• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Berduka pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis Di Salah Satu Unit Hemodialisa Rumah Sakit Swasta Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Karakteristik Berduka pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis Di Salah Satu Unit Hemodialisa Rumah Sakit Swasta Yogyakarta"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

12

Karakteristik Berduka pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis

Di Salah Satu Unit Hemodialisa Rumah Sakit Swasta Yogyakarta

Elisabeth Ika Puspitasari*, Theresia Tatik Pujiastuti**

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panti Rapih, Yogyakarta theresiatatikpujiastuti@yahoo.com

Abstrak

Hemodialysis merupakan tindakan live saving bagi penderita Chronic Kidney Disease. Data

Indonesia Renal Registry pada tahun 2015 mengemukakan bahwa jumlah pasien yang mendaftar

keunit hemodialisis di Indonesia terus meningkat 10% setiap tahunnya (Cipta, 2016). Hemodialisis menimbulkan pengalaman emosional akibat proses kehilangan fungsi dan peran tubuh. Kondisi tersebut menyebabkan respons berduka yang dapat di manifestasikan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku berhubungan dengan distress atau kesedihan yang mendalam (Kozier, 2011). Perawat perlu memahami karakteristik respons berduka agar melakukan tindakan tepat untuk mencegah komplikasi. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran karakteristik respon berduka yang di alami pasien hemodialisis di unit hemodialisa. Jumlah sampel penelitian 30 responden yang diambil secara random. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, kemudian dilakukan analisis data secara univariat dan disajikan dalam bentuk tabel prosentase. Hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari separuh responden mengalami syok dan gelisah yaitu 23 orang (76,67 %) pada tahap menyangkal, sebagian besar responden merasa kecewa pada tahap marah yaitu 19 orang (63,33 %), sebagian besar responden mengeluarkan kata “seandainya” pada tahap tawar menawar yaitu 18 orang (60 %), hampir separuh responden merasa frustasi (30%), dan semua responden mampu beradaptasi dengan lingkungan pada tahap penerimaan. Adapun karakteristik tersebut dialami pasien dalam waktu 6 bulan hingga 1 tahun untuk mencapai tahap penerimaan. Mengingat penting diketahuinya respons berduka pada pasien hemodialisis maka perawat perlu melakukan kajian lebih dini dan memberikan pendampingan pada pasien yang harus menjalani terapi hemodialisis secara rutin.

(2)

13

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian

Hemodialisis merupakan salah satu metode dialysis digunakan untuk memperbaiki ketidak seimbangan cairan dan elektrolit dan untuk

mengeluarkan sisa produk

metabolisme (Lewis et al., 2011). Berdasarkan data dari PERNEFRI, sebanyak 89 persen pasien yang menjalani hemodialisa memiliki diagnosa penyakit utama yaitu dengan gagal ginjal kronis (PERNEFRI, 2015). Gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan irreversibel (Bestari, 2016).

Data WHO (World Health

Organization) pada tahun 2015

mengemukakan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis diperkirakan mencapai 1,5 juta orang di seluruh dunia. Angka kejadiannya diperkirakan meningkat 8 persen setiap tahunnya (Cipta, 2016). Sedangkan data Indonesia Renal

Registry pada tahun 2015, jumlah

pasien yang mendaftar keunit hemodialisis terus meningkat 10% setiap tahunnya (Cipta, 2016).

Tindakan hemodialisis tersebut

menimbulkan sejumlah

permasalahan, mulai dari masalah fisik, psikologi, ekonomi, dan psikososial dalam kehidupannya. Masalah fisik yaitu anemia dan kelelahan, sedangkan masalah psikologi yaitu adanya gangguan dalam proses berfikir dan konsentrasi, cemas, takut mati, dan sulit mengungkapkan perasaan negatif yang akan memicu depresi, putus asa, dan upaya bunuh diri. Dari beberapa permasalahan tersebut dapat

menunjukkan bahwa pasien

mengalami kondisi berduka.

Berduka adalah respon total terhadap pengalaman emosional akibat kehilangan. Berduka dapat di manifestasikan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan distress atau kesedihan yang mendalam (Kozier, 2011). Respons klien selama berduka meliputi perilaku bersedih (bereavment), yaitu respons subjektif dalam masa berduka yang biasanya dapat menimbulkan berbagai masalah

kesehatan dan berkabung (mourning), yaitu periode penerimaan terhadap peristiwa kehilangan dan berduka serta dapat dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, dan kebiasaan.

Di Rumah Sakit Panti Rapih, prevalensi pasien yang menjalani hemodialisis setiap tahunnya mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Data kunjungan pasien rawat jalan yang menjalani hemodialisis pada tahun 2014 sebanyak 1613 kunjungan pasien, tahun 2015 sebesar 1734 kunjungan pasien, tahun 2016 sebanyak 1755 kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2017, mulai dari bulan Januari sampai September ada 1334 kunjungan pasien yang menjalani terapi hemodialisis. Di setiap bulannya, pasien baru yang menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Panti Rapih yang ditangani oleh unit hemodialisa sekitar 2 sampai 3 pasien per bulan.

Berkaitan dengan respons berdukan, berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan perawat

bahwa pasien hemodialisis

mengalami proses hingga bisa menerima kondisinya dan bisa bertahan hidup hingga saat ini. Disampaikan pula bahwa respons perilaku dan lamanya waktu adaptasi sangat individual. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada gambaran data tentang proses adaptasi tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gambaran tahapan respon berduka pada pasien yang menjalani hemodialisis sehingga dapat menjadi pengetahuan baru dapat meningkatkan peran perawat mendampingi setiap pasien agar mampu adaptif.

2. Perumusan Masalah

Bagaimana gambaran

karakteristik respon berduka pasien yang menjalani hemodialisis?

3. Tujuan Penelitian

Mengetahui gambaran

(3)

14

B. TINJAUAN PUSTAKA

Berduka adalah respon total terhadap pengalaman emosional akibat kehilangan. Gejala berduka yang normal dibagi menjadi 4, mulai dari gejala berduka yang dilihat dari sudut pandang perasaan, kesadaran (pola pikir), sensasi fisik, serta perilaku (Potter & Perry, 2010). Menurut Kozier (2011), reaksi berduka normal dapat berlangsung singkat atau telah diantisipasi sebelumnya. Berduka biasanya reda dalam 6–12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3–5 tahun (Dew i, Kurniaw at i, & W ahyuni, 2013).

Banyak penulis menguraikan tahap atau fase berduka, mulai dari Kubler-Ross (1969) yang menggambarkan 5 tahapan, mulai dari fase menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Engel (1964) mengidentifikasi 6 tahapan berduka, mulai dari syok dan tidak percaya, menyadari, restitusi, menyelesaikan kehilangan, idealisasi, dan

hasil akhir. Sanders (1998)

menggambarkan 5 fase berduka, mulai dari syok, kesadaran akan kehilangan, konservasi/menarik diri, pemulihan, dan pembaharuan (Kozier, 2011). Secara umum tahapan berduka yang dipakai adalah fase menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan.

Tahap menyangkal (denial). Tahap menyangkal, individu bertindak seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa ia telah mengalami kehilangan dan berduka (Dewi, et al., 2017). Respons individu selama fase ini adalah menunjukkan sikap tidak percaya dan tidak siap dalam menghadapi peristiwa kehilangan. Reaksi fisik dapat mencakup pingsan/syok, menangis, berkeringat, mual, diare, frekuensi jantung cepat, gelisah, insomnia dan keletihan, tidak bergairah, serta menunjukkan kegembiraan yang dibuat-buat. Respon individu yang lain dapat ditunjukkan dengan mengatakan “tidak saya tidak percaya bahwa itu terjadi” atau “itu tidak mungkin” (Mutoharoh, 2010). Tugas perawat selama fase ini adalah memberikan dukungan secara verbal.

Tahap marah (anger). Tahap marah menurut Koesoemo (2017) terdiri dari 2 kategori yaitu sedih dan kecewa. Respons individu selama fase ini adalah individu

mulai merasa kehilangan secara tiba-tiba dan mengalami keputusasaan yang sifatnya iritabel. Secara mendadak terjadi marah, rasa bersalah, frustasi, depresi, dan kehampaan. Individu bila dalam tahap marah juga bisa berubah menjadi pribadi yang lebih banyak diam. Biasanya kemarahan tersebut diproyeksikan pada benda atau orang dan ditandai dengan suara keras, meledak-ledak, tangan mengepal, muka merah padam, perilaku agresif, gelisah, nadi cepat, dan nafas tersengal-sengal. Individu pada fase ini juga bisa menolak pengobatan (Mutoharoh, 2010). Tugas perawat selama fase ini adalah membantu klien memahami bahwa rasa marah selama fase ini adalah normal, mencegah klien mengalami depresi akibat kemarahan yang tidak terkontrol, mencari alternatif kebutuhan yang lebih berarti di saat marah, menganjurkan klien untuk mengontrol emosi.

Tahap tawar-menawar (bargaining) Tahap ini menurut Koesoemo (2017), meliputi 2 kategori, yaitu khawatir dan berharap. Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa amarahnya secara intensif, maka ia akan maju ke tahap tawar menawar. Di tahap ini biasanya individu akan mengeluarkan kata-kata seperti “seandainya dulu saya mau menjaga kesehatan” (Mutoharoh, 2010). Respons individu selama fase ini adalah mulai mengungkapkan rasa marah terhadap peristiwa kehilangan yang terjadi,

melakukan tawar-menawar,

mengekspresikan rasa bersalah dan rasa takut terhadap hukuman untuk dosa-dosa di masa lalu, baik nyata maupun imajinasi, seperti ingin kembali ke masa lalu dan memperbaiki semua, berharap semua ini tidak pernah terjadi (tidak nyata).

(4)

15 menangis, sulit tidur, kehilangan selera

makan, kehilangan berat badan, kehilangan hasrat seksual, kehilangan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan ( Davidson, dkk, 2006 dalam Ardiansyah & Yahya, 2012).

Tahap penerimaan (acceptance). Tahap acceptance sebagai fase penerimaan terhadap kondisi kehilangan yang ditandai dengan kemampuan individu menghadapi kenyataan dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi (Dewi, et al., 2017). Respons individu selama fase ini adalah mulai kehilangan minat terhadap lingkungan sekitar dan terhadap individu pendukung., individu mampu melupakan peristiwa apa yang sudah terjadi. Sejalan dengan itu, individu juga mulai membuat berbagai rencana guna mengatasi dampak dari peristiwa yang terjadi. Selain itu, pikiran terhadap objek yang hilang juga sudah mulai berkurang.

Penelitian yang dilakukan oleh (Zuhriastuti, 2011) menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis hanya 13,7% yang respon penerimaan stresnya berada dalam tahap menerima (acceptance). Sebagian besar respon penerimaan stres adalah di tahap anger sebanyak 16 orang (31,4%), bahkan ada di tahap denial sebanyak 14 orang (27,5%) yang masih menyangkal kondisinya.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian survey deskriptif. Metode sampling random sampling dengan jumlah sampel 30 responden. Metode analisis data dilakukan dengan analisis univariat untuk menggambarkan karakteristik respons berduka yang timbul dialami pasien hemodialisis. Adapun instrument pengumpulan data menggunakan kesioner. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat dalam bentuk prosentase.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Tabel 1

Karakteristik Berduka Tahap Menyangkal

N Karakteristik Frekuensi Persentase

o

1 Menunjukkan sikap tidak percaya.

22 73,33 %

2 Syok. 23 76,67 %

3 Gelisah. 23 76,67 %

4 Bertindak seolah tidak ada apa-apa.

Sumber :Data Primer 2018.

Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa lebih dari separuh responden mengalami syok dan gelisah yaitu 23 orang (76,67 %). Hal ini menunjukkan bahwa tahap menyangkal memerlukan tindakan efektif untuk mengatasi syok dan gelisah.

Tabel 2

Waktu yang Dibutuhkan Tahap Menyangkal

No Waktu Frekuensi Persentase

1 < 6 bulan. 4 13,33 %

2 1 – 6 bulan. 17 56,67 %

3 1 tahun. 4 13,33 %

4 2 tahun. 1 3,33 %

5 3 tahun. - -

Sumber : Data Primer 2018.

Berdasarkan tabel 2, lebih dari separuh responden membutuhkan waktu 1-6 bulan pada tahap menyangkal, yaitu 17 orang (56,67 %). Data ini menunjukkan bahwa perlu waktu yang panjang untuk beradaptasi terhadap tahap menyngkal.

Tabel 3

Karakteristik Respon Berduka Tahap Marah

No Karakteristik Frekuensi Persentase

1 Merasa kecewa. 19 63,33 %

2 Perilaku agresif. 10 33,33 %

3 Mendadak marah. 10 33,33 %

4 Melampiaskan amarah

dengan tindakan.

1 3,33 %

5 Seketika berubah

menjadi lebih banyak diam.

14 46,67 %

Sumber : Data Primer 2018.

Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa sebagian besar responden merasa kecewa pada tahap marah yaitu 19 orang (63,33 %). Hal ini menunjukkan bahwa pada saat marah pasien tidak selalu menimbulkan reaksi yang agresif.

Tabel 4

(5)

16

Sumber : Data Primer 2018.

Berdasarkan tabel 4, dijelaskan bahwa waktu yang dibutuhkan oleh sebagian besar responden tahap marah selama 1-6 bulan yaitu 18 orang (60%).

Tabel 5

Karakteristik Berduka Tahap Tawar Menawar

No Karakteristik Frekuensi Persentase

1 Mengeluarkan kata seandainya.

18. 60 %

2 Mengekspresikan rasa bersalah.

10. 33,33 %

3 Mengekspresikan rasa takut.

16 53,33 %

4 Merasa ingin kembali ke masa lalu dan

Berdasarkan tabel 5, diketahui bahwa sebagian besar responden mengeluarkan kata “seandainya” pada tahap tawar menawar yaitu 18 orang (60 %). Hal ini menunjukkan bahwa perawat berperan penting untuk memberikan penjelasan agar pasien lebih adaptif.

Tabel 6

Waktu yang Dibutuhkan Tahap Tawar Menawar

No. Waktu Frekuensi Persentase

1 < 6 bulan. 1 3,33 %

Berdasarkan tabel 6, diketahui bahwa waktu yang dibutuhkan di tahap tawar menawar selama 1-6 bulan dialami oleh sebagaian besar responden yaitu 19 orang (63,33 %). Hal ini menunjukkan bahwa

masih banyak responden yang

memerlukan waktu panjang untuk beradaptasi dengan tahap tersebut dan beresiko terjadi komplikasi masalah psikologis dan fisik yang lain.

Tabel 7

Karakteristik Respon Berduka Tahap Depresi

No Karakteristik Frekuensi Persentase

1 Menarik diri dari

3 Cenderung menutup

diri dari lingkungan

5 Frustasi bahkan sampai menangis.

9 30 %

Sumber : Data Primer 2018.

Pada tabel 7, menunjukkan bahwa hampir separuh responden frustasi bahkan sampai menangis pada tahap depresi yaitu 9 orang (30%). Hal ini menunjukkan bahwa pasien hemodialisis memerlukan pendampingan agar tidak terjadi reaksi negative menghadapi sakitnya.

Tabel 8

Waktu yang Dibutuhkan Tahap Depresi

No Waktu Frekuensi Persentase

1 < 6 bulan. 2 6,67 % responden membutuhkan waktu selama 1-6 bulan tahap depresi yaitu 11 orang (36,67 %). Hal ini menunjukkan bahwa perawat perlu lebih intensif mendampingi pasien mengahadapi stress karena hemodialisis.

Tabel 9

Karakteristik Berduka Tahap Penerimaan

No Karakteristik Frekuensi Persentase

(6)

17

4 Mampu beradaptasi

dengan lingkungan sekitar.

30 100 %

5 Mampu melupakan

peristiwa yang sudah terjadi.

29 96,67 %

Sumber : Data Primer 2018.

Berdasarkan tabel 9, diketahui bahwa semua responden akhirnya mampu beradaptasi dengan hemodialisis. Data ini menunjukkan bahwa pendampingan yang baik akan menimbulkan respons adaptasi yang baik bagi pasien hemodialisis.

Tabel 10

Waktu yang Dibutuhkan Tahap Penerimaan

No Waktu Frekuensi Persentase

1 < 6 bulan. 1 3,33 % selama 1 tahun hampir separuh responden atau 14 orang (46,67 %). Meskipun demikian masih ada yang memerlukan waktu hingga 3 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perlu upaya yang lebih baik dari perawat sehingga adaptasi pasien menjadi lebih cepat.

2. Pembahasan

Hasil yang didapat peneliti dalam karakteristik dari tahap menyangkal yang terbanyak dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisa Rumah Sakit Panti Rapih adalah syok dan gelisah dengan jumlah orang yang mengalaminya yaitu 23 orang atau 76,67 %. Menurut penelitian dari (Nadhiro, 2012), kebanyakan orang tidak siap menghadapi duka, karena seringkali suatu tragedi atau suatu kejadian dapat terjadi begitu cepat dan tanpa peringatan. Sama seperti halnya dengan penderita gagal ginjal kronis yang seketika divonis harus menjalani hemodialisis. Maka dari hal tersebut, karakteristik syok dan gelisah

menjadi karakteristik yang paling banyak di alami pada tahap menyangkal oleh pasien yang menjalani hemodialis di unit hemodialisa Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

Adapun waktu yang dibutuhkan paling banyak dalam tahap menyangkal terjadi selama kurun waktu 1 – 6 bulan, berjumlah 17 orang (56,67 %). Menurut teori Sanders dalam (Kozier, 2011), karakteristik syok dapat berlangsung dalam beberapa menit sampai beberapa hari. Hal tersebut terjadi karena menerima sesuatu hal yang bukan kehendak pasien tesebut membutuhkan waktu untuk memaksa pasien tersebut menghadapi kenyataan yang terjadi.

Gambaran karakteristik tahap marah yang terbanyak dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisa Rumah Sakit Panti Rapih adalah merasa kecewa, dengan jumlah orang yang mengalaminya yaitu 19 orang (63,33 %). Menurut penelitian dari (Koesoemo, 2017), tahap marah terdiri dari 2 kategori yaitu sedih dan kecewa. Respon yang terjadi selama berada di tahap ini adalah individu tersebut mulai merasa kehilangan secara tiba-tiba dan mengalami keputusasaan yang sifatnya iritabel. Pada tahap ini, kenyataan yang sudah tejadi pada individu tersebut harus dihadapi oleh individu tersebut. Kesadaran akan kenyataan dari pasien yang menjalani hemodialisis akan menimbulkan beberapa respon yang terjadi mulai dari merasa kecewa, berperilaku agresif akibat dari kemarahannya, ataupun pasien tersebut berubah menjadi pribadi yang lebih banyak diam. Kecewa karena peristiwa yang sudah terjadi dengan adanya tindakan hemodialisis, suka atau tidak, pasien tesebut harus menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani terapi tersebut, yang berefek pada munculnya rasa kecewa karena harus menjalani tindakan tersebut (Widyarini, 2015). Dari munculnya rasa kecewa tersebut juga

dapat menimbulkan munculnya

karakteristik lainnya yaitu adanya perubahan sikap yang menjadi agresif dan sering marah, melampiaskan amarah dengan tindakan, ataupun dengan berubah menjadi pribadi yang banyak diam untuk menahan emosinya.

(7)

18 yang menjalani hemodialisis di unit

hemodialisa Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, dengan jumlah 1 orang (3,33%). Menurut (Widyarini, 2015), individu yang sedang dalam tahap amarah yang kemudian bertindak melakukan suatu tindakan sebagai bentuk untuk melampiaskan amarah seringkali dilakukan. Biasanya kemarahan tersebut juga disertai dengan menyalahkan pihak-pihak lain di luar dirinya, bahkan bisa juga sampai menyalahkan Tuhan. Tetapi jika ledakan emosinya mereda,pada umunya orang tersebut merasa sedikit lega dengan

merasa setidaknya sebagian

kemarahannya telah tersalurkan. Adapun waktu yang dibutuhkan melalui tahap marah paling banyak terjadi selama 1 – 6 bulan yaitu 18 orang (60%). Data ini sesuai dengan penelitian Widyarini (2015), bahwa individu yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya.

Gambaran karakteristik tahap tawar menawar dengan mengeluarkan kata “seandainya”, dialami oleh sebagian besar responden yaitu 18 orang (60%). Menurut penelitian dari Koesoemo (2017), tahap tawar menawar ini meliputi dua kategori, yaitu khawatir dan berharap. Di tahap ini biasanya individu akan mengeluarkan kata-kata seperti “seandainya aku...” untuk tanda bahwa ada penyesalan yang terjadi pada individu tersebut. Adapun waktu yang dibutuhkan paling banyak dalam tahap tawar menawar terjadi selama kurun waktu 1 – 6 bulan, sebanyak 19 orang (63,33 %).

Hasil penelitian juga menemukan bahwa pada tahap depresi, respons yang paling banyak ditemukan yaitu 9 orang (30 %) adalah frustasi. Frustasi disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut (Dewi, et al., 2017). Beberapa ekspresi yang ditampilkan adalah menangis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang disampaikan Koesumo (2017), bahwa respons frustasi pada depresi dapat menimbulkan manifestasi secara psikologis. Ketika pasien masuk ke dalam tahap depresi, individu yang

mengalaminya akan menolak orang lain dan menghabiskan banyak waktu untuk menangis dan berduka (Nadhiro, 2016). Proses ini memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari rasa cinta dan kasih sayang. Ketika individu masuk ke dalam tahap ini, tidak dianjurkan untuk mencoba menghibur individu yang berada pada

tahap ini, karena individu

tersebutcenderung pasif dan tidak akan mendengarkan orang lain. Ini adalah waktu yang penting dalam berduka yang memerlukan proses. Ketika pasien tersebut berhadapan langsung dengan kenyataan yang tidak dapat dihindari, mau tidak mau harus dijalani yaitu dengan dilakukannya terapi hemodialisis, maka pasien tersebut merasakan kehilangan dan keputusasaan pada dirinya. Tidak ada penolakan, tidak ada kemarahan, tidak ada daya untuk menghindari, yang dirasakan hanya kesedihan. Seseorang dalam fase ini biasanya tidak banyak bicara dan cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar (Widyarini, 2015).

Hasil penelitian menunjukkan pula pada tahap penerimaan semua responden

akhirnya menerima dan mampu

beradaptasi dengan kondisi yang dialaminya dengan mampu menghadapi kenyataan, mau menerima kenyataan, mampu mengikhlaskan yang terjadi, mampu melupakan peristiwa apa yang sudah terjadi sebanyak 29 orang( (96,67 %). Menurut penelitian (Koesoemo, 2017), tahap penerimaan digambarkan dalam 4 kategori yaitu bersyukur, memahami, senang dan adaptasi. Tahap

acceptance atau tahap penerimaan sebagai

fase penerimaan terhadap kondisi kehilangan yang ditandai dengan kemampuan individu menghadapi kenyataan dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi (Dewi, et al., 2017). Dalam tahap ini, bukan berarti rasa sakit atau kesedihan yang mereka rasakan pada masa lalu itu hilang, tetapi mereka mulai merelakan, sampai dengan tahap akhir yaitu menerima diri dengan kondisi sesuai dengan kenyataan apapun itu. Adapun lama waktu yang dibutuhkan hingga tahap ini hampir separu yaitu 1 tahun, dengan (46,67 %). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Dewi, Kurniawati, & Wahyuni (2013) yang mengatakan bahwa fase

acceptance sebagai fase penerimaan

(8)

19 menghadapi kenyataandialami dalam

kurun waktu 6–12 bulan. Adapu faktor yang dirasakan paling mempengaruhi ketercapian proses penerimaan ini adalah dukungan keluarga dan orang terdekat yang dinyatakan oleh 28 responden (93,33 %). Dukungan keluarga juga mempengaruhi dalam menunjang kualitas hidup seseorang. Hal ini dikarenakan kualitas hidup merupakan suatu persepsi

yang hadir dalam kemampuan,

keterbatasan, gejala serta sifat psikososial hidup individu baik dalam konteks lingkungan budaya dan nilainya dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana mestinya ( Zadeh, Koople & Block, 2003 dalam Sukriswati, 2016).

E. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Karakteristik yang di alami ditahap menyangkal, didapatkan hasil yaitu mengalami karakteristik menunjukkan sikap tidak percaya sebanyak 73,33%, syok sebanyak 76,67%, gelisah sebanyak 76,67%, bertindak seolah tidak ada apa-apa sebanyak 23,33%, dan menunjukkan kegembiraan yang dibuat-buat sebanyak 10%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap menyangkal selama 1-6 bulan.

Karakteristik yang di alami ditahap marah, didapatkan hasil yaitu mengalami karakteristik merasa kecewa sebanyak 63,33%, perilaku agresif sebanyak 33,33%, mendadak marah sebanyak 33,33%, melampiaskan amarah dengan tindakan sebanyak 3,33%, dan seketika berubah menjadi lebih banyak diam sebanyak 46,67%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap marah selama 1-6 bulan.

Karakteristik yang di alami ditahap tawar menawar, didapatkan hasil yaitu mengalami karakteristik mengeluarkan kata seandainya sebanyak 60%, mengekspresikan rasa bersalah sebanyak 33,33%, mengekspresikan rasa takut sebanyak 53,33%, merasa ingin kembali ke masa lalu dan memperbaiki semua sebanyak 46,67%, dan berharap semua ini tidak pernah terjadi sebanyak 40%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap tawar menawar selama 1-6 bulan.

Karakteristik yang di alami ditahap depresi, didapatkan hasil yaitu menarik diri dari lingkungan sekitar sebanyak

23,33%, cenderung diam dan tidak mau bicara dengan siapapun sebanyak 6,67%, cenderung menutup diri dari lingkungan sekitar sebanyak 23,33%, mengalami kesedihan yang mendalam sebanyak 26,67%, dan frustasi bahkan sampai menangis sebanyak 30%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap depresi selama 1-6 bulan.

Karakteristik yang di alami ditahap penerimaan, didapatkan hasil yaitu mampu menghadapi kenyataan sebanyak 96,67%, mampu menerima kenyataan sebanyak 96,67%, mampu mengikhlaskan apa yang sudah terjadi sebanyak 96,67%, mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar sebanyak 100%, dan mampu melupakan peristiwa apa yang sudah terjadi sebanyak 96,67%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap penerimaan selama 1 tahun.

Saran

Mengingat pentingnya pasien dalam mendapat pendampingan, perawat dapat

memberikan kepada pasien

pendampingan untuk proses penerimaan penyakit, proses penerimaan terapi yang harus dijalani yaitu terapi hemodialisis, serta penguatan psikologisbagi pasien yang belum menerima kondisinya yang harus menjalani terapi hemodialisis secara rutin.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Elisabeth Ika Puspitasari sebagai pengumpul data penelitian ini.

F. DAFTAR PUSTAKA

Bestari, A. W. (2016). Pengaruh Dukungan Keluarga Dan Status DM Terhadap Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis. e-journal.unair.ac.id, 200.

Cipta, I. D. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kecemasan Pada Pasien Dengan Gagal Ginjal Kronis Di Unit Hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Unit II Gamping

Sleman Yogyakarta.

(9)

20 journal.unair.ac.id/index.php/JNERS/

article/view/3888

Dewi, Y. S., Kurniawati, N. D., & Wahyuni, E. D. (2013). Pengalaman Hidup Pasien

Dengan Gagal Ginjal Terminal.

Retrieved Desember 22, 2017, from

https://e-journal.unair.ac.id/JNERS/article/vie w/3888/2642

Koesoemo, F. R. (2017). Proses Berduka dan Beban yang Dialami Keluarga Dalam

Merawat Anak Dengan Autisme.

Retrieved Oktober 12, 2017, from

http://e-journal.unair.ac.id/index.php/JNERS/ article/view/3956

Kozier, B. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, & Praktik (7 ed.). Jakarta: EGC.

Mubarak, W. I., & Chayatin, N. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori & Aplikasi Dalam Praktik.

Jakarta: EGC.

Mubarak, W. I., Indrawati, L., & Susanto, J. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar . Jakarta: Salemba Medika.

Mutoharoh, I. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Mekanisme Koping Klien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)

Fatmawati Tahun 2009. Retrieved

Oktober 22, 2017, from

repository.uinjkt.ac.id

Nadhiro, C. (2016). Penerimaan Anak

Terhadap Kehadiran Ayah Tiri.

Retrieved Desember 22, 2017, from digilib.uinsby.ac.id/4847/5/Bab%202. pdf

Novitasari, I., & Hidayati, W. (2015).

Gambaran Tingkat Kecemasan, Stres, Depresi dan Mekanisme Koping Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD DR.

Moewardi. Retrieved Oktober 21,

2017, from eprints.undip.ac.id

PERNEFRI. (2015). IRR.

www.indonesianrenalregistry.org, 27.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010).

Fundamentals of Nursing (7 ed., Vol. 2). Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, S. C. (2016). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Ed. 12.

Jakarta: EGC.

Sukriswati, I. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Di RSUD

Moewardi Surakarta. Retrieved

Januari 2018, 2018, from

http://eprints.ums.ac.id/44443/21/01. %20Naskah%20Publikasi.pdf

Widyarini. (2015, Februari 18). Perjalanan

Emosi Untuk Move n. Retrieved

Januari 09, 2018, from

htp//www.bppk.kemenkeu.go.id/publi

kasi/artikel/418-artikel-soft- competency/20585-perjalanan-emosi-

untuk-move- on&ei=RTnecD_q&lc=id-ID&s=1&m=670&host

Zuhriastuti. (2011). Skripsi: Studi Deskriptif Mekanisme Koping Pada Pasien

Penyakit Ginjal Kronik yang

Dilakukan Hemodialisa di Ruang

Hemodialisa RSUD Kota Semarang.

Gambar

Tabel 5 1

Referensi

Dokumen terkait

Namun, dari kondisi yang seperti itu pada kenyataannya di rumah sakit tersebut telah terdapat suatu permasalahan yang berhubungan dengan komunikasi organisasi dalam

Puji syukur kehadirat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Pengaruh

1) Desa yang diusulkan adalah desa mitra hasil kesepakatan empat fakultas dan Kepala UPBJJ-UT terpilih. 2) Kegiatan PkM yang dilaksanakan sesuai dengan RENSTRA PkM UT. 3) Desa

Ganti rugi dalam bentuk uang diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal keputusan.Untuk ganti rugi yang tidak berupa uang,

Teknik wawancara ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi langsung kepada masyarakat rencana pembangunan BIJB ini, serta bagaimana persepsi, sikap

Workhsop dan pelatihan ini telah melatih 25 guru yang tergabung dalam Ikatan Guru Bahasa Daerah (IGBD) kota Parepare. Workshop ini dilaksanakan di kota Parepare dan ditempatkan

Pada masa lalu mereka sama sekali tidak boleh menyeberangi batas wilayah hutan tersebut untuk berburu atau meramu, karena di luar batas tersebut merupakan

Namun seiring dengan pesatnya perkembangan bank syariah dan jumlah aset dari bank syariah tersebut, terdapat berbagai kendala yang dihadapi dalam tingkat resiko