• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

C. Pembahasan

Bagi Dina yang mempunyai masa lalu buruk, keturunan sangat diharapkan, lantaran ia ingin memperlihatkan pada orang lain bahwa dirinya masih seorang wanita sejati, tapi karena keluarga suaminya selalu merendahkannya maka dia tak tahan untuk menggugat cerai suaminya. Perceraian merupakan keputusan yang baik bagi keluarga daripada rumah tangga tidak rukun apalagi kalau pasangan mereka sudah dibumbuhi dengan perselisihan soal kehadiran anak .

C. PEMBAHASAN

Dalam pembahasan ini, penulis hanya menyoroti alasan yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai terhadap suaminya, yaitu adanya kekerasan dalam rumah tangga, karena kekerasan dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan terhadap istri, merupakan salah satu penyebab

xci

kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penemuan penelitian masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anaknya saja, rentetanpenderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita.

Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga khususnya terhadap istri sering didapati, bahkan tidak sedikit jumlahnya. Dari banyaknya kekerasan yang terjadi hanya sedikit saja yang dapat diselesaikan secara adil, hal ini terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak layak di konsumsi oleh publik.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena diawali dengan adanya perselisihan, perselingkuhan ataupun alasan ekonomi. Seperti yang dialami oleh Ibu Yeni (41 tahun) bukan nama sebenarnya yang sudah 17 tahun berumah tangga, asam garam pernikahan telah ia rasakan. Namun di penghujung tahun 2007 lalu ia tidak bisa lagi hidup berdampingan bersama keluarganya. Tahun 2007 adalah tahun terberat dalam pernikahannya, ibu empat anak ini harus menelan pahit karena berulang kali dianiaya dan dihina oleh suaminya. Sambil menunjukkan bekas luka di bagian mata kirinya akibat dilempar benda keras, ibu Yeni mengatakan tidak tahu menahu penyebab hingga suaminya sering memukulnya.

”Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan suami saya, tiba-tiba saja dia sering memukul dan menghina saya, memecahkan barang-barang dan

xcii

melampiaskan kemarahannya pada anak-anak. Entah ada apa, kondisi ekonomi kami baik-baik saja” (katanya dengan ekspresi bingung).

Ibu Yeni mengaku telah cukup bersabar dan bertahan menghadapi ulah suaminya tersebut. Setiap malam hanya bisa berdoa semoga suaminya besok tidak memukulnya atau paling tidak ada ”keajaiban” sehingga pukulan itu tidak terlalu menyakitkan. Meski demikian ia tetap bersyukur karena luka itu hanya dideritanya dan bukan anaknya. Bukan harta yang membuatnya bertahan, tetapi pengabdiannya kepada keluarga.

”Kebahagiaan seorang ibu adalah melihat anak-anak mereka tumbuh sehat, ceria dan mampu meraih cita-cita mereka, dan saya sudah meminta ijin kepada anak-anak dan mereka menyetujuinya, jika saya bercerai. Saya tahu mereka juga terluka, untuk itu saya minta maaf”.

Meski telah menerima tindak kekerasan dari orang terdekat, Ibu Yeni enggan melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Berbagai alasan menghambat mereka untuk bertindak tegas, salah satunya adalah tidak ingin memperpanjang masalah. Memperpanjang masalah sama dengan lebih menyakiti anak-anak dan menyebarluaskan aib mereka pada masyarakat.

”Saya tidak ingin masalah ini menjadi besar dengan melaporkannya ke polisi atau dengan visum, kalau suami dipanggil maka masalahnya akan semakin panjang dan saya tidak mau itu. Lebih baik meminta cerai langsung tanpa harus bertemu lagi dengan dia”.

Meski telah mendapatkan dukungan dari warga sekitar tempat ia tinggal untuk melapor, namun Ibu Yeni tetap berpegang pada pendiriannya. Menurutnya akan lebih menyakitkan jika ayah anak-anak di penjara, demi menjaga perasaan putra-putrinya, ia memilih untuk menyimpannya sendiri dan bertahan.

xciii

”Jika dia ditangkap lalu bagaimana dengan anak-anak, siapa yang akan membiayai hidup mereka. Maka saya harus bertahan hingga anak-anak cukup besar dan mampu membiayai hidup mereka sendiri. Setelah itu saya bercerai”.

Kasus kekerasan juga dialami oleh Ny. Lasmini (45th, bukan nama sebenarnya) seorang ibu rumah tangga dimana pernikahan beliau selama 19 tahun hancur dengan hadirnya orang ketiga. Setelah hadirnya orang ketiga maka Ny. Lasmini sering sekali tindakan kekerasan, baik secara fisik,batin maupun ekonomi. Selama 3 bulan suaminya tidak pulang kerumah dan tidak memberi nafkah. Selama itu pula Ny.Lasmini tidak melaporkan keadaannya kepada pihak yang berwajib meskipun orang-orang terdekatnya memintanya untuk melaporkan hal tersebut. Penolakan tersebut dilakukan dengan alasan suatu saat suaminya pasti akan berubah dan akan kembali kepada keluarga jika suaminya sudah tidak memiliki apa-apa dan jika telah puas. Suaminya pernah kembali dan memutuskan hubungannya dengan wanita selimgkuhannya itu, suaminya juga berjanji untuk berubah dan tidak akan berbuat kasar lagi,namun selang beberapa bulan dari dia kembali kekerasan itu terkadang masih Ny. Lasmini alami,apalagi kalau suaminya tidak bekerja dan tidak punya uang.

“ Pernikahan Saya hanya bertahan 19 tahun saja mbak. Saya sangat berharap dulu suami saya berubah tapi harapan tinggal harapan. Dia tetep mukulin saya,walaupun saya tidak melakukan kesalahan. Awalnya dia tidak setuju saya minta cerai,tapi setelah dipikirkan matang-matang dia akhirnya setuju juga. Mungkin dia sudah kasihan melihat saya……”

Setiap wanita korban KDRT sebagian besar cenderung melakukan tindakan yang bersifat afeksi (kasih sayang) dan cenderung memunculkan sifat menerima atas apa yang dialaminya dari pada menolak tindakan tersebut. Sikap menerima itu misalnya, menerima apa yang menjadi pilihan hidupnya, diam tanpa

xciv

melawan terhadap perlakuan suami, pasrah dengan menganggap bahwa itu merupakan karakter dan watak suami dan memaafkan apa yang dilakukan oleh suami dan menggap apa yang terjadi dalam rumah tangganya sebagai cobaan dari Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh Ny. Lasmini sebagai berikut;

“ Cinta saya terhadap suami sangat besar sakali, saya nrimo mau diapakan saja saya rela, wong namanya tresno,tapi lama-lama saya capek mbak….. knapa cinta saya dibalas dengan penghianatan,knapa dia masih nglirik perempuan lain. Saya ini kurang apa?? Saya nggak ngerti mbak…..”.

Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang semakin terkuak menghantarkan kita semua kepada pemikiran-pemikiran baru. Kasus demi kasus terus bermunculan tak ubahnya seperti fenomena gunung es yang terus meluas meski UU tentang KDRT ini telah disahkan yaitu UU No. 23 th 2004. Namun tampaknya UU ini tidak berdampak signifikan karena terlihat dari tahun ketahun jumlah korban semakin meningkat. Apalagi kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebuah peristiwa domestik. Peristiwa yang hanya dikonsumsi oleh anggota rumah tangga itu saja sehingga seringkali masyarakat sekilas tidak mampu berbuat apa-apa. Seorang saksi dari Ny. Lasmini yang bernama Sumirah (bukan nama sebenarnya) memberikan keterangan sebagai berikut;

“ Awalnya saya mendengar teriakan yu lasmini, minta tolong,karna rumah kami sangat dekat, lalu saya lari menuju rumah yu lasmini,saya melihat dengan mata kepala sendiri kalau yu lasmini ditampar sama pakdhe Sardi (suami Ny. Lasmini)”.

Setiap tindakan yang dilakukan pasti ada konsekuansinya yang harus diterima baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain, sama halnya dengan tindak kekerasaan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Tindakan

xcv

kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga akan menimbulkan dampak negatif bagi tiap orang mulai dari dampak untuk korban, pelaku, bahkan hingga orang-orang yang berada disekitar kejadian. Penderitaan fisik yang dapat terjadi akibat kekerasaan ini adalah cacat tubuh seperti luka-luka bahkan hingga kematian. Seperti yang dialami oleh Ny. Sukini (38 tahun, penjual karak keliling), mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. pada awal pernikahan sang suami menunjukkan sikap yang baik, pulang kerja tepat waktu dan orangnya tidak macam-macam dan itu terus berlangsng hingga hampir 15 tahun. Namun ketika suami di PHK awal tahun 2004 lalu, membuat suami kesana-kemari tanpa tujuan. Ditambah lagi saat itu mendapat uang pesangon dari pabrik. Sejak saat iru uang yang dipegang untuk foya-foya dan lupa dengan isteri dan anak. Suami jadi jarang pulang. Hingga sang isteri tahu dari teman-teman suaminya kalau sekarang suaminya memiliki wanita simpanaan. Mulai dari itu kekerasan sering terjadi, dan sang isteri mulai percaya kalau suaminya memiliki wanita lain.

“ Sebelumnya itu tidak terjadi apa-apa mbak…… awal perselilisan itu ketika suami saya dikeluarkan dari pabrik mbak, di PHK itu lho mbak…. Setelah dia nganggur, kerjanya cuma kluyuran ‘gak jelas. kebetulan dari pabrik itu memberikan pesangon,tapi duitnya dipake foya-foya sendiri, lupa kalau punya isteri dan anak. Kata temen saya, suami saya punya selingkuhan mbak….. kluyuran itu pasti sama wanita mbak”.

Sejak kehadiran pihak ketiga suami sering marah-marah nggak jelas, ketika ditanya sebabnya suami tidak segan-segan memukul dan menendang. Saat kejadian itu isteri hanya bisa diam dan menangis karena takut. Namun bila sudah tidak tahan dengan perlakuan suami,terkadang isteri berteriak minta tolong kepada

xcvi

tetangga sekitar. Pernah suatu waktu Ny. Sukini mengancam akan melapor RT namun kekerasan makin menjadi-menjadi. Berikut pernyataan Ny. Sukini;

“ Kalau saya tanya masalah itu, dia malah marah-marah bahkan nggak segan-segan menampar lagi, memukul gitu mbak….., bahkan sering kali kaki itu menginjak. Ya….. sering saya mendapat pukulan, tendangan setiap dia marah. Pernah muka saya bengkak,kaki juga bengkak sampe biru-biru, itu sudah biasa mbak….badan ini sakit semua. Ya…..saya ya diam saja mbak, waktu itu saya hanya diam dan hanya bisa menangis. Setiap dia marah, dia memukul, menendang saya. Saya takut…..saya udah nggak kuat, saya teriak “sakit….” gitu”.

Sebetulnya tidak ada hal yang terlalu sulit untuk dilakukan selama kita secara sadar menginginkan dan memperjuangkannya. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali menjadi berlarut-larut karena rasa takut sang isteri, takut dihajar suami,takut tidak bisa bertemu dengan anak-anak, takut mengecewakan keluarga, dan mungkin takut menjadi janda.

Kekerasaan yang berujung pada perceraian terjadi pada kehidupan rumah tangga seorang pemilik rental komputer di sekitar kampus UMS bernama Sri Mulyani ( SM, 36 tahun) warga Jajar, laweyan. Kejadian Kekerasan itu terjadi berawal ketika Sm hamil dua bulan, sang suami sudah mulai banyak main dan minum-minuman keras dengan teman-temannya. Dari situlah percekcokan bermula, karena Sm mencoba untuk bicara dengan suaminya. Ketika Sm hamil tujuh bulan kekerasan psikis mulai nyata. Ada seorang perempuan yang datang ke rumah dan ternyata adalah pacar suaminya. Tanpa memperhatikan perasaan Sm, suaminya bersenda gurau dengan wanita tersebut didepan Sm dan memintanya membuatkan minum untuknya. Perasaan Sm shock, namun membiarkan semua itu terjadi karena saat itu kondisi sedang hamil. Berikut pernyatan Sm mengenai permulaan kekerasan itu terjadi:

xcvii

” Kisruh keluarga itu terjadi saat kulo hamil dua bulan. Dan dua bulan itu mungkin menandakan kalau suamiku itu kurang nyocokin hatiku. Mungkin kadang-kadang itu masih kepingin dolan, main kemana-mana sama teman-temannya. Kadang-kadang masih mau kepingin minum bareng sama temen-temennya gitu terus ya... jadi percekcokan gitu mbak, saya gak suka dia mabuk lagi mbak. Mulai dari persoalan itulah aku mulai berselisih dengan suamiku. Trus lagi waktu kahamilanku berajak nuju bulanan ada wanita yang mencari suamiku kerumah dan ngaku pacar suamiku”.

Kondisi itu tetap berlangsung hingga Sm melahirkan anaknya. Saat itu kondisi keuangan mulai memburuk dan akhirnya Sm diajak ke rumah mertuanya di Bandung (karena suami asli Bandung). Sikap suami Sm kembali baik seperti dulu hingga suatu hari mendapat pinjaman modal dari orang tuanya dan bekerja sebagai pedagang meubel. Sikap suami mulai berubah lagi, jarang pulang kerumah dan ketika pulang uang hasil dagang sudah habis. Sm jarang diberi uang belanja, untuk kesehariannya Sm diberi oleh mertuanya. Sm merasa sebagai isteri sudah tidak berfungsi lagi dan merasa malu dengan mertua. Hati Sm berontak namun tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap kali suaminya tidak pulang, Sm selalu bertanya tapi suaminya tetap menutupi kesalahannya dengan marah-marah. Sm mencoba melawan tapi yang didapat bukan jawaban melainkan tamparan. Ketika Sm menbalas menampar dari suaminya yang didapatnya adalah suaminya malah lebih keras menampar dan menempelengnya. Semua berakhir ketika suaminya puas dan pergi begitu saja. Rasa sakit dan sendiri membuat Sm ingin kembali ke Solo namun niatnya diurungkan karena melihat anaknya yang masih balita. Sm memutuskan untuk mempertahankan rumah tangganya meski dalam hatinya berontak dan mulai tidak ada komunikasi dengan suaminya.

” ...mungkin untuk menutupi kesalahannya ya...itu dia marah-marah sama saya, marah-marah-marah-marah terus lebih marah-marah-marah-marah lagi, dia nggak

xcviii

pulang lagi langsung pergi gitu aja. Nggak pulang ya udah saya diam, trus besoknya saya mengungkit kembali pertanyaan itu ya...itu akhirnya dia marah-marah terus, dia marah-marah, ngomel, saya juga ngomel-ngomel trus saya ditamparnya...”.

Keputusan Sm untuk tetap bertahan membuat suaminya semakin seenaknya. Suami sering marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kotor yang merendahkan Sm, isterinya. Selain itu suaminya termasuk orang yang pencemburu karena setiap kali Sm berdandan, suaminya marah tanpa alasan, hingga pernah ketika Sm akan pergi dengan berdanan dan memakai pakaian yang agak bagus, tiba-tiba pakaian Sm tersebut berlubang oleh rokok suaminya. karena tidak tahan dengan perlakuan suami akhirnya Sm memutuskan untuk meninggalkan suami tanpa membawa anaknya karena dilarang oleh mertua dengan alasan ekonomi yang tidak mapan untuk kembali ke Solo.

” Kalau dulu itu ya.... waktu masih menikah itu ya... namanya menikah, punya suami, kemana-mana ya harus pamit sama suami. Apalagi suamiku itu pecemburu, kadang kalau keluar sebentar saja apalagi kalau pake’ bedak pake’ lipstik. Dulu aku nggak pernah keluar pake’ bedak apalagi lipstik, waktu itu aku keluar pake’ bedak dan lipstik... itu apa.... bajuku sudah hangus kena slomotan rokok”.

Selang beberapa hari setelah kepergian Sm ke Solo, akhirnya suaminya menjemputnya agar mau kembali ke Bandung. Suaminya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Karena bujuk rayu suami dan alasan kasihan dengan anak maka Sm kembali ikut pulang dengan suaminya. Namun janji yang diberikan suaminya itu palsu, keadaan semakin parah. Kini suaminya berpacaran dengan saudaranya sendiri yang juga sudah punya suami. Setiap kali ditanya oleh Sm yang dilakukan oleh suaminya hanya marah-marah. Namun kali ini Sn hanya diam karena takut nanti akan mendapat perlakuan kasar. Suami Sn sebenarnya

xcix

takut akan dituntut karena merusak rumag tangga orang. Namun, dengan bantuan orang tuanya maka kasus itupun dianggap tidak ada. Meski begitu, Sn merasa malu dan sakit hati karena semua tetangga membicarakannya.

Keadaan rumah tangga yang tidak pernah berubah membuat Sm tidak betah lagi dan untuk kedua kalinya memutuskan untuk meninggalkan suami dan anaknya. Kepergiannya yang kedua ini tidak pernah dijemput lagi oleh suaminya. Semenjek kepergiannya ke Solo, Sm tidak pernah bekomunikasi dengan suaminya. Saat anaknya lulus SD, Sm berani untuk mengambil anaknya dengan alasan sekarang ekonominya sudah lebih mapan. Hingga suatu hari Sm mendengar bahwa suaminya ke Solo namun pada saat itu suaminya tidak mampir ke tempatnya untuk skedar mengunjunginya. Baru setelah itu Sm mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi, padahal saat itu statusnya masih dalam ikatan pernikahan. Tanpa pikir panjang karena sakit hati Sm mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Surakarta.

”Karena sudah ya...Aku merasa masih muda, Aku masih mampu untuk kerja. Suamiku itu orangnya nggak bisa Aku pegang, ya udah Aku minta cerai aja. Waktu itu suamiku sudah punya gandengan. Aku minta cerai sama Dia, Dia nggak mau jadinya Aku yang menceraikannya. Tapi sebenarnya, waktu palu hakim diketok tiga kali hatiku sakiiiiit sekali. Pernikahanku akhirnya gagal, Aku merasa kasihan sama anakku. Aku merasa harus bagaimana setelah ini terjadi. Aku berstatus janda dan hatiku merasa sakit, merasa terkhianati...”.

Selama ini yang terbayangkan oleh Sm, menikah itu adalah membuat keluarga bahagia dan saling tukar pikiran. Namun ternyata rumah tangga yang diimpikan tidak tercipta, yang ada keluarga yang dibinanya justru membelenggunya.

c

”Pada dasarnya, waktu itu Aku menganggap pernikahan itu membuat keluarga, keluarga yang bahagia bisa untuk bertukar pikiran. Walau itu harapan bisa rumah tangga paling enggak sosok orang tuaku lah meskipun enggak punya, tapi dalam kehidupan rumah tangganya itu bagus gitu lho... mencontoh orang tuaku. Tapi ternyata lha kok Aku yang lakukan sendiri, yang Aku terima sendiri itu pernikahanku itu kok malah ya membelenggu Aku gitu...”.

Selama ini dalam kehidupan rumah tangganya Sm dianjurkan oleh orang tuanya bahwa perempuan itu harus menerima apa adanya yang diberikan oleh suaminya, pasrah dan kalaupun suami mau macam-macam ya biarkan saja yang pentin masih dinafkahi oleh suami. Namun, Sm tidak mau menerima anjuran orang tuanya itu mentah-mentah, Sm tidak menolak apa yang diberikan oleh orang tuanya tapi memilah yang tidak menyakitinya. Boleh saja menerima suami apa adanya, namun dalam hal yang memang alasannya bisa diterima. Sehingga bukan berarti kita diam saja bila suami punya pacar lagi, bila kita dipukul dan dimaki-maki dengan kata-kata kotor.

Rasa sakit hati ketika perceraian terjadi dan membuat Sm sedikit bersedih namun sekarang ini Sm memiliki kehidupan yang jauh lebih bahagia dengan anaknya. Akibat dari pernikahannya yang terdahulu, Sm masih merasa takut bia menikah lagi, takut peristiwa itu terulang kembali. Sm lebih tegar dan yang terpenting baginya adalah anaknya mendapatkan apa yang terbaik dan berharap anaknya tidak akan mengalami nasip seperti dirinya.

Dari hasil wawancara, maka dapat disimpulkan bahwa korban kekerasan pada awalnya sudah tahu bila ada kekerasan dalam rumah tangganya dan korbanpun melakukan perlawanan namun karena hasilnya tidak merubah keadaan, maka korban memilih diam demi anaknya dan tetap melayani suaminya.

ci

Saat korban merasa tidak kuat lagi, korban memilih kembali ke orang tuanya namun korban luluh dengan bujukan dan rayuan suami untuk kembali kepadanya dan kekerasan itu kembali terulang. Korban tidak mencoba untuk melawan karena takut mendaptkan kekerasan yang lebih. Dalam kondisi itu korban memilih pergi meninggalkan suaminya untuk kembali kepada orang tuanya. Korban merasa dirinya disakiti oleh suaminya maka memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dan hidup tanpa kekerasan lagi.

Dari hasil penelitian dan wawancara, dapat diperoleh data, sikap atau perlakukan isteri setelah memperoleh perlakuan kasar suami ada yang memilih untuk tetap bersama suaminya meski mereka mengalami kekerasan dan menganggap bukan suatu masalah yang serius. Pernyataan ini sesuai dengan yang dialami Ny. Hastuti, 48 th, seorang buruh tani, sebagai berikut;

“ Suami saya kerap memaki-maki saya kalau sedang marah,tapi saya menganggap hal itu biasa, karma suami saya memang sifatnya seperti itu, tempramennya tinggi, jadi ya…..sudah biasa”.

Dokumen terkait