• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERIMAAN PEMERINTAH PROVINSI LAMPUNG DARI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENERIMAAN PEMERINTAH PROVINSI LAMPUNG DARI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN PEMERINTAH PROVINSI LAMPUNG DARI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU

Oleh

TEKY SANJAYA

1212011377. 1342011101

Jurnal Ilmiah

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

pada

Jurusan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

2017

PENERIMAAN PEMERINTAH PROVINSI LAMPUNG DARI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU

Teky Sanjaya, Yuswanto, Eka Deviani. Email: tekysanjaya@gmail.com. Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Soemantri Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145

ABSTRAK

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCH) merupakan salah satu sumber dana bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Melalui pengaturan kebijakan DBH-CHT tersebut, seharusnya DBH-CHT yang diberikan kepada daerah penerima digunakan sesuai peruntukannya. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah Penerimaan Pemerintah Provinsi Lampung dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau? (2)Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penghambat Penerimaan Pemerintah Provinsi Lampung daro Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau? Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan hukum normatif dan empiris. Jenis data terdiri dari data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dengan wawancara dan dokumentasi Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Penerimaan Pemerintah Provinsi Lampung terhadap Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau pada Tahun 2016 adalah sebesar Rp 12.906.963.000,00 (dua belas miliar sembilan ratus enam juta sembilan ratus enam puluh tiga ribu rupiah) yang dialokasikan kepada Pemerintah Provinsi dan 15 kabupaten/kota di seluruh provinsi Lampung. Adapun tahapan penerimaan terbagi menjadi empat tahap yaitu tahap I bulan Maret sebesar 20%, tahap II bulan Maret sebesar 30%, tahap III bulan September sebesar 30%, dan tahap IV bulan Desember sebesar 20% setelah Gubernur menyampaikan Laporan Konsolidasi Penggunaan DBH-CHT Semester I tahun berjalan kepada Menteri Keuangan. (2) Faktor-faktor yang menjadi penghambat Penerimaan Pemerintah Provinsi Lampung dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah kurang tepatnya alokasi sasaran DBH-CHT karena Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota seringkali menafsirkan DBH-CHT sebagai bagian dari tanggung jawan sosial atau corporate social responsibility (CSR) pabrik rokok. Selain itu kurangnya kemampuan serapan dana oleh dinas-dinas pelaksana DBH-CHT, karena kekurang tepatan dalam kategori kegiatan.

(3)

REVENUE OF LAMPUNG PROVINCE GOVERNMENT FROM FROM PROFIT SHARING OFTOBACCO EXCISE

ABSTRACT

Tobacco Revenue Sharing Fund (DBH-CHT) is one of the sources of profit sharing between the central government and local government which is enforced through Law No. 39 of 2007 on Excise. Through such DBH-CHT policy arrangements, DBH-CHT should be granted to the receiving area used according to their allocation. The problems of this research are: (1) How is Lampung Province Government Receipts from Tobacco Revenue Sharing Fund? (2) What are the factors that hamper the revenue of Lampung Province Government Revenue from the Tobacco Excise Sharing Fund? The problem approach used is the normative and empirical legal approach. The type of data consists of secondary data and primary data collected by interviews and documentation Data analysis using qualitative analysis. The results of this study indicate: (1) The revenue of the Government of Lampung Province on Shared Revenue for Tobacco Products in 2016 amounts to Rp 12,906,963,000.00 (twelve billion nine hundred six million nine hundred and sixty three thousand rupiahs) allocated to the Government Provinces and 15 regencies / cities throughout Lampung province. The stage of acceptance is divided into four phases, namely Phase I of March of 20%, Phase II of March at 30%, Phase III of September at 30%, and Phase IV of December of 20% after the Governor submits Consolidated Report on DBH-CHT Utilization Semester I year goes to the Minister of Finance. (2) Factors that hamper the revenue of Lampung Provincial Government Revenues from the Tobacco Revenue Sharing Funds are less precise allocations of DBH-CHT targets because District / City Local Governments often interpret DBH-DBH-CHT as part of social responsibility (corporate social responsibility CSR) cigarette factory. In addition, the lack of funding capability by the DBH-CHT implementing agencies, due to lack of accuracy in the category of activities.

(4)

I. Pendahuluan

Kemampuan keuangan daerah merupakan parameter utama sebagi tolok ukur suatu daerah bisa dikatakan mampu berotonom dan membawa daerah pada derajat ekonomi yang mengarah pada kemandirian daerah. Kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu bobot paling penting dalam penyelenggaraan otonomi ini, artinya daerah otonom memiliki kewenangan sendiri untuk menggali sumber bagi keuangan daerah, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pembangunan daerah.1

Sumber-sumber pendapatan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menurut Pasal 157 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Selanjutnya dana perimbangan sesuai dengan Pasal 159 terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum; dan dana alokasi khusus.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCH) merupakan salah satu sumber dana bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Melalui pengaturan kebijakan DBH-CHT tersebut, maka sudah seharusnya DBH-CHT yang diberikan kepada daerah penerima digunakan sesuai peruntukannya. Namun dalam prakteknya kondisi yang terjadi malah sebaliknya, masih ditemukannya berbagai kegiatan penggunaan DBH-CHT yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Berdasarkan hasil

1Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah

. Nusa Media, Bandung, 2009. hlm16.

evaluasi yang dilakukan terhadap rencana kerja anggaran maupun realisasi penggunaan anggaran DBH-CHT dari beberapa daerah penerima masih menunjukkan ketidaktepatan daerah dalam mengalokasikan kegiatan yang sesuai dengan ketentuan, seperti penggunaan DBH-CHT dalam bidang kesehatan.

Contohnya adalah dengan menggunakan dana DBH-CHT, Pemerintah Daerah seharusnya membangun sarana dan prasarana kesehatan yang berkaitan secara langsung dengan penanganan penyakit akibat dampak asap rokok, misalnya dengan membuat ruangan khusus merokok di aera publik, tetapi justru digunakan untuk membangun sarana lainnya. Selain itu belum ada alokasi dana DBH-CHT untuk menangani penyakit menular, HIV/AIDS, Keluarga Berencana, dan sebagainya. Kondisi ini tentu berakibat tidak hanya terhadap ketidak tercapaian tujuan cukai hasil tembakau tersebut, namun juga berpotensi menyalahi ketentuan yang berlaku.

Pemerintah Pusat setiap tahunnya telah mengalokasikan dan menyalurkan DBH-CHT sebesar 2% (dua persen) dari penerimaan negara cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia kepada provinsi Penghasil Cukai Hasil Tembakau dan Provinsi Penghasil Tembakau, yang selanjutnya oleh Provinsi Penerima DBH-CHT bersangkutan dibagikan kepada provinsi/kabupaten/ kota di wilayahnya dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.

(5)

Sumber keuangan yang berasal dari dana bagi hasil sangat penting dalam menambah sumber pendapatan daerah, untuk memenuhi kebutuhan yang berlebihan atau pendapatan yang terbatas dari area tertentu, dan untuk meningkatkan program tertentu serta pengawasan terhadap program tersebut. Dana bagi hasil mengacu pada dana yang dipungut atas nama pemerintah daerah dan di transfer kepada pemerintah daerah bersangkutan. Persentase tertentu diberikan kepada daerah yang umumnya ditentukan secara nasional.

Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah melalui dana bagi hasil merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah.2

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 47/PMK.07/2016 tentang Rincian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, diketahui bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2016 sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 Jo.

Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2015 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 adalah sebesar Rp2.796.355.150.000,00 (dua triliun tujuh ratus sembilan puluh enam milyar

2

Arifin P. Soeria Atmadja. Keuangan Publik dalam Prespektif Hukum: Praktik dan Kritik. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2007. hlm16.

tiga ratus lima puluh lima juta seratus lima puluh ribu rupiah).

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang maka permasalahan yang akan diteliti adalah: 1. Bagaimanakah Penerimaan

Pemerintah Provinsi Lampung dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penghambat Penerimaan Pemerintah Provinsi Lampung daro Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau?

II. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan empiris. Prosedur pengumpulan dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Prosedur pengolahan data dilakukan melalui tahap pemeriksaan data, klasifikasi data, penyusunan data dan seleksi data. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif.

III. Pembahasan

A. Penerimaan Pemerintah Provinsi Lampung dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

(6)

Pembagian dana cukai hasil tembakau ini dikenal disebut dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). Mekanisme dasar pengaturan dan pengelolaan DBH-CHT ini selanjutnya diatur dalam Pasal 66A ayat (3) UU Cukai yang menyebutkan bahwa Gubernur mengelola dan menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan mengatur pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya.

Pasal 66A ayat (4) UU Cukai menjelaskan bahwa pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan persetujuan Menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 47/PMK.07/2016 tentang Rincian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil tembakau. Adapun daerah-daerah penghasil tembakau meliputi Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Timur dan Lampung Utara.

Menurut penjelasan Ida Sari Yorita selaku Kepala Seksi Retribusi dan Penerimaan Lain-Lain pada Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung, diketahui bahwa kewenangan pengelolaan yang dilimpahkan kepada para gubernur dari provinsi penerima DBH-CHT, pada dasarnya, terbatas pada pelaksanaan dari keputusan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat (dalam hal ini adalah Menteri Keuangan). Gagasan pokok

yang mendasari lahirnya kebijakan DBH-CHT itu sendiri, yakni sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi sistem pemerintahan atau otonomi daerah.

Pengaturan lebih lanjut tentang DBH-CT adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.

Dana Bagi Hasil Cukai berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi, yang pada intinya merupakan Intinya adalah pelimpahan wewenang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur semua urusan pemerintahan dan pembangunan daerah mereka sendiri. Pemerintah daerah yang dimaksud adalah pemerintah tingkat kabupaten dan kota, sehingga pemerintah daerah tingkat provinsi lebih merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah.

(7)

di mana pelaksanaan otonomi daerah mensyaratkan adanya suatu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencakup pembagian keuangan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.

Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan ini kemudian disebut sebagai Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain DAU dan DAK, dana perimbangan lainnya adalah Dana Bagi Hasil (DBH). Pasal 1 angka 20 UU Perimbangan Keuangan menyebutkan “Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.

Ketentuan Pasal 66B UU Cukai mengatur bahwa penyaluran dana bagi hasil cukai hasil tembakau dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah provinsi dan rekening kas umum daerah kabupaten/kota.

Selanjutnya Pasal 66C UU Cukai mengatur:

(1) Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai

ilegal yang berasal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia.

(2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal yang berasal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau mengindikasikan adanya penyimpangan pelaksanaan akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Menurut penjelasan Ida Sari Yorita selaku Kepala Seksi Retribusi dan Penerimaan Lain-Lain pada Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung, diketahui bahwa pengawasan terhadap penggunaan DBH-CHT langsung dilakukan oleh Menteri Keuangan di mana penyalahgunaan DBH-CHT hanya dikenakan sanksi administrasi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyalurannya kepada pemerintah daerah penerima. Apabila ditemukan penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau dapat diberikan sanksi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyaluran dana bagi hasil cukai hasil tembakau.

(8)

Alokasi DBH-CHT diberikan wewenangnya kepada gubernur daerah penerima untuk mengelola, menggunakan, dan mengatur pembagiannya kepada para bupati/walikota di daerahnya masing-masing. Meskipun demikian, alokasi yang akan dilakukan oleh pihak gubernur terlebih dahulu harus mendapat persetujuandari pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Keuangan.

Peruntukan DBH-CHT sebagaimana diatur dalam Pasal 66A ayat (1) UU Cukai, DBH-CHT ditujukan untuk lima peruntukan: peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.

Keberadaan tembakau dan masalah cukai hasil tembakau adalah suatu permasalahan tersendiri yang bersifat khusus yang tidak hanya dilihat dari masalah perkebunan pada umumnya, karena perkebunan tembakau dalam kaitan dengan cukai hasil tembakau mempunyai sifat atau karakterisitiknya sendiri. Pasal 2 ayat (1) UU Cukai:

“Barang-barang tertentu yang

mempunyai sifat atau karakteristik: konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Pasal 2 ayat (2) UU Cukai ditegaskan bahwa barang-barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai cukai.

Keberadaan alokasi dana cukai hasil tembakau harus digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 66A ayat (1) UU

Cukai. Hal ini berarti bahwa DBH-CHT harus digunakan untuk mendanai kegiatan pada tingkat petani penghasil tembakau yang membutuhkan pembinaan dan bimbingan serta transfer dan pengawalan teknologi agar dapat menghasilkan bahan baku yang diharapkan. Dengan kata lain, Penggunaan atau peruntukan DBH-CHT yang disebutkan dalam Pasal 66A ayat (1) UU Cukai tersebut adalah prioritas penggunaan anggaran yang harus didahulukan sebagai pelaksanaan amanat undang-undang.

Tujuan penggunaan DBH-CHT tersebut selanjutnya dijabarkan dalam Permenkeu Nomor 84 Tahun 2008 dan Permenkeu 20/2009. Ketentuan dalam Permenkeu tersebut menguraikan secara rinci penggunaan DBH CHT di antaranya ketentuan Pasal 3 terkait dengan peningkatan kualitas bahan baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a digunakan untuk peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau yang meliputi:

a. standarisasi kualitas bahan baku; b. mendorong pembudidayaan bahan

baku berkadar nikotin rendah;

c. pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan metode pengujian;

d. penanganan panen dan pasca panen bahan baku; dan/atau

e. penguatan kelembagaan kelompok petani tembakau.

Ketentuan Pasal 4 terkait dengan pembinaan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b digunakan untuk pembinaan industri hasil tembakau yang meliputi:

a. pendataan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (registrasi mesin/peralatan mesin) dan memberikan tanda khusus;

(9)

c. pembentukan kawasan industri hasil tembakau;

d. pemetaan industri hasil tembakau; e. kemitraan Usaha Kecil Menengah

(UKM) dan usaha besar dalam pengadaan bahan baku;

f. penguatan kelembagaan asosiasi industri hasil tembakau;

g. pengembangan industri hasil tembakau dengan kadar tar dan nikotin rendah melalui penerapan Good Manufacturing Practices (GMP).

Ketentuan Pasal 7 terkait dengan pembinaan lingkungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c meliputi:

a. pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau;

b. penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada analisis dampak lingkungan (AMDAL);

c. penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum

d. peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok; e. penguatan sarana dan prasarana

kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja industri hasil tembakau; dan/atau

f. penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi.

Aspek lain yang penting dalam penerimaan pemerintah provinsi dari DBH-CHT adalah pengawasan mengingat DBH-CHT merupakan pendapatan negara yang berasal dari cukai. DBH CHT selalu dimasukan ke dalam salah satu komponen dana bagi hasil, yang diberikan kepada daerah-daerah penghasil tembakau dan hasil tembakau untuk membiayai program-progam sesuai peruntukannya dalam UU Cukai Pasal 66A ayat (1) dan Permenkeu Nomor 84 Tahun 2008.

Apabila dana tersebut disalah gunakan maka peraturan yang berlaku adalah Permenkeu Nomor 84 Tahun 2008. Pasal 14 menyebutkan bahwa atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau dapat diberikan sanksi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyaluran dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia. Termasuk dalam kategori menyalahgunakan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau adalah provinsi/kabupaten/kota yang tidak menyampaikan laporan.

Pasal 15 Permenkeu Nomor 84 Tahun 2008 menyebutkan bahwa sanksi atas penyalahgunaan DBH-CHT adalah penangguhan transfer dana tersebut ke daerah yang melakukan pelanggaran. Dengan kata lain, sanksi atas penyalahgunaan DBH-CHT berupa sanksi administratif atas pelanggaran

administratif’ yaitu kelalaian

menyampaikan laporan penggunaannya.

(10)

penyelewengan, antara lain, menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dengan kata lain, seharusnya sanksi terhadap penyalahgunaan DBH CHT adalah sanksi pidana, bukan sekedar sanksi administratif.

Permenkeu Nomor 84 Tahun 2008 juga mengatur bahwa kepala daerah, baik gubernur atau bupati/walikota, memegang tanggung jawab untuk menggerakkan kegiatan yang didanai DBH-CHT. Antara lain, memastikan tersusunnya usulan program dan terlaksananya kegiatan yang didanai DBH-CHT, sebagai hibah khusus, sehingga penggunaannya pun khusus untuk membiayai programyang telah ditetapkan.

Pemerintah Daerah harus membuat laporan alokasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan yang didanai DBH-CHT setiap semester kepada Gubernur. Selain menerima laporan dari Bupati/Walikota, Gubernur sendiri juga membuat laporan. Kedua laporan ini kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri setiap semester. Hal ini dilakukan karena provinsi juga mendapatkan alokasi anggaran DBH-CHT, sebesar 30% dari alokasi yang ditransfer ke setiap daerah. Aturan DBH-CHT menetapkan sanksi berupa penangguhan hingga penghentian penyaluran (transfer) anggaran.

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 47/PMK.07/2016 tentang Rincian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, diketahui bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2016 sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016

Jo. Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2015 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 adalah sebesar Rp2.796.355.150.000,00 (dua triliun tujuh ratus sembilan puluh enam milyar tiga ratus lima puluh lima juta seratus lima puluh ribu rupiah).

Provinsi Lampung pada tahun 2016 merupakan provinsi yang menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT), sebesar Rp 12.906.963.000,00 (dua belas miliar sembilan ratus enam juta sembilan ratus enam puluh tiga ribu rupiah) dengan rincian sebagai berikut:

1. Provinsi Lampung Rp 3.872.089 2. Kabupaten Lampung Barat sebesar

Rp 3.372.252

3. Kabupaten Lampung Selatan sebesar Rp 463.921

4. Kabupaten Lampung Tengah sebesar Rp 429.964

(11)

Perhitungan di atas dilakukan oleh Gubernur atas persetujuan Kementerian Keuangan, sehingga masing-masing daerah kabupaten/kota hanya menerima hasil pembagian yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Dalam hal ini terdapat perbedaaan dengan ketentuan perhitungan yang diatur dalam Pasal 66A ayat (4) UU Cukai menjelaskan bahwa pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya pengaturan dalam Pasal 66 Ayat (2) bahwa alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun berjalan. Artinya Pasal 66 Ayat (4) bukan menjadi satu-satunya dasar untuk menentukan bagi hasil cukai tembakau.

B. Faktor-Faktor Penghambat Penerimaan Pemerintah Provinsi Lampung dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

1. Kurang Tepatnya Alokasi Sasaran DBH-CHT

Menurut penjelasan Ida Sari Yorita selaku Kepala Seksi Retribusi dan Penerimaan Lain-Lain pada Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung, diketahui bahwa Pemerintah daerah sebagai penyalur dan pengelola seharusnya memahami alokasi dan tujuan dari DBH-CHT, namun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota seringkali menafsirkan DBH-CHT sebagai bagian dari tanggung jawan sossial atau corporate social responsibility (CSR) pabrik rokok. Dampaknya adalah kurang relevannya program yang sesuai peraturan tentang

DBH-CHT karena DBH-CHT diperlakukan sama dengan dana alokasi umum yang sehingga penentuan program usulan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah.

Berdasarkan PMK Nomor 20/PMK.07/2009 penggunaan DBH-CHT untuk kegiatan “pembinaan

lingkungan sosial” meliputi:

a. Pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dan /atau daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau

b. Penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada analisis dampak lingkungan (AMDAL)

c. Penetapan Kawasan Tanpa Rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum

d. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok e. Penguatan sarana dan prasarana

kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja industri hasil tembakau, dan/atau

f. Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industry hasil tembakau dalamrangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi

(12)

guna meningkatkan derajat kesejahteraannya.

2. Kurangnya kemampuan dinas-dinas pelaksana dalam menyerap alokasi dana DBH-CHT.

Menurut penjelasan Ida Sari Yorita selaku Kepala Seksi Retribusi dan Penerimaan Lain-Lain pada Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung, diketahui bahwa kebijakan UU Cukai berdampak pada kurangnya kemampuan dinas-dinas pelaksana dalam menyerap DBH-CHT yang sudah ditetapkan alokasi penggunaannya. Selain itu terdapat kekurang tepatan dalam kategori kegiatannya yang kurang definitif. Satuan kerja atau dinas dalam hal ini kesulitan menafsir aturan tersebut dalam menyusun usulan program, sehingga kerap usulan mereka tetap tidak terseleksi menjadi ketetapan program.

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penerimaan Pemerintah Provinsi Lampung terhadap Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau pada Tahun 2016 adalah sebesar Rp 12.906.963.000,00 (dua belas miliar sembilan ratus enam juta sembilan ratus enam puluh tiga ribu rupiah) yang dialokasikan kepada Pemerintah Provinsi dan 15 kabupaten/kota di seluruh provinsi Lampung. Adapun tahapan penerimaan terbagi menjadi empat tahap yaitu tahap I bulan Maret sebesar 20%, tahap II bulan Maret sebesar 30%, tahap III bulan September sebesar 30%, dan tahap IV bulan Desember sebesar 20% setelah Gubernur menyampaikan Laporan Konsolidasi Penggunaan DBH-CHT Semester I tahun berjalan kepada Menteri Keuangan.

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat Penerimaan Pemerintah Provinsi Lampung dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah kurang tepatnya alokasi sasaran DBH-CHT karena Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota seringkali menafsirkan DBH-CHT sebagai bagian dari tanggung jawan sossial atau corporate social responsibility (CSR) pabrik rokok. Selain itu kurangnya kemampuan dinas-dinas pelaksana dalam menyerap dana DBH-CHT, karena kekurang tepatan dalam kategori kegiatan yang diusulkan

B. Saran

1. Dalam rangka memastikan ketepatan alokasi sasaran DBH-CHT oleh Pemerintah Daerah maka disarankan kepada Kementerian Keuangan dan instansi terkait untuk meningkatkan pengawasan pelaksanaan DBH-CHT dengan tidak hanya melihat laporan, tetapi dengan melakukan peninjauan langsung ke lapangan dan berkomunikasi secara langsung dengan penerima manfaat program yang didanai DBH-CHT.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, Arifin P. Soeria. Keuangan Publik dalam Prespektif Hukum: Praktik dan Kritik. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2007

Basjir, Wahyu W.. Kretek dalam Perekonomian Indonesia. Indonesia Berdikari. Yogyakarta, 2010

Baswir, R, Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. MEP-UGM, Yogyakarta. 2002.

Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Departemen Dalam Negeri, 2002

Fahmal, H. A. Muin Peranan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak

dalam Mewujudkan

Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII Press, 2006.

Huda, Ni’matul. Hukum Pemerintahan Daerah. Nusa Media, Bandung, 2009

Kaho, Josef Riwo. Prospek Otonomi Daerah di NegaraRepublik Indonesia; Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraanya. Penerbit Rajawali Press. Jakarta , 2002.

Krina, Loina Lalolo. Indikator dan Alat

Ukur prinsip

Akuntabilitas,Transparansi dan Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional,Jakarta, 2003,

Mardiasmo,Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance. Jurnal Akuntansi Pemerintah, Vol. 2, No. 1, Mei 2006.

Ritonga, Irwan Taufiq. Perencanaan dan Penganggaran Daerah. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta 2006

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Antara Keuangan Daerah dan Pusat

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: /PMK.07/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 Tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan kepala madrasah, motivasi kerja, kepuasan kerja secara parsial memberi pengaruh signifikan atau

20 Urusan Wajib Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Adm KeuDa, Perangkat Daerah, Kepegawaian. Organisasi

selaku Kepala Satuan Kerja Pusdik Brimob ditunjuk sebagai mediator atau konsiliator sesuai dengan Syarat-Syarat Umum Kontrak huruf H dalam Stander Dokumen

Demikian yang dapat kami sampaikan, atas perhatian dan kehadiran saudara tepat pada waktunya kami sampaikan terima kasih. Harap membawa

a) PTK merupakan penelitian kolaboratif yang muncul dari kepedulian yang didukung oleh suatu kelompok. b) Dalam PTK kelompok peneliti mendeskripsikan kepeduliannya menyelidiki

Analisis dan Peracangan Sistem Informasi Perencanaan Produksi Display Barang dengan Metode Agregate pada PD Impressa Mulia.. Konsep

Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur,

model TAM yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 4 (empat) konstruk utama, yaitu: perceived usefulness (persepsi kegunaan), perceived ease of use (persepsi