang melakukan shifting dari pusat minyak menjadi pusat jasa dan pusat keuangan; (2) menggunakan penerimaan dari sektor migas untuk investasi publik sehingga dapat mengembangkan sektor ekonomi lainnya seperti, pembangunan pelabuhan dan pembangunan bandara, bukan untuk konsumsi (Sachs, Jeffrey D. and Joseph E. Stiglitz, 2007);

(15)

14

D

is

c

u

s

s

io

n P

a

p

e

r

|

9

/

2

3

/

2

0

1

5

References:

http://riauplus.com/ekonomi/8796-harga-migas-dunia-menurun-dbh-riau-berkurang.html

https://www.bp.com/content/dam/bp/pdf/statistical-review/statistical_review_of_world_energy_2013.pdfhttps://migas101.wordpress.com/page/2/

http://www.suarabojonegoro.com/2015/09/dbh-migas-turun-pemkab-pangkas-beberapa.html?m=1

Sachs, Jeffrey D. and Joseph E. Stiglitz. Escaping the Resource Curse. Columbia: Columbia University Press. 2007

www.anggaran.depkeu.go.id

Gambar

Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia
Gambar 2 Gambar 3
Gambar 6
Gambar 7  Kontribusi penerimaan migas terhadap pendapatan daerah
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan huruf awal kapital hanya untuk Allah bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau tulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf

Nilai dari koefisien regresi (b2) sebesar 0,143 dengan adanya pengaruh positif menun- jukkan bahwa rasio total utang terhadap total aktiva (total debt to total assets

PT Sri Rejeki Isman Tbk (“Sritex“) adalah salah satu perusahaan tekstil ter-integrasi terbesar di Asia Tenggara, yang terdiri dari empat jenis produksi Benang, Kain Mentah, Kain

Lembaga Pengembangan Jasa Informasi Geospasial L P J I G Akreditasi SKKNI Kemenaker Lembaga Sertifikasi Badan Usaha Lembaga Sertifikasi Badan Usaha Lembaga Sertifikasi Badan

Berdasarkan latar belakang yang ada, maka dibutuhkan sebuah aplikasi Sistem Pengaman Data dengan Menggunakan Metode MD5 dan Private Key pada Aplikasi Berbasis Client Server

Pasangan Kepala Rumah Tangga Kepala Rumah Tangga Anggota Rumah Tangga Lain diatas 18

Variasi kerentanan kekeringan daerah tersebut dapat diketahui dengan menggunakan data hujan (kekeringan meteorologi), data hidrologis (air permukaan dan air tanah),

Selain itu pasien juga diinstruksikan untuk menjaga kebersihan mulut, instruksi pemakaian madu yang dioleskan ke bibir 3x sehari dan memperbanyak konsumsi air putih,