• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toar dan Lumimuut Keturunan Pertama di T

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Toar dan Lumimuut Keturunan Pertama di T"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Toar dan Lumimuut, Keturunan Pertama di

Tanah Minahasa

Ini adalah kisah tentang manusia-manusia pertama di tanah Malesung (Minahasa). Cikal bakal orang-orang Minahasa. Kisah ini bermula dari daerah di sekitar Pegunungan Wulur Mahatus di Minahasa bagian Selatan. Pegunungan Wulur Mahatus dikelilingi oleh pantai yang sangat luas dan indah. Di tepian pantai itu ada dua buah batu karang yang amat besar. Batu - batu karang tersebut terlihat seperti hidup dan selalu bertambah besar setiap tahunnya, seakan batu itu bernafas dan bertumbuh.

Sebelumnya memang tanah Minahasa sebetulnya sudah didiami oleh banyak penduduk terdahulu, yaitu para leluhur Minahasa lainnya, tapi oleh karena di mata Empung (Tuhan) bahwa mereka itu sudah banyak berdosa, maka Empung Opo Wanatas (Tuhan Yang Maha Kuasa) pun akhirnya menurunkan banjir besar menutupi seluruh dataran Minahasa, menghempas dan membasmi semua yang bernafas, sampai tidak ada lagi yang tersisa.

Semua leluhur terdahulu di tanah Minahasa punah oleh banjir Ampuhan. Banjir besar yang tidak mengenal ampun. Setelah banjir besar itu, bumi Minahasa menjadi kembali belum berbentuk seperti sedia kala dan acak-acakan tak beraturan. Belum ada kehidupan manusia lagi di tanah Minahasa yang sudah disapu banjir Ampuhanitu.

Belum ada tatanan sosial maupun adat apapun. Belum ada peradaban. Belum ada keteraturan dan keseimbangan.

Empung, Sang Pencipta melihat bahwa tidak baik kalau tanah Minahasa terbiarkan, tak berpenghuni, dan tak ada yang merawatnya. Banjir memang sudah diturunkan untuk menghapus semua leluhur terdahulu di Minahasa oleh karena kelakuan dan tindakan mereka sendiri. Akan tetapi Empung Sang Pencipta masih menaruh harapan bahwa bila tanah Minahasa kembali dihidupkan, pasti akan jauh lebih baik keadaannya terdahulu. Empungmenentukan sikap untuk memberikan kehidupan lagi di tanah Minahasa. Memberikan Minahasa kesempatan hidup dan bertumbuh. Memberikan kesempatan lagi bagi tanah Minahasa untuk bangkit serta menunjukkan sikap hormat mereka pada Sang Empung.

(2)

kepingan-kepingan kecil, kemudian dari balik pecahan itu muncul asap tebal membungkus sesosok wanita setengah baya yang cantik jelita. Wanita itu keluar dari pecahan batu karang itu.

Itulah manusia pertama di bumi Minahasa. Dia banyak dikenal sebagai seorang dewi, karena tidak dilahirkan dari rahim manusia manapun melainkan oleh takdir Sang Empung (Tuhan Maha Pencipta).

Konon, Empung memang sengaja menciptakan manusia pertama itu wanita agar supaya dapat mengelola dan berkembang biak di tanah Minahasa. Wanita adalah lambang kesuburan dan kehidupan. Wanita pertama itu bernama Karema, dewi yang menjelma menjadi manusia utuh.

Setelah terlahir ke ‘Bumi Minahasa’, Karema hidup hanya sendirian saja di tanah yang luas itu selama bertahun-tahun. Kemanapun pandangan ia arahkan, maka yang terlihat hanyalah hewan dan tumbuh-tumbuhan. Karema pun menjadi tidak tahan hidup sendirian seperti itu, tanpa teman bicara atau teman bergaul. Ia bersedih hati. Ia kesepian. Ia bermuram durja berhari-hari lamanya.

Saat itu hewan-hewan yang hidup di sekitar pegunungan Wulur Mahatus kabarnya dapat berbicara bahasa yang dimengerti manusia, demikian sebaliknya. Manusia dapat berbicara dengan hewan. Ular adalah salah satu hewan penunggu pegunungan Wulur Mahatus yang paling ganas. Ular ini lalu berkata kepada Karema bahwa kehadirannya sebetulnya sangat tidak diterima dan disukai.

Ular lalu bersikap kasar dan mencoba untuk mengusir Karema, dan berkata lantang bahwa lebih baik Karema mati saja karena bakalan hidup sendirian tanpa teman di Wulur Mahatus itu. “Empung tidak akan mungkin menolongmu,” demikian kata sang ular. Karema menatap tajam ular tersebut sembari berseru, “Aku tetap percaya Wailan Wangko (Tuhan Maha Besar) akan mendengar seruan minta tolongku…” Dan sejak saat itu terpatrilah pertikaian antara ular dan manusia.

Tiba-tiba terdengar suara dari langit yang berkata, “Kenapa engkau bersedih hati wahai wanita…” Karema pun keluar dari dalam goa dimana ia tinggal selama ini, menengadahkan kepalanya ke atas dan berseru nyaring, “Ooh, Kasuruan Opo e Wailan Wangko…” Karema pun berseru-seru kepada Opo Wailan Wangko (Tuhan Yang Maha Besar) meminta teman hidup untuk menemaninya selama ia hidup di tanah Minahasa.

(3)

Setelah hadirnya Lumimuut yang jauh lebih muda dari Karema, hati Karema pun bergembira dan wajahnya tak muram lagi. Ia sangat ceria dan merasakan kesenangan yang meluap. Tidak sendirian serta kesepian lagi. Ia berjanji pada Empung dan juga pada Lumimuut sendiri, bahwa ia akan menjadikan Lumimuut itu sebagai anaknya sendiri, akan merawat dan menjaganya sampai tua nanti.

Lumimuut adalah wanita ke-dua yang tercipta dari batu karang, tanpa ayah dan ibu kandung. Makanya Lumimuut juga dianggap seorang dewi yang dititipkan untuk bumi Minahasa.

Hari demi hari dilalui Karema dan Lumimuut selalu tanpa terpisahkan. Mereka selalu bersama-sama. Mereka berdua saling mengasihi satu sama lain. Mereka juga mengusahakan tanah tempat dimana mereka berdiam secara baik. Beragam jenis tanaman mereka tanam dan kelola dengan bijaksana. Ada beberapa tanaman yang di kemudian hari ternyata masih tetap menjadi kebanggaan para leluhur Minahasa, generasi-generasi setelah mereka. Ada pohon saguer (aren), pohon asa (jelaga), tumbuhan ‘daong nasi’, tumulawak, kencur, pohon katu, pohon ‘daong tikar’, dan pohon bulu ikang.

Karema dan Lumimuut terikat kasih persaudaraan ibu dan anak yang sangat kuat, mereka hidup saling menolong, mendukung, dan membagi kasih satu sama lain. Nilai-nilai mulia yang tertanam dalam diri Karema dan Lumimuut ini menjadi harta amat berharga bagi keturunan-keturunan mereka nanti. Karema dan Lumimuut menciptakan kesuburan luar biasa di tanah dimana mereka berpijak. Apapun yang mereka sentuh pastilah akan hidup dan berkembang secara baik.

Di belahan bumi yang lain juga rupa-rupanya telah terjadi penciptaan-penciptaan manusia lainnya. Mereka lalu kemudian bertambah-tambah banyak jumlahnya, lalu kemudian mereka kawin satu sama lain, dan melahirkan banyak keturunan.

Berita tentang kehidupan di luar tanah Minahasa itu akhirnya sampai juga ke pegunungan Wulur Mahatus dan diketahui oleh Karema serta Lumimuut.

Hal tersebut membuat Karema dan Lumimuut bertanya-tanya dan kembali terguncang hatinya. Mereka berpikir bahwa kalau sekiranya hanya mereka berdua yang hidup di tanah Minahasa, tidak mempunyai keturunan sama sekali, lalu apa yang akan terjadi bila mereka berdua sudah tiada nanti? Tentu bumi Minahasa akan kembali kosong dan hancur berantakan. Tidak ada generasi yang akan mewarisi mereka. Sementara di luar sana, penduduk bumi terus bertambah banyak keturunannya.

(4)

Karema kemudian mengadakan upacara penyembahan untuk meminta keturunan. Pada upacara itu ia sendirilah yang bertindak sebagai seorang Pendeta. Upacara tersebut dikenal sebagai ‘upacara agama’ Rumages.

Dalam upacara tersebut, mereka berdua meminta dengan sungguh-sungguh pengasihan Empung supaya Lumimuut diberkahi dengan kehamilan, dan kelak akan punya banyak keturunan. Karema lalu meminta Lumimuut mengikuti semua petunjuk yang dia perintahkan, “Yah I rondorna si Lumimu’ut, sumaru timu’ Sendangan”(Lumimuut disuruh menghadap Tenggara). Namun ternyata tidak ada apapun yang terjadi.

Lalu Karema meminta Lumimuut menghadap arah yang lain lagi, yaitu Timur Laut. “A sia Sumaru un amian Sendangan.” Tetap saja tidak ada apa-apa yang terjadi dalam diri Lumimuut. Karema tidak putus asa dan putus harapan. Ia terus berdoa dan meminta. Lumimuut kemudian disuruh Karema untuk coba menghadap Tuhan ke arah Barat Laut. “Un Amian Talikuzan.” Tetap tidak terjadi apa-apa.

Karema terus berdoa dan meminta, ia terus mengganti arah menghadapnya si Lumimuut. Keringat dan air mata meleleh membasahi wajah Karema, ia sungguh berdoa dan berharap pada Sang Empung.

Akhirnya, kesungguhan dan hati yang penuh harap dari Karema membuahkan hasil. Doanya dikabulkan. Setelah lama berdoa, terdengar suara dari langit, “Aku akan memberkati anakmu, si Lumimuut itu, ia akan mengandung dan melahirkan. Keturunannya kelak banyaknya bagaikan pasir di laut dan bintang di langit,” lalu serempak seketika itu juga terlihatlah bahwa telah ada tanda-tanda kehamilan dalam diri Lumimuut. Anugerah pengasihan Empungsudah tercurah atas diri Lumimuut. Ia pun mengalami kehamilan, tanpa pernah bersetubuh dengan siapapun.

Selama berbulan-bulan Karema menjaga Lumimuut dan kehamilannya dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan yang membara. Ia merawat dan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan Lumimuut selama ia hamil. Terkadang Karema harus pergi jauh ke dalam hutan untuk mencari bahan makanan dan obat-obatan untuk Lumimuut. Siang dan malam Karema terus menjaga dan menemani Lumimuut, sampai tibalah saatnya Lumimuut untuk melahirkan.

Pada saat tiba harinya bagi Lumimuut untuk melahirkan, Karema sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Ramuan-ramuan tradisional sudah disiapkan untuk membantu persalinan Lumimuut.

(5)

Toar kemudian tumbuh menjadi anak laki-laki yang pintar dan perkasa (tuama). Ia hidup dan bergaul dengan banyak binatang liar di sekitar hutan Wulur Mahatus. Ia sangat terampil dalam berburu, dan bahkan oleh ibunya sendiri ia dijuluki ‘raja hutan’ oleh karena ia dapat menaklukkan dengan mudah hewan-hewan seperti anoa, babi rusa, ular, kera, dan hewan lainnya yang hidup berdampingan di pegunungan itu.

Karema juga menurunkan semua kepintaran dan pengetahuan yang dimilikinya kepada Toar cucunya itu. Ia mengajarkan tentang adat dan kepercayaan pada Sang Empung. Ia juga mengajarkan Toar tentang pengobatan tradisional memanfaatkan tumbuhan alam dan dari hasil-hasil laut. Karema juga membentuk karakter cucunya itu untuk menjadi seorang pemimpin ksatria yang tak mengenal takut.

Semakin hari Toar semakin bertambah dewasa, ia tumbuh menjadi lelaki kuat dan pintar serta tangguh. Dalam kesehariannya Toar selalu berbakti kepada ibunya, dan juga neneknya. Setiap pagi ia pergi masuk hutan untuk berburu. Ia juga pergi ke laut untuk mencari tangkapan ikan. Ia lalu secara perlahan mampu juga mendirikan rumah untuk ditinggali mereka bertiga, dengan menggunakan batang-batang pohon, bambu, dan daun kelapa, serta semua apapun yang dapat ditemuinya di hutan. Setelah rumah buatannya jadi, mereka bertiga pindah dan tidak lagi tinggal di dalam goa.

Dengan kehadiran Toar, kelangsungan hidup Lumimuut dan Karema menjadi lebih baik dan terjamin. Toar selalu ada saat dibutuhkan. Ia memang benar-benar telah menjadi lelaki dewasa yang dapat selalu diandalkan. Kebahagian Karema dan Lumimuut semakin bertambah-tambah. Di tengah-tengah kebahagiaan yang mewujud itu, mereka tak pernah lupa untuk senantiasa menaikkan ucapan syukur kepada Sang Empung atas semua berkat yang sudah mereka peroleh. Toar semakin bertambah besar, keingintahuannya akan dunia luar pun semakin besar pula. Ia menjadi tidak tahan lagi jikalau hanya hidup terus menerus di sekitar pegunungan Wulur Mahatus saja. Ia merasa dirinya seperti terkukung dalam kerangkeng alami di hutan itu. Padahal hatinya ingin sekali untuk dapat mengunjungi tempat-tempat lain yang ada di tanah Minahasa yang begitu luas, belum lagi ke tempat-tempat lain di luar Minahasa.

Rupa-rupanya, dalam hal ini, Karema juga memiliki pemikiran yang sama dengan Toar. Lalu kata Karema kepada Toar dan juga Lumimuut, “Dunia ini semakin tua, umur kita juga tentu akan bertambah tua. Kini sudah saatnya kalian berdua keluar dari tempat ini. Kunjungi dan kelilingilah belahan dunia yang lain, dan temukanlah nilai-nilai kehidupan di sana untuk kalian bawa pulang.”

(6)

Toar dan Lumimuut menyambut gembira apa yang diutarakan Karema. Mereka lalu mempersiapkan diri, menyiapkan semua perbekalan untuk perjalanan panjang tersebut. Namun sebelum mereka meninggalkan penggunungan Wulur Mahatus, Karema memberikan mereka dua buah tongkat dari kayu sebagai tanda bagi mereka berdua.

Tongkat tersebut dibuat sama panjang, untuk Toar dibuat dari batang pohon Tuis, dan untuk Lumimuut terbuat dari batang pohon Tawaang. Karema lalu berpesan, “Kalian harus mengembara mengelilingi dunia, tidak hanya di Minahasa saja, melainkan juga pergilah sampai ke ujung bumi sejauh yang kalian mampu. Bawalah kedua tongkat ini, kalau sekiranya kalian bertemu dengan siapa saja yang membawa tongkat yang sama dan juga ukurannya sama, maka itu berarti kalian masih terikat keluarga, namun apabila tongkatnya tidak sama panjang maka kalian boleh membentuk rumah tangga dengan orang tersebut, oleh karena itu berarti kalian tidak ada hubungan keluarga dengan orang itu.” Karema lalu memberikan tongkat-tongkat tersebut kepada Toar dan Lumimuut. Ia memeluk mereka berdua dan mempersilakan mereka untuk pergi.

Toar dan Lumimuut berpamitan dengan Karema. Setelah itu mereka berdua lalu berpisah jalan, Toar berjalan menuju Utara dan Lumimuut mengambil jalan ke Selatan. Dalam perjalanan pengembaraan tersebut tanpa disadari tongkat Tuis di tangan Toar bertumbuh dan semakin bertambah panjang, sedangkan tongkat Tawaang yang dibawa oleh Lumimuut tetap sama dan tidak bertambah panjangnya.

Dalam perjalanan pengembaraan tersebut, Toar mendapat banyak sekali ujian dan tantangan. Ia harus berhadapan dengan banyak binatang buas. Terkadang ia mesti melewati lembah, ngarai, dan sungai yang dipenuhi onak dan duri. Kulit tangan dan kaki Toar sampai mengelupas dan terasa sakit luar biasa. Tetapi Toar tidak pernah menyerah. Ia adalah lelaki tangguh (cikal bakal tuamaMinahasa sejati) yang terkenal pantang menyerah menghadapi rintangan dan tantangan apapun yang menghalang di depan mata.

Dengan bekal pengetahuan pengobatan menggunakan obat-obat tradisional yang diwariskan Karema, ia mampu membuat obat untuk luka-lukanya sendiri tanpa bantuan siapapun. Ia hanya perlu beristirahat barang sejenak dan mengobati luka-lukanya. Setelah pulih, ia kembali melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, di belahan yang lain, perjalanan Lumimuut jauh lebih mudah dan mulus. Tidak banyak rintangan berarti yang dihadapi Lumimuut dalam pengembaraannya.

Setelah berbulan-bulan lamanya pengembaraan mereka, tanpa diduga Toar bertemu Lumimuut, ibunya, di sebuah hutan di kawasan Tingkolongan yang gelap.

(7)

Toar kemudian bertanya, “Apakah kamu memegang tongkat yang sama dengan yang aku pegang?” Lumimuut mengangkat tongkat yang dia bawa dan ternyata tongkat mereka tidak sama panjang ukurannya. Toar pun mengajak Lumimuut untuk menikah supaya dapat menghasilkan anak cucu sesuai pesan Karema. Seketika Lumimuut sadar bahwa yang berbicara di hadapannya itu sesungguhnya adalah anaknya sendiri. Ia terpekur diam.

Lumimuut tidak langsung mengiyakan permintaan Toar, tetapi ia justru mengajak Toar untuk kembali menemui Karema supaya nanti diberikan pengertian dan pendapat mengenai apa yang harus mereka lakukan. Toar menyetujui, maka kembalilah mereka ke pegunungan Wulur Mahatus untuk meminta pendapat Karema.

Berbulan-bulan lamanya waktu kembali mereka tempuh untuk pulang menemui Karema. Setelah bertemu Karema, maka dua tongkat yang dibawa mereka itu kembali dibandingkan dan disandingkan, ternyata memang Karema dapat melihat secara jelas bahwa keduanya tidak sama panjang ukurannya.

Karema menyuruh mereka berdua untuk mendekat, lalu berkatalah Karema, “Karia u ngaran ni Wa’ilan, yah nima zei’ mo u ma’ina’ an nio”(Dengan nama Yang Maha Mulia, kamu berdua tidak lagi sebagai ibu dan anak). Karema melanjutkan, “Akaz I nania wo mange, ya Tou sana awu-mo kamu.” (Mulai sekarang dan seterusnya, kamu berdua sudah menjadi suami-istri). Karema berdoa supaya suami-istri baru ini hidup dalam kehidupan yang penuh berkat dan tetap terus dalam pengasihan Opo Wailan Wangko. Karema sebagai Pendeta dan orang dituakan yang kemudian menikahkan Toar dan Lumimuut.

Karema lantas mengajak Toar dan Lumimuut untuk pergi ke daerah di sekitar pegunungan Lolombulan dan Sinonsayang, karena di sanalah ia hendak mengadakan upacara pemberkatan pernikahan Toar dan Lumimuut. Untuk mengabadikan penyatuan sebagai suami istri antara Toar dan Lumimuut, maka Karema melukiskannya pada sebuah batu abadi, yang bernama Watu Lutau. Batu itu masih dapat disaksikan oleh keturunan-keturunan Toar Lumimuut sampai saat ini. Lukisan Karema pada batu itu adalah gambaran tentang sepasang kekasih (Toar-Lumimuut) sedang bergandengan tangan. Tempat itu kemudian menjadi desa Lutau / Tinondeyan / Tondei.Tempat yang menjadi saksi dipersatukannya Toar dan Lumimuut oleh Karema.

Karema saat itu bertindak sebagai Pendeta, ia lalu memberkati Toar dan Lumimuut, lalu kemudian ia sendiri menetapkan sebuah janji untuk hidup bersama kedua suami-istri baru ini sampai batas akhir hidup mereka. Karema adalah ibu (orang tua) dan Pendeta bagi kehidupan suami-istri baru itu. Ia terus mendampingi sampai Toar dan Lumimuut beranak-cucu.

(8)

Para leluhur keturunan Toar Lumimuut ini berkembang dengan pesat, dan menyebar dengan cepat pula. Tatanan peradaban dan sosial mulai terbentuk, namun ternyata di antara para leluhur keturunan pertama tersebut terjadi perselisihan dan perpecahan. Para Tona’as kemudian sepakat untuk bertemu dan membicarakan hal tersebut secara damai dengan memilih sebuah tempat netral.

Maka sesuai waktu yang sudah mereka sepakati bersama, diaturlah pertemuan di Awuan (Tonderukan Utara). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu atau Pinawetengan um-posan. Akhirnya kesepakatan pun diambil, yaitu keturunan-keturunan selanjutnya dari Toar Lumimuut dibagi menjadi tiga kelompok besar, Tonsea, Tombulu, dan Tontemboan. Tempat di mana mereka bertemu kemudian dinamai Watu Pinabetengan (Batu Membagi).

Referensi

Dokumen terkait