• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN SASTRA DALA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN SASTRA DALA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN SASTRA DALAM NOVEL

SANU INFINITA KEMBAR

KARYA MOTINGGO BUSYE

Oleh:

Drs. Taufik Nugroho, M.Hum.

Widyaiswara Madya Bahasa Inggris PPPPTK Bahasa, KEMDIKBUD

Pendahuluan

Bagaimana filsafat membahasakan kekayaan pandangan hidup yang bisa jadi berkemungkinan mengurangi kekayaan pengalaman lantaran proses rasionalisasinya? Salah satu corong bahasa yang menjembatani adalah sastra. Apa dan bagaimana sastra dalam kaitan filsafat mau menjembatani refleksi realitas mengenai kehidupan yang tidak hanya rasional tetapi juga emosional. Dalam artikel ini penulis mencoba untuk menunjukkan benang merah antara filsafat dan sastra beserta satu contoh karya sastra yang bernilai filsafat dan mistik, yakni: SANU INFINITA KEMBAR karya Motinggo Busye.

Perebedaan dan Persamaan antara Filsafat dan Sastra

Pada dasarnya sastra dan filsafat sama-sama bermuara pada pengalaman menghayati kehidupan ini. Perbedaan nuansanya, filsafat hendak memaparkan pengalaman penghayatan kehidupan dengan bantuan pertanyaan dasariah, radikal: mengaitkan secara eksplisit dengan siapa manusia ? Apa artinya hidup ini? Ke mana arahnya? Bagaimana pandangan si manusia pelaku sejarah hidupnya ini dengan lingkungan dunianya, jagadnya? Jika ia menghayati hidup bersama sesamanya, apa tujuan hidup bersama ini, dan apa artinya hidup bersama dengan sesama?

(2)

ciri bahasanya pun lebih merupakan bahasa ujaran: memapar dengan bercerita, berkisah lewat kata.

Filsafat, ciri bahasanya adalah ilmiah, rasional, dan sistematis karena mementingkan acuan: pertanyaan radikal mengenai dasar pengalaman itu sendiri dan konteks maknanya.

Filsafat dan sastra mempunyai dasar pijak yang sama, yaitu realitas itu sendiri. Bila filsafat bertolak dari kenyataan lalu hendak diabstraksikan, dicari jati dirinya, hakikatnya, maka sastra mulai dari apa yang ada dalam kenyataan lalu diolah lewat imajinasi, lewat proses kreatif lalu dibuatnya lebih indah. Imajinasi tadi ada dalam cipta kemudian dituangkan dalam tuilisan atau kata-kata (Sutrisno, 1995:16-17).

Bila titik tolak keduanya sama, yaitu realitas,yang membuat keduanya berbeda adalah metodologi pengolahannya. Sastra, secara metodologis, merupakan ziarah penjelajahan seluruh realitas di mana amanusoia berada, hidup dan bergulat di dalamnya. Filsafat, secara metodologis, hendak muncul

sebagai refleksi atas pengalaman manusia dalam berada, bereksistensi di dalam realitas hidup yang sudah dirinci, dipilah-pilah menurut alur rasionalitas dan logika lewat akal budi. Bila sastra dalam mengolah realitras pengalaman hidup menggunakan proses mencipta kembali sehingga buahnya berciri meresapkan, membuat orang menikmati, mencecapi, maka filsafat menggunakan proses merefleksikan sehingga buah-buah anggur perasan yang keluar berciri menjelaskan, menerangkan dengan rinci.

Karena filsafat merupakan refleksi atas pengalaman manusia dalam hidupnya yang sudah dirinci lewat akal budi, maka bahasanya pun bukan bahasa sehari-hari. Ciri bahasa filsafat teknis, langsung menjelaskan secara distingtif, lugas dan dengan penggolongan kategori yang tepat. Di sinilah kerap terjadi kesulitan dalam memahami filsafat. Sedangkan bahasa sastra berperan hendak menciptakan kembali dengan indah realitas yang ada maka bahasanya berciri puitis, imajinatif.

Hubungan antara Filsafat dan Sastra

(3)

melalui dua bahan pokok (Atmosuwito, 1989: 127). Bahan pokok yang pertama, berfilsafat memakai temuan-temuan ilmu empiris. Misalnya filsafat bahasa memakai bahan baku linguistik. Strukturalisme memakai ilmu antropologi budaya. Bahan baku yang kedua, orang bisa berffilsafat dengan memakai ujaran pengalaman sang penulis sastra dan seniman. Disinilah refleksi filsafat sebenarnya menemukan sumber air jernih untuk digarap. Maka, yang menjadi tantangan adalah bagaimana olah kehidupan sebagaimana dihayati dan dituliskan dengan bahasa puitis, imajinatif oleh sang seniman dalam sastra dieksplisitkan secara sistematis dan terinci. Di sinilah hubungan erat antara filsafat dan sastra. Tantangan ini mendesak kiranya di tanah air kita ini: pengkajian paham manusia dan nilai hidupnya sebagaimana dipaparkan oleh buku sastra atau pengarang tertentu.

Titik temu yang kedua terletak pada pendapat agak apriori mengenai filsafat. Seringkali dikatakan bahwa filsafat itu sulit, abstrak atau serius. Di sinilah kiranya sastra bisa turun tangan membantu filsafat untuk menjadi corongnya. Lewat bahasa sastra yang lebih komunikatif, segar dan hidup, filsafat bisa dibantu menyuarakan refleksinya atas pengalaman menghayati hidup dalam makna dan nilainya. Pada kenyataannya, sudah cukup banyak contoh mengenai sastra sebagai corong filsafat, meskipun produk sastranya disebut sastra serius, karena berisi refleksi filsafat.

Sinopsis Novel Sanu Infinita Kembar

Cerita ini terjadi dalam tahun 1964—1965 ketika udara penuh dengan tempik sorak gegap gempita pihak komunis dan Lekra mengganyang orang-orang dianggap kontra-revolusioner, penganut-penganut humanisme universal dan Manifes Kebudayaan, dengan insinuasi-insinuasi dan fitnahan-fitnahan yang menimbulkan kegelisahan, ketakutan dan saling curiga dalam masyarakat. Bahkan hal ini dapat terjadi antara orang tua dan anak dan antara suami dan istri.

Hal ini dapat dilihat dari percakapan antara Sanu dan Raswan:

(4)

mingguan itu kepada Raswan.

“Kau masih berani tinggal di Jakarta?” tanya Raswan. “Kau?” tanya Sanu kaget.

“Sore ini aku akan ke Sumatra.” “Lho!”

“Perhatikan nama kita beseta alamat lengkap ditulis disana.

Ini memudahkan pihak penguasa untuk menangkap kita, “ kata Raswan. “Itu tindakan orang penakut, Raswan.”

“Lari dari penangkapan bukan berarti penakut. Itu namanya hijrah. Nabi Muhammad juga hijrah, dari Mekah ke Madinah,” kata Raswan.

“Aku akan menempuh cara yang digunakan Pangeran Diponegoro,” kata Sanu.

“Cara apa itu?” tanya Raswan.

“Menggunakan ilmu hilang. He, untuk mengetahui Sejarah Indonesia, kita cukup membaca riwayat hidup Diponegoro,” ujar Sanu.

“Wah, kamu memang sudah kerasukan filsafat Ralph Waldo Emerson, Sanu.

“Kurasa Emerson betul. Untuk mengetahui sejarah Eropa cukup dengan membaca biografi Napoleon. Untuk mengetahui sejarah Islam, cukup mebaca riwayat hidup Muhammad.”

(hal.1)

(5)

dari bencana dihancurkan sebagai unsur kontra-revolusioner. Ada yang melarikan diri ke luar kota, menyembunyikan diri mencari selamat bahkan ada yang berusaha ke luar negeri. Ada yang berlatih bela diri, ada yang kembali ke agama sebagai pegangan, jangan sampai panik oleh serangan dan fitnahan, mohon perlindungan Tuhan dan ada yang menuntut ilmu kebatinan untuk membuat dirinya kebal atau bisa menghilang. Inilah masanya ketika budayawan dan seniman yang tidak mau berpolitik diseret ke

tengah gelanggang poilitik. Maka sebagian mereka ikut berpolitik atau menjadi bulan-bulanan politik. Konsentrasi jiwa seniman masa itu terlukis dengan baik dalam novel ini.

Cuplikan dibawah ini memberikan gambaran jelas mengenai keadaan tersebut:

“Melawan politik tidak bisa dengan ilmu mistilk, kata Raswan.

“Kau salah duga. Aku bukan orang politik. Aku tidak punya massa. Dengan tuduhan bahwa kita orang-orang kontra-revolusioner, itu bahwa politik menghasut massa untuk menangkap kita. Nama dan alamat kita jelas tercantum. Dan jika kita sudah dikepung dan diserbu massa, kita bukan lagi berhadapan dengan politik. Kita harus menyelamatkan harga diri kita sebagai manusia, agar tidak tertangkap dan mati konyol. Ketika itu tidak satu orang pun bisa kita percaya untuk mendapatkan pertolongan . Kita harus berteriak kepada Tuhan, seorang diri , seperti halnya Diponegoro yang memiliki ilmu hilang”.

(hal. 2)

Sanu adalah seniman yang memilih mistik untuk melepaskan diri dari cengkraman politik. Sebagai pelukis dan pengarang ia kehilangan gerak. Lukisan-lukisannnya yang rada abstrak dituduh lukisan burjuis dan karangannya yang sudah naik pers setselnya dilebur, karena namanya dimuat dalam surat kabar kiri sebagai seorang yang anti-revolusioner. Penerbit ketakutan untuk mencetaknya. Tawaran seorang diplomat untuk mengirimnya ke Paman Sam, ditolaknya dengan tegas: diantara dua adikuasa ia memilih jadi nasionalis.

(6)

menembus atmosfir dan stratosfir, untuk bertemu Tuhan, adanya diri ganda manusia, nampak pencarian jati diri dalam hubungannya dengan lingkungan, Tuhan dan semesta. Sanu merenung dan mencari jawaban atas segala: apakah penguasa, apakah massa, apakah kebenaran, apakah moral, apakah fungsi ruang dan waktu, apakah hakekat Ada, Gerak, Situasi. Ia mendalami seluk beluk pemikiran, dan praktek-praktek kebatinan, lengkap dengan peristilahan-peristilahannya. Ia berspekulasi mengenai planit-planit di angkasa dan harmoni dalam semesta. Cahaya menyinari Muhammad. Dan cahaya inilah awal mula penciptaan Allah. Dan banyak sekali spekulasi-spekulasi mistik dan menjalani tingkat-tingkat ilmulyaqin, ainulyaqin untuk sampai kepada haqqulyakin. Sanu telah menimba ilmu pengetahuan dari filsuf-filsuf dan pemimpin-pemimpin rohani seperti Aristoteles, Plato, Sokrates Descartes, Pascal, Bergson, Kant, Emerson, Buddha, Kong Fu Tse, Lao Tse, Al-Hallaj, Yesus, Muhammad, Nietzshe, Machiavelli, Karl Marx, Hegel, tapi juga dari tokoh-tokoh tindakan, seperti Napoleon, Caesar, Jefferson, dan Lincoln.

Sebagaimana Danarto sampai kepada Adam Ma’rifat, demikian pula Sanu sampai kepada Manusia Total: “Manusia yang menjaga keseimbangan aantara diri pertama dan diri kedua. Seluruh manifestasi diri pertama adalah infinita-ego, yang lawannya adalah infinita-kreatif. Karena itu, diri kedua infinita kembar itu, dengan kreatifitasnya menjadikan ia dinamis. Dan dinamika kreatif hanya ada pada pemilik status quo perimbangan, yaitu Manusia Total.” (hal.6)

Pada suatu kesempatan kepala Sanu mengangguk-angguk beberapa kali dan sempat diketahui oleh temannya Awin. Dia bertanya:

“Kau tadi menggeleng, lalu diam, lalu mengangguk, itu apa sih maksudnya?”

“Kami sedang bercakap-cakap,” jawab Sanu. “Kami itu siapa?”

(7)

dilakukan kerjasama, bukannya konfrontasi antara aku dan aku itu”. “Itu kejawen!” tuding Awin.

“Nanti kalau aku keluarkan semua literaturku, kau kaget.” (hal. 55)

Boleh jadi pengalaman-pengalaman irrasional yang dialami Sanu menimbulkan senyuman sinis pada pembaca yang tidak mempunyai atau telah kehilangan indra keenamnya, tapi apabila kita memperhatikan gejala-gejala ajaib yang terjadi sekitar kita, maka apa yang dialami Sanu pada dirinya, bukan hal-hal yang aneh bahkan mustahil. Membaca cerita ini kita seperti masuk ke dunia

mimpi yang mencekam tapi mengasyikkan, di mana kepala adalah kaki, kiri adalah kanan, atas adalah bawah, timur adalah barat, dunia sungsang sumbalit di mana kita mencari jalan dengan rasio di tengah kebalauan yang mokal-mokal. Kita bertemu pikiran-pikiran dan pemandangan-pemandangan yang membedah kenyataan untuk sampai kepada kebenaran-kebenaran hakiki.

Ilmu psikologi, khususnya psikiatri, mempunyai nama-nama untuk gejala-gejala yang dialami Sanu, seperti halusinasi, paranoia, schizophrenia, delirium, dan sebagainya, semuanya merupakan penyakit-penyakit kejiwaan yang tidak ada hubungannya dengan alam gaib. Hanya karena saraf tidak berfungsi dengan baik, maka bermacam pendengaran, penglihatan dan penciuman bisa terjadi, yang sebenarnya objeknya tidak ada. Tapi disamping psikologi dan psikiatri telah berkembang pula ilmu yang disebut parapsikologi yang menyelidiki gejala-gejala luar indriawi, bukan sebagai gejala-gejala penyakit, tapi sungguh-sungguh berasal dari kemampuan pengindriaan yang saking halusnya bisa berhubungan dengan dunia gaib di luar diri. Nama lain adalah spiritualisme, tapi perbedaan diantara keduanya ialah bahwa parapsikologi mencoba dengan cara ilmiah menganalisa gejala-gejala indriawi, sedangkan spiritualisme menerima dunia gaib begitu saja.

(8)

ataukah ia memang sedang menghayati proses pewalian yang sampai kepada hakikat kebenaran yang paling akhir? Apapun asal usulnya pengalaman Sanu, sebagaimana Busye menceritakannya, sungguh sangat menarik, karena diceritakan dengan cara yang sangat masuk akal, seolah-olah dialami oleh pengarangnya sendiri. Kelebihan pengarang dari pemakai bahasa biasa adalah ialah bahwa pengarang dapat menggerakkan gerak batin yang paling halus dan paling dalam berupa perasaan dan pikiran yang menyertai gerak fisik yang paling kecil dan paling halus dalam kata-kata. Dan pengarang di sini membuktikan kemampuan itu. Ia melukiskan pengalaman orang bermeditasi ubntuk mendapat kekuatan menembus alam atmosfir dan startosfir , menguak perbatasan hidup dan mati menjalin pengalaman nyata dan rohani, di mana alam nyata dan alam barzakh berbaur, pengarang hidup dalam kesemestaan , bukan sebagai pasien jiwa, tapi sebagai manusia pilihan. Tanggapan mistik dan peristilahan mistik dikuasai dengan cekaman yang kuat, bahkan ditambah dengan konsep dan peristilahan fisika dan metafisika (hal.37-38).

Sanu Infinita Kembar

: Novel Mistik-Falsafati Karya

Motinggo Busye

(9)

Pertama. Inilah Kreator. Dan oleh karena itu sifatnya alamiah, adalah sebenarnya, illahiah. Ego tidak pernah mengakui adanya Tuhan Maha Kuasa, karena ia mengira dirinyaaaalah penguasa tunggal, dan karena itu dia mengira dirinyalah “Tuhan”. Tetapi Kreator sepenuhnya mengakui adanya Tuhan Maha Kuasa. Dan dia sendiri secara sadar memikul Tuhan kepadanya. Bahkan dia mengalami kenikmatan ketika Tuhan hadir dalam dirinya. Berbeda dengan Kekuasaan Pertama yang ingin merebut Krekuasaan Kedua secara revolusioner, Kekuasaan Kedua justru menyatakan perebutan kekuasaan atas kekuasaan pertama, bukanlah untuk menjadi pernguasa otoriter. Yang direbutnya bukanlah wilayah Kekuasaan Pertama, tetapi sekedar mengarahkan tindak revolusioner Kekuasaan Pertama tadi. Dengan kata lain, dia mengenal batas wilayah itu, karenanya dia sekedar menjaga status quo atas Kekuasaan Kembar itu.

Blaise Pascal dengan tepat menyebut Dua Kekuasaan ini sebagai ”Dua Infinita”, tetapi tokoh Sanu dalam cerita ini bukan penjelmaan dari infinita-infinita Pascal, juga bukan diilhami oleh falsafat Kejawen yang yang cenderung lebih dekat pada Pascal dan Sufisme murni. Sanu bukan Pascalis, bukan pula Sufis. Sanu mengakui terminologi “dua infinita” karena dia mengaku membaca karya Pascal itu, sebagaimana dia memahami sufisme dan kejawen. Tetapi yang dicarinya bukanlah usaha perebutan kekuasaan, di mana kemudian Kekuasaan Kedua menaklukkan Kekuasaan Pertama. Tidak. Yang dicari Sanu adalah harmoni Kekuasaan Kembar itu. Dan tugas maksimumnya hanya memelihara status quo, sehingga muncullah idealismenya tentang perikehidupan manusia ini, yaitu harmoni.

Berikut ini beberapa cuplikan penting yang menyiratkan hubungan antara filsafat, mistik, dan karya sastra yang berkenaan dengan manusia total, ketuhanan, politik dan internasionalisme, dan filsafat guru.

A. Manusia Total dan Prinsip Ketuhanan

(10)

“Tahukah kau, Raswan, mungkin yang diperlukan bukan kesadaran total, tetapi manusia total. Manusia total tidak mengingkari konsepsi Tuhan Esa, selebihnya selain Tuhan itu majemuk. Planit-planit tidak dibuat satu. Langit tidak dibut-Nya satu Ada atmosfir dan stratosfir dan seterusnya. Ada malam, ada siang, dan seterusnya, pendeknya seluruh alam semesta dan isinya ini majemuk. Yang Esa cuma Dia, Tuhan. Sekarang coba kamu bantah saya, Raswan.”

“Aku kuatir kamu nanti gila, Sanu,” ujar Raswan.

(hal. 5)

Dari kutipan di atas, Sanu ingin menerangkan bahwa manusia total selalu sadar akan jati dirinya berbeda dengan jati diri Tuhannya. Dengan kata lain makhluk selalu berbeda dengan khaliknya. Ini berarti bahwa manusia tidak boleh terjebak dengan pandangan filosofis Al Hallaj atau Neitzsche yang boleh dikata kelewatan menurut Sanu. Sanu tetap berpendapat yang esa itu hanya Tuhan Yang Maha Esa. Manusia total adalah manusia yang senantiasa menjaga keseimbangan antara Krekuasaan Pertamanya, yakni ego dan Kekuasaan Keduanya, kreatif.

Lebih lanjut dapat diperhatikan percakapan Sanu yang lain:

“Memang itu bisa terjadi sekiranya aku berdiri langgeng pada alam yang dialami Al Hallaj atau Nietzsche,” kata Sanu.

“Siapa yang menjamin kau bisa membebaskan diri dari sadar-total itu?”

“Manusia totalku. Manusia total adalah yang mnjaga keseimbangan. Kau bayangkan jika Tuhan sempat tidur dan mengantuk! Bisa beradu bumi kita dengan bulan atau Venus. Nah yang ku maksud dengan manusia total itu, yaitu yang berupaya menjaga keseimbangan antara diri pertama dan diri

kedua. Seluruh manifestasi dari diri pertama adalah infinita ego. Lawannya adalah infinita-kreatif.

(11)

(hal 6)

Dalam kesempatan lain, Sanu menggolongkan manusia ke dalam tiga jenis manusia dengan serba-serbinya, sepert kutipan di bawah ini yang dikemukakan kepada isrinya:

“Hari ini aku mendapatkan uang 100.000,-, tapi telah aku berikan kepada siapa pun yang membutuhkan sebanyak 70.000,-rupiah. Sedangkan hakku, hak kau, dan hak Aldo dan bayi kita sekedar yang 30.000,- saja. Jangan bilang aku tolol. Aku kira, dunia ini memang trdiri dari 3 jenis manusia. Jenis pertama, orang awam termasuk yang miskin dan tolol, dan mereka itu

jumlahnya 40% dari penduduk bumi. Yang 30% lagi orang kaya, termasuk yang loba dan gila harta dan juga orang-orang kaya yang memiliki cinta kasih. Dan yang 30% lagi adalah orang-orang berilmu yang cendekia, yang ilmunya ada yang digunakan untuk kebaikan sesama ataumenghancurkan sesamanya. Bebrapa saat uyang lalu aku berperan sebagai orang kaya yang yang memiliki cinta kasih, yang tidak pernah mengukur cinta kasihnya dengan jumlah nominal.”

“Tujuhpuluh ribu rupiah itu disawer agar disebut dermawan?” tanya istrinya.

(hal 80)

B. Politik dan Internasionalisme

Pada kesempatan lain Sanu menafsirkan Kekuasaan Pertama, ego sebagai kediktatoran, sedang Kekuasaan Kedua sebaliknya. Ia juga berpendapat bahwa filosofis politik itu adalah main otak seperti halnya orang yang sedang bermain catur.

“Ego itu selalu warnanya kediktatoran,” kata Sanu.

Lalu Sanu cuci muka ke kamar mandi. Tanpa ganti pakaian dia pergi dengan tidak perlu memikirkan lebih dulu tujuan. Dia menganggap, berfikir

sekarang ini adalah penyerahan terhadap kediktatoran ego. Tanpa berfikir, sempurnalah kemerdekaan diri.

(12)

“Politik itu ilmu main otak. Catur juga ilmu main otak. Jangan main rasa. Tapi minum tuak bagi orang Batak itu main rasa. Ah kau mengaku dulu ahli sejarah dan antropologi, kok bisa cengeng begini?”

“ Karena aku dilahirkan bukan sebagai produlk politik. Aku lahir sebagai produk budaya. Jika bung tuduh aku cengeng, apa boleh buat.

(hal. 12)

Berkenaan dengan konsep internasionalisme, Sanu bependapat bahwa bentuk internasionalisme adalah buruk, apakah itu Marxisme, Kapitalisme ataupun Liberalisme. Sanu hanya ingin berpegang teguh pada nasionalisme yang berbudaya Indonesia. Berikut ini adalah percakapan antara Lewis agen CIA dan Sanu:

“Saya tahu keadaan negeri kami ini akan bertambah mencengkeram lagi. Tapi saya tidak menyukai pelarian atas nama apa pun. Saya akan menjadi

seorang nasionalis dengan orientasi budaya Indonesia. Saya tidak

mempercayai lagi makna internasionalisme, apakah itu Marxisme ataupun Kapitalisme dan Liberalisme. Saya sudah melihat kebenaran falsafat

Sukarno, bahwa dunia dewasa ini hanya terdiri dari dua kekuatan: Eksploitor dan yang dieksploitir. Apakah eksploitor itu Komunis atau Kapitalis,

keduanya sama, bentuknya internasionalisme. Aatas kepungan dua raksasa ini, pilihan politik nasionalisme untuk sementara waktu bisa saya terima.”

(hal.25)

C. Guru versi Sanu

Dalam kesempatan lain Sanu juga berfilsafat tentang guru. Guru, menurut Sanu, adalah Infinita-kedua alias Kekuasaan Kedua. Ini berarti bahwa setiap manusia adalah guru, minimal bagi dirinya sendiri. Kutipan di bawah ini menarik untuk disimak:

(13)

(hal.7)

“Kabarnya kau sedang mencari guru tasawuf,” kata Abah mertua.

“Betul. Tapi ternyata dia ada dalam diri saya. Dialah Pangeran Bumi mewakili Tuhan, yang tidak kelihatan dan tak tampak oleh saya selama 27 tahun. Ah, saya akan pergi dulu.”

“Mukamu masih pucat,” ujar Abah mertua.

(hal. 29)

Simpulan

Sebagaimana diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu, filsafat dan sastra mempunyai hubungan yang sangat erat. Keduanya baik filsafat maupun sastra sama-sama bermuara pada pengalaman menghayati kehidupan ini. Dan selain itu filsafat dan sastra mempunyai dasar pijak yang sama, yaitu realitas kehidupan.

Adapun perbedaan dari keduanya diantaranya metodologinya. Sastra, secara metodologis, merupakan ziarah penjelajahan seluruh realitas di mana manusia berada, hidup dan bergulat di dalamnya. Filsafat, secara metodologis, hendak muncul sebagai refleksi atas pengalaman manusia dalam berada, bereksistensi di dalam realitas hidup yang sudah dirinci, dipilah-pilah menurut alur rasionalitas dan logika lewat akal budi.

Hubungan antara filsafat dan sastra pada dasarnya adalah sastra itu bisa menjadi bahan baku untuk filsafat. Berfilsafat dengan sumber pengalaman menghayati relitas hidup tadi bisa dijalani melalui dua bahan pokok. Bahan pokok yang pertama, berfilsafat memakai temuan-temuan ilmu empiris. Misalnya filsafat bahasa memakai bahan baku linguistik. Strukturalisme memakai ilmu antropologi budaya. Bahan baku yang kedua, orang bisa berfilsafat dengan memakai ujaran pengalaman sang penulis sastra dan seniman.

(14)

pembinaan dan pengembangan apresiasi satra sangat meyakinkan. Membina dan mnengembangkan apresiasi sastra berarti membina dan mngembangkan kesusastraan itu sendiri dan kebudayaan pada umumnya. Pemahaman karya satra yang baik dapat membuat pembaca lebih matang dan bijaksana dalam melaksanakan, membina serta mengembangkan kehidupan ini, terutama pembangunan nasional.

Novel Sanu Infinita Kembar adalah karya sastra yang sangat menarik, bersifat mistis dan filosofis. Dengan kepiawaian sang penulis, novel ini menceritakan suatu eksistensi seorang manusia, Sanu, yang senantiasa mengalami pergolakan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, dalam diri manusia terdapat dua kekuasaan, yaitu kekuasaan kembar. Kekuasaan pertama

selalu melakukan revolusi, dan yang kedua melakukan evolusi, dan kecenderungannya adalah merawat dan membangun puing-puing akibat revolusi itu. Kekuasaan yang pertama sentralistis, ego, sama sekali tidak kreatif, sedangkan yang kedua bertindak harmonis, kreatif dan memiliki cakrawala.

Sanu meninggalkan Sanu, lalu ke temu massa yang bikin kudeta, hingga Sanu pun ngilu. Sanu mencari Sanu, bertemu dengan suara bisikan pilihan dan

tindakan, untuk menjadi Sanu! Sanu terus mengembara, ingat dan lupa selalu diburu suara mendenging dan menggila! Lalu Sanu bangkit, merindukan hilang untuk menemukan rasa: aman dan seimbang.

Daftar Pustaka

(15)

Busye, Motinggo. 1985. Sanu Infinita Kembar. Jakarta: PT. GUNUNG AGUNG.

Sugihastuti. 2002. TEORI DAN APRESIASI SASTRA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

Ini dapat dilihat dari hasil nilai rata-rata ulangan harian kelas XA adalah 62,50, sedangkan kelas XB adalah 69,55 dan kelas XC adalah 79,00, maka guru perlu melakukan

Penyimpanan jangka pendek bisa mengubah intisari pada suatu sinyal yang baru masuk atau item yang didapat kembali dari penyimpanan jangka panjang.. Penyimpanan jangka panjang (long

harddisk , selanjutnya pengecekan apakah ada objek yang dicari dalam cache , dengan demikian, bila client lain melakukan request suatu layanan yang mengandung

Berdasarkan tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui adanya hubungan tingkat pengetahuan tentang kanker payudara dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri

Apabila dikaitkan dengan kebijakan alokasi anggaran dalam kebijakan strategis (RPJPD, RPJMD, dan Renstrada) dapat dikatakan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk bidang

Ratio Setiap pemegang 6 saham lama berhak atas 1 HMETD, dimana setiap 1 HMETD memberikan hak untuk membeli 1 saham baru.. HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU (HMETD) PT PERDANA

Saya menyatakan bahwa data yang saya isikan dalam formulir pendaftaran SNMPTN 2016 adalah benar dan saya bersedia menerima ketentuan yang berlaku di Perguruan Tinggi dan Program

Sedangkan hasil tersebut bertolak belakang dengan Selly, Fitriany dan Eliza (2015) menyatakan bahwa Kepemilikan saham oleh investor institusional juga dianggap