• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUASAAN KEPALA DAERAH ERA OTONOMI DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEKUASAAN KEPALA DAERAH ERA OTONOMI DAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KEKUASAAN KEPALA DAERAH ERA OTONOMI DAN PILKADA LANGSUNG

MENURUT UU NOMOR 32 TAHUN 2004 1)

Oleh: DR. H. Awang Faroek Ishak 2)

A. Eksistensi Kepala Daerah Era Otonomi Daerah

Kepala Daerah adalah posisi sentral dan strategis dalam sistem Pemerintahan Daerah. Begitu strategisnya kedudukan dan peran Kepala Daerah dalam sistem Pemerintahan Daerah, sehingga seorang Kepala Daerah harus menerapkan pola kegiatan yang dinamik, aktif, kreatif, serta komunikatif, menerapkan pola kekuasaan yang tepat maupun pola perilaku kepemimpinan yang sesuai tuntutan kebutuhan yang dipengaruhi oleh latar belakang individual masing-masing Kepala Daerah. Dengan pola kepemimpinan yang efektif, Kepala Daerah diharapkan dapat menerapkan dan menyesuaikan dengan paradigma baru otonomi daerah, ditengah-tengah lingkungan strategis yang terus berubah

seperti reinventing government, sharing of power, akuntabilitas serta good and

clean governance. Jadi, korelasi positif sangat diperlukan dalam hubungan

Kepala Daerah dalam berbagai eksistensinya, dengan otonomi daerah yang dipengaruhi oleh lingkungan yang strategis.

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, seorang Kepala Daerah tidak hanya memiliki hak, tetapi juga sejumlah kewajiban di dalamnya (Awang, 2003). Artinya, seorang Kepala dalam implementasi pola kepemimpinannya, seharusnya tidak hanya berorientasi pada tuntutan untuk memperoleh hak dan kewenangan yang sebesar-besarnya, tanpa menghiraukan makna otonomi daerah itu sendiri yang lahir dari suatu kebutuhan akan efisiensi dan efektivitas manajemen penyelenggaraan pemerintahan, yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan berkualitas kepada masyarakat.

Paradigma baru otonomi daerah haruslah diterjemahkan oleh Kepala Daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan, sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat, karena otonomi daerah bukanlah tujuan melainkan suatu instrumen untuk mencapai tujuan (James W. Fesler, 1990, AF. Leemans, 1970). Karenanya, instrumen tersebut harus digunakan secara arif oleh Kepala Daerah tanpa harus menimbulkan konflik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, atau antar provinsi dan kabupaten/kota, karena jika demikian makna otonomi daerah menjadi kabur dan tidak mencapai sasarannya (Kaloh, 2003).

Otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah dan bukan otonomi "daerah" dalam pengertian suatu wilayah (territorial) tertentu di tingkat lokal. Kalaupun implementasi otonomi daerah diarahkan sebagai







 








1)


Makalah
disampaikan
pada
Seminar
Kongres
ke
II
Persatuan
Alumni
GMNI
yang
bertema
 “Memperkokoh
Negara
Pancasila”
di
Surabaya
Tanggal
26
Nopember
2010


2)

(2)

membesarnya kewenangan daerah, kewenangan itu haruslah dikelola secara adil, jujur, dan demokratis. Dalam hubungan itu, Kepala Daerah harus mampu mengelola kewenangan yang diterima secara efektif dan efisien demi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat daerah. Cara pandang yang demikian inilah yang tepat untuk menjelaskan hubungan antara Kepala Daerah dan atonomi daerah.

Eforia reformasi yang menggulirkan dinamika perubahan, dimana wacana demokratisasi dan transparansi terus tumbuh dan berkembang secara cepat, ternyata ikut menumbuhkan kesadaran masyarakat, khususnya masyarakat di daerah untuk menuntut hak dan kewenangan daerah, dan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan otonom (Kaloh, 2003). Berbagai perkembangan dan perubahan yang sangat cepat dan drastis, berupa tuntutan dan harapan untuk memperoleh kemandirian, perlu direspons dengan cepat dan tepat pula oleh seorang Kepala Daerah. Untuk itu, seorang Kepala Daerah perlu mengenal persoalan-persoalan pokok mendasar yang dihadapi oleh masyarakat di daerahnya masing-masing dan berupaya memecahkan masalah-masalah inti yang ada dan bukan hanya gejalanya, karena jika hanya menyelesaikan gejalanya saja, permasalahan itu akan selalu berulang dan terus berulang di kemudian hari.

Jadi, setiap Kepala Daerah yang memimpin organisasi Pemerintahan Daerah perlu memahami bahwa otonomi daerah adalah suatu instrumen politik dan instrumen administrasi (manajemen) yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber-sumber daya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besamya demi kemajuan masyarakat di daerah terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat dan mengembangkan demokratisasi.

B. Persyaratan Menjadi Kepala Daerah

Pada dasarnya, setiap organisasi menetapkan berbagai persyaratan bagi calon pemimpin sebuah organisasi. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat untuk memimpin suatu organisasi, diperlukan orang-orang yang mempunyai kelebihan fisik, intelektual, maupun mental rohaniah agar dapat membawa setiap unsur organisasi tersebut ke pencapaian tujuan. Apalagi, bagi organisasi pemerintahan di mana keputusan seorang pemimpin mempunyai konsekuensi yang besar dan mengandung resiko yang berdampak luas, terutama jika pemimpin tersebut gagal dalam mengatur dan mengurus organisasi. Dengan demikian, sangat diperlukan pemimpin dan kepemimpinan yang memiliki kualitas dan kapasitas memadai.

(3)

dipimpinnya (Yuki, 1989).

Untuk mewujudkan dan melaksanakan perannya sebagai seorang pemimpin, Kepala Daerah diisyaratkan memiliki sikap dasar dan sifat-sifat kepemimpinan, teknik kepemimpinan dan gaya kepemimpinan yang sesuai kondisi lingkungan organisasi, pengikut serta situasi dan kondisi yang melingkupi organisasi yang dipimpinnya (Pamudji, 1985) serta ditopang pula oleh kekuasaan (power) yang tepat (Yuki, 1989).

Sebagai seorang pemimpin, Kepala Daerah diisyaratkan untuk memiliki sifat-sifat tertentu. Mitchell (1978), mengemukakan sifat-sifat tertentu, seperti: kepribadian (personality), kemampuan (ability) dan kesanggupan (capability) untuk merealisir

ide-ide menjadi serangkaian kegiatan (activity). Setiap pemimpin perlu

menyadari bahwa kepemimpinnya merupakan proses antar hubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan, dan situasi (Stogdill, 1974).

Akibatnya, tidaklah mudah mencari sosok pemimpin, terlebih pemimpin sejati dengan karakter unggul yang melekat di dalam dirinya. Seperti yang dikemukakan Zainal Soedjais dalam Awang Faroek (2008), terdapat lima unsur karakter kepemimpinan yang unggul, yaitu meliputi: karakter, kredibilitas, nilai, keteladanan, dan kemampuan memberikan dan menjadi bagian dari harapan.

Keunggulan pertama adalah karakter. Pemimpin tersebut adalah produk terunggul di lingkungannya. Di sini, kita dapat mempergunakan teori Rosabeth Modd-Kanter yang mengedepankan individu dengan karakter keunggulan, yakni

individu yang memiliki Triple-C: Concept atau kemampuan membuat konsep

akan masa depan, Competence atau kompetensi, dan Connectedness alias

kekuatan jaringan yang dimiliki. Gagasan ini, seperti kata Riant Nugroho (2003), di-Indonesiakan oleh Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat (2001) sebagai KKN, atau Konsep, Kompetensi dan Networking-bukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Keunggulan kedua adalah kredibilitas. Di negara-negara barat, syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin, seperti penelitian James & Posner (1997), adalah kredibilitas. Steven M. Bomstein dan Anthony F. Sands (1996),

menyebutkan lima inti (SC) kredibilitas, yaitu: Conviction, Character, Courage,

Composure, Competence. Conviction adalah keyakinan dan komitmen.

Character adalah integritas, kejujuran, respek, dan kepercayaan yang konsisten.

Courage adalah keberanian, kemauan untuk bertanggung jawab atas

keyakinannya. Bahkan, kalau perlu berani mengubah diri. Composure adalah

ketenangan batin, suatu kemampuan untuk memberikan reaksi dan emosi yang

tepat dan konsisten, khususnya dalam menghadapi suatu krisis. Competence

adalah keahlian, keterampilan, dan profesionalitas.

Keunggulan ketiga adalah nilai. Tugas pemimpin adalah memberikan value atau

nilai bagi organisasi yang dipimpinnya. Memimpin adalah melakukan value

creation sepanjang waktu. Warren Bennis (2000), menekankan bahwa pemimpin

adalah makes different. Ia harus membuat organisasinya berbeda dengan

sebelum ia pimpin. Nilai atau value ini adalah kemampuan membuat visi masa

(4)

menjalankannya secara operasional. Semuanya itu merupakan sebuah untaian yang membentuk suatu proses yang berkesinambungan.

Keunggulan keempat adalah keteladanan. Tokoh pendidikan Nasional, Ki Hajar

Dewantara, mengajarkan ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso,

dan tut wuri handayani. Kendati ketiganya berbeda semantik, yakni di depan memberikan contoh, di tengah memberikan inspirasi dan di belakang mendorong. Pada prinsipnya, kesemuanya itu bermuara pada satu hal: keteladanan. Di negara-negara Barat pun, prasyarat keteladanan ini merupakan faktor krusial. Arie de Geus (1996) misalnya, secara khusus pernah membuat kajian tentang perusahaan-perusahaan kelas dunia yang sukses, mampu bertahan dan terus berkembang, dan kemudian menjadi acuan bagi yang lain. Ia menemukan, bahwa perusahaan-perusahaan itu memiliki satu kesamaan, yakni pemimpin yang memiliki keteladanan. Keteladanan adalah simbol pertama dari kedewasaan, karena keteladanan memerlukan toleransi, kerendahan hati, dan kesabaran. Pemimpin hakikatnya adalah pamong, bukan pangreh.

Keunggulan kelima adalah harapan. Jadi, pemimpin harus memberikan harapan. Manusia terkadang berhadapan dengan masalah yang teramat berat untuk diatasi dan merasa putus asa. Pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin yang membuka mata pengikutnya akan tantangan masa depan dan bagaimana cara mengatasinya.

Dengan demikian, Kepala Daerah sebagai pemimpin organisasi administrasi daerah harus memiliki kualitas kepemimpinan, yaitu implementasi dasar-dasar kepemimpinan pada umumnya (sifat, gaya, teknik, perilaku, dan kekuasaan atau power) dalam ruang lingkup sistem pemerintah Indonesia (Pamudji, 1989).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (direvisi terbatas menjadi Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008) menetapkan bahwa untuk menjadi Kepala Daerah perlu memenuhi 16 persyaratan, yaitu:

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah.

c. Berpendidikan sekurang-sekurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat.

d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter.

f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.

g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(5)

i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan.

j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang seeara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.

k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak.

n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta ke1uarga kandung, suami atau istri.

o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sarna.

p. Tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.

Dengan adanya sejumlah persyaratan tersebut, dapat dikemukan bahwa figur Kepala Daerah yang ideal adalah seorang yang berkualitas, menerapkan kepemimpinan yang tepat di lingkungan organisasi administrasi daerah, ditopang pula oleh seperangkat sifat-sifat kepemimpinan yang baik, latar belakang individual yang dipayungi oleh sikap dasar, yaitu taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan taat kepada Pancasila dan UUD 1945, serta setia dan taat kepada negara dan pemerintah.

C. Kekuasaan Kepala Daerah

Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 dan Undang Nomor 5 Tahun 1974, maka hadirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, juga Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah,

tidak mengenal lagi Kepala Daerah sebagai Wakil Pemerintah Pusat, kecuali bagi Gubernur. Meskipun gubernur masih bertindak sebagai Wakil Pemerintah Pusat, namun ia tidak lagi memiliki tugas dan wewenang yang sangat luas. Jika memperhatikan maksud butir (g) bagian Penjelasan Umum mengenai Dasar Pemikiran, tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, antara lain meliputi: a. Melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang

dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi, b.

(6)

karena gubernur merupakan pejabat otonomi daerah yang tertinggi di daerah. Memang, undang-undang ini tidak lagi mengenal adanya hubungan hierarkis, namun melihat adanya tugas dan wewenang gubernur untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota, jelas berarti jabatan gubernur berposisi di atas jabatan bupati/walikota.

Bertindak atas nama Wakil Pemerintah Pusat, gubernur juga berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintah Daerah, dan melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karier pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun wilayah administrasi yang dimaksud merupakan wilayah administrasi yang mencakup kewenangan di bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat.

Pembinaan yang dimaksud diatas, merupakan pembinaan yang lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan daerah otonom. Sedangkan pengawasan yang dimaksud, lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberi kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Jelasnya, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh gubernur, tidak mengurangi arti kebebasan daerah otonom yang bersangkutan – daerah kabupaten/kota – untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Tetapi, maksud kebebasan tersebut bukanlah bebas tanpa batas. Oleh karena apabila suatu peraturan atau keputusan daerah bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan (in stridj net de wet) yang lebih tinggi tingkatannya atau

dengan kepentingan umum (in stridj met het algemeen belang), peraturan atau

keputusan daerah tersebut dapat ditangguhkan guna keperluan proses

selanjutnya atau dibatalkan. Bentuk penangguhan (schorsing) dan pembatalan

(vernietiging) inilah yang menjadi bagian dari pengawasan represif di atas (Sayuti, 2004).

Sungguhpun undang-undang ini hanya menempatkan gubernur sebagai pemilik kedudukan rangkap, tetapi menurut Bagir Manan (2002), hal itu sebenarnya masih dianggap tidak perlu. Alasan ketidakperluan tersebut, menurutnya:

Pengalaman selama ini, menunjukkan bahwa gubernur, bupati, walikota menjalankan fungsi rangkap lebih menonjolkan diri sebagai wakil pusat (dekonsentrasi) daripada sebagai pimpinan daerah otonom. Di negeri Belanda,

gubernur disebut commisaris van de Koning adalah wakil mahkota. Tetapi yang

menjalankan pemerintahan (yang bertanggung Jawab) adalah gedputerdee

staten, bukan gubernur. Yang menarik, dalam praktiknya, gubernur lebih

menampakkan diri sebagai unsur otonomi, walaupun secara hukum mewakili mahkota.

(7)

penyelenggaraan atas Pemerintah Daerah langsung kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), maka tidak jarang bupati/walikota mengambil kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan Gubernur, sehingga timbullah berbagai kebijakan yang kontradiktif di daerah. Di sisi lain, juga adanya jarak yang panjang antara daerah kabupaten/kota dengan pusat, tidak jarang menciptakan lemahnya pengawasan pusat – itupun hanya pengawasan represif, – sementara gubernur hanyalah dipandang sebagai pengawas terhadap administrasi kepegawaian dan karir pegawai saja. Kondisi inilah yang

kadangkala membuat bupati/walikota menjadi over acting, sehingga seringkali

menjadikan dirinya sebagai raja-raja kecil di daerah.

Berkedudukan sebagai Kepala Daerah provinsi atau Kepala Daerah kabupaten/kota, Kepala Daerah juga memiliki beberapa tugas dan wewenang yang pada intinya berkisar pada wewenang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah atau eksekutif, seperti halnya mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, mengangkat Kepala Dinas dari PNS yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah, menetapkan keputusan untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, dan sebagainya.

Melihat berbagai tugas dan wewenang Kepala Daerah di atas, jelaslah kalau undang-undang ini berupaya menempatkan Kepala Daerah sebagai lembaga

eksekutif sebagaimana maksud konsep pemisahan kekuasaan (separation of

power). Terdapat dua indikasi untuk itu, yaitu:

Pertama, Kepala Daerah bertugas dan berwenang menjalankan produk-produk

yang dibuat oleh lembaga legislatif, seperti halnya maksud butir a dan f diatas.

Kedua, Kepala Daerah menjalankan tugas dan wewenang yang bersifat

administratif, seperti halnya maksud butir c, d, e dan g di atas. Indikasi tersebut semakin jelas dengan melihat ketentuan Pasal 1 huruf b, Pasal 14 dan Pasal 30, yang menempatkan Kepala Daerah sebagai pemerintah dalam arti sempit atau sebagai eksekutif daerah saja. Khususnya mengenai tugas dan wewenang menurut ketentuan butir b di atas, di mana ketentuan ini berhubungan dengan kedudukan dan hubungan keperdataan yang dilakukan daerah. Oleh karena

daerah adalah subyek hukum (publiek rechtspersoon) yang dapat melakukan

atau terkena perikatan keperdataan (Manan, 2002).

Upaya menuju pada konsep pemisahan kekuasaan (separation of power)

memang terlihat jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juncto

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, paling tidak pemisahan dalam arti formal. Dengan mengembalikan Kepala Daerah secara lebih terfokus pada fungsinya sebagai pelaksana produk legislatif dan fungsi administratif, maka diharapkan Kepala Daerah dan DPRD memiliki kedudukan yang sama sejajar dalam struktur Pemerintahan Daerah, di mana DPRD berkedudukan sebagai lembaga atau badan legislatif daerah dan kepala daerah berkedudukan sebagai lembaga atau badan eksekutif daerah.

Akan tetapi, jika dipandang dari sisi tugas dan wewenang yang dimiliki oleh

keduanya, maka ungkapan sama dirasa tidaklah tepat untuk digunakan. Yang

(8)

harus berarti sarna (Sayuti, 2004). Jadi, Kepala Daerah dan DPRD memiliki wewenang yang seimbang, tetapi tidak berarti sama karena memang tugas dan tanggung jawab masing-masing berbeda. Menurut Syaukani H.R., Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid (2002), ada tiga alasan mengapa seorang Kepala Eksekutif berbeda tanggung jawab yuridiksinya dengan seorang lembaga legislatif dan

diterima sebagai primus interpares. Ketiga alasan tersebut adalah:

Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tugas dan kewenangan tidak hanya untuk membuat kebijaksanaan, tetapi juga mengimplementasikannya dan mengadakan evaluasi terhadap kebijaksanaan tersebut. Sementara itu, DPRD hanyalah membentuk kebijaksanaan publik, dan bahkan hampir sama sekali tidak terlibat dalam implemantasi kebijaksanaan tersebut.

Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tanggung jawab dalam bidang sosial, ekonomi dan keuangan serta politik, karena memang dipilih untuk itu, sementara seorang anggota DPR/DPRD hanyalah memiliki tanggung jawab dalam bidang politik saja.

Seorang Kepala Eksekutif harus memiliki kapasitas yang sangat tinggi untuk memobilisasi semua sumber daya yang ada di lingkungannya. Dia harus menggerakkan semua stafnya untuk terlibat secara maksimal, dan harus pula kreatif mendorong kegiatan ekonomi dan bisnis di daerahnya.

Tugas-tugas seperti itu tidak merupakan hal-hal yang rutin yang dilakukan oleh DPRD. DPRD harus menyiapkan suasana politik lokal yang kondusif bagi masyarakat di daerahnya.

Dengan demikian, meskipun antara DPRD dan Kepala Daerah memiliki kedudukan yang sejajar dalam struktur pemerintahan daerah, tetapi keduanya memiliki tugas dan wewenang – demikian juga hak – yang seimbang. Oleh karena itu, dalam hal tertentu, boleh jadi kepala daerah memiliki hak yang tidak sama atau lebih besar daripada DPRD. Misalnya, Kepala Daerah mendapatkan insentif atau gaji yang lebih besar daripada DPRD berdasarkan sistem

penggajian (reward system). tentunya seimbang pula dengan tugas dan

tanggungjawabnya yang juga lebih besar daripada DPRD. Bahkan, dapat

dipandang tidak memiliki rasa kepantasan dan keadilan (ex aequo et bono), jika

DPRD menuntut gaji atau pendapatan yang lebih tinggi atau sama dengan yang didapat oleh Kepala Daerah.

D. Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD

(9)

Dalam memutar roda organisasi pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, serta dalam menghadapi konflik, gejolak dan permasalahan pemerintahan di daerah, Kepala Daerah secara terus-menerus dihadapkan pada pelbagai tuntutan dan tantangan baik secara internal maupun eksternal, yang harus direspon dan diantisipasi, sekaligus merupakan ujian terhadap kapabilitas dan kompetensi Kepala Daerah tersebut.

Tak heran, landasan normatif penyelanggaraan Pemerintahan Daerah yang terus berubah dalam beberapa kurun waktu tertentu, sebagai akibat pengaruh perubahan politik pemerintahan, memberikan warna tersendiri dalam pola kegiatan, pola kekuasaan dan pola perilaku kepemimpinan Kepala Daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, hingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sampai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, sebagai ketentuan normatif yang mengatur sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah mengatur kedudukan, tugas, fungsi, kewajiban dan sejumlah persyaratan Kepala Daerah yang berlangsung di negeri ini.

Pengaturan dalam semua undang-undang tentang Pemerintahan Daerah membuat peranan Kepala Daerah sangat strategis, karena Kepala Daerah merupakan komponen signifikan bagi keberhasilan pembangunan nasional, sebab Pemerintahan Daerah merupakan subsistem dari pemerintahan nasional atau negara. Efektivitas pemerintahan negara tergantung pada efektivitas penyelenggaran pemerintahan di daerah. Keberhasilan kepemimpinan di daerah akan menentukan kesuksesan kepemimpinan nasional. Artinya, menurut Johanis Kaloh (2003), ketidakmampuan Kepala Daerah dalam menyukseskan program pembangunan daerah berimplikasi pada rendah atau berkurangnya kinerja dan efektivitas penyelenggaraan pembangunan nasional.

Dari tinjauan organisasi dan manajemen, Kepala Daerah merupakan figur sentral atau manajer yang menentukan efektivitas pencapaian tujuan organisasi Pemerintahan Daerah. Proses pemerintahan di daerah secara sinergis ditentukan oleh sejauh mana efektivitas peran yang dimainkan oleh Kepala Daerah. Dengan kata lain, arah dan tujuan organisasi Pemerintahan Daerah ditentukan oleh kemampuan, kompetensi dan kapabilitas Kepala Daerah bersangkutan dalam melaksanakan fungsi-fungsi administrasi (manajerial), kepemimpinan, pembinaan dan pelayanan, serta tugas-tugas lain yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab Kepala Daerah.

Dalam pendekatan pelayanan, Kepala Daerah juga merupakan komponen strategis dalam mengupayakan terwujudnya pelayanan yang berkualitas, baik pelayanan internal dalam organisasi maupun pelayanan eksternal kepada masyarakat luas. Kepemimpinan Kepala Daerah, yang menerapkan pola dan strategis mendengarkan, merasakan, menanggapi dan mewujudkan keinginan, aspirasi, tuntutan dan kepentingan masyarakat dan tuntutan organisasi, merupakan kekuatan dalam upaya mewujudkan tujuan organisasi dan peningkatan kehidupan serta kesejahteraan masyarakat.

(10)

Daerah dengan DPRD, guna perumusan dan implementasi kebijakan publik, peranan Kepala Daerah sangat strategis, bukan hanya untuk merumuskan dan mengambil inisiatif tetapi juga mempengaruhi keputusan yang dihasilkan. Kepala Daerah, sebagai puncak suatu piramida hierarki administratif, memiliki peranan dalam menjalankan keseluruhan peraturan daerah yang dibuat bagi Pemerintah Daerah yang lebih tinggi atau badan perwakilan daerah. Dengan demikian, ia mempunyai hak dan kewajiban untuk membuat keputusan yang diperlukan untuk menjalankan peraturan dari unit pemerintahan yang lebih tinggi.

Jika dilihat dari hierarki kepemimpinan pemerintah di Indonesia, Kepala Daerah (gubernur, bupati/walikota), berada di posisi kepemimpinan tingkat menengah. Di atasnya, terdapat kepemimpinan yang dijalankan oleh presiden beserta para pembantunya, dan di bawahnya lagi terdapat kepemimpinan yang dijalankan oleh camat dan kepala desa/lurah. Para pemimpin pemerintahan tersebut bertanggungjawab sepenuhnya atas penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di daerahnya masing-masing, sekaligus

mempertanggungjawabkan tugas yang diembannya itu kepada pejabat yang berwenang sesuai hierarki kepemimpinan. Bahkan, dalam sistem administrasi negara dan penyelenggaraan pembangunan nasional, kedudukan pemimpin pemerintahan sebagai pejabat yang berperan dalam pertyelenggaraan administrasi negara sangat penting dan menentukan, karena kepemimpinan itulah yang berperan sebagai motor, pelopor, kreator dan inovator pemikiran, perencanaan, perumusan, implementasi, evaluasi dan pengendalian berbagai kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan nasional.

Salah satu karakteristik pemimpin pemerintahan khususnya Kepala Daerah, seperi kata J. Kaloh (2003) adalah tanggap terhadap kondisi politik, baik dalam organisasi pemerintahan maupun dalam masyarakat, serta memberikan jawaban atau tanggapan atas kritik, saran, dan mungkin juga pengawasan yang datang dari masyarakat, serta tanggap terhadap harapan dan kebutuhan masyarakat. Seorang pemimpin pemerintahan harus tanggap terhadap kondisi kelembagaan dalam arti memberikan perhatian serta tanggap terhadap bermacam kebutuhan operasional dalam organisasi pemerintahan demi kelangsungan kehidupan

organisasi pemerintahan. Sejalan dengan itu, Tjokroamidjojo (1985)

menyatakan, bahwa seorang pemimpin pemerintahan harus senantiasa memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat serta kebutuhan dan kepentingan organisasi pemerintahan.

Sebagaimana halnya pemimpin organisasi lainnya, Kepala Daerah juga dihadapkan pada berbagai keadaan dan tantangan dalam memimpin organisasi administrasi daerah. Kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh Kepala Daerah antara lain bagaimana mewujudkan otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab sebagai suatu paradigma baru, yang didukung oleh kualitas sumber daya aparatur yang prima, sumber daya alam dan sumber daya keuangan, serta sarana prasarana yang memadai, yang mampu meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan kehidupan masyarakat melalui program dan strategi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

(11)

administrasi Pemerintahan Daerah dituntut untuk bersikap proaktif dengan mengandalkan kepemimpinan yang berkualitas untuk membangkitkan semangat kerja dari para bawahannya, mampu menggerakan masyarakat untuk berperan aktif agar berpartisipasi aktif dalam pembangunan serta mampu menjadi kreator, inovator dan fasilitator dalam rangka efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, serta pelayanan kepada masyarakat di daerah.

Paradigma baru tersebut, dengan sendirinya menuntut kegiatan nyata Kepala

Daerah yang diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang kreatif (creative), inovatif

(innovative), perintisan (avant garde), orientasi pelayanan/masyarakat

(people/customer-oriented), orientasi pelayanan dan pemberdayaan (service and

empowerment-oriented). Konsep ini menuntut kualitas Kepala Daerah sebagai

pemimpin organisasi Pemerintahan Daerah makin tinggi pula, di mana seorang pemimpin tidak cukup hanya mengandalkan intuisi semata, tetapi harus didukung oleh kemampuan intelektual dan keahlian yang memadai, ketajaman visi, serta kemampuan etika dan moral yang beradab. Mengingat beratnya tugas dan tanggung jawab Kepala Daerah, pejabat tersebut harus memenuhi persyaratan kualitas yang cukup berat (Riwukaho, 1988).

E. Pilkada Langsung Era Reformasi

Wacana reformasi sebenarnya sudah cukup lama dikenal. Namun dalam konteks Indonesia saat ini, wacana tentang reformasi baru membahana sekitar tahun 1998 lalu, menjelang lengser-nya mantan Presiden Soeharto, 21 Mei 1998.

Periode pasca lengser-nya Soeharto pada 1998 hingga sekarang, lazim disebut sebagai era reformasi. Periode reformasi menurut Sayuti (2004), yakni suatu periode pemerintahan yang bermaksud untuk memperbaiki dan/atau mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai dimensi ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya. Pengertian reformasi itu sendiri, sebenarnya banyak mendapat tanggapan dari berbagai ahli. Warsito Utomo (2003) telah merangkum tanggapan-tanggapan tersebut, di antaranya:

Kahn (1981), memberikan pengertian reformasi sebagai suatu usaha untuk melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976), mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses dan prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Kemudian, Samonte (1979), mengartikan reformasi sebagai perubahan-perubahan atau inovasi-inovasi dalam penggunaan perencanaan dan adopsi untuk membuat sistem administrasi sebagai badan atau agen yang lebih efektif untuk perubahan sosial, sebagai instrument yang baik untuk membawa persamaan politik, sosial dan perubahan ekonomi, semuanya dalam proses akselerasi pembangunan bangsa (Utomo,2003).

Ditambah Warsito Utomo (2003) pada hakekatnya dari pandangan-pandangan

tersebut dapat disimpulkan empat hal. Pertama, reformasi mengandung pertalian

(12)

perubahan yang sistematik dalam kerangka yang luas, dengan cara hati-hati dan

direncanakan. Ketiga, tujuan reformasi adalah untuk mencapai efisisensi dan

efektivitas. Keempat, reformasi haruslah dapat menanggulangi

perubahan-perubahan lingkungan. Jadi, ruang lingkup reformasi tidak hanya sebatas pada proses dan prosedur, namun juga berhubungan erat dengan perubahan pada tingkat struktur, sikap dan tingkah laku.

Pada era ini pula, terjadi perubahan fundamental dan fenomenal pada sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, yakni bergulirnya mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung sejak 1 Juni 2005 lalu. Singkatnya, Pilkada langsung ini dapat dikatakan merupakan buah dari reformasi yang diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa. Sebelurnnya, reformasi juga telah membuahkan Pemilihan Presiden – Wakil Presiden RI secara langsung pada 2004. Melalui Pilkada langsung, harapan pemilihan langsung itu tidak hanya bergulir pada level nasional, tetapi juga kini dilakukan hingga level daerah di seluruh Indonesia.

Pemilihan Kepala Daerah langsung ini merupakan salah satu pilar paling fundamental dalam proses pembangunan demokrasi di Indonesia. Pijakan yuridisnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, yang di dalamnya juga memuat sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung, sebagai revisi terhadap Undang-undang Nomor 22 tahun 1999. Hadirnya Undang-undang ini, dalam pandangan Wakil Ketua DPD RI Laode Ida, memberikan ruang partisipasi rakyat untuk menentukan sendiri pemimpin daerahnya secara lang sung, sekaligus menandai akhir dari sistem pemilihan pemimpin pada tingkat lokal yang selama ini menggunakan sistem perwakilan, yakni Kepala Daerah dipilih oleh anggota DPRD.

Tuntutan masyarakat untuk melaksanakan Pilkada langsung disebabkan karena pemilihan Kepala Daerah melalui sistem perwakilan sebelumnya, dianggap tidak demokratis, yakni hanya dipilih oleh puluhan anggota DPRD, (Laode,2006). Padahal, dalam proses rekrutmen pemimpin yang demokratis, setiap individu mempunyai hak yang otonom dalam menentukan pemimpinnya sendiri. Pemilihan Kepala Daerah dengan cara "menggadaikan" suara rakyat kepada anggota DPRD, selain dianggap tidak mempunyai legimitasi sosial secara kolektif (dukungan masyarakat mayoritas), proses pemilihannya pun senantiasa

diwarnai praktik-praktik politik uang (money politics), dan pada akhimya

menghasilkan para pemimpin bermental korup. Bahkan, menurut pengamat politik dan hukum tata Negara Universitas Andalas, Padang, Dr. Saldi Isra, bahwa publik sudah muak dengan Kepala Daerah yang lahir atas hasil rekayasa petualang-petualang politik. Mereka mendambakan Kepala Daerah hasil pilihannya sendiri. Kepala Daerah milik rakyat (Kompas, 2004).

Di berbagai negara di dunia, terutama dalam praktik penyelenggaraan pemerintah lokal, domain Kepala Daerah sebenarnya dapat dipilih secara

langsung oleh masyarakat, juga dipilih oleh dewan (council) atau bisa pula

(13)

Kepala Daerah. Di banyak negara, mekanisme seperti itu jarang dijadikan topik-topik perdebatan, karena apa pun sistem yang dianut oleh mereka, sepanjang

fungsi-fungsi dari pemerintahan di daerah (protective, public services, dan

development) dapat dilaksanakan secara optimal dan dirasakan manfaatnya oleh

masyarakat luas, maka sistem pengisian jabatan Kepala Daerah tersebut

bukanlah menjadi isu utama (grand issue).

Namun, jauh berbeda dengan di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah langsung di negeri ini justru menjadi diskursus menarik dan menyedot banyak perhatian

masyarakat dalam ruang publik (public sphere) saat ini. Pilkada secara langsung

merupakan bentuk darii demokrasi lokal yang merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat signifIkan. Terlebih lagi dalam koridor Pemerintahan Daerah

(local government). Demokrasi lokal di Indonesia, merupakan peluang

(opportunity) bagi Pemerintahan Daerah untuk mengembangkan hubungan yang

sinergis dengan rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menciptakan kehidupan politik yang lebih berkualitas. Oleh karena demokrasi mensyaratkan keterlibatan masyarakat secara mandiri dalam setiap proses pengambilan keputusan atas kebijakan pembangunan, maka syarat itu hanya dapat dipenuhi dengan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan dan merumuskan sendiri kebutuhannya, termasuk dalam hal

pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Wujud tertib politik

demokratis secara sederhana dapat dirumuskan sebagai pemerintahan yang dibentuk oleh, dari dan untuk rakyat (putra, 1999).

Adapun untuk mengamati ada tidaknya demokrasi, diwujudkan dalam suatu pemerintahan negara (pemilu termasuk Pilkada langsung) sebagai arus balik demokrasi. Paling tidak, pendapat Robert Dahl (dalam Gaffar, 1996), bisa

dijadikan dasar. Dahl mengistilahkannya dengan democratic political order.

Prasyaratan yang harus dipenuhi dalam kerangka demokrasi secara empirik

antara lain, pertama, akuntabilitas politik (political accountability), di mana dalam

demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak dan telah ditempuhnya.

Artinya, ada kontrak sosial (social contract). Bahkan, tidak hanya itu. Ucapan,

kata-kata (statement), juga harus dipertanggungjawabkan. Demikian pula halnya

dengan perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalaninya, tidak hanya secara pribadi, tetapi juga menyangkut keluarganya.

Kedua, rotasi kekuasaan (rotation of power). Bahwa dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dalam

kondisi damai dan beradab. Ketiga, rekrutmen politik yang terbuka. Artinya,

dalam rangka rotasi kekuasaan itu, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat, mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut (Yana, 2006).

(14)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, meliputi pemilihan gubernur, bupati, maupun walikota di seluruh Indonesia.

Proses demokrasi lokal ini berjalan terus. Pada akhir 2008, seluruh Kepala Daerah diharapkan sudah terpilih langsung oleh konsitituennya. Kondisi ini, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008), secara otomatis akan mengubah peta politik Indonesia, dan mengubah dinamika politik nasional ke arah pemerintahan yang lebih akuntabel dan demokratis.

"Ini merupakan capaian sejarah yang fundamental dalam kehidupan berbangsa. Yang penting dicatat, semua pelaksana Pilkada dilakukan secara efektif, efisien, damai, dan tertib tanpa menimbulkan gejolak yang berarti," jelas Presiden

Yudhoyono (www.presidensby.info. 2008). Jadi, sangatlah wajar jika capaian ini

sangat disyukuri. Apalagi, jika melihat krisis politik, sosial, dan finansial global yang terjadi di berbagai penjuru dunia dewasa ini, di antaranya karena transisi demokrasi yang tidak berjalan dengan baik.

Ke depan, agar kehidupan demokrasi di Indonesia ini makin berkualitas, Presiden Yudhoyono (2008) mengharapkan, supaya seluruh komponen bangsa terus mengembangkan kehidupan demokrasi yang beretika dan taat pada aturan main. Tanpa etika, persaingan politik lewat pilkada langsung tersebut tidak akan berjalan secara sehat, bahkan dapat merusak sendi-sendi negara dan bangsa.

Penyelenggaraan Pilkada langsung selama ini, pada umumnya berjalan relatif baik, bisa dicapai karena adanya upaya yang terus-menerus dilakukan pemerintah dalam memperbaiki mekanisme pelaksanaannya, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kelemahan yang ada.

Mekanisme baru Pilkada langsung ini, seperti ditulis Republika (2005). adalah bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar menjadi impian rakyat kebanyakan, yaitu pemimpin yang kuat, jujur, bersih, dan dapat memberikan

pelayanan secara prima (philosopher-king), dalam rangka menuju cita-citanya,

hidup di bawah payung keadilan dan kemakmuran.

Sejatinya, dari perspektif politik dan pemerintahan, penyelenggara Pilkada langsung tersebut memang akan memberikan ruang bernapas yang lebih longgar bagi partisipasi otonom masyarakat (Mallarangeng, 2004). Pilkada langsung yang semestinya memiliki makna mendalam, amat berarti karena dapat

menjadi ajang bagi penguatan civil society, yang menentukan Kepala Daerah

tidak lagi menjadi urusan dominan aktor tunggal political society, dalam hal ini adalah partai politik dan lembaga legislatif (Utomo dkk, 2005; lrtanto, 2008).

Mubarok (2005) menjelaskan, secara teoritis, sistem Pilkada langsung

dipersepsikan akan memberikan sejumlah keuntungan. Pertama, konkritisi

demokrasi. Proses Pilkada akan memenuhi kaidah proses demokratisasi di dua level, yakni struktural dan kultural. Di level struktural, lebih beradab karena melibatkan partisipasi publik yang semakin meluas. Sementara di level kultural, proses Pilkada ditengarai akan memberikan keleluasaan bagi merembesnya

nilai-nilai transparansi, independensi, dan kejujuran. Kedua, ada kemungkinan

kekerasan terhadap proses dan kekerasan terhadap data terkurangi. Ketiga,

(15)

dari Pilkada langsung, seperti kata Afiti (2005). adalah lahirnya pemimpin yang mengenal konteks lokal dan bertanggungjawab langsung pada rakyatnya. Asumsinya adalah bahwa rakyat hanya akan memilih orang yang mereka kenaI dengan baik. Pemilihan langsung juga mengharuskan seorang calon yang ingin menang harus paham benar konteks sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat setempat.

Pilkada langsung juga dianggap lebih demokratis, dengan dua pertimbangan.

Pertama, Pilkada langsung memberikan kesempatan yang lebih luas untuk

tampil atau terpilihnya Kepala Daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas

masyarakat. Kedua, dengan Pilkada langsung, maka stabilitas pemerintahan

lebih terjaga, berhubung Kepala Daerah yang terpilih tidak mudah dijatuhkan oleh DPRD (Huda, 2005).

F. Alasan Pilkada Langsung

Masyarakat berharap, memilih pemimpin dengan sistem pemilihan langsung tentunya untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi dari produk pemilihan Kepala Daerah dengan sistem perwakilan. Artinya, Kepala Daerah terpilih - sebagai produk dari Pilkada langsung yang dihasilkan, kiranya bisa memberikan perubahan dalam pengelolaan pemerintahan di daerah yang

mengarah pada praktik-praktik pemerintahan dengan tata kelola yang baik (good

governance), dan diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan mendasar

yang dihadapi masyarakat dalam hal pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, akses pada sumber-sumber ekonomi, serta keamanan dan ketentraman hidup (La Ode, 2006) .

Pemilihan Kepala Daerah langsung, sesuai amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU Nomor 12 Tahun 2008, sangat berbeda dimensi praksisnya dengan pemilihan Kepala Daerah sebelumnya. Menurut Awang Faroek (2006), Pemilihan Kepala Daerah secara langsung diharapkan akan membawa banyak manfaat terhadap perkembangan demokrasi di tanah air, tatanan Pemerintahan Daerah, dan kinerja institusi yang ada di daerah. Hingga akan bisa menjawab tiga harapan mendasar yang dibutuhkan bangsa ini, yang dijabarkan berikut ini:

Pertama, menghidupkan demokrasi di aras lokal dimana diharapkan aspirasi dan

kesejahteraan rakyat langsung tertangani dengan baik oleh Kepala Daerah terpilih. lni berbeda dengan pemilihan Kepala Daerah masa lalu di mana Kepala Daerah terpilih justru lebih loyal kepada partai politik.

Kedua, pengelolaan dari penataan Pemerintahan Daerah (local democratic

govemance) semakin baik dan sejalan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat banyak, yang berbeda dengan pemilihan Kepala Daerah masa lalu di mana keinginan rakyat mendapatkan pemerintahan yang bersih telah terdistorsi.

Ketiga, mendorong bekerjanya intuisi-intuisi lokal, sebab melalui pemilihan Kepala Daerah langsung diharapkan institusi politik lokal dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan harapan rakyat.

(16)

melihat pelbagai distorsi dan paradoks yang menyertai pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah langsung, seperti: (1) Terjadinya konflik, (2) Maraknya praktik

politik uang (money politics), (3) Black campaign, serta (4) Banyaknya kandidat

yang miskin program.

Sementara itu, Sayuti Una (2004) menjelaskan, paling tidak terdapat tiga alasan mendasar kenapa pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan suatu keharusan guna mencari solusi mencapai keseimbangan dalam distribusi

kekuasaan Pemerintah Daerah, yakni alasan secara yuridis, empiris dan politis.

Pertama, alasan secara yuridis. Sebenarnya, UUD 1945 yang sudah

diamandemen, punya keinginan kuat untuk melaksanakan pemilihan langsung terhadap pemegang jabatan lembaga-lembaga kekuasaan, khususnya yang bersentuhan langsung dengan konsep kedaulatan rakyat. Lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan lembaga eksekutif (presiden dan wakil presiden), sudah dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu pemilu. Karena itu, Kepala Daerah (gubernur, bupati/walikota), seyogyanya juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Ekspektasi ini kemudian diakomodir dengan lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (direvisi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008), di mana salah satu bagiannya memuat pasal tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung.

Kedua, alasan secara empiris. Pertanyaannya, mengapa Kepala Daerah harus

dipilih secara langsung? Karena melihat implementasi pemilihan Kepala Daerah selama ini cenderung meninggalkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Pada era sebelumnya, Orde Lama – lebih khususnya Orde Baru – proses penentuan Kepala Daerah menjadi wewenang pemerintah pusat (baca: eksekutif) sepenuhnya. Konsekuensinya, mengutip Padmo Wahjono (1985), Kepala Daerah tidak ubahnya bagai robot yang bisa seenaknya "dikendalikan" kemana saja sesuai dengan kemauan pihak pemerintah pusat. Padahal, kepentingan pusat belum tentu sama dengan kepentingan rnasyarakat di daerah, juga bertentangan dengan asas persamaan kedudukan rakyat di dalam hukum (equality before the law),serta asas keadilan yang merata. Sebab, praktik-praktik seperti itu dapat menghilangkan kesempatan bagi warga negara yang memenuhi syarat secara umum untuk menduduki jabatan publik.

Sedangkan, praktik-praktik yang terjadi di era reformasi – sebelum lahir sistem pemilihan Kepala Daerah langsung digelar pola-pola dan bentuknya tak jauh berbeda dengan era sebelumnya. Hanya saja di era ini, Kepala Daerah berada di bawah bayang-bayang kekuatan DPRD, karena lembaga inilah yang "menentukan" jadi atau tidaknya seseorang menduduki jabatan Kepala Daerah.

Praktik-praktik money politics dan pemecatan sejumlah Kepala Daerah dapat

dijadikan indikasi kuat adanya dependency Kepala Daerah terhadap DPRD.

Profesor Amzulian Rifai (2003) misalnya, pernah mengumpulkan catatan dari

beberapa LSM tentang terjadinya money politics dalam pentas pemilihan Kepala

(17)

pemilihan Bupati Pati, Jawa Tengah (2001-2006). Bahkan, kalau kita mau jujur, nyaris semua pemilihan Kepala Daerah pada era reformasi – khususnya

sebelum Pilkada langsung, - tidak luput dari adanya praktik-praktik money

politics. Jelas sekali praktik-praktik ini bertentangan dengan hukum, yakni tentang adanya larangan untuk melakukan korupsi dan kolusi. Pertanyaannya, jika hukurn saja gampang dilangkahi, lalu bagaimana dapat diciptakan rasa

keadilan? Padahal, hukum itu sendiri sebenamya adalah keadilan (ius quia

iustum).

Jadi, secara empiris sudah dapat dicerna bahwa pemilihan Kepala Daerah yang ditentukan sepenuhnya, baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh DPRD, dalam praktiknya ternyata menimbulkan ekses-ekses negatif, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Dengan kata lain, pada praktiknya yang terjadi adalah perilaku-perilaku yang berbentuk pelanggaran karena adanya dominasi kekuasaan.

Ketiga, alasan politis, yakni untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan

berdasarkan dukungan mayoritas rakyat setempat, atau seperti dikatakan Syaukani H.R., Afan Ghaffar dan Ryaas Rasyid (2002), sebagai bentuk upaya untuk melaksanakan demokrasi dan demokratisasi di daerah. Dukungan kuat dari rakyat setempat menjadi urgen dalam menjalankan pemerintahan, karena menurut konsep kedaulatan rakyat – seperti dianut di Indonesia – rakyatlah sebenarnya pemegang kedaulatan tersebut. Dalam hal ini, rakyatlah yang mengambil keputusan tertingi dan rakyat jua paling berwenang menentukan siapa yang menjadi wakilnya (di DPR, DPD, DPRD) serta siapa figur Kepala Daerah yang layak dipilih untuk mengendalikan jalannya Pemerintahan Daerah (gubernur, bupati/walikota).

G. Pilkada Langsung dan Kualitas Demokrasi

Sebenarnya, pemilihan Kepala Daerah langsung hanya sebagian keeil dari peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Ia tidak dengan sendirinya

menjamin (taken for granted) bagi peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri.

Demokrasi di tingkat lokal sangat membutuhkan berbagai persyaratan, khususnya bagi masyarakat (para pemilih) itu sendiri sebagai pemilik tertinggi kedaulatan di negeri ini. Bahkan, sangat disayangkan, - karena tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, belum terbiasa untuk aktif berpartisipasi,

cenderung emosional (irrational) dalam proses politik – mereka juga sangat

mudah dimanipulasi, baik secara simbol maupun secara material yang kemudian sangat menjauhkan mereka dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

(18)

cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya (Yana, 2006). Pelaksanaan pemilihan bisa saja bervariasi, namun intisarinya tetap sama untuk semua masyarakat demokratis, yakni akses bagi semua warga negara yang memenuhi syarat untuk mendapat hak pilih, perlindungan bagi tiap individu terhadap pengaruh suara, dan penghitungan yang jujur dan terbuka terhadap hasil akhir pemungutan suara.

Selain itu, demokrasi juga mensyaratkan keterlibatan masyarakat secara mandiri dalam setiap proses pengambilan keputusan atas kebijakan pembangunan. Syarat tersebut hanya dapat dipenuhi dengan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan dan merumuskan sendiri kebutuhannya. Hal ini didasarkan pada asumsi, bahwa kebutuhan masing-masing kelompok masyarakat beragam, dengan sendirinya kebutuhan pembangunan pada masing-masing daerah juga akan berbeda-beda.

Ada dua hal yang menjadikan proses pembangunan itu dapat berlangsung.

Pertama, terwujudnya tertib politik demokratis yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai pemerintahan yang dibentuk oleh, dari, dan untuk rakyat.

Kedua, rekrutmen politik dengan pemilihan umum (general election) yang

berdasarkan pada prinsip langsung, umum, bebas, rahasia,jujur dan adil (Kristiadi, 1999).

Dalam kerangka seperti inilah, mekanisme pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, sesungguhnya menjadi momentum untuk mempertegas aura optimisme dalam bingkai pengembangan dan penumbuhan demokrasi. Pilkada langsung, mau tak mau meletakkan aspirasi publik sebagai bagian awal dalam pengembangan dan penumbuhan demokrasi, yang lahir dari realitas bawah. Realitas arus bawah sering kali dianggap suatu bentuk pengejawantahan dari aspirasi publik yang riil, karena dianggap sebagai parameter dari pengembangan dan penumbuhan demokrasi.

Terlepas dari kenyataan bahwa demokrasi bisa dipandang secara berbeda,

sebenarnya ada unsur-unsur dasar atau family resemblance yang membuat

sebuah sistem dapat disebut demokratis. Ada baiknya sebelum melihat realitas Pilkada langsung, pemikiran Robert A. Dahl dalam bukunya Polyarchy:

Participation and Opossition, dapat dijadikan pijakan awal dalam membaca peta

demokrasi. Dahl melihat, bahwa sebuah rezim politik dapat dianggap demokratis

jika : Pertama, menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas. Kedua,

mengembangkan pola kehidupan politik yang kompetitif. Ketiga, memberi

perlindungan terhadap kebebasan masyarakat atau civil liberties (Zein, 2004;

Yana, 2006).

Mengikuti cara berpikir yang dikembangkan Dahl tersebut, Juan Linz juga mengajukan pengertian demokrasi yang lebih ketat. Menurut Linz, sebuah sistem

politik baru bisa dikatakan demokratis jika: Pertama, memberi kebebasan bagi

masyarakatnya untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka, melalui

jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi. Kedua, memberikan

kesempatan bagi warganya untuk bersaing secara teratur, melalui cara-cara

(19)

politik yang ada (Zein, 2004). Dari pikiran Robert A. Dahl dan Juan Linz tersebut, dapat diambil satu konklusi awal, bahwa demokrasi menghendaki adanya beberapa unsur dan tuntutan, sebelum pemerintahan baru yang disebut demokratis tercipta.

Idealnya, pemilihan Kepala Daerah secara langsung memberikan kontribusi positif dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan lokal yang otonom dan demokratis, namun secara empiris tidak menutup kemungkinan potensi masalah

– dana pilkada, korupsi politik (political corruption) juga termasuk konflik politik –

dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung akan

bermunculan, dimulai dari masa persiapan sampai dengan pasca penetapan hasil. Demikian juga masalah bisa muncul dari unsur penyelenggara sampai pada pasangan calon dan partai politik yang mengusungnya.

Kepustakaan

Ateng, Syarifudin H., Kepala Daerah, Jakarta: PT. Citra Aditya Bhakti, 1994.

Cros, C. Joseph, Leadership For The Twenty First Century, New York: One

Madison Avenue, 1991.

Dwijowito, Riant Nugroho, Reiventing Pembangunan, Jakarta: PT Elex Media

Komputindo, 2003

G.M., Sidarta, Strategi Pemenangan dan Pemilihan Langsung, Jakarta: Kalam

Indonesia, 2008.

H.R., Syaukani, Gaffar, Afan, dan Rayid, Ryaas, Otonomi Daerah dalam Negara

Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Ishak, Awang Faroek, Visi Misi dan Strategi KALTIM Bangkit, 2008.

Kaloh, J., Kepala Daerah, Pola, Kegiatan, Kekuasaan dan Perilaku Kepala

Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2003.

, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002

Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan

Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: Pustaka Cidessindo, 1996.

Karim, Sarbinnor, et.al., (editor), Awang Faroek Ishak di Mata para Sahabat Edisi

2, Jakarta: Indomedia, 2008.

, 60 Tahun Kiprah dan Pengabdian Awang Faroek Ishak,

Mentradisikan Karya Terbaik, Jakarta: Indomedia, 2008.

Karim Abdul Gafar (editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP, UGM, Yogyakarta, 2003.

Kotter, P.John, The General Manager, New York: A Dvision of Macmillan

Publishing Co. Inc., 1982.

(20)

Person Others Will Want to Follow, Nashville, TN: Thomas Nelson, 1998.

Moeljono, Djokosantoso, Beyond Leadership, 12 Konsep Kepemimpinan,

Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003.

Nugroho D., Riant., Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi,

Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004.

Pamudji, S., Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara,

1985.

Pierre, John, dan B. Guy Peters, Governance, Politics, and The State, London:

MacMillan, 2000.

Ratnawati, Tri, Masalah Kinerja dan Akuntabilitas Kepala Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah di Era Otonomi Daerah dalam Desentralisasi

dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005.

Rifai Amzulian, Poilitik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2003.

Riwu Kaho, Josef, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,

Jakarta: PT Raja Grafido Persada Cetakan Keenam, Maret 2002.

Sarundajang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1996.

Sujamto, Perspektif Otonomi Daerah, Jakarta: Rinneka Cipta, 1990.

Sumodiningrat, Gunawan, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan

Masyarakat, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1998.

Suradinata, Ermaya, Kepemimpinan Daerah dan Nasional, Membangun Daerah

Menuju Indonesia Bangkit, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2008.

Staples, Walter Doyle, Think Like a Winner (Berpikir sebagai Pemenang),

Jakarta: Pustaka Tangga, 1994.

Smith, BC., Decentralization, The Territorial Dimension of The State, London:

George Allen & Unwin, 1985.

Stogdill, M. Ralp, Handbook of Leadership: A Survey of Theory and Research,

New York: The Free Press, 1974.

Tjokroamidjojo, Bintoro, Perencanaan Pembangunan, Jakarta: PT Penerbit

Gunung Agung, Cetakan Keenam, 1983.

Tumer, Mark, and Hulme, David, Governance, Administration and Development,

London: MacMillan Limited Press, 1997.

Una, Sayuti, Pergeseran Kekuasaan Pemerintah Daerah Menurut Konstitusi

Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Wrihatnolo, Randy R., dan Riant Nugroho D., Manajemen Pembangunan

Indonesia sebuah Pengantar dan Panduan, Jakarta: Elex Media

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri siswa kelas VII VII MTs Negeri Pakem Sleman Yogyakarta

sebagai usaha untuk melahirkan manusia yang berkualitas. Untuk menjawab kebutuhan akan mutu dari sebuah pendidikan, perlu adanya usaha dan upaya agar mutu

diperIuth:arrr rranrLtn itLr saja tidal,:, ctthttp sttatlt t':onsep yang. jelas dan terarah serta pendel':atan yang bail.: amat

Penyebab kesalahan diakibatkan karena (1) kurangnya siswa dalam memahami terhadap konsep dasar pecahan senilai (2) kurang teliti dalam menghitung (3) kurang teliti dalam

Estimasi Asupan Energi Dengan Metode Food Frequency Questionnaire (FFQ), Food Records dan Recall 24 Jam pada Anak Sekolah Dasar di Kota Palu Provinsi Sulawesi

Bu araştırma kapsamında çevre eğitimi konulu okul öncesi döneme uygun resimli çocuk kitaplarının çevre ile ilgili hangi konuları kapsadığı ve kitapların çevre eğitiminin

Prinsip Islam menekankan bahwa setiap aktivitas manusia diukur dengan fahala dan dosa, setiap yang berfahala tentu mengandung nilai ibadah, sementara ibadah manusia dalam