• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN FORMULATIF TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN FORMULATIF TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

[Penyelesaian Sengketa TUN melalui Upaya Banding Administratif…] | H. Abdul Khair, dkk. 437

KEBIJAKAN FORMULATIF TINDAK

PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(TRAFFICKING)

Nanda Ivan Natsir1

Fakultas Hukum Universitas Mataram Jln. Majapahit No. 62 Mataram 83125, Telp. (0370), 633035, Fax. 626954

Email: ivannatsir@gmail.com

ABSTRAK

Tindak pidana perdagangan manusia (human trafficking) merupakan salah satu pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagai bentuk perbudakan., mendorong Pemerintah Indonesia untuk memproteksi melalui pengaturan hukum dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Fokus permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan orang berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, dan bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana perdagangan orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan orang berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 yaitu: Pertama, Proses perekrutan eksploitasi seksual (prostitusi). Kedua, Perdagangan anak sebagai pekerja, Ketiga, perdagangan anak melalui adopsi (pengangkatan anak). Keempat, Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking )tercantum dalam KUHP, RKUHP 2015,Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anakdan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang memuat semua ketentuan mengenai perdagangan orang.

Kata kunci: Perdagangan Orang, Penegakan Hukum

ABSTRACT

Crime of human trafficking (human trafficking) is a violation of human rights as a form of slavery. To encourage the Indonesian government to protect through legal arrangements with the issuance of Law No. 21 of 2007 on the Eradication of Trafficking in Persons. The focus of the issues raised in this research is how the forms of the crime of trafficking in persons under Law No. 21 of 2007, and how the criminal law policy in combating the crime of human trafficking. The results showed that the forms of the crime of trafficking in persons under Law No. 21 of 2007, namely: First, the recruitment process sexual exploitation (prostitution). Second, trafficking of children as workers, Third, child trafficking through adoption (adoption). Fourth, the policy of criminal law in combating the crime of trafficking in persons (human trafficking) are listed in the Criminal Code, RKUHP 2015, Law No. 39 of 1999 on Human Rights, Law No. 23 of 2002 on Child Protection and Law No. 21 2007 About the Crime of Trafficking in Persons which contains all provisions concerning human trafficking

Key Word: Human Traffickking, Law Enforcement

(2)

438 Nanda Ivan Natsir | [Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] A. PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah perdagangan orang di beberapa wilayah negara Asean terutama Indonesia yang memiliki pen-duduk terbesar ke-empat dunia pula dipicu oleh perkembangan teknologi sebagai basis operasional organized crime, mendorong Pemerintah Indonesia untuk memproteksi melalui pengaturan hukum yang lebih spesifik dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perda-gangan Orang.

Korban Perdagangan orang adalah terutama pada anak dan perempuan,hal ini berkaitan dengan sifat dasar perempuan dan anak yang memiliki ciri khusus yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku sehingga mempermudah cara dan metode kerja pelaku yang terorganisir secara profesional.

Upaya optimalisasi pelaksanaan hukum dalam fungsinya yang berciri kausatif membutuhkan peran dari berbagai elemen, peran masyarakat luas sangat dibutuhkan, oleh karena itu untuk mencegah peningkatan korban yang lebih besar masyarakat harus mengetahui dan memahami tentang bentuk-bentuk praktek(modus operandi)perdagangan orang(human trafficking) sehingga masyarakat dapat membaca melalui pola-pola yang dibangun secara dinamis oleh pelaku(organized crime).

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian Normatif. Penelitian hukum normatif di sebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum di konsepkan sebagai apa yan tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Law in books) atau hukum di konsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia

yang di anggap pantas.1 Bahan hukum

yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari kepustakaan. Bahan hukum Primernya, yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdaga-ngan Orang. teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah metode kualitatif, Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian diolah secara sistematis, selanjutnya dilakukan analisis dengan metode kualitatif, yaitu bahan hukum yang disusun dan disajikan berupa rangkaian kalimat-kalimat yang menggambarkan hasil penelitian yang kemudian diambil kesimpulan untuk mencapai tujuan khusus dalam penelitian ini.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan kristalisasi dari berbagai kesepakatan internasional yang telah disesuaikan dengan endapan nilai-nilai moral masyarakat Indonesia dalam simbol Pancasila. Dalam kaitannya itu, dalam pembahasan bentuk praktik perdagangan orang di Indonesia akan diuraikan berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007.

Sesuai pasal 1 ayat (1) memberikan pengertian perdagangan orang sebagai berikut:

“Perdagangan Orang adalah tindakan

perekrutan, pengangkutan, penam-pungan, pengiriman, pemindahan,

1

Amiruddin dan H. Zaenal Asikin, Metode

Penelitian Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. 2004,

(3)

[Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] | Nanda Ivan Natsir 439 ataupenerimaan seseorang dengan

ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalah-gunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga mem-peroleh persetujuan dari orang yang memegangkendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau

meng-akibatkan orang tereksploitasi.”

Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000.

Bentuk-bentuk perdagangan orang ditinjau dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 telah disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) yang diperkuat didalam pasal 1 ayat (2) sebagai bentuk tindak pidana. Dari pengertian perdagangan orang yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1), maka bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan orang dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bentuk Perekrutan Eksploitasi

Seksual (Prostitusi)

Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 memberikan definisi Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.Dari pengertian ini, dalam perekrutan dilakukan berbagai cara untuk mengajak korban dan mempengaruhi korban. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, beberapa perempuan

tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.

Sudah menjadi rahasia umum para perempuan yang bekerja di panti-panti pijat di Indonesia dapat diminta memberikan layanan seks kepada para pelanggan mereka. Dalam kasus lokalisasi, tempat-tempat pelacuran lainnya, serta prostitusi di warung-warung kecil, ketika dipilih oleh seorang pelanggan, perempuan atau anak perempuan tersebut harus memberikan pelayanan seks dengan pembayaran di tempat, atau di luar, seperti di hotel, taman dan tempat terbuka. Ini adalah jenis prostitusi, yang mendorong cara perekrutan perempuan dan anak perempuan melalui praktik perdagangan orang, mengingat ini adalah sebuah sumber pendapatan yang besar bagi mereka yang terlibat di dalam proses perekrutan, pengangkutan, dan penampungan para perempuan dan anak perempuan yang didapatkan untuk tujuan tersebut.

Maka sesuai pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 yang menjelaskan eksploitasi seksual, adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.

Kepolisian Republik Indonesia merilis faktor-faktor pendorong terjadinya perpindahan dan perdagangan orang di Indonesia, yaitu sebagai berikut:2

a. Faktor Geografis: Bentuk kepulauan dan banyaknya celah untuk keluar masuk orang; letaknya yang berdekatan dengan negara pengguna jasa Tenaga Kerja Indonesia.

b. Faktor Ekonomi: Terjadinya krisis

2

Badan Reserse Kriminal Polri. Pointer tentang

(4)

440 Nanda Ivan Natsir | [Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] ekonomi yang berkepanjangan;

krisis keuangan negara; lapangan kerja yang menjanjikan, sehingga mengalahkan pertimbangan dan resiko; pengiriman TKI sangat membantu memulihkan ekonomi nasional.

c. Faktor Sosial Budaya: Kualitas SDM; kemampuan bahasa sebagai sarana komunikasi; sisi budaya yang dijajah; pemahaman adat dan budaya di tempat kerja; meningkatnya status dan kebanggaan jika kerja di luar negeri.

d. Faktor Keamanan dan Hukum: Lemahnya pengawasan terhadap agen TKI; kelangkaan hukum; keterbatasan kemampuan dan peralatan aparat; lemahnya koordinasi antar instansi terkait; kesewenangan majikan terjadi di luar jangkauanpengawasan.

e. Faktor Teknologi: Kemajuan teknologi dan informasi transnasional; agen TKI di luar negeri tidak terjangkau pengawasan; nilai kompetitif TKI dengan tenaga kerja negara lain; lemahnya diplomasi dan promosi Indonesia. Dengan adanya faktor-faktor yang menyebabkan trafficking tersebut di atas, bisa dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mampu melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap terjadinya trafficking bagi perempuan dan anak.

b. Perdagangan Anak Sebagai Pekerja

Dalam eksploitasi anak, cara-cara yang digunakan cenderung merugikan anak, sebagaimana pengertian yang diberikan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada pasal 1 ayat 16 Bahwa kekerasan adalah setiap

perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan ataupenderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untukmelakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas perdagangan anak dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan perekrutan, transportasi baik di dalam maupun antar negara, pembelian, penjualan, pengiriman, dan penerimaan anak dengan menggunakan tipu daya, kekerasan, atau dengan pelibatan hutang untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik anak tersebut mendapatkan bayaran atau tidak, di dalam sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas di mana anak tersebut tinggal ketika penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang tersebut pertama kali terjadi.

Pengertian pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang – undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk – Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di Indonesia secara umum meliputi anak – anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam bentuk berikut:3

1) Anak – anak yang dilacurkan

2) Anak – anak yang di pertambangan 3) Anak – anak yang bekerja sebagai

penyelam mutiara

4) Anak – anak yang bekerja di sektor konstruksi

5) Anak – anak yang bekerja di jermal

3Keputusan Presiden tentang Rencana Aksi

Nasional ( RAN ) Penghapusan Bentuk –

Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keppres

(5)

[Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] | Nanda Ivan Natsir 441 6) Anak – anak yang bekerja sebagai

pemulung sampah

7) Anak – anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan – bahan peledak.

8) Anak – anak yang bekerja di jalan. 9) Anak – anak yang bekerja sebagai

pembantu rumah tangga

10) Anak – anak yang bekerja di Industri rumah tangga

11) Anak – anak yang bekerja di perkebunan

12) Anak – anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu

13) Anak – anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakanbahan kimia yang berbahaya.

c. Perdagangan Anak Melalui Adopsi (

Pengangkatan Anak )

Pengaturan tentang pengangkatan anak di Indonesia mulai diatur di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1973 dan disempurnakan dengan SEMA RI Nomor 6Tahun 1983. Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orangtua kandung dengan orang tua angkat, juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukanoleh WNI yang tidak terikat perkawinan yang sah/ belum menikah dan juga mengatur tatacara mengangkat anak, bahwa:

“Untuk mengangkat anak harus

terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/ pengangkatan kepada Pengadilan Negeri tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentukpermohonan itu bisa secara lisan ataupun tertulis, dan diajukan ke Panitera Pengadilan Negeritersebut. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh

pemohon sendiri atau kuasanya,dengan dibubuhi material secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yangdaerah hukumnya meliputi tempat tinggal /

domisili anak yang akan diangkat”.

Prosedur pengangkatan anak memang dilakukan secara ketat untuk melindungi hak-hak anak yang diangkat dan mencegah berbagai pelanggaran dan kejahatan sepertiperdagangan anak. Ketidaktahuan prosedur ini menimbulkan persepsi dimasyarakat bahwamengadopsi anak itu mudah, sehingga sering kali masyarakat bertindak di luar hukum, makadapat terjadi tindak pidana perdagangan anak. Sering terjadi pengangkatan anak akan menjadimasalah hukum, seperti kasus yang terjadi beberapa waktu lalu, yaitu kasus pengangkatan anak

ilegal “Engeline Margriet Megawe (Angeline)”,4Margriet Christina Megawe

(Margareta) sebagai ibu angkattidak mendaftarkan akta pengangkatan

Angeline ke pengadilan. Margareta

mengangkat Angeline sebagai anak saat masih bersama suami keduanya yaitu Duglas, Warga Negara Amerika Serikat. Angeline yang lahir 19 Mei 2007, diangkat sebagai anak pada tahun 2007, saat anak itu berusia tiga hari.

Pengangkatan Angeline oleh Margareta hanya sebatas akta notaris. Dalam akta itu tertulis pengakuan pengangkatan anak, bukan adopsi. Pengangkatan anak pasangan Rosidik dan Hamidah asal Banyuwangi, Jawa Timur itu belum sah. Akta pengangkatan anak menjadi dasar untuk adopsi anak. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 5 tercantum:

4

Disadur dari situs berita,

http://daerah.sindonews.com/read/1012581/174/ibu

(6)

442 Nanda Ivan Natsir | [Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] Setiap orang yang melakukan

pengangkatan anak denganmenjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksuduntuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara palingsingkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluhjuta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratusjuta rupiah).

Dari ketentuan pasal 5 diatas maka pengangkatan anak harus memperhatikan beberapa prosedur hukum, guna menghindari eksploitasi terhadap anak. Pengangkatan melaui akta notaris tidak memberikan kekuatan hukum, hal ini perlu dipahami oleh masyarakat luas untuk menghindari eksploitasi terhadap anak, pengangkatan yang tidak memiliki kekuatan hukum juga tidak memberikan perlindungan hukum yang menyeluruh kepada anak.

d. Perekrutan melalui Pernikahan dan

Pengantin Pesanan

Biasanya, praktik perbudakan berkedok pernikahan dan pengantin pesanan dilakukanoleh pria warga negara asing dengan wanita warga negara Indonesia. Salah satu modusoperandi perdagangan orang yang lain adalah pengantin pesanan (mail border bride) yangmerupakan pernikahan paksa dimana pernikahannya diatur orang tua. Perkawinan pesanan inimenjadi perdagangan orang apabila terjadi eksploitasi baik secara seksual maupun ekonomimelalui penipuan, penyesengsaraan, penahanan dokumen, sehingga tidak dapat melepaskandiri dari eksploitasi, serta ditutupnya akses informasi dan komunikasi dengan keluarga.

Ada dua bentuk perdagangan melalui perkawinan, yaitu pertama, perkawinandigunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil perempuan tersebut dan membawa kewilayah lain

yang sangat asing, namun sesampai di wilayah tujuan perempuan tersebutdimasukkan dalam prostitusi. Kedua, adalah perkawinan untuk memasukkan perempuankedalam rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan – pekerjaan domestik yang sangateksploitatif bentuknya.

Pernikahan dini salah satu pemicu terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Hal ini disampaikan oleh Linda Amalia Sari, S.IP, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.5Pola pikir permisif

budaya pernikahan dini atau kawin usia muda di beberapa daerahmerupakan salah

satu ”peluang” yang dimanfaatkan oleh

para pelaku tindak pidana perdagangan orang, karena perempuan-perempuan yang melakukan perkawinan usia muda, yang secara psikologis dan ekonomis mempunyai tingkat kerentaran yang sangat tinggi untuk melakukan perceraian. Dan di sini-lah letak permasalahannya, yaitu dimana perempuan-perempuan yang sudah menjanda tersebut banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

“Kepolosan” dan “ketidakpahaman” akan

bahaya yang muncul sebagai akibat

“bentuk-bentuk terselubung” yang sering

mengatasnamakan “bekerja di luar negeri,

dengan upah yang jauh lebih tinggi” merupakan faktor pencetus diawalinya perdagangan orang.

5

(7)

[Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] | Nanda Ivan Natsir 443 2. Kebijakan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)

a. Ketentuan Hukum Internasional

Perlindungan hak derivatif6 negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yaitu dengan di cetusnya The Universal Declaration Of Human Right

pada tahun 1948, ini menjadi cikal bakal perlindungan hak asasi manusia secara hukum tertulis. Walaupun jauh sebelum itu sebagian besar negara-negara telah mengakui hak dasar manusia termasuk negara Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 telah lebih dahulu mengakui hak-hak melalui groundnorm Pancasila tercantum dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Adanya kesepakatan resmi secara internasional melalui PBB memperkuat perlindungan terhadap hak asasi manusia didunia.

Dari beberapa proses tersebut pula pada tahun 1965 diadakan Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)

yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277).

Perlindungan hukum anak secara universal melalui Convention On The Rights Of The Child pada tahun 1989 diratifikasi kedalam Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1996 kemudian pengaturan yang lebih memberikan penguatan dalam Undang-Undang Nomor

6

Hak Derivatif adalah hak yang dibentuk oleh hukum (istilah lain: hak legal) berdasarkan hak dasar (hak orisinil) yang sudah secara alamiah dimiliki oleh manusia

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235).

b. Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia

1) KUHP

Dalam ketentuan KUHP terdapat beberapa pasal yang mengarah pada perbuatan perdagangan orang, namun pasal-pasal tentang perdagangan orang yang diatur secara tegas dan relevan adalah:

Pasal 297 KUHP

Memperdagangkan perempuan dan laki-laki yang belum dewasa dihukum penjara selama-lamanya enam tahun

Pasal 324 KUHP

Barangsiapa dengan biaya sendiri atau orang lain menjalankan perniagaan budak belian atau melakukan perbuatan perdagangan budak belian atau dengan sengaja turut campur dalam hal itu, baik langsung maupun tidak langsung, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Pengaturan perdagangan orang dalam KUHP pada Pasal 324 tentang larangan perbudakan, secara substansi tidak lagi memadai dan tidak relevan dengan perkembangan zaman yang berbasis teknolgi. KUHP tidak lagi bisa menjangkau perdagangan orang yang melintasi batas-batas antar negara (transnasional).

2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

(8)

444 Nanda Ivan Natsir | [Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] 1945. Pengaturan terhadap tindak pidana

perdagangan orang yaitu dalam pasal sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.

(2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segalaperbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.

Perdagangan orang merupakan bentuk pelanggaran HAM, hal ini diatur secara umum dalam UUHAMpasal tersebut diatas.Bentuk umum dalam penagturan UUHAM kemudian secara spesifik diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Asas-asas dasar hak asasi manusia, sesuai ketentuan dalam UUHAM, asas-asas dasar manusia diakui dan dijunjung tinggi yang meliputi Hak Asasi dan kebebasan dasar merupakan hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisahkan dari manusia dan harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan maratabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan (Pasal 2).

Hak Asasi yang harus ditegakkan itu haruslah disertai dengan perlindungan hukum baik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan, bahwa Hak Asasi Manusia itu berlaku universal untuk semua orang dan di semua negara, namun demikian praktek penegakan, pemajuan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia di suatu negara berbeda dengan negara lain.

3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 merupakan hukum pidana khusus (lex

spesialis) pengaturan tindak pidana perdagangan orang. Dengan pertimbangan perdaganga orang sebagai tindak pidana yang mengalami peningkatan di era modern, dengan berbagai pola perekrutan memanfaatkan perkembangan teknologi.

Pengaturan ketentuan pidana perdagangan orang diatur dalam beberapa pasal, sekaligus sebagai bentuk-bentuk rinci tindak pidana perdagangan orang. Penjabaran dalam pasal-pasal telah menyesuaikan dengan beberapa ketentuan internasional. Kebijakan hukum pidana melalui pengaturan khusus (hukum pidana khusus), dapat dilihat dalam sistematika pasal sebagai berikut:7

1. BAB IITINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG pasal 2 sampai dengan pasal 18

2. BAB III TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG pada Pasal 19 sampai dengan pasal 27

3. BAB IV PENYIDIKAN,

PENUNTUTAN, DAN

PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN pada Pasal 28 sampai dengan pasal 42

Undang-Undang ini merupakan produk hukum yang cukup komprehensif, karena tidak hanya mempidanakan perdagangan orang sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga mengatur tentang pemberian bantuan kepada korban secara menyeluruh, dan peran serta masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan serta penanganan kasus, dan undang-undang ini juga merupakan pencerminan standar internasional.

Perkembangan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/ MPR/ 2002, tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan

7

(9)

[Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] | Nanda Ivan Natsir 445 Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republi Indonesia, pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2002, telah merekomendasikan kepada Presiden RI, untuk mengatasi perdagangan orang terutama perempuan dan anak, melalui penyusunan peraturan peraturan perundang – undangan nasional, ratifikasi, konvensi internasional, dan melanjutkan usaha untuk melakukan pencegahan danpenanggulangan masalah perdagangan orang terutama perempuan dan anak yang telah dilakukan.8

Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi, juga melibat tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, dan memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri, tetapi juga antar negara, dan merupakan kejahatan transnational crime.

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

1.1 Bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan orang berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 yaitu: Pertama, Proses perekrutan eksploitasi seksual (prostitusi) dilakukan melalui pemberian pengaruh terhadap korban dan kelurga maupun masyarakat dengan menawarkan pekerjaan yang menguntungkan pada tempat tujuan, kemudian membuat keterikatan agar korban melakukan cara-cara yang diluar kesepakatan dan tidak bisa kembali dengan mudah ke tempat asal. Kedua, Perdagangan anak

8

Deputi Seswapres Bidabg Politik, Lokakarya,

Makalah ”Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang dan Implementasi UU No 21

tahun 2007, Medan, 10 Mei 2007, hal 1.

sebagai pekerja dengan memanfaatkan keterbatasan fisik dan psikologis anak untuk memenuhi tenaga kerja kasar. Ketiga, perdagangan anak melalui adopsi (pengangkatan anak) yaitu dengan memanfaatkan keterbatasan pengetahuan orang tua asli, hanya memenuhi beberapa persyaratan yang belum menjamin kepastian hukum, seperti dengan hanya menggunakan akta notaris tanpa putusan pengadilan. Keempat, Perekrutan melalui pernikahan dan pengantin pesanan yaitu perkawinan digunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil perempuan dan membawa ke wilayah lain yang sangat asing serta perkawinan untuk memasukkan perempuan kedalam rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik yang sangat eksploitatif bentuknya, juga pengantin pesanan yang merupakan pernikahan paksa dimana pernikahannya diatur orang tua 1.2 Kebijakan hukum pidana dalam

(10)

446 Nanda Ivan Natsir | [Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] pada pasal 237 dan 324, RKUHP

2015 memberikan perluasan pengaturan dengan mengkaitkan pula dengan beberapa perbuatan yang mengarah pada perdagangan orang yaitu mulai pasal 395 sampai dengan pasal 567. Pada hukum pidana khusus yaitu Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 20, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 68 dan pasal 83 serta lebih khusus (lex spesialis) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang memuat semua ketentuan mengenai perdagangan orang.

2. Saran

2.1 Bentuk-bentuk perbuatan yang mengharah pada tindak pidana perdagangan orang semakin bervariasi dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang memudahkan organsasi kriminal mencapai tujuannya. Maka dalam memutus arus tersebut perlu upaya menyeluruh, diantara lain penguatan struktur penegak hukum dengan memanfaatkan pula kemajuan teknologi dalam bersinergi maupun koordinasi dengan lembaga terkait, meningkatkan pengawasan yang bertanggungjawab dengan menempatkan personil penegak hukum pada daerah atau wilayah rawan tujuan perekrutan, optimalisasi lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga lembaga yang concern dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Selain itu upaya preventif melalui penyuluhan, penyadaran ataupun edukasi kepada masyarakat luas khususnya daerah yang rentan menjadi korban, seperti daerah

pedesaan. Harmonisasi berbagai lembaga tersebut juga masyarakat dapat mengoptimalkan upaya dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

2.2 Kebijakan hukum pidana pada pemberantasan tindak pidana perdagangan orang telah dirumuskan dalam beberapa ketentuan perturan perundang-undang, baik bersifat umum maupun khusus. Dalam KUHP terdapat keterbatasan pengaturan, sehingga dalam RKUHP 2015 yang merupakan hukum induk pidana masa akan datang telah mengatur lebih luas tindak pidana perdagangan orang pada bagian kejahatan kemanusiaan. Kebijakan hukum pidana khusus pun telah memberikan pengaturan yang jelas. Maka terkait substansi hukum pemberantasan tindak pidana orang telah memenuhi rasa kepastian, hal ini pula dapat dilakukan penemuan hukum (penafsiran atau penghalusan hukum) dalam hal tidak terdapatnya aturan yang tidak jelas. Dalam hukum pidana, kebijakan hukum pidana tidak hanya pada upaya penegakkan hukum atau upaya penal, tetapi juga upaya non penal yang menekankan pada upaya pencegahan terjadinya tindak pidana. Pencegahan tindak pidana perdagangan orang dapat dimulai dengan melihat bentuk-bentuk tindak pidana yang tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, menggali dasar lahirnya norma serta menyesuaikan dengan fakta empiris aktual yang terjadi dalam masyarakat.

(11)

[Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] | Nanda Ivan Natsir 447 Buku

Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan administrasi), Peradaban, 2007

Codeto Penale Internationale, What are crimes against humanity?,

http://www.icc-cpi.int/en_menus/icc/about%20the %20court/frequently%20asked%20 questions/Pages/12.aspx

Lamintang, 2014, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Apeldoorn Van, 2001, Pengantar Ilmu

Hukum, Cet.Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta,

Abidin Farid Zainal, 2010, Hukum Pidana I, Cet. Ke-3, Sinar Grafika, Jakarta

Nawawi Arief Barda, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cet.Ke-2, Kencana Prenada, Jakarta

The united national convention against transnational organized crime. Tahun 2002

Kepres RI. No 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Pengahapusan PerdaganganPerempuan dan Anak

Utrecht, tt, Hukum Pidana I (Rangkaian Sari Kuliah), Penerbit Universitas Jakarta

Abidin Farid, Zainal 2010, Hukum Pidana I, Cet.ke-3, Sinar Grafika, Jakarta,

Amiruddin dan H. Zaenal Asikin, Metode Penelitian Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. 2004

Darwin Muhadjir, Pekerja Migran dan Seksualitas, Yogyakarta : Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University, 2003

Badan Reserse Kriminal Polri. Pointer tentang Perdagangan Orang. Jakarta: Mabes Polri, 2004

Keputusan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional ( RAN ) Penghapusan Bentuk –

Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keppres RI No. 59 Tahun 2002, Lampiran Bab I.

International Labour Organization, Bunga

– Bunga di Atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia, Jakarta : ILO – APEC, 2004

Disadur dari situs berita, http://daerah.sindonews.com/read/1 012581/174/ibu-angkat-angeline- lupa-daftarkan-akta-pengangkatan-anak-ke-pengadilan-1434298349 , diakses pada tanggal 24 Oktober 2015, pukul 21.40 Witeng

Gugus Tugas Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pemerintah,

website resmi,

Indonesia http://www.gugustugastra fficking.org/index.php/index.php?o ption=com_content&view=category &layout=blog&id=113&Itemid=53 Mahmud Peter, 2015, Pengantar Ilmu

Hukum, Cet.Ke-7, Prenadamedia Group, Jakarta

Sadhi Astuti Made Hak Derivatif adalah hak yang dibentuk oleh hukum (istilah lain: hak legal) berdasarkan hak dasar (hak orisinil) yang sudah secara alamiah dimiliki oleh manusia 2003, Hukum PidanA Anak dan Perlindungan Anak, UNM, Malang

Deputi Seswapres Bidabg Politik,

Lokakarya, Makalah

(12)

448 Nanda Ivan Natsir | [Kebijakan Formulatif Tindak Pidana Perdagangan Orang…] Kaidah Hukum

Kepres RI. No 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Pengahapusan Perdagangan Perempuan dan Anak

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2015

The united national convention against transnational organized crime Tahun 2002

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Referensi

Dokumen terkait

Warna, tekstur dan rasa bulir jagung ditentukan oleh sifat bulir jagung dan lapisan terluarnya yang membentuk variasi warna bulir mulai dari putih, kuning, jingga, merah cerah,

Dalam usaha untuk mendapatkan perbandingan komposisi optimal fase gerak pada analisis sediaan campuran vitamin Br, vitfirin Br, vitamin B., nikotinamida kofein dan asam sitrat

kriteria dalam pemilihan Supplier seperti: Kriteria Harga, Pengiriman, Kualitas, Fleksibelitas, Layanan, Kinerja, Garansi dan Kapabilitas, level 2 merupakan

Kategori must be (kondisi sirkulasi udara nyaman, kondisi ruangan yang tidak bising, tata letak ruangan baik dan rapi, penyediaan koleksi buku lengkap, koleksi

Selain itu, putusan hakim yang menjatuhkan putusan bagi terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika

Bimbingan oleh guru pamong juga dilakukan setelah pelaksanaan praktik mengajar yaitu dengan memberikan kritik dan saran mengenai tampilan praktik mengajar yang telah

Pengalokasian kebutuhan dilakukan setelah permintaan disetujui oleh kepala bagian divisi maupuun manajer HSE, alokasi kebutuhan dapat segera dilakukan jika barang yang

Catatan A.3 pada LKPP Tahun 2009 antara lain menyatakan bahwa realisasi penerimaan yang disajikan dalam LKPP tersebut didasarkan pada data penerimaan kas yang dikelola oleh