• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adilita Pramanti S.SOS M.Si Fakultas Ilm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Adilita Pramanti S.SOS M.Si Fakultas Ilm"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

NETTY HERAWATY 153112350350006

SOSIOLOGI LINGKUNGAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

PEREMPUAN DALAM PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Pelanggaran hak asasi manusia yang menciptakan kemiskinan struktural terhadap perempuan, baik yang dilakukan oleh negara maupun non lembaga negara memang bukanlah hal yang baru. Ini menjadi konsekuensi atas pilihan ekonomi politik yang diambil oleh negara, ketika ketika memilih model pembangunannya. Pengurus negara lebih suka untuk mengorbankan rakyat, dengan cara merebut sumber-sumber kehidupan yang selama ini dikelola oleh rakyat melalui berbagai agenda liberalisasi terhadap sumber daya alam dengan mengabaikan keberlanjutan lingkungan.

“Brondol” adalah sebutan untuk kelompok perempuan yang mencari kelapa sawit yang jatuh dari pohon. Dari pagi sampai sore, mereka harus berjalan jauh untuk mencapai perkebunan kelapa sawit. Dengan resiko tinggi yakni ditangkap oleh petugas keamanan dari perusahaan kelapa sawit. Karena menurut perusahaan, pencari kelapa sawit yang telah jatuh dari

pohonnya adalah seorang pencuri. Aturan tersebut terdapat dalam peraturan setempat yang merupakan bagian dari jaminan untuk bagi investasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

Bagi perempuan di kawasan perkebunan, Menjadi "Brondol" merupakan cara bertahan hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan hidup yang begitu besar ditambah dengan meningkatnya tingkat konsumsi keluarga, mendorong perempuan-perempuan untuk menjadi "brondol" sebagai pilihan ekonominya. Ini merupakan cara pandang ekonomi yang menilai bahwa perkebunan besar kelapa sawit memiliki nilai ekonomi yang lebih baik, ditengah begitu kompleksnya persoalan tanah untuk kebutuhan perkebunan lainnya seperti perkebunan karet. Selain sebagai pencari brondol, perempuan disana juga banyak yang bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit.

Perkebunan besar kelapa sawit banyak mempekerjakan buruh perempuan di bagian fertilisasi yang sesungguhnya merupakan bagian yang beracun dan sangat berbahaya bagi kesehatan perempuan tanpa alat perlindungan yang memadai. Selain itu, perkebunan besar kelapa sawit juga tidak memberikan hak bagi perempuan untuk cuti dari pekerjaannya.

(2)

Jejak ekologi yang ditinggalkan oleh perempuan, bukan hanya menyisakan masalah lingkungan, tetapi bahkan berkontribusi besar bagi kriminalisasi yang dialami oleh perempuan di desa yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh perempuan di kota.

Perempuan di kota tidak pernah membayangkan kenyataan ini, karena kita berpikir, tidak ada hubungan antara semua pemenuhan kebutuhan kita dengan model produksi yang dibangun oleh industri yang tidak pernah memikirkan tentang dampak ekologis yang disebabkan oleh hasil produk mereka. Sebenarnya, budaya konsumtif yang dibangun oleh sistem modal bukan hal yang berdiri sendiri, karena terkait dengan politik dan kebijakan ekonomi yang dibangun, misalnya melalui papan iklan yang mengiklankan gaya hidup perempuan. System kapitalisme telah menciptakan sistem kekuasaan, yakni sistem dan konsumsi sistem produksi, dan

perempuan menjadi target utama dalam pasar produk yang dihasilkan.

Industri sawit skala besar telah melahirkan ketidakadilan gender, dimana industri kelapa sawit sesungguhnya merupakan industri yang bercorak maskulin. Hal ini dapat dilihat dari proses pelepasan tanah, dimana sebagian besar pemilik tanah adalah laki-laki. Dalam struktur di pabrik, keputusan didominasi oleh laki-laki.

Dengan alasan perempuan dianggap lebih teliti, lebih hati-hati dan lebih rajin, perusahaan sawit banyak memposisikan buruh perempuan sebagai penanam benih dan bibit, dan pemupukan. Padahal disanalah tempat yang sangat berisiko bagi kesehatan perempuan, karena bahan kimia yang terhirup setiap saat. Kondisi ini diperparah, karena buruh perempuan tidak dilengkapi dengan alat pelindung yang dapay menjamin kesehatan dan keselamatan mereka.

Hubungan antara perempuan dan lingkungan yang berasal dari peran yang telah dimilikinya memiliki dimensi ganda. Di tangan yang satu, perempuan sebagai pengguna sumber daya alam dan berat pada mereka. Di sisi lain, perempuan memiliki pengetahuan dan mengelola lingkungannya. Kedua aspek tersebut berhubungan ada keterkaitan status perempuan dengan negara yang memiliki sumber daya alam.

Perempuan memiliki kemampuan untuk menjalankan peran dalam memproduksi pangan, mengumpulkan kayu bakar atau air yang menghabiskan banyak waktu dan energy dari peran-peran yang dilakukan. Perempuan yang tinggal di lahan kelapa sawit merasakan dampak yang muncul dari perkebunan besar kelapa sawit antara lain kerusakan lingkungan, seperti kekeringan yang disebabkan oleh industri kelapa sawit yang rakus air, pencemaran sungai sebagai sumber kehidupan bagi perempuan di desa dan perubahan fungsi ekologis. Selain kerusakan lingkungan, ekspansi perkebunan besar kelapa sawit dilakukan di tanah-tanah pertanian yang diambil dari warga beberapa waktu lalu. Dari sini tampak jelas nyata konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan. Dan juga dampak kerusakan sosial, karena

perkebunan besar kelapa sawit mengkonversi hutan dan menjadikan perempuan harus beralih mata pencaharian, dari masyarakat petani ke masyarakat industri dengan menjadi buruh. Kita tidak bisa menghilangkan komunitas perempuan yang setuju dengan keberadaan

perkebunan sawit, meskipun mereka menyadari dampak lingkungan. Namun pilihan ekonomi menjadi alasan utama, mengapa ada komunitas perempuan yang setuju dengan kelapa sawit besar peternakan. Mereka tidak memiliki alternatif sumber ekonomi, selain itu juga

kebutuhan ekonomi keluarga yang terus meningkat. Ini merupakan konsekuensi dari dari perubahan tata produksi dan berubah menjadi reproduksi sosial baru yang konsumtif. Dan semua kisah-kisah ini, dibangun oleh industri besar kepala sawit dan sistem ekonomi global, yang bertujuan terus mengakumulasi modal dengan mengabaikan hak asasi manusia,

(3)

Banyak perempuan tidak mengetahui bahwa kehidupan mereka sebagian besar ditentukan oleh "orang lain", dalam hal ini, kekuatan modal yang telah menjadi tirani di negeri ini. Hampir semua aset strategis, seperti air, makanan dan energi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi negara, justru diberikan oleh negara secara legal kepada perusahaan nasional dan internasional.

Kekuatan modal, baik nasional dan internasional telah menghancurkan kedaulatan negara dengan ideologi, yang disebut neo liberalisme. Negara seharusnya memiliki kekuatan untuk mengcounter ideology neoliberalisme ini. Sayangnya, justru parlemen kita juga terlibat dalam hegemoni “pasar” saat ini dan dengan setia melayani kebutuhan kapitalis.

Penjualan sumber daya alam semakin gencar dilakukan, subsidsi kepada warga dihentikan, dan dan semua dilakukan untuk pelanggengan kekuasaan baik ekonomi maupun politik. Indonesia telah menjadi penyedia pasokan ekspor bagi negara-negara industri yang

membutuhkan sumber energy yang besar dan secara bersamaan juga menjadi sasaran pasar potensial bagi negara industri dikarenakan populasi negara ini yang cukup besar.

Sumber :

Referensi

Dokumen terkait

Dengan karakteristik proses bisnis yang baik dan dengan metode MIPI, diharapkan penelitian ini dapat menganalisis proses bisnis saluran distribusi produk stroberi frozen pada

SIMULASI USULAN DESAIN MEJA PENCELUPAN PADA WORKSTATION PEWARNAAN RUMAH BATIK KOMAR MENGGUNAKAN MOTION STUDY ANALYSIS, FINITE ELEMENT ANALYSIS, RAPID UPPER LIMB ASSSESMENT1.

[r]

Atas ide tersebut, penulis berusaha membuat suatu bentuk baru diantaranya jam dari bahan daur ulang dengan pertimbangan souvenir seperti tempat foto dan tempat pinsil telah

Judul : Pengembangan Peralatan Mesin Atching Fericlorida untuk Meningkatkan Efektifitas Proses Pelarutan pada Pembuatan Printed Circuit Board (PCB) (Suatu Upaya Meningkatkan

Semoga surat kuasa ini dapat digunakan sebagaimana mestinya. Banjarmasin, 6 November 2012 Penerima kuasa

[r]

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang