• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM DALAM PEMBANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM DALAM PEMBANG"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH Posted by cszoel on April 17, 2012

Posted in: Uncategorized. Tinggalkan komentar

A. Pendahuluan

Eksistensi hukum di negeri ini mendapat sorotan tajam dalam berbagaikasus dan peristiwa belakangan ini.Pandangan-pandangan yang

bermunculanbernada sumbang.Hal ini dapat dipahami, karena reputasinya tidak selaludapat dilihat sebagai pen-iamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat ataupenjamin keadilan. Hal ini dapat dianggap wajar, terlebih lagi bila

mengingatkesan-kesan yang ada dalam mas;,arakat yaifu hukum selalu mengenai pihakyang lemah, tetapi tak mampu menembus pihak yang kuat. Tambahan

pulabahwa negara ini adalah nesara berdasarkan hukum, bukan Negaraberdasarkan kekuasaan.

Gambaran di atas menyiratkan adanya “tangan-tangan tak tampak” yang berada di balik sosok hukum dan mengendalikan serta

memanfaatkanmenurut kepentingannya.Di sinilah tampak bahwa politik mewarnai hukum.Karenanya sesungguhnya hukum merupakan produk politik.

Kendatipundemikian, demokrasi menempati porsi yang memadai dalam bentuk mendorong rakyat agar berpartisipasi dalam proses pembuatan hukum. Tentusaja hal ini dimaksudkan agar produk hukum yang dihasilkan tidak sajaberasal dari atas, tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspirasi rakyat banyak sehingga hukum yang dihasilkannya pun diharapkan mampu.

Melindungi pihak yang lemah dan tidak tumpul ketika harus berhadapandengan pihak yang kuat.Kenyataannya, tenyata hukum tidak steril dari subsistem

kemasyaratanlainnya.Politik kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan danpelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan susbsistem mana antarahukum dan politik yang lebih dominan?untuk menjawab pertanyaan di ataskita sudah memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara sederhana. dapat dirumuskan sebagai kebiiaksanaan hukum yang akan atau telahdilaksanakan secara Nasional oleh Pemerintah. Disini hukum tidak hanyadipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusanyang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagaisubsistem dalam kenyataan (das sein)|. Tulisan ini adalah dalam upaya turut serta mengisi satu bagian darisasaran

(2)

sifat tarik menarik bahkan “spanning”hubungan antara pusatdan daerah adalah sesuatu ,vang alamiah.Untuk menembus hal yang tidakmudah tersebut perlu adanya suatu dasar yang harus menjadi pangkal tolak untuk mengembangkan suatu bentuk hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Dari sudut pandang ilmu hukum, maka perangkat-perangkat

Hukumlah khususnya kaidah hukum dan teori hukum merupakan pangkaltolak yang tepat.Undang-undang Dasar 1945 yang telah diterima dan ditetapkan

sebagai”ketentuan tertinggi tingkatnya”.dalam sistem hukum nasional merupakanpangkal tolak yang tepat untuk mencari dan menemukan dasar-dasarpengembangan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.

Dalam membicarakan otonomi Daerah, kita harus terlebih dahulu mengtahui

bagaimana atau dimana letak otonomi daerah dalam system pemerintahan Negara Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang- Kemudianapa landasan hukum

otonomi Daerah serta bagaimana kedudukan dan alatkelengkapannya dalam menjalankan tugasnya, dan apa peranannya dalamsistem dan struktur

pemerintahan di lndonesia secara keseluruhan.

Pengertian dan makna otonomi daerah telah mengalami pergeseranmendasar sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah digantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.Kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, karenaUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dianggap memiliki banyakkelemahan.Sesuai ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam halMenimbang: a. disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraanpemerintahan daerah sesuai dengan amanat undang-undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945. pemerintahan daerah, yang mengatur danmengurus rumah sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugaspembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraanmasyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran sertamasyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikanprinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu

daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) (5) dijelaskan bahwa:

“Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan olehpemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas

(3)

perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah” Adapun” Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalahlembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahdaerah” Disebutkan juga bahwa “otonomi daerah adalah hak wewenang dankewajiban daerah otonom tmurk mengatui dan mengurus sendiri urusanpemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturanperundang-undangan.” Pemerintahan daerah adalah bagian dari struktur pemerintahanIndonesia atau disebut juga subsistem dari sistem pemerintahan NegaraIndonesia. Untuk menjelaskan saling keterkaitan dan tempat otonomi daerahdalam sistem pemerintahan daerah serta letak dan keterkaitan pemerintahandaerah dengan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia maka perludiurai secara singkat ketentuan yang terdapat dalan UUD 1945 yangmelandasi dan mengatur sistem ketetanegaraan republik Indonesia.Berangkat dari ketentuan perundang-undangan di atas maka otonomidaerah merupakan hak yang harus diterima oleh daerah dalam mengurusrumah tangganya sendiri secara demokratis, sekaligus menjadi wewenang dantanggung jawab serta kewajiban daerah dalam akselerasi

tercapainya tujuanpembangunan Nasional.Sebab pemerintah daerah merupakan bagian daristruktur pemerintahan lndonesia atau disebut juga sebagai subsistem darisistem pemerintahan Negara lndonesia.

B. PolitikHukum

Hubungan kausalitasd antara hukum dan politik atau pertanyaan tentangapakah hukum yang memepengaruhi politik ataukah politik yangmempengaruhi

hukum.Pertama, Hukum Determinen atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatanpolitik diatur harus tunduk pada aturan-aturanhukum.Kedua,

PolitikDeterminan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi darikehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan

salingbersaingan. Ketiga, Politik dan Hukum sebegai susbsisteme

kemasyarakatanberada pada posisi yang sederajatan determinasinya seimbang antara yang satudengan yang lain karena meskipun hukum merupakan keputusan politik tetapibegitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturanhukum. Perbedaan jawaban di atas disebabkan oleh perbedaan cara para ahlimemandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut mereka yang

hanyamemandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealisberpegang teguh pada pandangan bahwa hukum harus merupakan pedomandalam segala tingkat hubungan antar anggota masyarakat termasuk dalamsegala kegiatan politik.

(4)

kenyataan-kenyataan empirisnya.Kegiatan legislatif (pembuatan undang-undang) dalam kenyataannyamemang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkandengan menjalankan hukum vang sesungguhnya lebih-lebih jika pekerjaanhukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur.Tampak jelas bahwa lembagalegislatif (yang menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih dekat denganpolitik daripada dengan hukum itu sendiri. Dengan demikian jawaban tentanghubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berbeda tergantung dariperspeklif yang dipakai untuk memberikan jawaban tersebut Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakansecara nasional oleh pemeriniah lndonesia yang meliputi :

Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan

pembaruanterhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketenruan hukum yang telah ada termasuk penegasanfungsi lembagadan pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian tersebutterlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan dibangun danditegakkan.

Politik hukum baru lang berisi upaya pembaruan hukum menjadikeharusan ketika tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamirkan sebagai Negara merdeka. Proklamasi kemerdekaan menuntut pembaruan ataupenggantian atas hukum-hukum peninggalan jaman penjajahan Jepang dan Belanda sebab jika dilihat dari sudut tata hukum maka proklamasi.

Kemerdekaan merupakan tindakan perombakan secara total.

Proklamasikemerdekaan telah membawa Indonesia pada idealita dan realita hukum yanglain dari sebelumnya.Indonesia menganut asas Negara hukum artinya seluruh sisi politik dankelembagaan Negara harus tunduk kepada hukum. Kajian negara hukum harusdimulai dari Negara hukum klasik yaitu Nomokrasi Plato (427-347 SM) danNegara Hukum Madinah yang dibanguna oleh Nabi Muhammad SAW (570-632). Gagasan Negara Hukum Plato (427-347 SM) tentang nomokrasi.Konon katanya Negara harus dipimpin oleh orang bijak (the phitosophers) danmembagi warga Negara menjadi tiga lapisan masyarakat yaitu :the perpectguardians (kaum filosof lang bijak dan bestari); the auxiliary guardians(golongan pembantu seperti militer dan tehnokrat); the ordinory people (kaumpetani dan pedagang). Negara hukum Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW(570-632) pada kurun waktu tahun 622-632 yang merupakan tipe idealNegara hukum yang didasarkan pada perjanjian masyarakat. Negara hukum Madinah adalah Negara hukum yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW,bermula dari perjanjian Aqabah Pertama tahun 620 dan perjanjian AqabahKedua tahun 621, Konstitusi madinahberlaku tahun 622. Kemudian daripada itu lahir cikal bakal Negara hukum modern danbentuk

(5)

untuk menjamin hak asasi dan pemisahankekuasaan.Konsep rechstaat berkembang daram suilsana liberalisme dankapitalisme abad ke-18 yang dirumuskan oleh

rmmanuel Kant (1724-l804)untuk menjabarkan faham laissez faire laissez aller dan nochwachtersstaat.

Untuk menjamin kedudukan hukum setiap individu, yang diinspirasi olehteori pemisahan kekuasaanMontesquieu (1989-1755) yang lahir untukmenghindari pemusatan kekuasaan yang dapat mendorong terjadinyasewenang-wenangan dan berkaitan dengan paham demokrasi dariRousseau(1712-1778).Lebih lanjut unsur-unsur negara hukum gagasan Immanuel Kant(1724-1804) yang dikembangkan oleh Friedrich Stahl, sebagai berikut :

(1).Adanya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia. (2). Adanya

pemisahankekuasaan Negara. (3). setiap tindakan negara harus didasarkan atas undangundangyangtelah ditetapkan terlebih dahulu. (4). Adanya

peradilanadministrasi negara. Konsep negara hukum trechstaat) dikembangkan lagi oleh S.W.Couwenberg. Menjadi sepuluh unsur sebagai berikut :

Pemisahan antara negara dan masyarakat sipil, pemisahan antarakepentingan umurndan kepentingan khusus perorangan, danpemisahan antara hukum publik dan hukum privat.

Pemisahan antara negara dan gereja.

Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil. Persamaan terhadap undang-undang

Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasarsistem hukum. Pemisahan kekuasaan berdasarkan Trias Politika dan system cheksanda balances. Asas Legalitas.

Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yangtidak memihak dan netral.

Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa olehperadilan yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip tersebut diletakan prinsip tanggung gugat negara secara yuridis.

(6)

Amerika Serikat dalam government of judiciary, yang oleh W. Friedman mempunyai dua arti, yaitu formal dan materil.arti formal adalah kekuasaan hukum yang

terorganisasi (organized public power) dan setiap negara modem memiliki rezim hukum sendiri-sendiri. Arti material adalah adalah pemerintahan oleh hukum yang berkeadilan (the rule of just /aw), sedangkan oleh pelopor utamanya A.V. Dicey, the rule of law mempunyai tiga unsur, yaitu : supremacy of law, equality before the law, and the constitution bosed on individual rights.

C. Otonomi Daerah

Undang-undang Dasar 1945 memuat ketentuan tentang pemrintahan daerah(pasal 18) yang beirisi beberapa pokok pikiran :

Pertama : bentuk hubungan antara pusat dan daerah tidak boleh mengurangihak-hak rakyat

daerah untuk turut serta secara bebas dalam penyelenggaranpemerintahan daerah. Kedua : Bentuk hubungan pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hakrakyat daerah untuk

berinisiatif atau berprakarsa

Ketiga : Betuk hubungan antara pust dan daerah dapat berbeda-beda antaradaerah yang satu dan

yang lainnya.

Keempat : Bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam rangkamewujudkan keadilan

dan kesejahteraan sosial di daerah.

Para tokoh ahli pemerintahan seperti Ryaas Rasyid, Affan Gafar dankawan-kawan adalah arsitek dibalik lahirnya undang-undang nomor 2 tahun1999.Ryaas

Rasyid (2002) mensemukakan sejumlah argumentasi mengapadalam sistem pemerintahan Iadonesia sebaiknya menggunakan prinsip-prinsipdesentralisasi antara lain sebagai berikut:

Efektifitas dan Efisiensi penyelengaraan pemerintahan. Organisasi negara

merupakan sebuah entitas yang sangat kompleks.Pemerintah negara mengelola berbagai dimensi kehidupan dan juga berfungsi sebagai disributif. Sangat tidak memungkinkan jika pemerintah melaksanakannya secara sentralistik.

(7)

kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi sebuah negara. Denganadanya desentralisasi malia hal itu akan memberikan kesempatan bagiwarga masyarakat untuk berpartisipasi politik baik dalam memilih maupundipilih.

Pemerintah Daerah sebagi persiapan untuk karir politik lanjutan.

Stabilitas Politik Kalangan ilmuan politik sependapat bahwa salah satu manfaat dari desentralisasi atau otonomi daerah adalah dalam penciptaan stabilitas politik. Kesetaraan Politik Dengan dibangunnya pemerintahan daerah, maka kesetaraan politik di antara berbagai komponen akan terwujud.

Akuntabilitas Publik Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan :

Baik berdasarkan pengkajian perbandingan maupun pengkajian atasperundang-undangan lndonesia yang ada dan yang pernah ada ditemukansatu kecenderungan umum hubungan antara pusat dan daerah yaitu di satupihak makin menguatnva kedudukan dan peranan pusat dan di pihak lainmakin surutnya kemandirian (kebebasan daerah).

Pemberian otonomi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerahsebagai suatu masyarakat hukum hingga saat ini belum diletakan padasuatu landasan konsepsi yang jelas, yang mencakup dan berorientasi padaupaya mengembangkan

pemerintahan daerah yang baik (good localgovernntent).

Masih banyakan produk hukum yang diwarnai oleh kepentingan-kepentinganpolitik pemegang kekuasaan, sehingga hukum belum dapatmenampilkan jati dirinya sebagai penjamin kepastian stabillitas, keadilandan kesejahteraan.

Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidangpemerintahan, kecualikewenangan dalam bidang politik luar negeri,pertaharnn keamanan,

peradilan, moneter dan fiscal, ogam sertakewenangan lain (pasal 7 ayat (1).Kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputikebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian

pembangunannasional secara makro. dana perimbangan keuangan, sistem administrasiNegara dan lembaga perekonomian Negara pemberian dan

pemberdayaansumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologiyang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

Kewenangan Pemerintah yang diserahkan kepada Daerah dalam rangkadesentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan

(8)

Demokrasi politik akan menciptakan kebebasan bagi warga masyarakat. Salahsatu faktor yang tidak bias di nafikan dalam hal demokrasi dan system desentralisasi adalah adanya akuntabilitas publik. Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan di atas merupakanprinsip-prinsip dasar pijakan yang secara teoritis menjadi dasar kebijakandesentralisasi di Indonesia cita-cita yang berkembang agar demokratisasi dankebebasan untuk beraspirasi di jamin secara hukum. Kehadiran

udang-undangNomor tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-udang-undangNomor 32tahun2004 tentang pemerintahan daerah adalah langkah maju bagi

pemerintahIndonesia untuk menuju masa depan demokrasi politik dan ekonomi yangmeningkat.

Kecenderungan terjdinya proses tarik menarik antara kepentingannegara dan masyarakar seperti dikemukakan Islami harus dijawab melaluihadirnya aparatur pemerintah yang disamping professional juga memiliki hatinurani yang sensitive terhadap aspirasi masyarakat yang terus berkembang.Sebagai wujud sikap kesediaan mendengar dan kemampuan untukmenyediakan apa yang diinginkan oleh rakyat. Tanpa adanya perubahan sikapmental dan kemampuan aparatur pemerintah, mungkin desentralisasi danotonomi daerah hanya merupakan retorika politik belaka.

Di kutip dari

(seminar hukum dan Kebijakan Publik) oleh

(9)

SEJARAH HUKUM INDONESIA

Berbicara sejarah hukum di Indonesia sama saja kita berbicara tentang sejarah Indonesia itu sendiri, karena hukum di Indonesia merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa. Kalau boleh kita petakan, perjalanan hukum di Indonesia dapat kita bagi menjadi 3 masa yaitu:

Masa sebelum penjajahan (pra kolonial)

Pada masa ini hukum lebih di dominasi oleh aturan adat atau kebiasaan yang sudah berkembang di masyarakat.

Masa kolonial

Belanda sebagai negara yang pernah menjajah Indonesia selama 250 tahun lebih tentunya pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan sejarah hukum di Indonesia. Bahkan produk hukum di Indonesia banyak sekali mereduksi dari produk hukum yang dibikin Belanda. Sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari “Papal Revolution” hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19. Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi dimasa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan penting

(10)

Bumi Putera (Inlanders). Untuk tiap golongan penduduk tersebut berlaku hukumnya sendiri-sendiri. Asas utamanya adalah hukum adat bagi orang Indonesia (Bumi Putera) dan orang-orang yang digolongkan sama dengan pribumi, sedangkan

hukum Belanda bagi orang-orang Eropa. Namun demikian karena sebab-sebab yang jelas dan masuk akal asas tersebut benar-benar tidak berlaku. Seperti yang

dikemukakan Daniel S. Lev, bahwa “perlakuan terhadap hukum adat setempat adalah salah satu tema yang paling membingungkan dan bermakna ganda dalam sejarah kolonial Indonesia.” Bahkan menurut Soetandyo, penggolongan rakyat yang tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan kolonial itu mengisyaratkan tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia. 3. Masa pasca kolonial

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang masing-masing terbuka untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya serta sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada dasarnya dan pada awalnya pemuka-pemuka nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba sedapat-dapatnya melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial yang tidak mudah. Inilah periode awal dengan keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan

dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional. Akan tetapi dalam kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasinya ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin.7 Menurut Lev, para advokat Indonesia ketika itu dan juga sejumlah besar cendekiawan lainnya menginginkan negara yang terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial. Hal itu agaknya terjadi karena berbagai kesulitan yang diduga oleh Soetandyo telah timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit itu, akan tetapi juga karena sistem pengelolaannya sebagai suatu tata hukum yang modern (melihat tata organisasi, prosedur-prosedur, dan asas-asas doktrinal pengadaan dan penegakannya, serta pula rofesionalisasi

penyelenggaraannya) telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tak akan mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat.

Kekuatan moral hukum progresif sebagai das Sollen

(11)

mengasah qalbunya atau nuraninya agar dalam menekuni profesi mereka

menegakkan hukum yang bersangkutan mampu berpihak pada kata hatinya yang paling dalam. Proses tersebut harus tercermin dalam usaha pembaharuan

pendidikan hukum di tanah air kita, yang mengarah pada perubahan sikap seseorang terhadap masalah yang dihadapi bangsa ini. Hal itu harus dilakukan sebagai imbangan dari pendidikan tinggi hukum yang berpretensi “akademis

universiter” atau “teoritis ilmiah”39 namun kurang menyentuh nurani para peserta didik, sehingga berakibat bekunya nurani mereka. Oleh karena itu, para peserta didik di fakultas-fakultas hukum di Indonesia ke depan jangan lagi hanya diarahkan untuk memiliki skills sebagai tukang menerapkan hukum positif tetapi kurang cerdas spiritual dan emosionalnya dalam memaknai persoalan bangsanya sendiri. Untuk itu maka, kurikulum fakultas hukum orientasinya tidak saja terbatas pada pengajaran profesional skills, tetapi harus meliputi juga etika dan moral

profesional (professional ethics and moral), tanggung jawab

profesional (professional responsibility), serta manajemen qalbu (spiritual management), sehingga para mahasiswa yang akan menjadi lulusan fakultas hukum diharapkan tidak hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga cerdas secara emosional, dan juga cerdas spiritualnya. Ketiga faktor yang amat penting dalam pembentukan watak atau karakter setiap manusia itu jika secara kumulatif disatukan dalam penggemblengan kader-kader calon penegak hukum, maka insya Allahkekuatan moral hukum progresif tidak sekedar menjadi harapan (das

sollen) melainkan akan terwujud dalam kenyataan (das sein) di masa datang. Penutup

Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi. 1. Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam penegakan hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa serta kondisi objektif masa lalu sebagai latar belakang. 2. Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan berdaulat, merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta sistem hukum masa kolonial. Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih hukum rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, sebab hukum rakyat disamping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya. Oleh sebab itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan memilih untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan keadaan (status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian.

(12)

sekali tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat(substantial justice). Akibatnya, penegakan hukum di negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang terjadi adalah “penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement). Suatu keadaan dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum, padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak melakukan apa pun yang sesuai dengan harapan masyarakat.

4. Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang disebut “kekuatan hukum progresif “ sebagai sebuah kekuatan hukum anti-status

quo sesungguhnya merupakan respons terhadap keadaan pseudo law

enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hukum positif, kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah kekuatan yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur penegak hukum, maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk secara pro-aktif mengupayakan agar proses pendidikan, pengembangan, maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi

sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia

5. Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan apabila tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi ahli hukum di masa-masa mendatang juga diubah proses pembelajarannya. Adalah conditio sine qua nonterhadap mereka calon-calon sarjana hukum Indonesia masa depan itu

pembelajarannya dilengkapi dengan pendidikan budi pekerti, etika serta moral keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan intelektual mereka akan tumbuh secara simultan bersama kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

Sejarah Hukum di Indonesia

BAB I

(13)

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah

Nusantara.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Periode Kolonialisme

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

a. Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: 1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;

2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan

3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.

Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

(14)

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan

terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi

Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum.

Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:

Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan

Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.

Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh

peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang

(15)

Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina

Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku.

Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:

Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan Unifikasi kejaksaan

Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan Pembentukan lembaga pendidikan hukum

Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

B. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal a. Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:

Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

b. Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951

tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

(16)

a. Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:

Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif

Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman

Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965 Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b. Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru? membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan:

Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif

Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

D. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:

(17)

Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Ilmu hukum Indonesia adalah suatu sistem pengetahuan yang mempelajari tentang hukum-hukum terdapat di Indonesia, sehingga kita dapat mengenal tentang hukum di Indonesia. Dari Makalah ini kita dapat mengetahui sejarah hukum di Indonesia sehingga kita dapat lebih mendalami dan memahami tentang hukum secara singkat dan jelas, yang kedepannya akan mendorong kita agar berhati-hati dalam

bertindak. Di dalam makalah ini juga telah diterangkan berbagai hukum yang

berlaku di Indonesia yang dilihat dari sejarah hukum Indonesia, sehingga kita dapat mempunyai pedoman dan pengetahuan yang lebih tentang hukum.

Sumber:

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia http://www.google.co.id/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CDIQFjAA&url=http%3A%2F %2Fimages.flowst.multiply.multiplycontent.com%2Fattachment

(18)

%3D344912228&ei=PTOhT8vKOYnnrAey9JT1CA&usg=AFQjCNFjvTraBrafnYPEB6HD0 kYUCrQRkQ

SEJARAH HUKUM INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah

Nusantara.

(19)

Indonesia ini masih disebut Nederlandsch-Indië (Hindia Belanda) “telah berlangsung proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton. Sistem hukum asing yang dimaksud tidak lain adalah sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari ‘Papal Revolution’ hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19. Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di masa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai

perbaikan penting diperkenalkan sesudah tahun 1848.Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru, reorganisasi peradilan – sebagai akibat gelombang liberalisme yang berasal dari Belanda.Di masa itu bahkan sempat diintroduksikan oleh pemerintah jajahan bahwa penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan penduduk. [1]

Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum pidana/hukum publik,hukum perdata/hukum pribadi]], hukum acara, hukum tata negara, hukum administrasi negara/hukum tata usaha negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam,hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.[2]

BAB II

PEMBAHASAN

1. Periode Kolonialisme

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk : 1. Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;

2. Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan

3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.

(20)

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan

terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya.Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; 2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;

3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; 4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;

5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan colonial.

Ø pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan[3]:

1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;

2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.

Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh

peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang

(21)

2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan,

Dan pembaharuan yang dilakukan adalah:

1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; 2) Unifikasi kejaksaan;

3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum;

5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal[4]

a. Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1)

Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

b. Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia.Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951

tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan. 3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

a. Periode Demokrasi Terpimpin

(22)

1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;

2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman;

3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b. Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)[5]

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:

1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;

2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.

(23)

untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

Hokum di Indonesia itu sendiri di bagi menjadi beberapa hokum yaitu hukum perdata, hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional.

Dan berikut merupakan beberapa pengertian dari macam-macam hokum di atas 1. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Dan salah satu contoh dari hokum perdata adalah masalah keluarga

macam-macam dari hokum perdata adalah hokum benda , hokum keluarga , hokum waris dan hokum lainnya.

2. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah.atau Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan masyarakat

3. Hukum pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana

4. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya .

5. Hukum internasional adalah Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar negara satu dengan negara lain secara internasional, yang mengandung dua pengertian dalam arti sempit dan luas.[6]

BAB III PENUTUP

Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi.

Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam penegakan hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari

(24)

berdaulat, merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta sistem hukum masa kolonial.Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih hukum rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, sebab hukum rakyat di samping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya.Oleh sebab itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan memilih untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan keadaan (status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian. Setelah melampaui proses pengujian melalui perjalanan waktu,penggunaan hukum tertulis yang dipositipkan penguasa itu ternyata

tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat yang mencari keadilan. Keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum dirasakan hanya sebatas keadilan hukum (legal justice) dan sama sekali tidak menyentuh

rasa keadilan masyarakat (substantial justice). Akibatnya,penegakan hukum di negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang terjadi adalah

“penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement).

Suatu keadaan dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum,

padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak melakukan apa pun yang sesuai dengan harapan masyarakat. Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang disebut “kekuatan hukum progresif “ sebagai sebuah kekuatan hokum anti-status quo sesungguhnya merupakan respons

terhadap keadaan pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hokum positif, kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah kekuatan yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur penegak hukum, maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk secara pro-aktif mengupayakan agar proses

pendidikan, pengembangan,

maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia. Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan apabila tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi ahli hukum di masa-masa mendatang juga diubah proses

pembelajarannya. Adalah conditio sine qua non terhadap mereka caloncalon sarjana hukum Indonesia masa depan itu pembelajarannya dilengkapi dengan pendidikan budi pekerti, etika serta moral keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan

intelektual mereka akan

(25)

PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM NASIONAL INDONESIA*)

Oleh : Barda Nawawi Arief A. Pendahuluan

Cukup banyak masalah/tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dalam upaya melakukan pembangunan nasional (BANGNAS). Khususnya dalam masalah pembangunan hukum nasional (BANGKUMNAS), minimal dapat diidentifikasikan tiga masalah besar, yaitu :

masalah peningkatan kualitas penegakan hukum in concreto (masalah (“law enforcement”).

masalah pembangunan/pembaharuan SHN (Sistem Hukum Nasional); dan masalah perkembangan globalisasi yang multi kompleks, masalah

internasio-nalisasi hukum, globalisasi/transnasiointernasio-nalisasi kejahatan, dan masalah hitech/ cyber crime yang terus berkembang.

(26)

Masalah pembangunan Sistem Hukum Nasional (SHN/SISKUMNAS) atau masalah BANGKUMNAS yang menjadi topik dalam kuliah umum ini, bukanlah masalah baru. Masalah ini sudah merupakan masalah umum yang sering/lama dibicarakan di berbagai forum seminar nasional (mungkin sebelum anda lahir) [1]. Namun tidak berarti merupakan ”masalah basi”, karena ”pembaharuan/pembangunan hukum” pada hakikatnya merupakan ”pembaharuan/pembangunan yang berkelan-jutan” (sustainable reform/sustainable development).[2] Di dalam pembaharuan/

pembangunan hukum selalu terkait dengan ”perkembangan/pembangunan

masyarakat yang berkelanjutan” maupun ”perkembangam yang berkelanjutan dari kegiatan/ aktivitas ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide dasar/

konsepsi intelektual”. Jadi ”law reform” terkait erat dengan ”sustainable

society/development”, ”sustainable intellectual activity”,”sustainable intellectual phylosophy”, “sustainable intellectual conceptions/basic ideas”. Kajian terhadap masalah ini tentunya merupakan kajian yang “bergenerasi”.

Ini berarti masalah pembaharuan/pembangunan hukum pada hakikatnya merupakan masalah yang harus terus menerus dikaji. Terlebih kajian ilmiah mengenai pembaharuan/pembangunan hukum nasional, tidak pernah secara

nasional dima-sukkan sebagai kurikulum terstruktur/struktural, baik dalam KURNAS (Kurikulum Nasional) maupun KURTI (Kurikulum Inti). Kalaupun ada, sifatnya hanya sebagai kurikulum lokal atau hanya untuk bidang ilmu/konsentrasi tertentu. [3] Bertolak dari uraian di atas, saya sampaikan penghargaan (acungan jempol) kepada Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UBH, yang memilih masalah besar “Pembangunan SISKUMNAS” sebagai topik dalam Kuliah Umum ini, walaupun topik ini tidak tercantum secara eksplisit dalam kurikulum terstruktur S2 Ilmu Hukum, Program Pascasarjana UBH.

Sebagai suatu “masalah besar” yang memerlukan kajian bergenerasi, tidaklah mungkin kuliah umum ini mengungkap semua permasalahan, terlebih sebenarnya hampir semua permasalahan telah dibahas dalam berbagai seminar nasional. Namun setidak-tidaknya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

(27)

Bukankah rekomendasi itu merupakan suatu tantangan yang ironis (terutama bagi Program Pascasarjana)? Sudah 64 tahun kita merdeka, namun “Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional”-nya saja masih belum tersusun. Sekedar illustrasi, RKUHP yang sudah 45 tahun, dan disusun oleh beberapa

generasi/angkatan (bahkan banyak yang sudah meninggal), namun masih saja tetap berupa rancangan dan belum dibicarakan di DPR sampai saat ini.

B. Ruang Lingkup/Sistematika Materi KULUM

Bertolak dari judul, sederetan pertanyaan bisa dimunculkan (lihat footnote). [5] Namun dalam keterbatasan waktu, kuliah umum ini lebih difokuskan pada materi :

Pengertian dan ruang lingkup pembangunan SHN. Pendekatan dan Strategi pembangunan SHN.

Posisi dan peran PTH (Pendidikan Tinggi Hukum) dalam BANGKUMNAS.

Pilihan fokus materi ini didasarkan pada peran/fungsi PTH (termasuk program

Pascasarjana) sebagai pusat ”Geisteswissenschaft” (IP Kerokhanian/Kejiwaan), pusat ide/pemikiran konseptual, pusat pembaharuan, the center of jurisprudence; the center of law science reform and development.

Disamping alasan itu, pilihan topik ini dilandaskan juga pada berbagai

kesimpulan/rekomendasi Seminar/Konvensi Hukum Nasional yang sering menyata-kan, bahwa landasan konstitusional (UUD NRI ’45) dan landasan filosofis Pancasila perlu disusun/diimplementasikan dalam SHN dan Politik Hukum Nasional. Jadi kebanyakan baru sebatas “pernyataan/statement”[6], sedangkan

realisasi/implementasi-nya masih belum begitu konkret atau setidak-tidaknya masih bermasalah.

C. Pengertian dan ruang lingkup pembangunan SHN 1. Pengertian

Pengertian ”pembangunan”

Walaupun sudah berulang kali seminar hukum nasional diselenggarakan, namun tidak satupun dijumpai penjelasan tentang pengertian ”Pembangunan” itu sendiri. Yang umumnya diungkap adalah masalah yang berkaitan dengan pembangunan hukum nasionalnya itu sendiri (antara lain ruang lingkup/ bidang/program/tahapan pembangunan hukum nasionalnya). Jadi kata/istilah ”pembangunan” seolah-olah sudah diterima begitu saja sebagai istilah umum. Namun dalam berbagai seminar terungkap, bahwa ”pembangunan” sering diidentikkan atau terkait erat di dalamnya dengan berbagai istilah/masalah ”pengembangan, pembaharuan, reformasi,

(28)

dalamnya pengertian”development”, ”reform”, ”renovation”, ”rebuild”, ”reconstuction”, ”eva-luation/re-evaluation”.

Pengertian dan Ruang Lingkup Sistem Hukum Nasional (SHN/SIS-KUMNAS)

Apabila dilihat dari sudut teoritik/konseptual tentang ”sistem hukum”, maka SHN dapat dikatakan sebagai kesatuan dari berbagai sub-sistem nasional, yaitu ”substansi hukum nasional”, ”struktur hukum nasional”, dan ”budaya hukum nasional”.

Apabila SHN hanya dilihat sebagai substansi hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa, SHN pada hakikatnya adalah Sistem Hukum Pancasila. Apabila dijabarkan lebih lanjut, SHN-Pancasila adalah SHN yang berlandas-kan/berorientasi pada tiga pilar/nilai keseimbangan PS, yaitu :

- berorientasi pada nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius); - berorientasi pada nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistik); dan

- berorientasi pada nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik; berkeadilan sosial).

Dengan demikian, sistem/tatanan hukum di Indonesia yang tidak ber-orientasi pada ke-3 pilar/nilai/pendekatan/jiwa (ruh) demikian, TIDAK DAPAT dikatakan sebagai SHN, walaupun dibuat oleh badan legislatif Indonesia. Sangat tepatlah apabila Seminar Hukum Nasional ke-II/1968 pernah menegaskan, bahwa :

“UUD 1945 hanyalah boleh dilaksanakan atas dasar Pancasila. Pelak-sanaan UUD 1945 yang berlawanan dengan semangat dan jiwa Pancasila berarti manipulasi konstitusi dan pengkhianatan terhadap Pancasila”.

2. Ruang Lingkup Pembangunan SHN

Ruang lingkup pembangunan SHN dapat dilihat dari berbagai aspek/sudut. Apabila dilihat dari ruang lingkup SHN sebagaimana dikemukakan di atas, maka

pembangunan ruang lingkup SHN dapat mencakup pembangunan ”substansial” (substansi hukum/legal substance), pembangunan ”struktural” (stuktur hukum/legal structure), dan pembangunan ”kultural” (budaya hukum/legal culture). Kalau dilihat sebagai ”program pembangunan”, maka ruang lingkupnya bisa disebut dengan berbagai program yang terkait dengan bidang hukum.

Dalam Lokakarya Bangkumnas Repelita VI (1994-1999), ketiga bidang/ ruang lingkup pembangunan SHN pernah dirinci sebagai berikut :

(29)

Hukum Kesejahteraan Sosial; (9) sektor Hukum Teknologi dan Informatika; (10) sektor Hukum Keluarga dan Waris; (11) sektor Hukum Ekonomi; (12) sektor Hukum Pidana; (13) sektor Hukum Militer dan Bela Negara; dan (14) sektor Hukum

Transnasional.

Pembangunan ”tatanan hukum nasional” (maksudnya bidang struktur hukum, pen.) terdiri dari 5 sektor : (1) Sektor kelembagaan, administrasi dan manajemen

lembaga-lembaga hukum; (2) Sektor mekanisme, proses dan prosedur; (3) sektor peningkatan koordinasi dan kerjasama nasional; (4) sektor peningkatan kerjasama regional & internasional; dan (5) sektor pengembangan sarana & prasarana

pendukung pembangunan hukum.

Pembangunan ”budaya hukum nasional” terdiri dari 5 sektor : (1) Pembinaan Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional; (2) Pembinaan Kesadaran hukum & perilaku taat hukum; (3) Pengembangan/pembinaan perpustakaan, penerbitan dan informatika hukum; (4) Pengembangan dan pembinaan profesi hukum; (5)

Pengembangan dan pembinaanpendidikan hukum. Catatan :

Sub-3 di atas, dalam Renstra (Rencana Strategik) pembangunan hukum nasional Repelita VI, disederhanakan menjadi 3 bidang :

Cita hukum, Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional; Pranata Hukum dan Lembaga Hukum;

Perilaku Hukum pemerintah dan masyarakat. D. Pendekatan dan Strategi Pembangunan SHN

Kalau bertolak dari ketiga nilai/pilar keseimbangan PS, maka pendekatan yang seyogyanya ditempuh dalam membangun SHN-Pancasila, adalah :

pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius); pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistik); dan pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik; berkeadilan sosial).

(30)

Sudahkah nilai-nilai kejiwaan itu terwujud/terimplementasi dalam pemba-ngunan SHN Indonesia? Kalau dalam rekomendasi Konvensi Hukum Nasional 2008 (lihat di atas) masih dinyatakan : “perlu disusun Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional dengan landasan UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional dan Pancasila sebagal landasan filosofisnya”, bukankah ini berarti, landasan filosofi PS masih belum terimplementasi atau setidaktidaknya masih belum terbangun/terbina dengan serius?

Salah satu bidang pembangunan “budaya hukum nasional” yang diutamakan/ didahulukan menurut Renstra di atas, ialah sektor Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional. Strategi demikian sangat tepat, karena berdasarkan bangunan teori hukum menurut Meuwissen dapat diskemakan sbb. : (1) Filsafat Hukum (landasan dari keseluruhan teori hukum – berarti dalam arti luas); (2) Teori hukum (dalam arti sempit); dan (3) Ilmu Hukum.[7] Apabila teori Meuwissen itu diimplementasikan dalam membangun SHN Indonesia, berarti harus dibangun terlebih dahulu (1) Filsafat Hukum Pancasila, kemudian (2) Teori Hukum PS; dan akhirnya terbangun (3) Ilmu Hukum PS (Ilmu Hukum Nasional). Ketiga hal inilah yang seharusnya

dibangun/di-kembangkan dalam SISKUMNAS.

Masalah strategis ini belum terwujud secara menyeluruh dalam IHN Indonesia (Ilmu Hukum Nasional). Contoh konkret di bidang hukum pidana. Sampai saat ini, ilmu hukum pidana yang diajarkan masih bersumber/bertolak dari Ilmu Hukum Pidana yang berorientasi pada KUHP warisan zaman Belanda, karena RKUHP masih saja belum menjadi hukum pidana positif. Dirasakan janggal, apabila tujuannya

membangun atau membina/mengembangkan SHN (termasuk sistem hukum pidana nasional), tetapi yang dipelajari/diajarkan terus menerus adalah ilmu hukum

warisan zaman kolonial.

E. Posisi dan Peran PTH Dalam membangun/Mengembangkan IHN (Ilmu Hukum Nasional)

Membangun/mengembangkan/memperbaharui ilmu hukum nasional, terkait erat dengan peran dan tugas PTH (Pendidikan Tinggi Hukum). Tugas PTH tidak hanya menyelenggarakan “pendidikan hukum profesional” (“professional law

education”)untuk menghasilkan sarjana hukum yang memiliki kemampuan akademik dan kemampuan profesional (termasuk kemahiran/ketrampilan hukum) dalam bidang hukum positif, tetapi juga dituntut untuk mengemban “tugas keilmuan/konsepsional akademik” dan “tugas nasional” dalam melakukan upaya pengkajian dan pengembangan/pembaharuan ilmu hukum nasional. Kedua tugas PTH itu sesuai dengan penegasan Pasal 2 (1) PP No. 60/1999 : Tujuan pendidikan tinggi adalah:

menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan

(31)

mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untukmeningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Inilah yang merupakan tantangan bagi lembaga PTH di Indonesia. Seberapa jauh kegiatan FH dan Pascasarjana Hukum beserta seluruh civitas academicanya, dapat mendukung, mengisi atau memberikan sumbangan konsep/wawasan baru bagi tersusunnya pembaharuan IHN, termasuk Ilmu Hukum Pidana Indonesia? Dalam salah satu bagian dari pidato pengukuhan saya (1994), pernah saya tegaskan : Dalam situasi sedang menghadapi masalah besar di bidang pembaharuan hukum pidana itu, sangatlah dirasakan janggal apabila di dalam pendidikan tinggi hukum tidak ada kajian khusus mengenai “pembaharuan hukum pidana”.

Ini tidak berarti, bahwa selama ini pendidikan tinggi hukum tidak terlibat sama sekali dalam masalah besar itu. Namun patut dicatat, bahwa kegiatan itu terkadang :

– lebih bersifat individual, insidental/temporal, dan

– hasilnya tidak disusun kembali berdasarkan suatu kerangka teori atau sistematika ilmiah tertentu, untuk kemudian disajikan dan dikembangkan sebagai bahan pelajaran/kajian bagi para mahasiswa.

Oleh karena itu mungkin tidak sedikit ide-ide pembaharuan/pengembangan hukum pidana yang tidak sampai kepada para mahasiswa. Tidak sedikit bahan-bahan pembaharuan hukum pidana hanya berhenti setelah seminar dan kegiatan ilmiah lainnya itu selesai, karena para dosen/mahasiswa kembali terlibat dalam kesibukan dan kewajiban rutinnya yaitu mengajarkan/ mempelajari hukum pidana positif (yang berorientasi pada WvS/KUHP zaman Belanda).

Kajian mengenai pembaharuan hukum dan politik hukum (termasuk pula kajian “pembaharuan hukum pidana” dan “kebijakan/politik hukum pidana”) merupakan tugas nasional yang melekat pada setiap pendidikan tinggi hukum sebagai suatu lembaga ilmiah. Oleh karena itu, kajian mengenai hal ini seyogyanya distrukturkan atau dilembagakan.

Kalau pada hakikatnya, pembaharuan/pembangunan hukum merupakan

suatu“kegiatan berlanjut (sustainable activity) atau merupakan “konsep berlanjut (sustainable concept/idea)”, bukankah wajar kalau kajian mengenai

pembaharuan/pengembangan IHN (khususnya kajian tentang pembaharuan/ politik hukum pidana nasional) seharusnya distrukturkan dalam kurikulum

(32)

pada hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan kemungkinan pembaharuan dan Pembinaan Hukum Nasional”.

Dari uraian di atas dapatlah ditegaskan, bahwa membangun/menata ulang pendidikan hukum nasional dan IHN memang sangat diperlukan karena : merupakan tuntutan/amanat nasional;

merupakan bagian dari BANGNAS/BANGKUMNAS;

merupakan bagian dari pembangunan SHN (Sistem Hukum Nasional); merupakan respon terhadap perkembangan nasional dan global; dan

sesuai dengan hakikat/fungsi ilmu hukum sebagai “ilmu normatif (das Sollen) mengenai masalah faktual (das Sein)”, yang tentunya harus mengalami perubahan apabila kondisi faktual dan ide konsepsional/ide-ide dasarnya berubah

(nasional/global);

Untuk mempersiapkan/menyongsong “Generasi Baru Hukum Indonesia” (“Sarjana Hukum Indonesia Era Reformasi dan Era Digital”) atau untuk mempersiapkan “the lawyer of tomorrow” (meminjam istilah Nicholas J Gervassis dari University of Edinburgh sewaktu mengomentari buku Human Rights in the Digital Age, Edited by Mathias Klang and Andrew Murray[8]).

Pengembangan IHN terkait erat dengan pengertian dan hakikat “ilmu hukum” itu sendiri. Ilmu hukum pada hakikatnya merupakan “normatieve maatschappij wetenschap”,yaitu “ilmu normatif tentang hubungan kemasyarakatan” atau “ilmu hubungan kemasyarakatan (kenyataan) yang normatif”. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa ilmu hukum merupakan “ilmu normatif (das Sollen) tentang kenyataan (das Sein”), atau “ilmu kenyataan (das Sein) yang normatif”. Dengan demikian, kalau “hukum” dipandang sebagai salah satu “institusi

sosial/kemasyarakatan” (berupa “norma” maupun “keajegan-keajegan perilaku”) dalam mengatur/mempolakan dan memecahkan masalah/kenyataan sosial, maka ilmu hukum pada hakikatnya merupakan ilmu yang berkaitan dengan konsep/ wawasan (pandangan/ide-ide dasar) dalam mengatur dan memecahkan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan.

(33)

perubahan/pergeseran orientasi konsep/wawasan dari ilmu hukum sebelum kemerdekaan (ilmu hukum warisan penjajah) ke ilmu hukum setelah atau dalam alam kemerdekaan. Dengan kata lain, masalah besarnya terletak pada bagaimana membangun/mengembangkan “ILMU HUKUM INDONESIA”. Inilah yang merupakan hakikat dan tantangan kajian ilmu hukum di Indonesia.

Kalau di atas dikemukakan, bahwa ilmu hukum pada hakikatnya merupakan ilmu normatif tentang “konsep/wawasan kemanusiaan dan kemasyarakatan”, maka dalam konteks Indonesia, “Ilmu Hukum Indonesia/Nasional” (IHI/IHN) tentunya berarti “ilmu normatif tentang konsep kehidupan bermasyarakat (di) Indonesia”. Bila dikaitkan dengan istilah dalam Pembukaan UUD’45, dapatlah dikatakan, bahwa IHN adalah “ilmu normatif tentang konsep ‘berkehidupan kebangsaan yang bebas’ di Indonesia”. Berkehidupan kebangsaan yang bebas mengandung aspek yang sangat luas, yaitu dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat/

berbangsa/bernegara (meliputi aspek “ipoleksosbud”). Dengan demikian IHIN meliputi juga ilmu normatif atau ilmu tentang “tatanan berkehidupan kebangsaan” (di berbagai aspek “ipoleksosbud”).

Apabila “tatanan berkehidupan kebangsaan” yang dicita-citakan bangsa Indo-nesia adalah tatanan berdasarkan Pancasila, maka Ilmu Hukum Indonesia adalah ilmu mengenai tatanan berkehidupan kebangsaan berdasarkan Pancasila. Ini berarti membangun SHN pada hakikatnya membangun konsep-konsep tatanan yang berorientasi pada nilai/paradigma Pancasila, yaitu paradigma Ketuhanan (moral-religius), paradigma kemanusiaan, paradigma kebangsaan (persatuan/ke-pentingan umum), paradigma kerakyatan/demokrasi, dan paradigma keadilan sosial. Dapat pula dikatakan secara singkat, bahwa Ilmu Hukum Nasional (Ilmu Hukum PS) adalah Ilmu Hk yg berorientasi pada tiga pilar/nilai keseimbangan PS, yaitu:

IH bernilai/berpilar/berorientasi – Ketuhanan (bermoral religius); IH bernilai/berpilar/berorientasi – Kemanusiaan (humanistik)

IH bernilai/berpilar/berorientasi – Kemasyarakatan (nasionalistik; demo-kratik; berkeadilan sosial).

Ini berarti, Ilmu Hk yg tidak berorientasi pada ke-3 pilar/nilai/pendekatan/jiwa (ruh) demikian, BUKAN Ilmu Hkm Nasional.

Mengingat uraian di atas, wajarlah apabila Prof. Moeljatno[9] pernah menyatakan, bahwa “Dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila, dengan adanya sila

ketuhanannya, maka tiap ilmu pengetahuan (termasuk ilmu hukum, pen.) yang tidak dibarengi dengan ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap”. Prof. Dr.

(34)

antar sesama dsb). Dengan demikian tidak ada “sekulerisasi” dalam pendidikan hukum dan ilmu hukum di Indonesia.

Di dalam rambu-rambu sistem hukum nasional jelas dinyatakan, hal-hal sbb. : Pasal 29 (1) UUD’45 : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Psl. 3 (2) UU:4/2004 : Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila

Pasal 4 (1) UU:4/2004 : Peradilan dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME”.

Pasal 8 (3) UU Kejaksaan No. 16/2004 : “Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan

berdasarkan alat bukti yang sah”.

Dari berbagai ketentuan di ataspun jelas, pendidikan hukum dan ilmu hukum di Indonesia seharusnya tidak bersifat sekuler. Konsekuensinya, PTH dan IHN harus juga menggali/mengkaji ilmu hukum ber-Ketuhanan YME. Apabila tidak, bagai-mana mungkin ketentuan yuridis-religius di atas dapat dipahami dan diterapkan dengan baik. Sangatlah ironis, dalam negara yang ber-Ketuhanan YME dan peradilannya dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME”, tetapi mahasiswa hukum dan aparat penegak hukumnya hanya tahu tentang keadilan berdasarkan “tuntunan UU”, tetapi tidak tahu tentang keadilan berdasarkan “tuntunan Tuhan”.

Di samping rambu-rambu nasional di atas, kesimpulan Seminar Hukum Nasional ke VI (1994) pernah menegaskan, bahwa : “Perlu untuk dikembangkan gagasan

mengenai kualitas pemberian keadilan (the dispension of justice) yang lebih cocok dengan sistem hukum Pancasila”. Ini berarti PTH dan IHN harus menggali, mengkaji, dan mengajarkan kepada mahasiswa tentang apa itu “Keadilan Pancasila”.

Bukankah, seperti dikatakan Prof. Paul Scholten, Ilmu Hukum adalah juga “ilmu tentang keadilan”?[11] Ini berarti Ilmu Hukum Indonesia, adalah “ilmu tentang Keadilan Pancasila”.

Keadilan PS berarti keadilan berke-Tuhanan, keadilan berkemanusiaan (humanistik), keadilan nasionalistik, demokratik, dan berkeadilan sosial. Apa maknanya semua itu? PTH/IHN lah yang seharusnya melakukan kajian. Namun yang jelas, keadilan PS yang demikian itu, jelas bukan sekedar “keadilan formal” tetapi “keadilan

substantif/materiel”.

Patut kiranya dikaji keterkaitan antara asas Peradilan dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME” dengan asas “independensi peradilan”.

(35)

Hakikat/nilai substansial dari “kebebasan (independensi) peradilan” justru

seharusnya bersumber dari keyakinan akan asas peradilan yang dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kebebasan/kemerdekaan

(independensi) substansial hanya ada pada orang yang merasa terikat/bergantung pada kekuasaan/tuntunan Ilahiah (transendental), bukan pada kekuasaan lain. Dengan menghayati/menjiwai hakikat keadilan berdasar tuntunan Tuhan, barulah orang (hakim) akan terbebas dari “nilai/kekuasaan subjektif” berupa hawa nafsu; kebencian golongan; ataupun hubungan kekerabatan (nepotisme/favoritisme). [12] Inilah seharusnya yang menjadi karakteristik “independensi” Indonesia. Oleh karena itu, tuntunan/ilmu Ketuhanan itu harus diintegrasikan dalam PTH/IH

Indonesia. Kalau tidak, maka wajarlah asas juridis-religius (Demi Keadilan berda-sarkan Ketuhanan YME) hanya menjadi formalitas (sekedar “irah-irah”) putusan. Jadi hanya keadilan formal, bukan keadilan substantif/materiel.

Renungan dan kajian mendalam tentang SHN/IHN Pancasila seyogyanya dikaji dan dikembangkan terus menerus sebagai upaya mencari alternatif/model lain dari sistem/ilmu hukum yang ada saat ini (minimal “model lain/baru” daripada warisan zaman Belanda). Hal ini perlu, karena ilmu dan praktek penegakan hukum saat ini (tidak hanya di Indonesia) ternyata masih memprihatinkan dan dipandang tidak mampu mengatasi masalah sehingga banyak upaya/pemikiran untuk mencari “model/alternatif lain” (a.l. Prof. Satjipto menawarkan model hukum progresif; dan saya sedang mengembangkan model konstruksi pemikiran hukum/penegakan hukum integral-kontekstual).

Di tingkat dunia pun, upaya mencari “model/ alternatif lain” inipun muncul karena ada ketidakpuasan/keresahan terhadap sistem yang ada. Ketidakpuasan ini terlihat antara lain dari pernyataan Habib Ur Rahman Khan (dalam makalah Workshop UNAFEI):[13]

“People are busy doing research, holding seminar, international conference and writing books, trying to understand crime and its causes in order to control it. But the net result of all these efforts is to the contrary. Crime marches on” .

Selanjutnya beliau mengungkapkan pemikirannya sebagai berikut :[14]

“I suggest that, just as in the 19th century attention was diverted from the crime to its author – the criminal, we should go a step further and focus our attention, not on the criminal, but on to its author – society. We will have to change our socio-political and economic system that breeds criminals”.

(36)

dalam bentuk “mediasi penal” (penal mediation) yang sering dinyatakan sebagai ”the third way” atau ”the third path” dalam upaya ”crime control and the criminal justice system” [16]. Dikatakan sebagai “the third way/path” karena merupakan upaya alternatif dari gagasan/ide sebelumnya, yaitu ide/model “Retributive” dan “Rehabilitative”.

Dengan mengungkapkan perkembangan dunia itu, saya ingin menegaskan bahwa dengan kajian yang mendalam dan terus menerus SHN/IHN Pancasila, tidak mus-tahil “gagasan/model Indonesia” ini dapat ditawarkan ke dunia internasional sebagai model alternatif.

Bertolak dari pandangan Prof. Moeljatno seperti dikemukakan di atas[17] (bahwa “ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi dengan ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap”), maka IHN Pancasila yang seyogyanya dibangun adalah IHN

ber-Ketuhanan. Artinya, IHN harus juga mengacu/menggali ilmu Ketuhanan, baik yang ada di berbagai ajaran agama maupun dari ayat-ayat/tanda-tanda/contoh ciptaan Tuhan di alam, sebagaimana halnya dengan “Biomimetika” (biomimetics), cabang baru ilmu pengetahuan yang mencoba meniru makhluk hidup (a new branch of science that seeks to imitate living things).[18]yaitu ilmu yang mempelajari rancangan di alam (hasil ciptaan/ilmu Allah), dan memecahkan masalah

berdasarkan rancangan alam/Tuhan itu. Cabang ilmu pengetahuan ini telah secara luas diterapkan dalam dunia teknologi. Para begawan ilmu di bidang eksak

(astronom; fisikawan; ahli matematika; ahli aero-dinamica; ahli kimia; ahli bio-molekuler; biologiwan dsb.) telah lama mengakui kecanggihan ilmu tuhan.

[19] Ucapan Albert Einstein yang terkenal “Science without Religion is lame; Religion without scienceis blind” sering kita baca dalam berbagai literatur. Oleh karena itu, dalam membangun IHN patut kiranya direnungi :

Apakah proses perjalanan panjang dari “perkembangan penelitian/kajian/

keilmuan/pemikiran” dari para Ilmuwan/Guru Besar itu begitu saja dapat diabaikan? Layakkah Ilmu/teori HP bersifat sekuler?

Kalau ilmu “hukum” mengandung di dalamnya ilmu “mengatur/menata”, bukankah Ilmu Tuhan merupakan ilmu “Maha Mengatur”?

Bagaimana menggali/membangun Ilmu HP yang tidak sekuler (yg religius) atau bagaimana membangun “BIOMIJURIDIKA” (seperti “Biomimetika”)?

Referensi

Dokumen terkait

dan mempertahankan kepentingannya namun pengambilan keputusan tetap ada pada Tim Kecil atau aktor tertentu, dalam hal ini peneliti identifikasikan sebagai fasilitator

[r]

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah Program Kreativitas Mahasiswa bidang pengabdian

Hukum Tertulis adalah Hukum Hukum baru yang dicipatkan seiring dengan perkembangan budaya dan kehidupan masyarakat yang mengatur kehidupan masyrakat secara luas

Memberikan informasi promosi yang ada pada waktu tertentu dan tampilan yang berbeda untuk melihat menu makanan pada restoran “ Tea Addict ”, sehingga memudahkan

Materi Pokok Ruang Lingkup Alokasi Waktu pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak orde lama, orde baru, dan reformasi pelaksanaan demokrasi yang berkembang di Indonesia.

 Peserta didik diberikan stimulus berupa pemberian materi oleh guru mengenai cara menemukan sifat sudut yang dibentuk oleh garis singgung dan garis yang melalui titik pusat dan

Perilaku suatu unsur baik pada organisme maupun pada sistem ekologis tidak dapat diterangkan hanya dengan melalui jumlah kadar total unsur tersebut dalam sampel yang bersesuaian