• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cerai Gugat ( studi deskriptif kualitatif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi cerai gugat di kota Surakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Cerai Gugat ( studi deskriptif kualitatif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi cerai gugat di kota Surakarta)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

i

CERAI GUGAT

Studi Deskriptif Tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Cerai Gugat di Surakarta

Disusun Oleh :

Kunti Faizah

D 0302037

Disusun dan diajukan untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat meraih Gelar Sarjana Sosial pada Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

ii

PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk diuji/dipertahankan di depan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 5 April 2010 Dosen Pembimbing

(3)

iii

PENGESAHAN

Telah diuji dan disahkan oleh Panitia penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari : Tanggal :

Panitia penguji

1. Dra. Suyatmi M.S (_____________________)

NIP. 19520929 198003 2 001 Ketua

2. Eva Agustinawati, S.Sos, M.Si (_____________________) NIP. 19700813 199512 2 001 Sekretaris

3. Dra. Sri Hilmi Pujihartati M,Si (_____________________) NIP. 19630730 199103 2 001 Penguji

Mengetahui

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(4)

iv

MOTTO

· Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.

· Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).

· Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap. (QS. AL-INSYIRAH )

(5)

v

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk,

· Bapak dan ibuku tercinta yang telah memberika limpahan kasih sayang · Buat suami tercinta dan anakku yang telah memberikan spirit di setiap

langkahku dan memberikan warna disetiap pandanganku.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah melimpahkan rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ” CERAI GUGAT (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cerai Gugat di Surakarta).

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs.H. Supriyadi, SN SU, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Hj.Trisni Utami, M.Si, selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Dra. Hj. Sri Hilmi P., M.S, selaku Sekretaris Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta dan Pembimbing Skripsi, yang telah banyak memberikan berbagai petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.

(7)

vii

5. Bapak Muh. Mursyid, SH, selaku Wakil Panitera Pengadilan Agama Surakarta yang telah memberikan ijin dan memberikan informasi untuk penulisan skripsi ini.

6. Seluruh responden atas segala bantuan dan kerja samanya, sehingga skripsi ini dapat tersusun.

7. Seluruh staf Perpustakaan FISIP UNS maupun Perpustakaan Pusat UNS, atas layananya yang sangat menunjang dalam penulis menyelesaikan studi penulis. 8. Keluargaku atas kasih sayang dan segala yang telah diberikan, yang tak akan

mungkin penulis balas semuanya.

9. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi dan selama penulis belajar pada Jurusan Sosiologi FISIP UNS, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sebagai sebuah karya tulis ilmiah, skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran kontruktif sangat penulis harapkan dari semua pihak, untuk kemudian dijadikan sebagai suatu pelajaran.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Tak lupa atas segala kekurangan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Surakarta, Penulis

(8)

viii

ABSTRAKSI

KUNTI FAIZAH, 2010, ”CERAI GUGAT” Skripsi, Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini berjudul ” Cerai Gugat” ( Studi Deskriptif Kualitatif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi cerai gugat di kota Surakarta). Penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut karena banyaknya tingkat perceraian yang terjadi di surakarta. Para isteri tidak merasa terbebani dengan predikat janda setelah adanya perceraian.

Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara langsung kepada responden yang dianggap mampu menjawab dan menjabarkan permasalahan perceraian. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan variasi maksimum dan dalam pemilihan responden secara porposive sampling yaitu memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data dan mengetahui masalah penelitian secara mendalam. Fokus dari penelitian ini adalah para isteri yang sedang mengalami permasalahan rumah tangga dan wanita-wanita yang mengalami perceraian.

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR... vi

ABTRAKSI... viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 7

E. Landasan Teori... 8

F. Tinjauan Pustaka... 19

G. Kerangka Konsep... 22

H. Kerangka Berpikir... 36

I. Definisi Konseptual... 38

J. Metode Penelitian... 39

1. Jenis Penelitian... 39

2. Lokasi Penelitian... 39

3. Sumber Data... 39

4. Teknik Pengumpulan Data... 40

5. Populasi dan Sampel penelitian... 41

6. Validitas Data... 42

(10)

x

BAB II DESKRIPSI LOKASI

A. Gambaran Umum Masyarakat Surakarta ...46

B. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Surakarta... 48

BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN... 50

A. Profil responden……… 50

B. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya cerai gugat 55 a. poligini tidak sehat……… 57

b. perselisihan/percekcokan……… 59

c. perselingkuhan……… 61

d. kekerasan dalam rumah tangga……….. 61

e. suami tidak bertanggung jawab……….. 79

f. tidak mempunyai keturunan... 80

C. Pembahasan... 80

D. Analisa Teori………. 91

BAB IV PENUTUP ...………... 97

A. Kesimpulan... 97

B. Saran... 100

(11)

xi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu hal yang suci, sebagaimana telah dirumuskan dalam pasal 1 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bagi bangsa Indonesia suatu perkawinan dinilai bukan hanya untuk memuaskan nafsu biologis semata akan tetapi merupakan suatu yang sangat sakral. Hal ini tersirat dalam penjelasan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut:

“Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan erat sekali hubungannya dengan agama. Sehingga dalam perkawinan bukan hanya merupakan unsur lahir tetapi unsur rohani yang mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunannya yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua” (Lili Rasjidi, 1981:1)

(12)

xii

atau ikatan batin saja tidak cukup. Perkawinan itu erat hubungannya dengan agama, karena itu suatu perkawinan harus dijaga agar didapatkan suatu keluarga yang tentram dan penuh kasih sayang sesuai dengan tuntutan agama. Tujuan perkawinan adalah mensahkan ikatan lahir batin seorang pria dan wanita yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang berbahagia dunia akherat serta melahirkan keturunan yang berkualitas. Lebih lanjut Lili Rasjadi mengatakan bahwa tujuan perkawinan tersebut dapat dicapai jika diantara suami istri saling membantu dan melengkapi. Dengan semikian masing-masing pihak dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

(13)

xiii

Berbagai masalah muncul setelah perkawinan berjalan dari tahun ketahun. Masalah yang tidak terselesaikan mengakibatkan pasangan suami istri bertengkar sampai akhirnya berlanjut pada keputusan untuk bercerai, karena merasa sudah tidak ada kasih sayang dan kecocokan yang ada dalam rumah tangga mereka. Mereka memilih meninggalkan ikatan perkawinan mereka daripada mempertahankan keutuhan keluarga. Dari masalah yang timbul dalam keluarga sendiri dapat dilihat keegoisan masing-masing pasangan yang tetap mempertahankan pendapatnya. Sikap individual merasuk dalam pikiran mereka sehingga mereka tidak dapat lagi berpikir bagaimana harus menyelesaikan kemelut yang ada dalam rumah tangga mereka. Kurangnya kontrol sosial dalam masyarakat dan keluarga besar dapat menyebabkan seseorang dengan mudah mengambil keputusan untuk bercerai.

Perceraian sebenarnya menunjukkan adanya derajat pertentangan yang tinggi antara suami dan istri untuk memutuskan ikatan dua turunan keluarga yang menyangkut persoalan penyesuaian diri bagi orang-orang tua dan anak-anak yang bersangkutan (Goode, 1985:187). Dampak yang dirasakan oleh anggota keluarga lain cukup besar terutama pada perkembangan anak. Banyak anak-anak yang kurang kasih sayang karena orang tuanya bercerai. Perkembangan mental anak menjadi rapuh karena kekecewaan anak terhadap sikap orang tua mereka sebagai tempat identifikasi mereka.

(14)

xiv

yang kuat guna menghindari perceraian secara sepihak dan sewenang-wenang, baik dilakukan oleh suami atau istri.

Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk perceraian terurai dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan

lain sebagainya dan sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemauannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

(15)

xv

Tabel 1

Data Perceraian di Surakarta tahun 2005 Bulan Cerai

Sumber : Pengadilan Agama Surakarta tahun 2006

(16)

xvi

terendah terjadi pada bulan Januari yaitu sebanyak 25 kasus,antara lain 14 kasus cerai gugat dan 11 kasus cerai talak.

Fakta perceraian diatas menunjukkan bahwa tujuan berkeluarga yang semestinya terwujud melalui perkawinan tidak dapat tercapai, terutama jika dikaitkan dengan lebih tingginya perkara gugat cerai dari pada gugat talak. Pada konteks budaya, istri yang seharusnya sebagai pengelola rumah tangga dan pencipta suasana menyenangkan dalam keluarga pada kenyataannya justru sebagai pihak yang berinisiatif melakukan gugatan cerai. Pada dasarnya dihadapan hukum, suami dan istri mempunyai hak yang sama dalam mengajukan gugatan perceraian, tetapi dalam konsep hukum Islam hak talak mutlak dimiliki oleh suami. Sedangkan fakta di Surakarta justru pihak istri yang lebih banyak menggunakan hak cerainya dengan cerai gugat.

B. Perumusan Masalah

Berdasar pada uraian latar belakang masalah diatas maka muncul permasalahan yaitu “Alasan-alasan apa saja yang mendorong seorang istri melakukan gugatan cerai terhadap suaminya”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui berbagai alasan-alasan atau sebab-sebab terjadinya cerai gugat.

(17)

xvii

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk melengkapi gelar sebagai persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik jurusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas dan mengembangkan pengetahuan dalam melakukan penelitian di lapangan yang sangat berguna bagi penyusun ataupun bagi peneliti-peneliti yang akan mengambil tema yang sama.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai salah satu sumber wacana untuk menambah pengetahuan tentang berbagai hal yang menyebabkan istri lebih banyak mengajukan gugatan cerai.

b. Sebagai satu dari berbagai sumber materi tentang cerai gugat jika ada pengembangan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Memberi semacam bahan pertimbangan bagi istri yang bermaksud menggugat cerai di Pengadilan Agama Surakarta pada khususnya. b. Memberikan masukan pemikiran bagi pihak yang berkepentingan

(18)

xviii

E. Landasan Teori

Sosiologi menurut Sorokin adalah hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan sebagainya. (Soekanto, 1997:20)

Paradigma merupakan hal yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan karena paradigma merupakan kesatuan konsensus yang terluas dan secara lebih jelas dikemukakan oleh George Ritzer sebagai berikut:

“Pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline)”. (Ritzer, 1992:8)

Ritzer membagi paradigma menjadi tiga paradigma yaitu:paradigma fakta sosial, Paradigma definisi sosial, dan Paradigma perilaku sosial. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma definisi sosial,dengan tokoh yang terkenal yaitu Max Weber. Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Dari sini kemudian muncul konsep penafsiran dan pemahaman/interpretatif understanding/verstehen (Weber dalam Ritzer, 1992:44)

(19)

xix

Bertolak dari konsep dasar tindakan dan antar hubungan sosial, Max Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian Sosiologi yaitu:

a. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.

b. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.

c. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.

d. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. e. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang

lain itu.

Atas dasar rasional tindakan sosial, Weber membedakan ke dalam empat tipe tindakan. Semakin rasional, maka semakin mudah tindakan tersebut dipahami. Macam tindakan itu adalah sebagai berikut:

1. Zwerk rational

(20)

xx

2. Werktrational Action atau Rasionalitas yang berorientasi nilai.

Dalam tindakan tipe ini tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Ini menunjukkan kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meski tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk difahami. 3. Affectual Action

Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sulit dipahami karena kurang atau tidak rasional.

4. Traditional Action

Yaitu tindakan yang didasarkan pada kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu dimasa lalu. (Weber dalam George Ritzer, 1985:47-48)

(21)

xxi

Teori tindakan sosial atau teori aksi adalah salah satu teori yang akan digunakan dalam menganalisa penelitian ini. Teori aksi dikembangkan oleh Talcot Parson. Parson merupakan salah satu sosiolog yang menekankan satu kesatuan yang utuh dan melekat dalam sebuah sistem. Menurut Parson ada lima karakteristik tindakan aktor yaitu:

a. Adanya individu sebagai aktor

b. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan tertentu

c. Aktor mempunyai alternatif car, alat serta taktik untuk mencapai tujuannya d. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu

e. Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan.

(22)

xxii

Dari asumsi tersebut jelas bahwa aktor mengejar suatu tujuan dan memiliki banyak alternatif pilihan untuk mencapainya. Norma yang berlaku dimasyarakat tidak mutlak menjadi pedoman yang harus dipakai, sehingga aktor mempunyai alternatif untuk memilih tindakan yang tepat baginya. Dalam hal ini istri mengejar suatu tujuan, yaitu untuk melepaskan ikatan perkawinan (gugatan cerai). Tindakan tersebut tidak semata-mata muncul begitu saja, tetapi akibat pengaruh kondisi dan situasi yang dihadapi istri. Sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian dari individu juga berpengaruh dalam munculnya tindakan istri.

Pengertian hak dan kewajiban para pelaku, dikaitan dengan masing-masing status dan peranan para pelaku (suami dan istri). Peranan dan status bersumber pada sistem penggolongan yang ada pada keutuhan masyarakat yang bersangkutan, dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi sosial dimana interaksi sosial itu terwujud. Adanya hak dan kewajiban dalam suatu keluarga, menuntut seseorang untuk menjalankan peran demi terlaksananya hak dan kewajiban tersebut. Masing-masing orang akan menjalankan perannya sendiri-sendiri.

(23)

xxiii

individu pada organisasi sosial sedangkan peranan lebih menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri atau sebagai suatu proses (bersifat aktif). Dalam suatu peranan itu menyangkut tiga hal yaitu:

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan dapat juga dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Soekanto, 1988 : 268)

Perbedaan status dan peranan pria dan wanita disebabkan oleh faktor biologis.. Wanita sudah sewajarnya hidup dilingkungan rumah tangga (melahirkan, membesarkan anak, memasak, memberi perhatian pada suami, dan sebagainya), suami mempunyai tugas diluar rumah tangga untuk mencari makan bagi keluarga. Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan seorang Profesor Sosologi dari Universitas di Ottawa yaitu Ann B. Denis dalam Jurnalnya yang berjudul “ The Women’s Movement”. Petikan pernyataannya adalah sebagai berikut:

“ The task of women often take place at home and in the private sphere,though women are also active in the publik sphare. Neither men nor women have the concept of separating work from home duties, so women’s place in the economy is hardly recognized and economic contributions are credited to men”. (www.sagepub.com 19 Mei 2010)

(24)

xxiv

penghasilan ekonomi keluarga dikikriditkan atau dicurahkan ke pihak laki-laki)

Secara garis besar bidang pekerjaan di masyarakat terbagi dua, yaitu sektor publik dan sektor domestik. Dua sektor yang menghasilkan dua peran yang berbeda pula bagi pelakunya. Pada masyarakat, kedua peran tersebut didistribusikan dengan tegas berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Peran publik untuk laki-laki dan peran domestik untuk wanita. Laki-laki sebagai pencari nafkah dan bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan keluarganya sedangkan wanita bertanggung jawab pada pengasuhan dan pendidikan anak serta segala urusan kerumahtanggaan. Peran disektor domestik yang juga dianggap sebagai peran tradisional bagi istri adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam rumah tangga. Pekerjaan domestik dalam rumah tangga yang tidak menghasilkan misalnya mengurus rumah, merawat anak.

Adapun pengertian keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup (Soekanto, 1990:1)

(25)

xxv

menjalankan kewajiban peran mereka secukupnya. Beberapa hal yang menyangkut kekacauan keluarga adalah sebagai berikut:

1. Ketidaksahan. Merupakan unit keluarga yang tidak lengkap. Dapat dianggap sama dengan bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya karena sang ayah atau ibu tidak menjalankan perannya.

2. Pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan. Terputusnya keluarga disini disebabkan karena salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling meninggalkan, dan demikian berhenti melaksanakan kewajiban perannya.

3. Keluarga selaput kosong. Disini anggota keluarga tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa atau bekerjasama satu dengan yang lain dan terutama gagal memberikan dukungan emosional satu dengan yang lain.

4. Ketidakadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan. Seperti suami atau istri meninggal, dipenjara karena peperangan dan sebagainya.

5. Kegagalan peran yang tidak diinginkan. Malapetaka dalam keluarga seperti penyakit mental,gangguan jiwa atau badaniah yang parah (Goode, 1985:186)

(26)

xxvi

Perceraian di Indonesia diatur oleh sebuah lembaga yang mengatur perceraian. Pasangan yang bercerai dapat mengajukan gugatan cerainya pada lembaga yang memiliki kuasa hukum yang sah. Adapun lembaga tersebut adalah:

a. Pengadilan Agama, lembaga ini khusus mengatur masalah perceraian menurut hukum Islam. Dimana orang-orang yang menggugat adalah kaum Muslim yang tercatat secara sah perkawinannya di Kantor Urusan Agama (KUA).

b. Pengadilan Negeri merupakan lembaga yang menangani masalah perceraian menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Dimana kasus perceraian termasuk dalam perkara perdata dan lembaga ada di bawah Departemen Kehakiman. Orang-orang yang menggugat cerai adalah orang-orang non muslim yang tercatat secara sah perkawinannya di catatan sipil yang merupakan lembaga di bawah Depertemen Dalam negeri (Nakamura, 1991 : 44)

(27)

xxvii

akrab. Akan tetapi kemungkinan keluarga pecah juga lebih besar karena yang mengikat suami istri itu saja , sedangkan dalam keluarga tradisional masih ada anggota luas yang mengikat keluarga kecil.

Naiknya angka perceraian dimana istri menggugat cerai, lebih banyak disebabkan adanya perubahan yang mendasar dalam sistem nilai, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan dan lembaga keluarga, peranan perempuan dan peradaban status perempuan dalam masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut tampaknya telah mendorong kaum perempuan untuk mempertahankan martabatnya, yang dalam hal ini melalui suatu keputusan untuk menarik diri dari lembaga perkawinan yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan (Ihromi, 1999 : 140)

Perubahan-perubahan dalam struktur sosial yang mempengaruhi sistem keluarga sekaligus tingkat perceraian menurut Erma Karim dalam buku Bunga Rampai Sosiologi Keluarga oleh TO. Ihromi adalah:

1. Perubahan pada nilai dan norma tentang perceraian.

Masyarakat tidak lagi melihat perceraian sebagai suatu yang memalukan dan harus dihindarkan. Masyarakat dapat memahami perceraian sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan kemelut keluarga yang terjadi antara pasangan suami istri.

(28)

xxviii

3. Adanya alternative yang bisa dipilih suami istri apabila bercerai. Bertambahnya banyak kemudahan dan alternative yang ada dalam masyarakat untuk pemenuhan hidup sehari-hari, memberi peluang kepada berkurangnya saling ketergantungan antara pasangan suami istri.

4. Adanya etos kesamaan derajat dan tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Berkembangnya etos ini merupakan tuntutan dari sistem industri yang memberi peluang sama kepada setiap orang berdasarkan kemampuan dan prestasi individu. Menurut Goode, perubahan etos manusia dapat berpengaruh pada munculnya ketegangan-ketegangan dalam interaksi suami istri (Erna Karim dalam Ihromi, 1999 : 143-145)

Perceraian membawa dampak terutama pada anak sebagai anggota keluarga. Anak-anak yang orang tuanya bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan rasa aman. Selain itu perceraian juga memberikan kontribusi terhadap tingkat kenakalan di kalangan remaja. Pernyataan sama dengan pernyataan Emery dalam Jurnal Internasional yang berjudul “ Relations Between Money and love in postdivorce families”,sebagai berikut:

“ That the divorce of their parents leads to a loss of economic esources for children,the economic standing of a family has been found to explain considerables variance in the behavior problems of children from divorced families. Postdivorce economic hardship has further been associated with negative outcomes among children”. (www.sagepub.com, 19 Mei 2010)

(29)

xxix

F. Tinjauan Pustaka

Khairuddin (1985:10) memberi definisi “Sosiologi keluarga adalah ilmu

yang mempelajari hubungan antar individu di dalam keluarga, hubungan keluarga dengan keluarga lainnya serta segala aspek-aspek yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut”. Dalam pembahasan ini dikhususkan pada keadaan keluarga yang mengalami perceraian sebagai disorganisasi dalam keluarga.

Keluarga merupakan kelompok kecil dan terjalin dengan erat yang terangkum bersama melalui perkawinan. Apabila hubungan-hubungan sosial yang mengikat pasangan perkawinan menjadi runtuh maka kelompok itu sendiri juga akan runtuh.

Angka perceraian yang sangat mencolok di Solo menunjukkan bahwa gugatan cerai banyak dilakukan oleh para istri. Kebanyakan gugatan justru dialami oleh pasangan suami istri yang telah mapan ekonomi, sebab lain perkawinan usia muda, tekanan sosial, perselingkuhan, dll. Tekanan sosial (social pressures) yang terjadi di masyarakat perkotaan mengalami pergeseran norma. Misalnya:perceraian tidak dianggap sebagai aib, ekonomi perempuan lebih mapan, dan lain sebagainya. Kemandirian ekonomi perempuan ini menyebabkan banyaknya perceraian. Jadi perceraian semakin meningkat dengan perubahan norma yang tengah berlangsung.

(30)

xxx

(31)

xxxi

yang bergerak dari pengumpulan data, reduksi data, pengujian data dan penarikan kesimpulan.

Dari penelitian ini, Ruth Murwani Dumasthary menggambarkan bahwa perceraian di kalangan istri bekerja adalah sebagai berikut

1. Pandangan mereka terhadap perceraian adalah jalan keluar terbaik untuk mengakhiri konflik yang terjadi terus menerus.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian di kalangan istri yang bekerja adalah tidak tanggung jawab.kasus perceraian yang diajukan oleh suami terjadi karena kurangnya tanggung jawab istri dalam menjalankan perannya sebagai anggota keluarga sedangkan istri yang mengajukan cerai disebabkan karena suami tidak bertanggung jawab kepada keluarga.

3. Jenis pekerjaan berpengaruh terhadap kontrol sosial di lingkungan pekerjaan.

(32)

xxxii

5. Pemahaman terhadap nilai-nilai keharmonisan rumah tangga untuk mewujudkan keluarga yang kekal dalam agama kurang sehingga tidak memberikan tuntunan dan bimbingan untuk membentuk keluarga yang harmonis.

6. Kurangnya pemahaman mengenai fungsi keluarga yang akan mengakibatkan kurangnya pemahaman dalam menjalankan peran sebagai anggota keluarga yang baik.

7. Hukum adalah alat yang sah yang memberikan kepastian terhadap status cerai mereka dan kuat secara hukum.

G. Kerangka Konsep

Ketegangan keluarga yang terbatas pada konflik antara suami dan istri mengancam stabilitas perkawinan dan mengakibatkan disorganisasi. Proses disorganisasi dalam perkawinan berasal dari konflik yang berlangsung dalam sikap-sikap yang meregangkan ikatan bersama dari pasangan suami-istri.

Khairuddin (1985:133) memberikan keterangan bahwa ketegangan-ketegangan yang saling berdampingan tersebut mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :

1. Hilangnya secara berangsur-angsur tujuan-tujuan keluarga, sehingga tujuan pribadi menjadi lebih penting dari pada tujuan keluarga.

2. Usaha kerja sama semakin menurun.

(33)

xxxiii

5. Berubahnya hubungan antara suami-istri dengan kelompok-kelompok lainnya.

6. Terdapat pertentangan sikap-sikap emosional antara suami-istri.

Scanzoni dan Scanzoni dalam T.O. Ihromi (1999:137) menggambarkan situasi dan kondisi menjelang perceraian diawali dengan “berhentinya” proses negosiasi antara pasangan suami-istri. Akibatnya pasangan tersebut sudah tidak bisa lagi menghasilkan kesepakatan yang dapat memuaskan masing-masing pihak. Masing-masing pihak kemudian merasa bahwa pasangannya sebagai “orang lain”.

Akan tetapi mengenai perceraian keluarga ini Goode dalam T.O. Ihromi (1999:142) memberikan pandapat yang berbeda. Goode menyatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat/keluarga yang bersangkutan mengalami diorganisasi. Ini mengingat adanya beberapa indikasi seperti :

1. Tingkat “hidup bersama” antar jenis kelamin yang berbeda tidak menjadi semakin tinggi.

2. Tidak menurunnya angka perkawinan resmi, bahkan di beberapa negara termasuk Indonesia terlihat semakin tinggi.

3. Adanya perubahan dalam sistem keluarga dan struktur sosial di masyarakat.

(34)

xxxiv

perangkat sosial yang merupakan fungsi-fungsi perkawinan, sedangkan ketegangan personal timbul dari struktur-struktur kepribadian dari pasangan yang berakar dari nilai-nilai sosial individu dan pola-pola tingkah laku yang termasuk kedalam sifat atau temperamen dari masing-masing pasangan suami-istri.

Hubungan antara temperamen dan ketegangan-ketegangan perkawinan terkadang tidak kentara karena tertutupi oleh masa-masa bahagia pada awal perkawinan. Pria dan wanita yang memasuki perkawinan berusaha (umumnya tidak disadari) untuk memuaskan berbagai kebutuhan-kebutuhan psikologis mendalam yang banyak diantaranya adalah bersifat temperamen.

Khairuddin (1985:135) berpendapat bahwa temperamen dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari kualitas-kualitas genetika dalam diri seseorang yang menentukan reaksi-reaksi emosionalnya. Kualitas temperamen muncul dari pembawaan lahir pada umumnya walaupun dia dapat dikontrol tapi tidak dapat dibatasi.

(35)

xxxv

temperamen sudah melampaui batas dimana istri tidak ingin berusaha, perkawinan akan mengalami gamgguan yang serius.

Terdapat pula perubahan temperamen yang dapat berpengaruh pada munculnya ketegangan-ketegangan dalam keluarga. Dalam kehidupan perkawinan menurut T.O. Ihromi (1999:145) tuntutan memperoleh kebahagiaan pribadi muncul secara sama dari pihak suami maupun istri. Istri tidak lagi harus mengalah dan serba menerima apa adanya karena istripun merasa berhak untuk mendapatkan kebahagiaan dari perkawinannya. Dari sudut keluarga, orientasi utama perkawinan dan membentuk keluarga mengalami pergeseran, dari orientasi kepada anak-anak dan keberhasilan anak-anak tersebut menjadi orientasi kepada hubungan pasangan suami-istri dalam perkawinan. Tuntutan tersebut mempengaruhi upaya yang dilakukan suami-istri untuk mempertahankan sebuah perkawinan.

a. Perceraian dan Istri yang bekerja

(36)

xxxvi

semakin mengecil ke arah tingkat sosio ekonomi yang lebih tinggi di mana sang ibu memperoleh lebih banyak kepuasan pribadi dari pekerjaan itu sendiri dan hasilnya. Sikap suami menentukan dalam hal ini. Keluarga di mana istri bekerja tetapi suami tidak menyetujuinya, dapat mengurangi tingkat keharmonisan rumah tangga. Jika suami setuju istrinya bekerja tetapi ia tidak bekerja demikian pula jika istri ingin bekerja tetapi tidak melakukannya, secara psikologis berdampak pada kebahagiaan perkawinan.

Khairuddin (1985:155) berpendapat bahwa istri yang bekerja merupakan suatu kemungkinan menjadi sumber ketegangan-ketegangan. Kebanyakan wanita (para istri) yang bekerja adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital keluarga atau membantu anak-anaknya untuk kuliah. Pada umumnya wanita ini bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Hasil dari bekerjanya mereka akan membantu keadaan keluarga yang lebih baik dan tidak akan menyebabkan kebencian yang besar pada pihak suami. Studi Locke mendukung kesimpulan ini karena ia menemukan bahwa bekerjanya istri tidak berhubungan dengan penyesuaiannya dalam perkawinan atau terhadap suaminya. Tetapi ia pun menemukan bahwa orang yang telah bercerai lebih mungkin untuk tidak menyetujui istri yang bekerja dari pada orang yang perkawinannya berhasil.

(37)

xxxvii

yang lain dalam hal-hal yang suami anggap suami lebih penting. Pasangan-pasangan yang tidak puas berpendapat bahwa pekerjaan istri mereka gagal untuk menjaga agar rumah tetap bersih, mengabaikan anak-anak, dan kurang memenuhinya perhatian dalam hubungan-hubungan kasih sayang.

“Disisi lain banyak pula istri yang energik dan kemampuan dapat memainkan semua peranan rumah tangganya dengan memadai dan masih tetap bekerja”. (Khairuddin, 1985:160)

b. Perceraian dan tingkat pendidikan Istri

Para istri yang sebenarnya memiki pendidikan baik dan pengalaman tetapi memendam kemampuan karirnya tersebut demi rumah tangganya, sebagian setelah beberapa waktu mengalami “frustasi” karena tidak dapat menyalurkan keahliannya. Rasa “frustasi” tersebut dapat diekspresikan ke dalam berbagai bentuk dan salah satunya adalah dengan mengajukan gugatan cerai untuk memilih hidup sendiri. Kurang lebih demikian hasil penelitian dari Sri Tresnaningtyas dalam T.O. Ihromi (1999:185)

Sedangkan Khairuddin (1985:155) berpandapat bahwa “wanita yang berpendidikan tinggi terlebih dalam bidang pendidikan khusus dan mempunyai keinginan untuk berhasil dalam bidangnya akan segan untuk menghentikan pekerjaannya apabila ia menikah”.

(38)

xxxviii

berdampak pada kedudukan suami sebagai kepala keluarga yang dapat mengakibatkan sulitnya membentuk perkawinan yang bahagia. Hal ini diperkuat oleh asumsi bahwa bila istri mempunyai kemampuan lebih tinggi dari pada suami maka suami pun tetap ingin kemampuannya berada di atas istri dan tentu saja tidak mau “memainkan peranan” yang lebih rendah.

Demikian pula dengan istri yang mempunyai pandangan bahwa pekerjaan rutin seorang istri dalam rumah tangga merupakan pekerjaan yang monoton dan membosankan seperti memasak, mencuci dan menjaga rumah bagi istri yang mempunyai pendidikan cukup seolah memberi kesan bahwa pekerjaan rumah tangga yang sesungguhnya mulia tersebut dapat menurunkan gengsi dan pikiran terpelajarnya.

c. Patriarki dan Kekerasan Terhadap Istri

Patriarki merupakan bentuk kekuasaan yang sepenuhnya dipegang oleh laki-laki dalam memimpin rumah tangga atau dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu pola keturunan yang menghitung kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki saja(Ensiklopedi Nasional Indonesia,1990:256)

(39)

xxxix

hubungan yang terbentuk dalam keluarga sebagai buah perkawinan (Scanzoni dalam SPEK-HAM,2002) yaitu:

1. Pola Owner-Property (Pemilik barang), posisi suami sebagai pemilik sedangkan istri adalah yang dimiliki. Suami dapat memperlakukan istri semaunya seperti barang miliknya. Suami berhak mendapatkan pelayanan (seks, kebutuhan lain) sebagai konseksuensi dari kewajiban menyediakan kebutuhan ekonomi, sedangkan istri berhak mendapat perlindungan ekonomi; patuh,merawat, dan mendidik anak. Konsep perkawinan adalah bergabungnya dua orang menjadi satu dan yang satu adalah suami. Eksistensi istri hilang, istri hanyalah perluasan dari suami, kepentingan suami, hasrat, kebutuhan,keinginan, ambisi, tujuan, dll. Karena istri tergantung pada suami untuk sumber-sumber yang essensial, maka suami mempunyai power (kekuasaan) pada istri.

(40)

xl

Hubungan suami istri lebih baik, bersifat pertemanan,bekerja bersama, dan saling memperhatikan.

3. Pola Brother-Sister (kakak-adik), posisi suami sebagai pencari nafkah utama dan istri juga mempunyai pekerjaan yang berpenghasilan. Posisi istri berubah menjadi partner junior (adik) dan posisi suami menjadi partner senior (kakak). Hal ini terjadi karena meningkatnya kontribusi ekonomi istri dalam keluarga. Istri cenderung mempunyai kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan keluarga, karena istri dapat mengubah posisi ekonomi menjadi kekuatan tawar menawar dengan suami.

(41)

xli

Kebanyakan perkawinan di Indonesia berada dalam tiga kategori awal, owner property, head complement, dan brother sister dimana posisi istri masih

tersubordinasi oleh suami, meskipun ada pada tingkat yang berbeda berdasarkan pola hubungan yang terjadi dalam masing-masing keluarga. Pola hubungan yang tidak setara dalam keluarga merupakan embrio terjadinya tindak kekerasaan dalam keluarga khususnya kekerasaan terhadap istri.

Pembagian kerja seksual yang timpang, dimana perempuan bekerja dianggap kerja sampingan sehingga penghasilannya lebih rendah daripada laki-laki, sehingga perempuan tergantung pada laki-laki. Dengan demikian ketika perempuan memdapat tindak kekerasaan dari laki-laki, maka ia tidak lagi punya pilihan untuk mengatasinya.

Kekerasaan fisik yang dialami perempuan atau istri dalam rumah tangga seringkali menjadi berlarut-larut karena rasa takut sang istri, takut dibunuh suami,takut disiksa/dianiaya, takut tidak bisa bertemu dengan anak-anak lagi, takut mengecewakan keluarga, takut diancam, takut menyusahkan orang lain, dan takut yang lainnya.

Kekerasan yang diterima oleh istri mengakibatkan si istri mengalami tekanan fisik maupun batin dan itu dapat mengakibatkan pemikiran untuk melakukan gugatan cerainya kepada suami melalui Pengadilan Agama.

(42)

xlii

pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Kendati persoalan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah memiliki payung hukum dengan terbitnya UU No. 23/2004, namun dalam implementasinya masih terdapat berbagai kendala sehubungan dengan beragamnya persepsi yang tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tafsir agama yang sempit. Secara kultural, masyarakat Indonesia sarat dengan budaya yang bersifat patriarki, dimana status dan peran laki-laki dianggap lebih dominan daripada status dan peran perempuan. Istilah istri sebagai “konco wingking” atau “suwargo nunut neraka katut” adalah rekontruksi budaya yang telah berlangsung lama, yang menggambarkan domonasi laki-laki terhadap perempuan dalam rumah tangga.

Upaya penghapusan kekerasaan terhadap perempuan telah menjadi kepedulian pemerintah dan masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong oleh semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran bahwa kekerasaan terhadap perempuan telah membawa dampak yang sangat merugikan bagi perempuan khususnya dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada umumnya.

(43)

xliii

Selama ini masalah rumah tangga sering dipandang sebagai wilayah domestik yang bersifat sangat pribadi. Maraknya kasus-kasus kekerasaan dalam rumah tangga membuktikan bahwa penyelesaian permasalahan dalam rumah tangga lebih banyak menggunakan kekerasaan, baik yang dalam bentuk fisik, psikologis, pemaksaan seksual maupun penelantaraan rumah tangga, akhirnya menjadi wilayah pribadi yang sukar ditembus oleh pihak-pihak yang ingin turut menyelesaikan persoalan tersebut.

Kekerasan yang diterima oleh istri mengakibatkan si istri mengalami tekanan fisik maupun batin dan itu dapat mengakibatkan pemikiran untuk melakukan gugatan cerainya kepada suami melalui Pengadilan Agama.

(44)

xliv

d. Poligini

Poligami adalah suatu pranata perkawinan yang memungkinkan terwujudnya keluarga yang memiliki pasangan lebih dari satu. Ada dua (2) jenis poligami, yaitu Poligini dan Poliandri. Poligini merupakan perkawinan yang dimana seorang suami memiliki lebih dari satu (I) isteri. Sedangkan Poliandri adalah perkawinan dimana seorang isteri memiliki lebih dari satu suami.

Poligini tetap harus sepengatahuan dan seijin istri atau suami sebelumnya. Seorang istri tidak menyetujui rencana poligini suaminya sah-sah saja menggugat cerai. Masalahnya, kaum perempuan sendiri mesti jujur bahwa mereka menghindari perceraian dengan dalih masa depan diri dan anak-anaknya. Bukan masa depan mental, tapi finansial. Selain ketergantungan secara materi, kaum perempuan juga bergantung secara psikologis pada gengsi yang mereka bangun sendiri. Memberi tempat bagi perempuan lain di hati suaminya (dengan bercerai atau berpoligini) dianggap suatu kekalahan yang sangat memalukan. Diakui atau tidak, kita lebih gelisah memikirkan gunjingan orang daripada babak kehidupan kita selanjutnya (dengan atau tanpa suami).

(45)

xlv

Sebagai contoh kasus poligini yang berakhir dengan perceraian adalah kasus cerai penyanyi Tri Utami. Pengadilan Agama Tangerang, Banten mengabulkan gugatan cerai Tri Utami kepada suaminya Andi Analta Amier. Rumah tangga yang dibangun bersama suami selama 10 tahun tersebut kandas karena Tri Utami tidak memberikan keturunan pada suaminya. Perceraian yang disepakati keduanya ini disebabkan karena Analta telah menikah lagi dengan wanita lain. Pada jumpa pers,Tri Utami mengaku tidak menentang poligini, namun sebagai manusia dia belum kuat iman untuk menerima hal itu (poligini) (sumber www.suarantb.com)

Fakta diseputar poligini menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul akibat poligini, penderitan tersebut dialami baik terhadap istri pertama juga istri yang lainnya serta anak-anak mereka. Bentuk-bentuk penderitaan itu antara lain tekanan psikis, penganiayaan fisik, terlantarnya istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Sementara banyak poligini dilakukan tanpa alasan yang jelas. Sedangkan dalam pemberitaan yang ada, poligini mendorong tingginya tingkat perceraian yang diajukan istri (cerai gugat) (Warta Kota, 12 April 2003)

e. Dihukum

(46)

xlvi

diinginkan,ganjaran diberikan.( E.Jusuf Nusyirwan dalam Ensiklopedi nasional Indonesia hal 489)

Seorang suami yang secara nyata melakukan kejahatan dan harus dipenjara/dihukum selama sedikitnya 5 tahun atau bahkan hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,istri dapat mengajukan gugatan cerainya di Pengadilan Agama. Sebagai contoh kasus adalah kasus Polo (Barata Nugroho, pelawak). Akibat menggunakan narkoba, polo berurusan dengan polisi dan dijatuhi hukuman I tahun penjara, Polo berurusan dengan polisi akibat narkoba sudah dua kali. Ini membuat Anna Katharina tidak tahan lagi menanggung hidup sendirian, sehingga Anna mengajukan gugatan cerainya (sumber Disctarra.com)

Dalam masyarakat Indonesia, suatu perkawinan bisa disebut sebagai suatu kewajiban sosial individu terutama terdapat dalam masyarakat yang pola hubungannya masih tradisional. Artinya perkawinan harus dijalani setiap individu ketika sudah saatnya, yaitu ketika seseorang sudah dipandang cukup umur untuk melangsungkan perkawinan. Berdasarkan hal tersebut banyak dijumpai perkawinan yang dilakukan karena faktor usia, bukan kesiapan mental dari dua pasangan. Dalam hal ini pengetahuan mereka terhadap seluk beluk perkawinan sangat sedikit. Yang perempuan (dan juga keluarga pada umumnya) pahami sesudah menikah maka akan ada yang merawat, menghidupi dan memberi nafkah, artinya mereka tidak mengetahui kehidupan rumah tangga yang sebenarnya.

H. Kerangka berpikir

(47)

xlvii

Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya mempersulit terjadinya perceraian tetapi pada kenyatannya di dalam masyarakat, perkawinan banyak yang berakhir dengan perceraian. Bentuk pengajuan perceraian terdiri dari perceraian yang diajukan oleh suami (cerai talak) dan perceraian atas gugatan istri (cerai gugat) dengan masing-masing alasan atau penyebab yang dibenarkan dan dapat diterima oleh hakim untuk dikabulkan.

Alasan atau penyebab perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat dapat ditinjau dari segi sisi administrasi hukum Pengadilan Agama dan dari sisi keluarga. Secara administrasi hukum Pengadilan Agama penyebab perceraian diantaranya karena krisis akhlak, faktor ekonomi, faktor biologi, faktor pihak ketiga dan faktor tidak ada tanggung jawab. Sedangkan dari sisi keluarga lebih menyoroti berbagai hal yang berkaitan dengan sumber ketegangan keluarga dari pihak istri. Sumber ketegangan tersebut diantaranya:

1. Istri yang bekerja 2. Tingkat pendidikan istri

3. Kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga 4. Poligini

5. Dihukum

(48)

xlviii

Jika digambarkan dalam bentuk bagan seperti berikut ini:

I. Definisi Konseptual

1. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Perceraian adalah putusnya tali perkawinan antara suami dan istri. 3. Cerai Gugat adalah perceraian atas tuntutan si istri.

Putusnya perkawinan

Kematian Perceraian Putusan hukum

Cerai talak Cerai gugat

Istri bekerja Pend istri patriarkhi Poligini

Kebergantungan pada suami berkurang

(49)

xlix

J. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang didefinisikan oleh Bogdan dan Taylor sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati, dimana pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistic atau utuh ( Moleong, 2000 : 3). Penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif yang tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis, tetapi hanya menggambarkan mengenai faktor-faktor yang mendorong istri menggugat cerai suaminya.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Surakarta,karena di Solo angka perceraian atas gugatan istri dari tahun ke tahun semakin meningkat. 3. Sumber Data

(50)

l

Adapun sumber data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini yaitu:

- Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan yang diperoleh melalui hasil wawancara. Para informan sumber data dalam penelitian ini adalah 10 istri yang melalukan gugatan cerai, 1 wanita yang belum pernah melakukan pernikahan, seorang suami, 1 anak korban perceraian, 1 tokoh masyarakat, dan 2 pejabat Pengadilan Agama.

- Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh bukan secara langsung dari sumbernya. Dalam penelitian ini sumber data sekunder adalah data tertulis seperti sumber buku, arsip dokumen dan kepustakaan yang berkenaan dengan masalah ini.

4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (Interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (Interviuwer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2000 : 135) didalam wawancara ini penulis akan menggunakan pedoman wawancara, dan bukan kuesioner.

b. Pengamatan

(51)

li

Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subyek sehingga memungkinkan pihak peneliti sebagai sumber data. Disini peneliti sebagai peneran serta peranan secara terbuka diketahui oleh umum (Moleong, 2000 : 127)

c. Dokumen

Untuk menambah keyakinan terhadap data yang diperoleh, penulis mengambil data dari sumber-sumber tertulis misalnya data-data yang dimiliki Pengadilan Agama yang memiliki data-data-data-data mengenai perceraian.

d. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yang dimaksud peneliti adalah mempelajari buku-buku, majalah-majalah, Koran-koran dan hasil penelitian yang telah ada yang berkaitan dengan tema penelitian. Karena dengan melakukan studi kepustakaan ini dapat memperkuat argumentasi dan analisis penelitian.

5. Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi

(52)

lii

b. Sampel

Sampel dalam penelitian ini biasanya tidak ditentukan terlebih dahulu berdasarkan pada ketentuan yang mutlak, tetapi menyesuaikan pada kebutuhan di lapangan. Dalam penelitian kualitatif sampel bukan yang mewakili populasi tetapi berfungsi untuk menggali serta menemukan sejauh mungkin informasi penting. Dalam memilih sampel yang utama dalah bagaimana menentukan sampel sevariatif mungkin dan berikutnya dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperoleh. Untuk tujuan tersebut teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan purposive sampling yaitu memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalah penelitian secara mendalam.

6. Validitas Data

(53)

liii

Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan :

a. Membandingkan hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa

yang dikatakannya secara pribadi.

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu

d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang-orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. ( Lexy J. Moleong, 2000 : 178)

7. Teknik Analisa Data

Pada penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah model Analisa Interaktif. Dalam model tersebut terdapat tiga komponen yang terdiri dari:

a. Reduksi Data

(54)

liv

yang dimulai sebelum pengumpulan data dilakukan. Data reduksi dimulai sejak peneliti mengambil keputusan dalam memilih kasus, pertanyaan yang akan diajukan, dan tentang cara pengumpulan data yang dipakai. Data reduksi adalah bagian dari analisi, suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat focus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan (Sutopo, 1002 : 91)

b. Sajian Data

Adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan peneliti dapat dilakukan. Dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisa ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Sajian data dapat disajikan dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, dan juga table sebagai pendukung narasinya. Susunan penyajian data yang baik dan jelas sistematikanya akan banyak menolong peneliti sendiri (Sutopo, 2002 : 92)

c. Penarikan kesimpulan

(55)

lv

pengulangan yang meluncur cepat sebagai pemikiran kedua yang timbul melintas dalam pemikiran peneliti pada waktu menulis dengan melihat kembali sebentar pada field note (Sutopo, 2002 : 93)

Berikut adalah skema Interactive Model of Analysis:

Sumber : HB. Sutopo ( 2002 : 96)

Dalam bentuk seperti diatas, peneliti tetap bergerak di atas empat komponen (termasuk proses pengumpulan data) selamaproses pengumpulan data waktu penelitian berlangsung. Sesudah pengumpulan data dari responden, kemudian bergerak diantara reduksi data, sajian data dan pemeriksaan kesimpulan (Sutopo, 2002 : 95)

Pengumpulan Data

Penarikan Kesimpulan

(56)

lvi

BAB II

DESKRIPSI LOKASI

1. Gambaran Umum Masyarakat Surakarta

Surakarta merupakan salah satu kota besar yang ada di Jawa Tengah. Solo atau Surakarta, yang dahulunya di awal kemerdekaan berstatus Karesidenan Surakarta telah berkembang menjadi kota yang kaya dengan peninggalan budaya Jawa. Solo, The Spirit of Java, itu merupakan slogan yang melekat selain terkenal dengan semboyan Berseri, yaitu Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah.

Kota Surakarta terletak di pertemuan antara jalur selatan Jawa dan jalur Semarang. Jalur kereta api dari jalur utara dan jalur selatan Jawa juga terhubung di kota ini. Surakarta memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosialnya masing-masing.

(57)

lvii

kerajinan dan oleh-oleh khas kota Surakarta dengan harga yang terjangkau dan dapat ditawar.

Bahasa daerah yang digunakan di Suarakarta adalah bahasa Jawa dialek Surakarta. Dialek ini berbeda sedikit dengan dialek-dialek Jawa yang digunakan di kota-kota lain seperti di Semarang maupun Surabaya. Perbedaannya berupa kosa kata yang digunakan, ngoko (kasar), krama (halus), dan intonasinya. Bahasa Jawa dari Surakarta digunakan sebagai standar bahasa Jawa nasional.

Beberapa makanan khas Surakarta antara lain adalah nasi liwet, nasi timlo, serabi Notosuman, intip, bakpia balong dan jenang dodol khas Solo. Galabo ini adalah salah satu program pemerintah daerah Surakarta untuk menarik minat wisatawan pecinta kuliner. Galabo terletak tidak jauh dari lokasi Keraton dan dibuka khusus hanya untuk malam hari saja. Berbagai hidangan khas Jawa dan Indonesia tersedia disini dengan harga yang relatif murah dan citarasa yang nikmat.

(58)

lviii

memiliki tingkat toleransi yang sangat tinggi. Terakhir di Kecamatan Kartasura, tepatnya di daerah Gembongan. Daerah padat penduduk yang masih menjunjung tinggi adat leluhur, misal adanya upacara tanam padi, sebelum mulai tebur benih padi dilakukan upacara tradisi (bancaan) yang dilakukan ditengah sawah. Lingkungan sekitar tidak begitu sehat karena adanya polusi udara dari sisa pembakaran tembakau yang ada di pabrik tembakau Gembongan.

Perceraian yang terjadi dalam penelitian ini mengarah pada masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah dengan pendapatan rata-rata 1 juta tiap bulannya. Kehidupan yang biasa-biasa saja jauh dari kata mewah tapi cukup membuat mereka bahagia dengan keluarganya. Sebelum perceraian terjadi, kehidupan rumah tangga mereka normal dan biasa saja. Tapi setelah muncul konflik yang disebabkan karena adanya pihak ketiga (WIL), situasi keluarga yang biasanya adem ayem tiba-tiba menjadi tegang dan sering diwarnai perselisihan. Dalam penelitian ini semua responden mengalami perselisihan dan berujung dengan perceraian.

Lingkungan sekitar yang padat dapat mempengaruhi pola pikir seseorang dalam pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini sebagian responden dipengaruhi oleh pihak ketiga (tetangga) dalam mengambil keputusan untuk bercerai dari suaminya. Padatnya penduduk dan dekatnya rumah membuat perselisihan yang terjadi antara suami isteri tidak luput dari pendengaran tetangga.

2. Keterangan Gedung Pengadilan Agama Surakata

(59)

lix

Veteran No. 273 telp (0271) 636270 yang dahulunya menempati gedung bekas tempat S.O.B.S.I di Alun-alun Utara KUP. 18 Surakarta (sebelah selatan gapura Masjid Agung Surakarta)

Pada tahun anggaran 1978/1979 Pengadilan Agama mendapatkan proyek pembangunan balai Sidang Pengadilan Agama seluas 150 m2 dan untuk keperluan pembangunan itu pemerintah daerah Kotamadya Surakarta pada waktu itu memberikan fasilitas sebidang tanah seluas 741 m2, yaitu bekas tanah pekuburan yang terletak di Jl. Veteran No. 169 (kini No. 273). Proyek tersebut selesai akhir tahun 1978 dan gedung tersebut dipakai/ditempati pada awal tahun 1979.

Pada tahun anggaran 1981/1982 Pengadilan Agama mendapatkan proyek berupa perluasan Balai Sidang seluas 100 m2 dan pembangunan selesai diakhir tahun 1981. pada tahun anggaran 2000/2001 Pengadilan Agama mendapatkan lagi proyek pembangunan balai sidang 2 seluas 216 m2 dan dibangun 2 lantai.

(60)

lx

BAB III

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A. PROFIL RESPODEN

1. Shinta, 25 thn, karyawan toko, belum menikah.

Shinta (bukan nama sebenarnya) bertempat tinggal di Kalurahan Jajar, dia merupakan bungsu dari empat bersaudara yang semuanya sudah berumah tangga. Dia bekerja sebagai penjaga etalase toko di kawasan Mendungan. Dia lulusan SMU swasta tahun 2002. Dia bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya yang pas-pasan, ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga biasa dan ayahnya bekerja sebagai satpam. Sampai sekarang Shinta belum juga menikah karena belum merasa ada yang cocok dengan dirinya.

2. Gina Puspita, 41 tahun, karyawan swsata

(61)

lxi

3. Ibu Warsini, 53 tahun, pengusaha batik

Bertempat tinggal di daerah Laweyan, memliki usaha batik dan mempunyai 13 karyawan yang masih keluarga dan beberapa tetangganya. Usaha batik dirumahnya merupakan warisan dari orang tuanya yang sudah meninggal karena penyakit stroke. Ibu Warsini mempunyai tiga orang anak yang sudah dewasa.,yang pertama sudah menikah dan memiliki 2 anak bertempat tinggal di delanggu,yang nomer dua dan ketiga berada di Laweyan. Sehari-harinya ibu Warsini mengecek sendiri semua kinerja pegawainya, mulai dari pengecapan, pencucian, pengiriman hingga pengiriman kain hasil ke pemesan.

4. Ibu Iin, 27 tahun, tukang kredit/penjual daster

Ibu Iin bertempat tinggal di Mutihan disebelah timur lapangan Sriwaru. Ibu Iin memiliki anak yang duduk dibangku SD, dulu waktu menikah usianya masih belia yaitu 18 tahun. Penghasilan ibu Iin tidak menentu karena sebagai tukang kredit daster, dia mengambil dagangan dasternya pada juragan di pasar Klewer. Suaminya bekerja bangunan, dan penghasilannya juga tidak menentu,jika tidak ada proyek, sang suami menganggur di rumah.

5. Ibu Pantes, 35 tahun

(62)

lxii

Rp 250.000,00. Ibu Pantes memiliki dua orang anak yang masih kecil dan membutuhkan perhatian yang lebih dari kedua orangtuanya. Suami ibu Pantes adalah seorang supir truk dan menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Ibu pantes menggugat cerai suaminya karena tidak bisa berlaku adil antara isteri pertama dan kedua.

6. Ibu Ht, 33 tahun

Memiliki seorang anak yang masih berusia 4,5 tahun. Bertempat tinggal di daerah Sumber dekat pom bensin. Sehari-hari ibu Ht bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup di pabrik. Apabila akan bekerja beliau menitipkan anaknya kepada orang tuanya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.

7. Ibu Lasmini,45 tahun (korban KDRT)

Ibu lasmini (bukan nama sebenarnya) berusia 45 tahun dan memliki dua orang anak yang sudah beranjak dewasa. Ibu Lasmini bertempat tinggal di Gembongan,sebelah timur pabrik tembakau. Untuk menghidupi anak dan kedua orang tuanya yang sudah renta, ibu Lasmini harus bekerja ekstra keras. Beliau bekerja di sebuah laundry, berangkat dari rumah sekitar jam setengah tujuh pagi dan pulangnya jam empat sore,

jam kerja selebihnya dihitung lembur. Pendapatannya perbulan Rp 700.000 dan apabila lembur perjamnya dihitung Rp 4.000. Sebelum

(63)

lxiii

8. Bp Joko Sutardi, 50 tahun

Merupakan suami dari Ibu Lasmini. Bekerja sebagai teknisi pabrik batako di Karanganyar. Beliau berangkat kerja jam 8 pagi sampai dengan jam 4 sore. Tetapi apabila ada kerusakan mesin di pabrik,pak Joko dipanggil walaupun itu hari libur.

9. Ibu Sumirah, saksi ibu Lasmini

Bekerja sebagai pedagang tahu di pasar Sidodadi Karangasem,beliau mengambil dagangan tahu di Kartasura, berangkat dari rumah didaerah Gembongan,dekat pabrik tembakau setelah subuh yaitu sekitar jam lima pagi. ibu Sumirah memiliki dua anak yang pertama kelas dua SMP dan yang kedua kelas lima SD. Suami ibu Sumirah bekerja di pabrik tekstil dengan pendapatan yang pas-pasan. Dengan alasan ekonomi, ibu Sumirah berjualan tahu dengan pendapatn bersih rata-rata 30 ribu

perhari. 10.Ibu Sukini, 38 tahun, penjual karak keliling

(64)

lxiv

keliling dengan penghasilan bersih sebulannya hanya sekitar Rp. 200rb. Ibu Sukini juga mempunyai beberapa kamar yang disewakan.

11.Ibu Sri Mulyani, 36 tahun

Ibu Sri mulyani merupakan seorang pemilik rental komputer di sekitar kampus UMS,memiliki tiga orang pegawai. Selain memiliki rental Ibu Sri juga memiliki usaha salon di rumah yang selama ini beliau tinggali bersama anak semata wayangnya dan keluarganya yaitu di Jajar,Laweyan. 12.Mbak Dina, 32 tahun

Bertempat tinggal di kontrakkan daerah Karangasem,Kleco. Mbak Dina bekerja sebagai karyawan honorer di salah satu Sekolah Kejuruan di Surakarta. Bercerai dengan suaminya lantaran belum dikaruniai keturunan yang sangat diinginkan orang tua suami. Dokter menyatakan keduanya sehat dan subur, hanya saja pihak suami selalu mendesak mbak Dina untuk segera memiliki anak. Pasca perceraian Mbak Dina belum punya pandangan untuk segera mencari pendamping.

13.Ibu Yeni, 41 tahun

(65)

lxv

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CERAI GUGAT

Begitu sepasang insan resmi sebagai suami isteri, maka ucapan “selamat” berdatangan “semoga bahagia selama-lamanya”, demikian salah satu bunyi ucapan itu. Memasuki kehidupan berumah tangga memang selalu dianggap sebagai awal dari kehidupan baru yang penuh madu, keindahan, cinta, kemesraan, dan kebahagiaan. Namun, tidak jarang terjadi, lain impian lain pula kenyataan. Rumah tangga yang semula diimpikan sebagai “surga dunia” ternyata tak ubahnya seperti “neraka menyiksa”. Akibatnya, banyak di antara pasangan yang tidak mampu mempertahankan kelangsungan rumah tangganya. Penyebabnya tentu saja tidak selalu sama antara satu pasangan dengan pasangan yang lainnya. Perceraian merupakan jalan terakhir pasangan dalam menyelesaikan kemelut rumah tangga mereka.

Seperti yang diungkapkan oleh hakim Pengadilan Agama Surakarta, Bapak Sururi, SH:

“ Perceraian menurut saya adalah salah satu jalan keluar apabila rumah tangga terus menerus terjadi perselisihan dan percekcokan apalagi dalam waktu yang cukup lama seperti kebanyakan kasus yang saya tangani, percekcokan dalam waktu yang lama bahkan ada beberapa yang sudah tidak serumah lagi dengan pasangannya”.

Hal lain diungkapkan oleh H. Muhtarom M.Ag, seorang tokoh masyarakat dan juga guru, sebagai berikut:

(66)

orang-lxvi

orang tidak mengerti benar bagaimana memilih teman hidup, seperti : Akhlaknya bagaimana, seagama atau tidak, beriman atau tidak, anak siapa yang menyangkut bobot, bibit, dan bebetnya, dan dunianya dalam arti bekerja atau tidak, berpendidikan atau tidak. Kalau beberapa aspek tersebut disaring dengan benar maka Insya Alloh permasalahan dalam perkawinan dapat terselesaikan tanpa menyinggung tentang perceraian”.

Pandangan dari tokoh masyarakat ini dapat disimpulkan kurang setuju dengan perceraian sebagai jalan keluar dari permasalahan rumah tangga. Perceraian terjadi karena orang kurang mengerti dengan hak dan kewajiban masing-masing, dan karena lemahnya iman. Untuk itu Agama sangatlah penting untuk dimengerti agar dapat menyelesaikan masalah dalam rumah tangga.

Pendapat berbeda yang dikemukakan oleh seorang karyawan toko bernama Sinta (25 tahun, belum menikah) sebagai berikut:

“ Menurut saya wajar dan sah-sah saja kalau memilih bercerai kalau suami isteri sudah merasa tidak ada kesamaan lagi. Kalau dipaksakan nanti keduanya bisa stress lho mbak, kalau saya ya mending pisah saja daripada hidup sama orang yang tidak sejalan dengan saya’.

Menurut Panitera Pengadilan Agama, Edy Iskandar SH, dalam satu kasus perceraian dapat terkait beberapa penyebab tetapi diambil salah satu yang menjadi penyebab yang diberatkan pada penggugat. Dan yang paling banyak terjadi adalah kurang dan bahkan meninggalkan tanggung jawab dan buruknya akhlak. Pak Edy mengatakan:

“ Di Solo ini, faktor penyebab perceraian yang paling banyak terjadi adalah buruknya moral suami dan kurangnya tanggung jawab. Buruknya moral disini kebanyakan karena suami gemar berjudi, mabuk-mabukan, suka berbuat kasar bahkan sampai ketahuan tidur dengan perempuan lain sehingga keluarga terabaikan”.

(67)

lxvii

1. Poligini tidak Sehat

Sebelumnya penulis akan menjelaskan arti dari Poligini itu sendiri agar menjadi lebih jelas.

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis regresi tinggi badan induk dengan anak umur sapih 90 hari dari berbagai tipe kelahiran mempunyai (b≠ 0) yang berarti antara tinggi badan induk

Berdasarkan data (Tabel 10), penyimpanan semen cair pada pengamatan jam ke 32 menggunakan pengencer MIII menunjukkan bahwa motilitas spermatozoa menggunakan teknik

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi ikan teri ( Stolephorus sp. ) warga Warung I (RT 01/RW 03), Warung II (RT 03/RW 03), dan Warung III (RT 02/RW

Formulasi  yang  lebih  sederhana  adalah:  sebuah  argumen  merupakan  serangkaian   premis  yang  mendukung  sebuah  kesimpulan...  Sebuah  proses  penalaran

Detectio n R ed uced Sp eed L o ss Lingkungan Lingkungan yang panas Kinerja operator berkurang Operator tidak konsentrasi 8 Uap panas hasil proses produksi dengan

Untuk itu, berikut adalah hal yang sangat penting untuk direalisasikan: (1) Perumusan strategi nasional dan integrasi sistem promosi pemerintah; (2) Pengembangan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembiayaan murabahah mikro express yang dilakukan BPRS Mandiri Mitra Sukses telah berhasil memberikan dampak

Data penelitian ini dikumpulkan melalui kuesioner yang disebarkan kepada responden penelitian dengan cara langsung dan melalui pos. Kuesioner yang telah diisi oleh responden