• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH (1)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh : Abdurrahman Rahim, SH.I.,MH 1 * Abstrak

Tulisan ini mengangkat tentang sejauh mana kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah umumnya dan perbankan syariah khususnya pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Isu utama sesungguhnya adalah sejauh mana pemahaman atas putusan MK benar-benar memberikan kewenangan mutlak kepada Peradilan Agama tanpa ada lagi pilihan forum penyelesaian ke Peradilan Umum. Lalu bagaimana dengan pilihan forum lain secara Non litigasi dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut, apakah ikut tidak berkekuatan hukum mengikat lagi? Tulisan ini bisa dikatakan bersifat deskriptif analitis dalam penyajiannya, dimulai dari penyajian kewenangan PA pasca Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama, berlanjut kepada pasca Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan pada akhirnya Pasca Putusan MK sendiri. Data-data yang digunakan adalah data primer, sekunder termasuk data terkini seperti wawancara dengan Ketua Mahkamah Konstitusi pasca putusan MK yang dicoba dikomparasikan sebagai bahan analisis.

Sesuai dengan analisa hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa choice of forum baik secara litigasi (Peradilan Umum) maupun non litigasi untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah yang di tentukan dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 Undang-Undang No 21 tahun 2008 tidak lagi mempunyai hukum mengikat secara keseluruhannya tanpa terkecuali. Peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, namun jika para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan di pemaparan analisisnya, saran dan kritik sangat membantu penulis untuk memperbaikinya di masa yang akan datang.

I. PENDAHULUAN

Jauh sebelum putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diketok pada tanggal 29 Agustus 2013, polemik mengenai pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk dijudicial review sudah sering diangkat dalam diskusi-diskusi, seminar, penelitian, jurnal bahkan sudah 1

*Hakim pada Pengadilan Agama Sambas-Kalimantan Barat

(2)

pernah diajukan materi permohonan serupa ke MK oleh seorang dosen Universitas Islam Indonesia bernama Dadan Muttaqien meskipun pada akhirnya dicabut (hukumonline.com). Hasil penelitian atau seminar seakan mengerucut kepada kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah akan menuai pertentangan di kemudian hari dikarenakan salah satu materi Undang-Undang tersebut, yaitu Pasal 55 ayat 2 dan 3 beserta penjelasannya berpotensi menimbulkan legaldisorder (kegaduhan hukum). (Tesis. Abdurrahman Rahim, UGM: 2011)

Pasal 55

(1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;

(2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad.

(3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55

(1) Cukup jelas

(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah upaya sebagai berikut;

a. Musyawarah;

b. Mediasi perbankan;

c. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum.

(3) Cukup jelas.

(3)

55 ayat 1 tersebut dikarenakan telah singkron dengan Undang-Undang yang mengatur sebelumnya.

Dalam penjelasan Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 dinyatakan apabila para pihak memperjanjikan maka penyelesaian dapat dilakukan sesuai akad. Manakala dilihat pada penjelasan Pasal 55 ayat 2 tersebut, pilihan penyelesaian sesuai akad tersebut “dibatasi” di antaranya melalui jalur non litigasi dan litigasi. Diantara pilihan melalui non litigasi adalah jalur musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), sementara jalur litigasi adalah melalui Peradilan Umum.

Hasil analisa yuridis bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut terjadi dualisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dimana Pasal 55 ayat 2 memberi ruang yang sama dalam hal kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah kepada “Peradilan Umum”. Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, DR. H. Andi Syamsu Alam, SH,.MH menyatakan bahwa ada kesan dari pembuat Undang-Undang bahwa yang berwenang mengadili sengketa Perbankan syari'ah adalah dua badan peradilan yaitu Peradilan Agama dan juga Peradilan Umum.

“pada waktu Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 lahir, PA secara Absolut menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, termasuk perbankan syari'ah, adanya undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah ada pandangan pembuat Undang-Undang bahwa dua-duanya (PA-PN) berwenang mengadili, kita tidak tahu mengenai politik hukumnya kenapa sampai ini terjadi karena itu wewenang pemerintah dan DPR,” (wawancara, 29 Nopember 2010 di ruang Kerja Tuada Uldilag MARI)

Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 secara yuridis dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Kenapa Undang-Undang yang datang kemudian bisa bertentangan dengan Undang-Undang yang sebelumnya sudah mengatur tentang forum penyelesaian sengketa? Disinilah mulai perdebatan panjang mengenai produk hukum Undang-Undang tentang Perbankan Syariah yang pertama kali lahir hingga pada lahirnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012.

(4)

melahirkan Pasal 55 ayat 2 sehingga menjadi masalah dikemudian hari. Salah satu data yang perlu dikaji untuk mengetahuinya tentu dengan menganalisa risalah persidangan pembahasan dari awal hingga menjadi Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Dengan mengkaji risalah sidang pembahasan pembuatan Undang-Undang, setidaknya dapat menganalisa tarik ulur serta perdebatan apa yang berlangsung selama pembahasan sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai faktor kepentingan apa yang menyusupi pikiran para pembuat Undang-Undang serta kemana arah politik hukum saat pembuatannya. Namun pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba fokus kepada pembahasan mengenai kewenangan PA pasca putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012.

II. PEMBAHASAN

A. Tarik Ulur Kewenangan Peradilan Agama Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006

Diangkatnya point tersebut di atas bukanlah tanpa alasan, timbul pertanyaaan bukankah tonggak kebangkitan Peradilan Agama secara yuridis telah dimulai pasca undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama atau setidak-tidaknya bergeser ke belakang lebih jauh sejak dilahirkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan? Alasan

Pertama, setidaknya lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 merupakan tonggak

sejarah di era milinium dimana Peradilan Agama bangkit dari masa kelam dan menggeliat dengan diberikannya kewenangan baru di luar kewenangan menangani masalah perdata keluarga yang secara politik hukum merupakan suatu pergeseran yang signifikan dari pembuatan Undang-Undang Peradilan Agama.

Kedua, Perdebatan mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama dalam menangani

(5)

Pertama, dihapuskannya hak opsi dalam penyelesaian perkara waris. Hak opsi menurut

Abdullah Tri Wahyudi dalam (Anshori, 2007: 51) adalah hak untuk memilih sitem hukum yang dikehendaki para pihak berperkara sebagai acuan hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum butir kedua bahwa “Bidang kewarisan adalah mengenai siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana berdasarkan hukum Islam. Sehubungan dengan hal tersebut para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”.

Dalam Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan hak opsi telah dihapuskan. Sehingga kewenangan PA semakin kokoh dan tidak lagi seperti kerakap di atas batu, dimana saat hak opsi diberlakukan bagi orang Islam maka terbuka peluang yang sangat besar terhadap pengenyampingan hukum Islam oleh penganutnya sendiri. Peradilan Agama ibaratkan punya “gigi tapi tumpul” punya kewenangan tapi tidak sepenuhnya diberikan karena “umatnya” sendiri dapat berpaling dari Peradilan Agama yang notabene menyelesaikan dengan sistem hukum Islam. (Basiq jalil,2006: 3)

Penghapusan hak opsi dalam menyelesaikan sengketa kewarisan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tersebut menurut Ketua Panja RUU tentang Peradilan Agama, Akil Mukhtar, secara sosiologis sudah benar karena umat Islam punya hak untuk bisa mengikuti hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’ah/Agama Islam. Hukum waris Islam merupakan wilayah Agama dan diatur dalam syari’at Islam, maka untuk menyelesaikannya sudah tentu lembaga litigasi yang subjek hukumnya orang-orang Islam yaitu Peradilan Agama.

(6)

Kedua, sengketa kepemilikian. Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 diatur

manakala terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lainnya selama subjek hukumnya adalah orang-orang Islam maka diselesaikan melalui Pengadilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50 Undang-Undang tersebut.

Pasal 50

(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Sebelumnya dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan dalam perkara yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, sengketa tersebut terlebih dahulu diselesaikan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini menurut penulis sangat merugikan secara politik hukum dalam hal penegakan/implementasi hukum dalam masyarakat. Di satu sisi Undang-Undang sudah memberikan kewenangan mengadili tetapi dalam hal yang sama Undang-Undang juga membatasinya, sehingga terkesan bahwa Undang-Undang tidak bersunguh-sungguh memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama.

Ketiga, asas penundukan diri terhadap hukum Islam. Menurut penulis hal ini dapat

dikatakan sebagai suatu perubahan mendasar dan fundamental dari lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006. Sebagaimana diketahui bahwa asas yang berlaku pada Peradilan Agama salah satunya ialah “Asas personalitas keIslaman”. Artinya bahwa Pengadilan Agama hanya menyelesaikan perkara-perkara perdata tertentu sebagaimana kewenangan yang diberikan kepadanya selama subjeknya adalah orang-orang yang beragama Islam saja. Sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang..”

(7)

hukum Islam, jika salah satu atau keduanya tidak terpenuhi maka terhadap kedua belah pihak yang bersengketa tidak berlaku asas personalitas keIslaman.

Namun dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Maksud dari Undang-Undang tersebut seperti dijelaskan oleh Ketua Panja RUU tentang Peradilan Agama Akil Mukhtar, bahwa yang dapat ditundukkan atau yang dapat tunduk kepada kewenangan Pengadilan Agama bukan hanya orang-orang yang beragama Islam saja, tetapi siapapun baik personal (perorangan) maupun badan hukum, muslim maupun Non muslim boleh menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Agama selama menundukkan dirinya terhadap hukum Islam secara sukarela. Sebagaimana kutipan wawancara dengan Akil Mukhtar;

“kalau dulu Peradilan Agama hanya boleh mengadili orang-orang yang secara formil dapat dibuktikan dia bergama Islam saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, namun sekarang sudah diperluas bahwa siapapun selama dirinya menundukkan diri kepada hukum Islam secara sukarela maka boleh menyelesaikan perkaranya di Peradilan Agama, hal ini seiring dengan pemberian kewenangan kepada Peradilan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, maka demikianlah politik hukumnya saat itu” (wawancara tanggal 27 April 2010 di ruangan kerja hakim Mahkamah Konstitusi).

Sudah jelas bahwa latar belakang dimasukkannya asas penundukan diri terhadap hukum Islam adalah dikarenakan perluasan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sebab dalam perspektif praktek bisnis syariah sangat dimungkinkan keterlibatan Non Muslim sehingga diperbolehkan bagi dirinya untuk tunduk terhadap hukum Islam.

Keempat, perluasan kewenangan PA dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah

(8)

Ada tiga kewenangan Peradilan Agama dalam UU tersebut yang terbilang masih baru, diantaranya kewenangan menyelesaikan perkara Zakat, infaq dan sengketa ekonomi syariah. Namun yang menjadi fokus penelitian ini adalah kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Ekonomi syari’ah sendiri sangat luas sekali cakupannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, meliputi; a. Bank syari’ah, b...dst.

Siapa sangka proses lahirnya pasal 49 huruf (i) begitu alot dan penuh perjuangan, terlebih perjuangan meyakinkan para pembuat Undang-Undang dan pemerintah akan kesiapan PA serta mematahkan stigma negatif mereka terhadap PA. Berbagai resistensi (penolakan) dari berbagai pihak dan meragukan kemampuan Peradilan Agama mengemban amanah baru tersebut khususnya menyelesaikan Ekonomi Syari’ah.

Alasan ketidakmampuan hakim Peradilan Agama dalam meyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah diakui Akil Mukhtar mantan mantan ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Peradilan Agama sebagai alasan yang tidak bisa diterima dari sisi akademis, yuridis maupun sosiologis. Hakim Peradilan Agama tentu lebih paham mengenai ekonomi syariah ketimbang hakim dari peradilan lainnya sebab secara akademisi sebagian besar hakim PA adalah lulusan Hukum Syariah dan secara yuridis bahwa hukum Islam diakui oleh negara untuk boleh tunduk kepadanya dan menjadikannya hukum positif.

“Argumentasi di DPR bahwa ketidakmampuan PA dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah sangat sulit diterima mengingat masyarakat Indonesia yang beragama Islam itu punya landasan hukum yang kuat yang diakui oleh negara bahwa ia bisa tunduk kepada hukum Islam sebagai hukum positif yang bisa mengikat masyarakat Indonesia,” (wawancara dengan Akil Mukhtar, Gedung MK tanggal MK, 27 April 2010).

B. Kewenangan PA Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.

(9)

kontra dan kompromi-kompromi apa yang terjadi dalam pembahasan. Namun Pasal yang paling krusial dan menuai pro kontra adalah ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam pasal 55 ayat 1, 2 dan 3.

Pasal 55

(1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;

(2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad.

(3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55

(1) Cukup jelas

(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah upaya sebagai berikut;

e. Musyawarah;

f. Mediasi perbankan;

g. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

h. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum.

(3) Cukup jelas.

Berdasarkan hasil analisis yuridis bahwa pasal 55 ayat 2 tersebut terjadi dualisme lembaga litigasi penyelesaian sengketa ekonomi syariah, di satu sisi diberikan kewenangan mutlak kepada Peradilan Agama (pasal 55 ayat 1), dan disisi lain dibuka kran penyelesaian di pengadilan umum (Pasal 55 ayat 2). (Rahim, Abdurrahman, Tesis, UGM; 2009-2010)

(10)

Hasil analisis yuridis Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pasal 55 ayat 2 tersebut juga berpotensi menyebabkan kekacauan hukum karena antara ayat 1 dengan ayat 2 dari Pasal 55 tersebut saling bertentangan. Ada pilihan forum (choice of forum) dua lembaga litigasi dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari'ah.

Pertama, Ayat 1 dari Undang-Undang tersebut telah menyatakan dengan tegas lembaga

yang berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perbankan syari'ah adalah Peradilan Agama. Kedua, ayat 2 menyatakan jika telah diperjanjikan atau jika para pihak telah melakukan akad terlebih dahulu maka boleh merujuk kepada isi akad tersebut. Makna dari ayat 2 tersebut mengandung kebebasan berkontrak dari para pihak dalam melakukan suatu akad. Hal ini sebenarnya sudah sesuai atau sejalan dengan asas hukum perikatan atau hukum perjanjian Islam dan teori hukum perjanjian dan ketentuan tersebut terkait dengan asas kebebasan berkontrak.

Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolut, artinya sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil, Syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran Agama. (Djamil, 2001:249).

Demikian pula Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) menyebutkan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “semua” dipahami mengandung asas kebebasan berkontrak, yaitu suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian, b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun, c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan d. menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan.

(11)

secara tegas memberikan pengertian mengenai sebab yang halal. Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dari Pasal ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan halal adalah bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Berkaitan dengannya bahwa Pasal 55 Ayat 2 tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 55 ayat 1 dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, oleh sebab itu apabila kontrak yang dibuat bertentangan dengan hukum maka akibatnya batal demi hukum. Hakim Agung Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa ayat 1 dari Pasal 55 tersebut merupakan pasal induk yang mengatur soal kewenangan dan sesuai menurut aturan hukum, sedangkan ayat 2 tersebut hanyalah Pasal alternatif dan Pasal alternatif tidak boleh bertentangan dengan Pasal induknya. (wawancara, 24 April 2010,di UMJ Jakarta dan Mimbar Hukum, edisi 70 hal 22). Pertanyaannya adalah kenapa Pasal itu lahir sedangkan bertentangan dengan hukum.? Hal ini kembali kepada makna dan kembali kepada politik hukum pembuatan Perundang-Undangan yang melatar belakanginya.

Bahkan Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa ayat (2) Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 terdapat ketentuan yang bersifat ketentuan menghindar dari keadaan normal (exilled clausule) atau bisa dikatakan sebagai ketentuan khusus dari keadaan umum

(speciallis clousule), dimana ketentuan ayat (2) tersebut bukanlah Lex Specialis tetapi

ketentuan yang yang mengatur adanya akad atau kesepakatan yang harus dilakukan ataupun yang harus tidak dilakukan. Dengan demikian berdasarkan hasil analisa bahwa jika ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tersebut bersifat Exilled clausule maka ayat 2 tersebut adalah norma yang seharusnya tidak ada, sebab sudah jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 1, namun karena adanya faktor (X ) hal itu dapat “dipaksakan” muncul meskipun mengandung pertentangan dengan Pasal induknya yaitu Pasal 1.

Dengan kata lain bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut adalah Contradictio Interminis

(kesepakatan yang lahir karena dipaksakan) sehingga untuk mengetahui makna dari

Contradictio Interminis tersebut harus kembali kepada proses pembuatan Undang-Undang

(12)

Jika kembali melihat pendapat pertama di atas, bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut bertentangan dengan ayat (1) maka sudah jelas tidak ada sengketa kewenangan di sana karena pada dasarnya Pasal (2) tersebut adalah kondisi yang dipaksakan. Dengan demikian ayat 2 sesungguhnya dipahami tidak mereduksi ketentuan Pasal 1 tentang kewenangan Peradilan Agama, karena ketentuan Pasal 55 ayat (2) mengandung makna:

(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah upaya sebagai berikut;

a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan;

c. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum

Dalam bunyi Pasal tersebut tidak terkandung adanya kewenangan baru yang diberikan kepada Peradilan Umum, namun ayat tersebut hanya menyiratkan bahwa adanya pilihan forum saja (Choice Of Forum) sekaligus membuat norma di atas norma induknya, jadi tidak menambahkan kewenangan forum (Choice of Jurisdictie). Oleh sebab itu kalangan yang masih menganggap bahwa kewenangan Peradilan Agama direduksi/diambil oleh Peradilan Umum adalah tidak tepat karena bukan itulah yang dimaksud oleh Undang-Undang. Tidak dapat dipungkiri bahwa hanya segelintir orang yang mengerti akan hal ini karena sekilas tanpa melakukan pengkajian dan penelitian maka masyarakat bahkan praktisi hukum pun akan langsung mengambil kesimpulan secara langsung bahwa telah terjadi perebutan kewenangan PA oleh PN.

Setelah dianalisa dan dicermati secara seksama, bagaimanapun Pasal 55 Ayat 2 ini mengandung kalimat bersayap dan multi interpretasi. Sehingga sudah pasti yang sangat dirugikan secara kewenangan adalah Peradilan Agama. karena seyogyanya PA semakin diperkuat pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, namun faktanya berbeda bahwa seolah-olah Peradilan Agama kembali mundur, ibarat punya senjata tetapi tumpul kembali.

C. Kewenangan PA Pasca Lahirnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012

(13)

Agustus 2013 Mahkamah Konstitusi melahirkan putusan Nomor 93/PUU-X/2012. Materi yang diuji tidak lain adalah pasal 55 ayat 2 dan 3 dari Undang-Undang tersebut. Adapun amar putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 sebagai berikut;

MENGADILI, Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Setelah membaca dengan seksama, bagaimana sesungguhnya Putusan MK tersebut dan kalaupun tidak mau disebut istimewa tapi apakah putusan tersebut mampu menjawab dari segala bentuk sengkarut dari Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah? Ada beberapa pertanyaan mendasar pasca putusan tersebut;

1. Kenapa MK menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat 2 yang bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945? Bukankah yang diminta pemohon adalah Pasal 55 ayat 2 dan 3?

(14)

3. Dan apakah putusan ini betul-betul menyatakan PA satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah?

Jika kita baca dan fahami dengan seksama pertimbangan Mahkamah Konstitusi, dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, semuanya sepakat menyatakan bahwa pasal 55 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 yang merupakan norma induk (ideal norm) tidak mengandung permasalahan konstitusional. Sebaliknya semua hakim Mahkamah Konstitusi satu suara bahwa yang mempunyai masalah konstitusional ketika penjelasan pasal 55 ayat 2 Undang-Undang tersebut muncul.

Pasal 55

(1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;

(2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad.

(3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55 (1) Cukup jelas

(2) Yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad” adalah upaya sebagai berikut;

i. Musyawarah; j. Mediasi perbankan;

k. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

l. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum. (3) Cukup jelas

(15)

Sementara itu hanya 1 orang hakim MK (Muhammad Alim) yang mempunyai Pendapat berbeda (disetting opinion) dari 8 orang hakim MK lainnya. Muhammad Alim justeru berpendapat bahwa hanya penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf (d) (Peradilan Umum) yang mempunyai masalah konstitusi dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945, sedangkan penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf a, b, dan c (Musyawarah, mediasi perbankan dan Arbitrase Syariah) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasan tersebut dapat dibenarkan oleh Undang-Undang dan prinsip syariah.

Penulis berasumsi pemahaman amar putusan MK berpotensi dipahami oleh pembaca secara bias, dimana penyelesaian sengketa secara non litigasi (di luar peradilan) sudah ditiadakan sehingga dipahami hanya Peradilan Agama satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah? Tetapi jika ada, asumsi demikian adalah keliru sebab tidak demikian maksud putusan MK.

(16)

Jika dianalisis kembali, sudah terang bahwa penjelasan pasal 55 ayat 2 membuat norma baru, yaitu adanya opsi Peradilan Umum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Padahal dalam pasal induknya pasal 55 ayat 1 (selain pasal 55 ayat 2 dan 3) sudah jelas ditentukan sebuah norma bahwa Peradilan Agama adalah lembaga penyelesaian secara litigasi. Hal ini jelas bertentangan baik secara teori pembuatan peraturan perundang-undangan maupun asas kepastian hukum yang wajib dalam sebuah produk peraturan-perundang-undangan.

Dengan demikian, ada beberapa ketentuan yang dapat dipahami dari analisis putusan MK tersebut;

1. Keputusan MK mengakibatkan secara yuridis bahwa semua “pembatasan” pilihan forum (choice of forum) penyelesaian sengketa yang tertera dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik penyelesaian secara litigasi maupun non litigasi.

2. Segala ketentuan dari penyelesaian sengketa ekonomi syariah harus kembali kepada pasal induk yaitu pasal 55 ayat 1, 2, dan 3 sehingga choice of forum tetap berlaku;

Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mukhtar menjelaskan bahwa setelah penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mengikat, maka pengguna (user) Undang-Undang harus kembali kepada ketentuan dasarnya yaitu pasal 55 ayat 1, 2 dan 3.

“Semua penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut batal, maka untuk menyelesaikan sengketa

perbankan harus kembali kepada ketentuan dasar yang mengikat, yaitu pasal 55 ayat 1,

2 dan 3” (wawancara dengan Ketua MK Akil Mukhtar, 4 September 2013, pukul 19.57

WIB).

(17)

1. Pasal 55 ayat 1 secara tegas memberikan kewenangan kepada PA sebagai satu-satunya lembaga peradilan (litigasi) yang berwenang “menyelesaikan” sengketa perbankan syariah;

2. Pasal 55 ayat 2 secara tegas menentukan norma bahwa para pihak yang bersengketa diberikan peluang untuk memilih penyelesaian (choice of forum) sengketa diluar Peradilan Agama (litigasi), manakala para pihak memperjanjikan maka penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad (non Litigasi).

Barangkali akan timbul pertanyaan, bagaimana mungkin choice of forum penyelesaian diluar peradilan Agama tetap dibenarkan/diperbolehkan, sedangkan penjelasan pasal 55 ayat 2 sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Lebih lanjutnya apakah penyelesaian sengketa perbankan secara non litigasi (musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase syariah) tetap berlaku?

Jawabannya choice of forum di luar PA tetap berlaku dengan ketentuan;

1. Pilihan forum (chice of forum) tetap dibenarkan selama tidak bertentangan dengan sesuai prinsip-prinsip syariah;

Pasal 55 ayat 3

“Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.

Akil Mukhtar menjelaskan bahwa choice of forum yang dimaksud tersebut tetap dalam koridor selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan prinsip syariah.

“di dalam ekonomi syariah terdapat bentuk-bentuk penyelesaian di luar peradilan yang dibenarkan menurut prinsip-prinsip syariah sehingga koridor choice forum diluar PA itu harus tunduk kepada prinsip-prinsip syariah” (wawancara dengan Ketua MK Akil Mukhtar, 4 September 2013, pukul 20.03 WIB).

(18)

a. Musyawarah Internal;

Diantaranya dengan jalan merevitalisasi proses yaitu dengan evaluasi ulang pembiayaan dengan jalan Rescheduling atau perubahan menyangkut jadwal pembayaran, Restructuring yaitu dengan perubahan sebagian atau seluruh ketentuan-ketentuan pembiayaan, Reconditioning yaitu perubahan sebagian atau seluruh ketentuan-ketentuan pembiayaan termasuk perubahan jangka waktudan persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut saldo, Bantuan Management yaitu penempatan sumber daya insani pada posisi manajemen

oleh bank.

b. Alternative Dispuste Resolution (ADR)

Yaitu Alternatif penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak di luar pengadilan, diantaranya dengan jalan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian para ahli.

c. Arbitrase Syariah (Basyarnas)

Basyarnas adalah satu penyelesaian sengekta di luar pengadilan (non litigasi) setelah kata mufakat dari hasil musyawarah tidak tercapai. Namun penyelesaian melalui Basyarnas dapat dilakukan apabila terjadi kesepakatan dan dicantumkan dalam akta akad sejak awal sebelum sengketa (pactum de Comprimittendo)

2. Pilihan penyelesaian sesuai akad (choice of forum) adalah second choice (pilihan kedua) bilamana para pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui PA

3. Pilihan Forum (choice of forum) penyelesaian sengketa perbankan syariah atau ekonomi syariah harus “diwajibkan” untuk membuat kesepakatan tersebut secara tertulis dan di dalam akta tersebut lengkap termuat mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Lihat pertimbangan MK hal 36-37

(19)

Dengan demikian pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus tertera secara jelas dalam akad (perjanjian). Para pihak harus bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan Agama.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang terkait dengan masalah yang diangkat;

1. MK hanya menyatakan semua penjelasan pasal 55 ayat 2 yang bertentangan dengan konstitusi dan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan Pasal 55 ayat 2 sebagai pasal dasar induk) tetap mengikat;

2. Pembatasan pilihan forum (choice of forum) dalam penjelesan pasal 55 ayat 2, baik melalui non litigasi (Musyawarah, mediasi perbankan, Arbitrase syariah) dan pilihan litigasi (Peradilan Umum) semuanya dinyatakan melanggar konstitusi dan tidak mengikat lagi ;

3. Peradilan Agama adalah satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa Perbankan syariah dan ekonomi syariah umunya serta tidak ada lagi dualisme kewenangan absolut lembaga peradilan antara PA dan PN;

4. Penyelesaian sengketa sesuai akad diperkenankan oleh Undang-Undang untuk memilih forum penyelesaian di luar Peradilan Agama bilamana para pihak menyepakati dalam akad secara tertulis dan jelas.

(20)

Daftar Pustaka A. Buku

Anshori, Abdul Ghofur, 2007,Peradilan Agama Di indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, UII Press, Yogyakarta

Antonio, M. Syafe’I, 1994, Prinsip Dasar Operasi Bank Muamalat Dan BPRS Dalam Arbitrase Islam Di Indonesia, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, Jakarta.

Aripin, Jenal, 2008, Peradilan Agama dalam Bingkai reformasi Hukum di Indonesia, Prenada Media, Jakarta.

Djamil, Faturrahman, 2001, Hukum Perjanjian Syariah, Dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung

Indrati, Maria Farida, 2007, Ilmu PerUndang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta.

_______________, 2007, Ilmu PerUndang-undangan : Proses dan Teknik Pembentukannya , Kanisius, Yogyakarta.

Jalil, Basiq., 2006, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Isam, Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surutnya Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam di Aceh), Kencana, Jakarta.

Lev, Daniel., 1979, Peradilan Agama Di iIndonesia, Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, PT. Intermasa, Jakarta.

Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. B. Undang-Undang

Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara tahun 1980 nomor 49.

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara tahun 2006 nomor 22.

Undang-undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Peraturan PerUndang-undangan, Lembaran Negara tahun 2004 nomor 53.

Undang-undang No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Lembaran Negara tahun 2008 nomor 94.

Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara nomor 2009 nomor 159.

(21)

C. Website

www.mahkamahagung.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id www.badilag.net

Referensi

Dokumen terkait

3) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan

Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, maka Islam lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung

Nilai koefisien Motivasi Kerja sebesar 0,106.Pengaruh Kepemimpinan, Iklim Organisasi, dan Motivasi Kerja Secara Simultan terhadap variabel Kinerja Karyawan di

Hasil penelitian tindakan yang dilakukan pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Mongkrong, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali terkait hasil belajar PKn tentang

Tabel 4.6 Rekapitulasi Lembar Observasi Keterampilan Guru Dalam Pembelajaran Matematika Melalui Metode Problem Based Learning (PBL) Berbantuan Audio Visual Siklus

Fungsi semen portland type III digunakan untuk konstruksi bangunan yang memerlukan kekuatan tekan awal tinggi pada fase permulaan setelah pengikatan terjadi, misalnya untuk

beberapa aliran yang mengalami hambatan seperti yang di tunjukan pada gambar terdapat beberapa bagian dari bodi Mobil listrik gaski yang menghambat laju dari aliran

Pemilik memberikan rjin dan menjamin serta dengan tanpa memungut pembayaran atau kompensasi dalam bentuk apapun atas hakuntuk menggunakan atau hak untuk