• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Kerangka Konsep

Ketegangan keluarga yang terbatas pada konflik antara suami dan istri mengancam stabilitas perkawinan dan mengakibatkan disorganisasi. Proses disorganisasi dalam perkawinan berasal dari konflik yang berlangsung dalam sikap-sikap yang meregangkan ikatan bersama dari pasangan suami-istri.

Khairuddin (1985:133) memberikan keterangan bahwa ketegangan-ketegangan yang saling berdampingan tersebut mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :

1. Hilangnya secara berangsur-angsur tujuan-tujuan keluarga, sehingga tujuan pribadi menjadi lebih penting dari pada tujuan keluarga.

2. Usaha kerja sama semakin menurun.

3. Tidak adanya pelayanan yang baik di antara suami-istri. 4. Hubungan-hubungan interpersonal tidak lagi terkoordinasi.

xxxiii

5. Berubahnya hubungan antara suami-istri dengan kelompok-kelompok lainnya.

6. Terdapat pertentangan sikap-sikap emosional antara suami-istri.

Scanzoni dan Scanzoni dalam T.O. Ihromi (1999:137) menggambarkan situasi dan kondisi menjelang perceraian diawali dengan “berhentinya” proses negosiasi antara pasangan suami-istri. Akibatnya pasangan tersebut sudah tidak bisa lagi menghasilkan kesepakatan yang dapat memuaskan masing-masing pihak. Masing-masing pihak kemudian merasa bahwa pasangannya sebagai “orang lain”.

Akan tetapi mengenai perceraian keluarga ini Goode dalam T.O. Ihromi (1999:142) memberikan pandapat yang berbeda. Goode menyatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat/keluarga yang bersangkutan mengalami diorganisasi. Ini mengingat adanya beberapa indikasi seperti :

1. Tingkat “hidup bersama” antar jenis kelamin yang berbeda tidak menjadi semakin tinggi.

2. Tidak menurunnya angka perkawinan resmi, bahkan di beberapa negara termasuk Indonesia terlihat semakin tinggi.

3. Adanya perubahan dalam sistem keluarga dan struktur sosial di masyarakat.

Pada umumnya ketegangan-ketegangan keluarga sebagai sebab dari perceraian oleh Khairuddin (1985:135) dibedakan atas ketegangan sosial dan ketegangan personal. Ketegangan sosial merupakan situasi awal dan timbul dari

xxxiv

perangkat sosial yang merupakan fungsi-fungsi perkawinan, sedangkan ketegangan personal timbul dari struktur-struktur kepribadian dari pasangan yang berakar dari nilai-nilai sosial individu dan pola-pola tingkah laku yang termasuk kedalam sifat atau temperamen dari masing-masing pasangan suami-istri.

Hubungan antara temperamen dan ketegangan-ketegangan perkawinan terkadang tidak kentara karena tertutupi oleh masa-masa bahagia pada awal perkawinan. Pria dan wanita yang memasuki perkawinan berusaha (umumnya tidak disadari) untuk memuaskan berbagai kebutuhan-kebutuhan psikologis mendalam yang banyak diantaranya adalah bersifat temperamen.

Khairuddin (1985:135) berpendapat bahwa temperamen dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari kualitas-kualitas genetika dalam diri seseorang yang menentukan reaksi-reaksi emosionalnya. Kualitas temperamen muncul dari pembawaan lahir pada umumnya walaupun dia dapat dikontrol tapi tidak dapat dibatasi.

Burgess dan Wallin dalam Khairuddin (1985:137) berpendapat bahwa penyesuaian kepribadian dari temperamen tersebut merupakan sesuatu komponen yang penting dan lebih penting bagi suami dari pada istri. Istri rupanya lebih perlu menerima penyesuaian yang lebih besar dari pada suami. Apabila wanita bertemu dengan temperamen yang berbeda dia mencoba berhubungan baik dengan suaminya, mengingat sang pria lebih memungkinkan menghentikan keputusannya. Perkawinan menjadi lebih penting bagi istri dan dia berkeinginan untuk mencoba kerja keras dalam melaksanakannya. Apabila kesulitan-kesulitan

xxxv

temperamen sudah melampaui batas dimana istri tidak ingin berusaha, perkawinan akan mengalami gamgguan yang serius.

Terdapat pula perubahan temperamen yang dapat berpengaruh pada munculnya ketegangan-ketegangan dalam keluarga. Dalam kehidupan perkawinan menurut T.O. Ihromi (1999:145) tuntutan memperoleh kebahagiaan pribadi muncul secara sama dari pihak suami maupun istri. Istri tidak lagi harus mengalah dan serba menerima apa adanya karena istripun merasa berhak untuk mendapatkan kebahagiaan dari perkawinannya. Dari sudut keluarga, orientasi utama perkawinan dan membentuk keluarga mengalami pergeseran, dari orientasi kepada anak-anak dan keberhasilan anak-anak tersebut menjadi orientasi kepada hubungan pasangan suami-istri dalam perkawinan. Tuntutan tersebut mempengaruhi upaya yang dilakukan suami-istri untuk mempertahankan sebuah perkawinan.

a. Perceraian dan Istri yang bekerja

Kesempatan bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup dapat membuat seorang istri memiliki sumber daya pribadi sehingga mengurangi ketergantungan pada suami. Hai ini diperkuat oleh pernyataan dari William J. Goode (1985:154) bahwa bekerjanya sang istri meningkatkan pertentangan dalam perkawinan tapi tidak mengurangi mengurangi tingkat kebahagiaan umum di dalam keluarga. Seolah-olah ini hanya merupakan pertentangan-pertentangan internal yang meningkat dalam keluarga dengan kepuasan yang diperoleh sang wanita dari pekerjaan itu sendiri. Kesimpulan ini didukung oleh pernyataan dari F. Ivan Nye dalam buku yang sama, kenyataan bahwa perbedaan yang kecil itu

xxxvi

semakin mengecil ke arah tingkat sosio ekonomi yang lebih tinggi di mana sang ibu memperoleh lebih banyak kepuasan pribadi dari pekerjaan itu sendiri dan hasilnya. Sikap suami menentukan dalam hal ini. Keluarga di mana istri bekerja tetapi suami tidak menyetujuinya, dapat mengurangi tingkat keharmonisan rumah tangga. Jika suami setuju istrinya bekerja tetapi ia tidak bekerja demikian pula jika istri ingin bekerja tetapi tidak melakukannya, secara psikologis berdampak pada kebahagiaan perkawinan.

Khairuddin (1985:155) berpendapat bahwa istri yang bekerja merupakan suatu kemungkinan menjadi sumber ketegangan-ketegangan. Kebanyakan wanita (para istri) yang bekerja adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital keluarga atau membantu anak-anaknya untuk kuliah. Pada umumnya wanita ini bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Hasil dari bekerjanya mereka akan membantu keadaan keluarga yang lebih baik dan tidak akan menyebabkan kebencian yang besar pada pihak suami. Studi Locke mendukung kesimpulan ini karena ia menemukan bahwa bekerjanya istri tidak berhubungan dengan penyesuaiannya dalam perkawinan atau terhadap suaminya. Tetapi ia pun menemukan bahwa orang yang telah bercerai lebih mungkin untuk tidak menyetujui istri yang bekerja dari pada orang yang perkawinannya berhasil.

Studi yang dilakukan oleh Artie Gianopulos dan Howard E. Mitchell dalam Khairuddin (1985:159) menyimpulkan bahwa “sikap suami adalah faktor yang paling penting dalam penentuan apakah ketegangan-ketegangan yang timbul karena bekerjanya istri”. Banyak para suami yang masih merasa bahwa dengan bekerjanya istri mereka akan mengganggu peranan-peranan perkawinan mereka

xxxvii

yang lain dalam hal-hal yang suami anggap suami lebih penting. Pasangan-pasangan yang tidak puas berpendapat bahwa pekerjaan istri mereka gagal untuk menjaga agar rumah tetap bersih, mengabaikan anak-anak, dan kurang memenuhinya perhatian dalam hubungan-hubungan kasih sayang.

“Disisi lain banyak pula istri yang energik dan kemampuan dapat memainkan semua peranan rumah tangganya dengan memadai dan masih tetap bekerja”. (Khairuddin, 1985:160)

b. Perceraian dan tingkat pendidikan Istri

Para istri yang sebenarnya memiki pendidikan baik dan pengalaman tetapi memendam kemampuan karirnya tersebut demi rumah tangganya, sebagian setelah beberapa waktu mengalami “frustasi” karena tidak dapat menyalurkan keahliannya. Rasa “frustasi” tersebut dapat diekspresikan ke dalam berbagai bentuk dan salah satunya adalah dengan mengajukan gugatan cerai untuk memilih hidup sendiri. Kurang lebih demikian hasil penelitian dari Sri Tresnaningtyas dalam T.O. Ihromi (1999:185)

Sedangkan Khairuddin (1985:155) berpandapat bahwa “wanita yang berpendidikan tinggi terlebih dalam bidang pendidikan khusus dan mempunyai keinginan untuk berhasil dalam bidangnya akan segan untuk menghentikan pekerjaannya apabila ia menikah”.

Selanjutnya Olive Schreiner dalam Khairuddin (1985:157) mengemukakan pendapat bahwa seorang istri yang mempunyai kelebihan dalam bidang pendidikan dapat menimbulkan kesenjangan yang mencolok sehingga pola pikir pasangan suami-istri dimana pendidikan istri lebih tinggi, secara psikologis

xxxviii

berdampak pada kedudukan suami sebagai kepala keluarga yang dapat mengakibatkan sulitnya membentuk perkawinan yang bahagia. Hal ini diperkuat oleh asumsi bahwa bila istri mempunyai kemampuan lebih tinggi dari pada suami maka suami pun tetap ingin kemampuannya berada di atas istri dan tentu saja tidak mau “memainkan peranan” yang lebih rendah.

Demikian pula dengan istri yang mempunyai pandangan bahwa pekerjaan rutin seorang istri dalam rumah tangga merupakan pekerjaan yang monoton dan membosankan seperti memasak, mencuci dan menjaga rumah bagi istri yang mempunyai pendidikan cukup seolah memberi kesan bahwa pekerjaan rumah tangga yang sesungguhnya mulia tersebut dapat menurunkan gengsi dan pikiran terpelajarnya.

c. Patriarki dan Kekerasan Terhadap Istri

Patriarki merupakan bentuk kekuasaan yang sepenuhnya dipegang oleh laki-laki dalam memimpin rumah tangga atau dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu pola keturunan yang menghitung kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki saja(Ensiklopedi Nasional Indonesia,1990:256)

Patriarkhi dilanggengkan pula oleh steteotipe gender yang disosialisasikan dan dikembangkan melalui institusi-institusi dalam masyarakat dimana stereotipe ini menempatkan perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah dan laki-laki dianggap kuat. Kekuatan (laki-laki) itu dimanifestasikan melalui kekuatan fisik, seperti memukul, dan kekerasan psikis. Stereotype jender dalam keluarga diwujudkan dalam pola hubungan suami istri. Terdapat 4 pola

xxxix

hubungan yang terbentuk dalam keluarga sebagai buah perkawinan (Scanzoni dalam SPEK-HAM,2002) yaitu:

1. Pola Owner-Property (Pemilik barang), posisi suami sebagai pemilik sedangkan istri adalah yang dimiliki. Suami dapat memperlakukan istri semaunya seperti barang miliknya. Suami berhak mendapatkan pelayanan (seks, kebutuhan lain) sebagai konseksuensi dari kewajiban menyediakan kebutuhan ekonomi, sedangkan istri berhak mendapat perlindungan ekonomi; patuh,merawat, dan mendidik anak. Konsep perkawinan adalah bergabungnya dua orang menjadi satu dan yang satu adalah suami. Eksistensi istri hilang, istri hanyalah perluasan dari suami, kepentingan suami, hasrat, kebutuhan,keinginan, ambisi, tujuan, dll. Karena istri tergantung pada suami untuk sumber-sumber yang essensial, maka suami mempunyai power (kekuasaan) pada istri.

2. Pola Head-Complement (Kepala-Pelengkap), posisi suami sebagai kepala dan istri sebagai pelengkap. Hak istri dan kewajiban suami sama sama meningkat. Istri bukan lagi barang milik, tapi pasangan dengan spesialisasi tugas. Sehingga muncul spesialisasi peran dalam hubungan-hubungan ini. Kewajiban suami merupakan hak istri, sedangkan kewajiban istri merupakan hak suami. Hak istri bukan hanya perlindungan ekonomi saja tetapi juga perhatian, dan bantuan tugas. Namun istri dalam pola ini tetap berfungsi utama melayani suami, merawat anak, dan sebagainya. Istri tidak mendapat kepuasan atas dasar prestasi, tapi lewat prestasi suami. Istri boleh memberikan masukan atas keputusan yang akan diambil oleh suami.

xl

Hubungan suami istri lebih baik, bersifat pertemanan,bekerja bersama, dan saling memperhatikan.

3. Pola Brother-Sister (kakak-adik), posisi suami sebagai pencari nafkah utama dan istri juga mempunyai pekerjaan yang berpenghasilan. Posisi istri berubah menjadi partner junior (adik) dan posisi suami menjadi partner senior (kakak). Hal ini terjadi karena meningkatnya kontribusi ekonomi istri dalam keluarga. Istri cenderung mempunyai kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan keluarga, karena istri dapat mengubah posisi ekonomi menjadi kekuatan tawar menawar dengan suami.

4. Pola Equal-Partner, baik suami maupun istri sama-sama mempunyai komitmen yang tinggi terhadap karir mereka, dan karir keduanya sama pentingnya. Oleh karena itu terdapat peran yang saling menggantikan, baik peran mencari nafkah maupun menguruh rumah tangga. Peran dalam perkawinan yang tidak dapat berganti adalah sebagai suami istri. Dalam pola partner sejajar, baik suami maupun istri berkomitmen terhadap karir, dan bukan melulu bekerja. Keduanya memiliki hak yang sama untuk bekerja dan tidak ada pihak yang bekerjanya lebih penting daripada yang lainnya. Pola hubungan partner sejajar merupakan suatu peraturan dimana peran jender yang mengikat. Dalam perkawinan dalam pola ini, faktor kerja suami tidak selalu menjadi penentu dimana pasangan itu tinggal. Bisa saja pasangan itu pindah ke suatu tempat dan suami mencari kerja baru di lokasi baru atau sebaliknya.

xli

Kebanyakan perkawinan di Indonesia berada dalam tiga kategori awal, owner property, head complement, dan brother sister dimana posisi istri masih tersubordinasi oleh suami, meskipun ada pada tingkat yang berbeda berdasarkan pola hubungan yang terjadi dalam masing-masing keluarga. Pola hubungan yang tidak setara dalam keluarga merupakan embrio terjadinya tindak kekerasaan dalam keluarga khususnya kekerasaan terhadap istri.

Pembagian kerja seksual yang timpang, dimana perempuan bekerja dianggap kerja sampingan sehingga penghasilannya lebih rendah daripada laki-laki, sehingga perempuan tergantung pada laki-laki. Dengan demikian ketika perempuan memdapat tindak kekerasaan dari laki-laki, maka ia tidak lagi punya pilihan untuk mengatasinya.

Kekerasaan fisik yang dialami perempuan atau istri dalam rumah tangga seringkali menjadi berlarut-larut karena rasa takut sang istri, takut dibunuh suami,takut disiksa/dianiaya, takut tidak bisa bertemu dengan anak-anak lagi, takut mengecewakan keluarga, takut diancam, takut menyusahkan orang lain, dan takut yang lainnya.

Kekerasan yang diterima oleh istri mengakibatkan si istri mengalami tekanan fisik maupun batin dan itu dapat mengakibatkan pemikiran untuk melakukan gugatan cerainya kepada suami melalui Pengadilan Agama.

Kekerasaan dalam rumah tangga menurut UU No. 23/2004 diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seorang perempuan, yang berakibat munculnya kesengsaraan dan penderitaan secara fisik,pemaksaan seksual,psikologis, dan/penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

xlii

pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Kendati persoalan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah memiliki payung hukum dengan terbitnya UU No. 23/2004, namun dalam implementasinya masih terdapat berbagai kendala sehubungan dengan beragamnya persepsi yang tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tafsir agama yang sempit. Secara kultural, masyarakat Indonesia sarat dengan budaya yang bersifat patriarki, dimana status dan peran laki-laki dianggap lebih dominan daripada status dan peran perempuan. Istilah istri sebagai “konco wingking” atau “suwargo nunut neraka katut” adalah rekontruksi budaya yang telah berlangsung lama, yang menggambarkan domonasi laki-laki terhadap perempuan dalam rumah tangga.

Upaya penghapusan kekerasaan terhadap perempuan telah menjadi kepedulian pemerintah dan masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong oleh semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran bahwa kekerasaan terhadap perempuan telah membawa dampak yang sangat merugikan bagi perempuan khususnya dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada umumnya.

Lahirnya UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga merupakan putusan politik yang diambil oleh Legislatif, Pemerintah maupun masyarakat, yang patut disyukuri oleh Bangsa Indonesia, karena landasan dari pembentukan UU tersebut berkaitan dengan tujuan mencapai keutuhan dan keharmonisan keluarga yang dipandang sebagai unsur penting dalam keluarga berbangsa dan bernegara.

xliii

Selama ini masalah rumah tangga sering dipandang sebagai wilayah domestik yang bersifat sangat pribadi. Maraknya kasus-kasus kekerasaan dalam rumah tangga membuktikan bahwa penyelesaian permasalahan dalam rumah tangga lebih banyak menggunakan kekerasaan, baik yang dalam bentuk fisik, psikologis, pemaksaan seksual maupun penelantaraan rumah tangga, akhirnya menjadi wilayah pribadi yang sukar ditembus oleh pihak-pihak yang ingin turut menyelesaikan persoalan tersebut.

Kekerasan yang diterima oleh istri mengakibatkan si istri mengalami tekanan fisik maupun batin dan itu dapat mengakibatkan pemikiran untuk melakukan gugatan cerainya kepada suami melalui Pengadilan Agama.

Kekerasaan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas. Pengertian kriminalitas dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan termasuk kategori kejahatan.(Pandangan Islam terhadap Kekerasaan dalam Rumah Tangga oleh Asri Supatmiati). Contoh kasus kekerasaan yang dialami seorang istri asal Klaten bernama Rikania JanuAnita (20 th), ia telah mengalami kekerasan sekitar 2 tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, ia mesti mengalami nestapa berkepanjangan karena dibakar suaminya yang pencemburu. Kekerasaan sudah dialami Rika sebelum menikah dengan Irwan kekasihnya. Ia berharap dengan adanya pernikahan akan membuat sikap ringan tangan Irwan dapat berkurang atau hilang tapi kenyataannya 48 hari setelah acara pernikahan tragedi mengenaskan itu terjadi. Irwan tega membakar tubuh istrinya tersebut. Rencananya Rika akan menggugat cerai suaminya ( Nova No. 948/XIX 24-30 April 2006)

xliv

d. Poligini

Poligami adalah suatu pranata perkawinan yang memungkinkan terwujudnya keluarga yang memiliki pasangan lebih dari satu. Ada dua (2) jenis poligami, yaitu Poligini dan Poliandri. Poligini merupakan perkawinan yang dimana seorang suami memiliki lebih dari satu (I) isteri. Sedangkan Poliandri adalah perkawinan dimana seorang isteri memiliki lebih dari satu suami.

Poligini tetap harus sepengatahuan dan seijin istri atau suami sebelumnya. Seorang istri tidak menyetujui rencana poligini suaminya sah-sah saja menggugat cerai. Masalahnya, kaum perempuan sendiri mesti jujur bahwa mereka menghindari perceraian dengan dalih masa depan diri dan anak-anaknya. Bukan masa depan mental, tapi finansial. Selain ketergantungan secara materi, kaum perempuan juga bergantung secara psikologis pada gengsi yang mereka bangun sendiri. Memberi tempat bagi perempuan lain di hati suaminya (dengan bercerai atau berpoligini) dianggap suatu kekalahan yang sangat memalukan. Diakui atau tidak, kita lebih gelisah memikirkan gunjingan orang daripada babak kehidupan kita selanjutnya (dengan atau tanpa suami).

Anak-anak memang seringkali menjadi korban ketika orang tua bercerai, dan alasan ini pula yang kerap membuat istri/suami menghindari perceraian. Namun pertumbuhan psikologis anak dengan orang tua utuh yang seringkali cekcok nyatanya tidak lebih baik dari kondisi anak dengan orang tua tunggal. Yang penting bukan lengkap tidaknya orang tua tetapi kondisi dan situasi lingkungan yang nyaman dan kondusif di sekitar anak.

xlv

Sebagai contoh kasus poligini yang berakhir dengan perceraian adalah kasus cerai penyanyi Tri Utami. Pengadilan Agama Tangerang, Banten mengabulkan gugatan cerai Tri Utami kepada suaminya Andi Analta Amier. Rumah tangga yang dibangun bersama suami selama 10 tahun tersebut kandas karena Tri Utami tidak memberikan keturunan pada suaminya. Perceraian yang disepakati keduanya ini disebabkan karena Analta telah menikah lagi dengan wanita lain. Pada jumpa pers,Tri Utami mengaku tidak menentang poligini, namun sebagai manusia dia belum kuat iman untuk menerima hal itu (poligini) (sumber www.suarantb.com)

Fakta diseputar poligini menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul akibat poligini, penderitan tersebut dialami baik terhadap istri pertama juga istri yang lainnya serta anak-anak mereka. Bentuk-bentuk penderitaan itu antara lain tekanan psikis, penganiayaan fisik, terlantarnya istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Sementara banyak poligini dilakukan tanpa alasan yang jelas. Sedangkan dalam pemberitaan yang ada, poligini mendorong tingginya tingkat perceraian yang diajukan istri (cerai gugat) (Warta Kota, 12 April 2003)

e. Dihukum

Hukuman adalah hal yang tak menyenangkan yang diberikan atau diperoleh untuk suatu perilaku. Biasanya hukuman bersama-sama dengan ganjaran, digunakan sebagai suatu sistem atau alat mendidik. Bila perilaku yang terjadi adalah perilaku yang tidak diharapkan atau yang diinginkan adanya pada anak didik, hukuman diberikan. Sebaliknya, bila yang terjadi adalah perilaku yang

xlvi

diinginkan,ganjaran diberikan.( E.Jusuf Nusyirwan dalam Ensiklopedi nasional Indonesia hal 489)

Seorang suami yang secara nyata melakukan kejahatan dan harus dipenjara/dihukum selama sedikitnya 5 tahun atau bahkan hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,istri dapat mengajukan gugatan cerainya di Pengadilan Agama. Sebagai contoh kasus adalah kasus Polo (Barata Nugroho, pelawak). Akibat menggunakan narkoba, polo berurusan dengan polisi dan dijatuhi hukuman I tahun penjara, Polo berurusan dengan polisi akibat narkoba sudah dua kali. Ini membuat Anna Katharina tidak tahan lagi menanggung hidup sendirian, sehingga Anna mengajukan gugatan cerainya (sumber Disctarra.com)

Dalam masyarakat Indonesia, suatu perkawinan bisa disebut sebagai suatu kewajiban sosial individu terutama terdapat dalam masyarakat yang pola hubungannya masih tradisional. Artinya perkawinan harus dijalani setiap individu ketika sudah saatnya, yaitu ketika seseorang sudah dipandang cukup umur untuk melangsungkan perkawinan. Berdasarkan hal tersebut banyak dijumpai perkawinan yang dilakukan karena faktor usia, bukan kesiapan mental dari dua pasangan. Dalam hal ini pengetahuan mereka terhadap seluk beluk perkawinan sangat sedikit. Yang perempuan (dan juga keluarga pada umumnya) pahami sesudah menikah maka akan ada yang merawat, menghidupi dan memberi nafkah, artinya mereka tidak mengetahui kehidupan rumah tangga yang sebenarnya.

Dokumen terkait