• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN HAN . doc x

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAHAN HAN . doc x"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Pada dasawarsa terakhir ini, para pakar mencari penyebab keberhasilan pembangunan pada good governance. Secara embronial, hal ini telah tertera dalam karya Simons Kuznets, dengan menggunakan istilah governance. Namun para pakar lain seperti M. Adhil Khan dan World Bank secara spesifik menegaskan peranan good governance dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan sangat urgen dan signifikan.

Sebagai salah satu lingkup organisasi dalam sistem kepemerintahan Indonesia maka Kabupaten Bangka telah berupaya mewujudkan good governance dan terus meningkatkan pencapaian good governance pada masa mendatang (in the future).

Tulisan ini memfokuskan perhatiannya (focus of interest) pada pengkajian implementasi good governance dalam konfigurasi baru (new era configuration) yang sedang dalam proses dan perencanaan masa datang (planning to the future) seiring kelahiran orde reformasi (reform era). II. PEMBAHASAN

II. Tinjauan Konsep Good Governance

Dari segi administrasi pembangunan, good governance didefinisikan sebagai berikut:

An overall institutional framework within wich its citizens are allowed to interact and transact freely, at difference levels, to fulfil its political, economic and social apirations. Basically, good governance has three aspect:

(i) The ability of citizens to express views and acces decision making freely;

(ii) The capacity of the government agencies (both political and bureaucratic) to translate these views into realistic plans and to implement them cost effectively; and

(iii) The ability of citizens and institutions to compare what has been asked for with what has been planned, and to compare what has been planned with what has been implemented".

Sedangkan dari segi teori pembangunan, good governance diartikan sebagai berikut:

" ... a plitical and bureaucratic framework wich provides an enabling macra-economic environment for investment and growth, which pursues distributional and equity related policies; which makes entrepreneurial interventions when and where required and which practices honest and afficient management principles. A commited and imaginative political leadership accompanied by an efficient and accountable bureaucracy does seem to be the key to the establishment of good governance in a country."

(2)

Jika mengacu pada World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik (public sector) adalah menciptakan good governance. Pengertian good governance adalah kepemerintahan yang baik, menurut UNDP (United Nation Develepment Program) dapat diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

UNDP memberikan beberapa karekteristik pelaksanaan good goverance, meliputi:

Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.

Tranparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebbasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.

Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stake holders.

Concensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat luas

Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperleh kesejahteraan dan keadilian.

Efficiency dan effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).

Accountbility, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.

Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat memiliki visi jauh ke depan.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah posisi strategis biriokrasi dalam mewujudkan good governance yang merupakan suatu conditio sine a qu non bagi keberhasilan pembangunan. Karenanya profesionalisme birokrasi merupakan persayaratan (prerequiste) mutlak untuk dapat mewujudkan goodgovernance tadi.

(3)

1. Failure to make a clear separation between what is public and what is private, and hence a tendency to divert public resources for private gain.

2. Failure to establish a predictable framework of law and government behavior conducive to development, or or arbitrariness in the application of rules and laws.

3. Excessive rules, regulations, licensing requirement and so forth which impede the functioning of markets and encourage rent seeking.

4. Priorities inconsistent with development, resulting in misallocation of resources. 5. Excessively narrowly based or non-transparant decision making.

Kiranya tidak terlalu sukar mengungkapkan kasus konkret di Indonesia yang mewakili bad governance tersebut.

II. Implementasi Good Governance

II.A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Good Governance

Untuk dapat melaksanakan tugas (task) pencapaian good governance dengan baik, ada beberapa faktor dan syarat yang perlu mendapat perhatian, (concern) Yaitu:

1. Faktor Manusia Pelaksana (Man)

Berhasil atau tidaknya pelaksanaan good governance sebagian besar tergantung pada pemerintah daerah (local govt) yang terdiri dari unsur pimpinan daerah, DPRD. Disamping itu terdapat aparatur atau alat perlengakapan daerah lainnya yaitu para pegawai daerah itu sendiri.

2. Faktor Partisipasi Masyarakat (public partisipation)

Keberhasilan penyelenggaraan good governance juga tidak terlepas dari adanya partisipasi aktif anggota masyarakat (public participation). Masyarakat di daerah baik sebagai sistem maupun sebagai individu merupakan bagian integral yang sangat penting dalam sistem pemerintah daerah. Salah satu wujud dari rasa tanggungjawab masyarakat terhadap pencapaian good governance adalah sikap mendukung terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

Adapun wujud partisipasi aktif masyarakat antara lain:

a. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan (decision making); b. Partisipasi dalam pelaksanaan (actuation participation);

(4)

3. Faktor Keuangan Daerah (funding or budgeting)

Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan. Dengan kata lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dlam mengukur tingakt pencapain good governance. Ini berarti bahwa penerapan dan pencapaian good governance di daerah/lokal membutuhkan dana/finansial.

4. Faktor Peralatan (tools)

Faktor peralatan juga tergolong penting dalam pelaksanaan dan pencapaian good governance. Dalam pengertian ini peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar dan mempermudah pekerjaan gerak dan activitas pemerintah dalam upaya pencapaian dan perwujudan good governance.

5. Faktor Organisasi dan Manajemen (organization and management)

Faktor kelima yang mempengaruhi pelaksanaan good governance adalah faktor organisasi dan manajemen (meliputi fungsi manajemen: POAC (planning, Organizing, actuating dan controlling/POSCORB: Planning, Organizing, Staffing, Coodinating, ). Agar pencapaian good governance dapat terwujud maka diperlukan adanya organisasi dan manajemen yang baik pula.

III. Implementasi GoodGovernance di Kabupaten Bangka II.A. Pelayanan Publik

Untuk menilai kinerja pelayanan publik, ada beberapa indikator yang dipergunakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka, diantaranya adalah keadilan dan persamaan pelayanan, Kepastian waktu dan biaya, responsivitas dan rente birokrasi. Dengan menggunakan serangkaian indikator ini pemerintah Kabupaten Bangka memotret kinerja pelayanan publik (public service performence) yang akan diselenggarakan oleh Aparatur pemerintah Daerah Kabupaten Bangka. Dengan pemotretan kinerja pelayanan publik diharapkan observasi terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan dapat diwujudkan di Daerah Kabupaten Bangka.

Equity (Keadilan)

(5)

Dalam era otonomi daerah, keadilan dalam bidang pelayanan publik menjadi aspek utama perhatian pemerintah Kabupaten Bangka dalam menggunakan kewenangannya untuk membuat pelayanan publik menjadi semakin mudah diakses oleh kelompok marginal, seperti: penduduk miskin, perempuan dan pendatang dan bagi masyarakat etnis lainnya.

Temuan di lapangan menunjukkan belum ditemukannya berbagai keluhan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja pelayanan publik oleh pemerintah.

Selain itu sikap diskriminatif terhadap kaum miskin dapat dihilangkan dengan upaya pemerintah daerah Kabupaten Bangka dengan menerapkan kebijakan pemberian pengobatan gratis dalam bidang kesehatan berupa program JKSS (Jaminan Kesehatan Sepintu Sedulang) dan SPP gratis bagi golongan yang tidak mampu dalam bidang pendidikan selain program yang diberikan oleh pemerintah pusat.

Responsivitas

Responsivitas menjelaskan kemampuan pemerintah untuk mengenali kebutuhan, menyusun agenda dan prioritas dan mengembangkan program-program yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat (Hormon, 1995). Oleh karena itu, responsivitas menunjukkan pada keselarasan antara program dan kegiatan dengan kebutuhan masyarakat.

Untuk memperbaiki praktik penyelenggaraan pelayanan, pemerintah Kabupaten Bangka telah berupaya melakukan penyederhanaan sistem dan prosedur pelayanan dan secara proaktif melakukan strategi jemput bola dengan baik dengan memberikan informasi melalui internet dalam bidang pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti dalam pelayanan pembuatan KTP dan kartu keluarga dan lain sebagainya.

Untuk mendukung kinerja pelayanan publik, Pemerintah telah membentuk lembaga yang mampu memebrikan pelayanan publik secara cepat, murah dan tepat waktu. Relaisasinya dengan membangun Kantor UPTSP (Unit Pelayanan Terpadu satu Pintu). Pembentukan lembaga ini secara nasional dilatarbelakangi munculnya keluhan masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik yang lamban, mahal dan tidak transparan.

Dari sudut keluhan yang diajukan oleh masyarakat pengguna jasa dalam pelayanan telah direspon dengan baik melalui proses elektronicall dialogis (internet) tertulis maupun lisan. Publik dapat melakukan komunikasi dan feed back terhadap kebijakan pemerintah daerah baik dalam tataran perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Terhadap respon yang disampaikan oleh publik, pemerintah menyampaikan tanggapan ulang melalui media cetak maupun media internet. Komunikasi ini dibangun dalam rangka menjalin sinergitas antara pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.

(6)

 Efisiensi Pelayanan

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pelayanan diharapkan diatur dengan jelas. Pemerintah Kabupaten Bangka berupaya menentukan secara jelas mengenai lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pelayanan secara cepat. Hal ini dilakukan dengan bekerja semaksimal mungkin tanpa menunda waktu yang diperlukan dalam mengakses sebuah pelayanan.

Upaya yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan sertifikasi tanah secara massal melalui program Proda adalah bagian dari upaya mengurangi ketidakpastian waktu dan biaya dalam pensertifikasian tanah.

Perbaikan kinerja dalam pelayanan sertifiksi tanah diwujudkan juga dalam bentuk peningkatan kordinasi antar pemerintah kabupaten/ kota dengan pemerintah pusat untuk mencegah munculnya konflik pertanahan.

 Suap dan Rente Birokrasi

Dalam struktur hubungan antar pemerintah dengan warganya yang seperti itu, Pemerintah Kabupaten Bangka telah berupaya merancang praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan masyarakat dan pengguna jasa. Prosedur pelayanan publik dirancang untuk mempermudah akses warga dan melindungi kepentingan mereka. Oleh karena itu, prosedur pelayanan public berupaya mengatur keseimbangan kewajiban warga yang harus dipenuhi disertai dengan hak-hak warga yang dijamin oleh pemerintah. Dalam kondisi seperti itu, warga akan menghadapi kepastian ketika berhadapan dengan birokrasi pelayanan publik. Kedudukan mereka sangat kuat.

 Akuntabilitas

Akuntabilitas di Kabupaten Bangka di lakukan oleh DPRD terhadap program dan kebijakan pemerintah. Otonomi daerah menuntut juga keterlibatan yang tinggi dari masyarakat atau stakeholder (LSM, Porkot dll) baik dalam proses penyusunan kebijakan, pelaksanaan maupun pengawasan.

 Administrasi dan Perijinan Usaha dan Investasi

Didalam upaya meningkatkan pelayanan dalam bidang investasi terdapat ketersediaan program perijinan sebagai kelanjutan kebijakan desntralisasi. Disamping memberikan pelayanan perijinan, pemerintah Kabupaten Bangka juga memberikan pembinaan khususnya terhadap pengusaha kecil, pemberian bantuan dana dan peralatan. Biaya perijinan didasarkan pada perda Kab. Bangka dengan maksud memberikan kepastian waktu dan hukum serta peluang investasi secara mudah dagi investor.

(7)

Upaya pemberantasan KKN terkait dengan 2 aspek permasalahan, yakni tentang usaha yang telah dilakukan pemerintah daerah dan tentang persepsi stakeholders mengenai tingkat keseriusan dalam memberantas KKN. Dalam upaya pemberantasan KKN, pemerintah daerah mengutamakan upaya dalam bentuk :

 Perbaikan sistem pengawasan. Dalam upaya ini pemerintah daerah telah melakukan upaya dengan membentuk Kantor Bawasda yang memiliki kewenangan dan tugas untuk mengawasi kinerja terhadap penyalahgunaan wewenang dan jabatan (KKN) yang dilakukan oleh pejabat birokrasi. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan informasi di media massa kepada publik tentang berbagai kasus penyalahgunaan jabatan yang melibatkan para pegawai di lingkungan instansi pemerintah secara internal. Keterbukaan untuk mengekspos berbagai praktik tersebut seperti KKN, penyimpangan dana proyek, JPS, KUT, dan RASKIN.

Selain itu pemerintah daerah Kabupaten Bangka telah membentuk Komisi Ombudsman Daerah (KOD) di Kabupaten Bangka. Kabupaten Bangka merupakan 9 (sembilan) dari pemerintah daerah di Indonesia yang memiliiki dan membentuk Komisi Ombudsman. Hal ini membuktikan adanya komitmen yang besar pemerintah daerah dalam upaya memperbaiki kinerja pelayan publik dalam melaksanakan tugas secara professional.

Dalam upaya mengawasi tingkat kedisiplinan para pegawai dalam mematuhi peraturan, dalam skala tertentu dan secara periodik, pimpinan daerah juga melakukan inspeksi mendadak ke seluruh bagian untuk mengawasi kerja dan kinerja para pegawai secara tanpa terjadwal.

 Perbaikan etika moral pegawai. Persoalan moralitas pegawai merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam upaya memperbaiki mentalitas pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Upaya pemerintah daerah dalam hal ini dilakukan dengan memberikan pengarahan pada setiap acara apel pagi, pelatihan dan bimbingan rohani kepada para karyawan dilingkungan pemerintah daerah pada setiap akhir pekan.

 Pemberian peringatan. Dalam rangka mengawasi dan menindaklanjuti terhadap pelanggaran hukum dan kedisiplinan pegawai dalam menjalankan tugasnya pemerintah daerah telah memiliki seperangkat aturan yang jelas sebagai dasar hukum untuk memberikan sangsi kepada pegawai. Pemberian sangsi diterapkan dalam kerangka kualitas dan kuantitas pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat maupun staf. Jenis peringatan yang dilakukan terhadap pelanggaran berupa pemberian teguran lisan. Kemudian bila teguran secara lisan belum memberikan perbaikan bagi pegawai dalam pelanggaran hukum maupun disiplin maka akan diberikan sangsi secara administratif berupa teguran tertulis bahkan sampai dengan sangsi penurunan pangkat bahkan pemberhentian secara tidak hormat dari jabatan.

IV. Beberapa Permasalahan Mewujudkan Good Governance di Kabupaten Bangka

(8)

 Sebagian masyarakat tidak cukup pengetahuan terhadap resiko yang akan ditanggung sesudah ditandatanganinya sebuah dokumen.

 Pengetahuan sebagian masyarakat terhadap hak-haknya yang melekat pada dirinya baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat masih sangat terbatas.

 Masalah yang lebih mendasar adalah karena faktor budaya yang sebagai bagian dari bangsa yang cukup lama terjajah yang selalu berada dalam posisi dibawah, sebagian masyarakat tidak tahu bahwa dia memiliki hak yang cukup untuk mendapatkan pelayanan dan mendapatkan produk yang telah dia bayar. Disisi lain para operator dan produsen yang bergerak dibalik kekuasaan pemerintah pada umumnya juga kurang memiliki pengetahuan yang cukup terhadap hak-hak konsumen.

V. Strategi dan Upaya Mewujudkan Good Governance di Kabupaten Bangka

Pengalaman di Kabupaten Bangka menunjukkan secara umum telah terselenggaranya pelayanan publik secara maksimal. Namun demikian, diperlukan konsep penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih optimal pada masa yang akan datang bagi peningkatan ke arah yang lebih baik dalam menciptakan good governance. Di masa mendatang, berbagai saran konstruktif dan inovatif yang disampaikan oleh masyarakat telah mulai ditampung untuk dijadikan feedback bagi pembenahan mekanisme penyelenggaraan palayanan publik. Penggunaan sarana sebagai referensi perbaikan pelayanan publik mengandung unsur telah dilibatkannya masyarakat di Kabupaten Bangka dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Cara ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang telah dirancang bagi akses masyarakat dengan pemerintah daerah seperti penggunaan jaringan internet, media massa local dan lain sebagainya.

Agenda lain yang menjadi perhatian dan terus dipertajam oleh birokrasi pemerintah daerah Kabupaten Bangka adalah mengenai cara pandang terhadap masyarakat yang tidak hanya sebagai costumer. Tetapi masyarakat dipandang sebagai dalam kerangka citizenship. Dalam konsep ini masyarakat tidak hanya dipandang sebagai pengguna jasa, tetapi juga mempunyai peran strategis sebagai penentu keberlangsungan penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat dilibatkan sebagai bagian dari stakeholders. Inilah aspek lain yang belum terselenggara dalam pelayanan publik. Adanya kesepakatan antara pengguna jasa dan provider akan memberikan kepastian mengenai prosedur, waktu dan biaya pelayanan.

Untuk mewujudkan good governance di lingkungan birokrasi ada beberapa hal yang perlu dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Bangka dalam aspek pemberdayaan birokrasi local, mencakup:

(9)

2. Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi, akan tetap mampu melakukan terobosan (break through) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif.

3. Mempunyai wawasan futuristik dan sistemik.

4. Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan dan meminimalkan risiko.

5. Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang-peluang baru.

6. Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resources mix yang mempunyai produktivitas tinggi.

7. Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas terendah menuju kegiatan yang yang berproduktivitas tinggi.

8. Mengkonversikan setiap demand yang ada di masyarakat dan pasar menjadi kebijakan yang senantiasa mengedepankan peran masyarakat.

9. Mengkonsepsikan setiap respon dan demand dalam masyarakat ke dalam berbagai agenda kebijakan publik dan mengimplementasikannya secara konsekuen.

10. Melakukan harmonisasi terhadap demand yang muncul dalam masyarakat agar terciptan kondisi yang seimbang terhadap kompleksitas kepentingan.

Untuk mewujudkan profesionalisme birokrasi tersebut diatas, perlu dilakukan beberapa langkah dan strategi sebagai berikut:

1. Role Modelling. Sebagaimana disebutkan di atas, standar perilaku dan pola perilku birokrat terbentuk antara lain melalui keteladanan. Oleh karena itu sikap smartan elit akan amat menentukan sosok profesionalisme birokrasi.

2. Rekruitment, kondisi kerja dan pelatihan. Proses rekruitmen yang objective, kondisi kerja yang kondusif dan pelatihan yang menggunakan metodik dan didaktik yang tepat merupakan wacana pembentukan profesionalisme yang efektif.

(10)

4. Pembentukan profesionalisme dapat dilakukan dengan penguatan organisasi (organizational strengthening) yang memfokuskan pada sistem manajemen untuk meningkatkan kinerja pada struktur mikro dan reformasi kelembagaan (institutional reform) yang memfokuskan pada struktur makro kelembagaan.

5. last but no least, pembentkan good governance memerlukan kontrol sosial dari masyarakat sipil melalui empowering masyarakat sipil. Hal ini menuntut mutual learning process antara birokrat dan masyarakat sipil.

Pengaruh Penegakkan Hukum terhadap Pelaksanaan Good Governance.

Ubi sociates ibi ius dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Hukum bukanlah suatu institusi yang statis, hukum berubah dari waktu kewaktu. Hukum berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakat. Munculnya konsep Rule of Law tidak secara tiba-tiba melainkan hasil dari beberapa proses perkembangan hukum didunia.

Saat ini negara-negara didunia termasuk Indonesia pada umumnya termasuk kedalam kategori hukum yang moderen.

Menurut Satjipto Rahardjo, modernitas mempunyai ciri-ciri:

1. Mempunyai bentuk tertulis.

2. Hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah negara.

3. Hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.

Hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat dapat diamati dari produk perundang-undang dan yurisprudensi. Pada negara yang menganut sistem hukum civil law system fungsi hukum ini akan terasa, karena dalam civil law system lebih menonjolkan peraturan perundang-undangan. Sehingga untuk mencapai pembahuruan dalam masyarakat yang mengarah pada terciptanya kesejahteraan diperlukan hukum yang baik sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat atau mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

(11)

ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks, dan reduksionistik.

Terciptanya hukum moderen erat kaitannya dengan pelaksanaan good governance. Untuk

melangkah kearah hukum moderen, perlu adanya pembenahan dalam pemerintahan melalui good governance. Good governance menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN) adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public good and service. Pinto mengartikan governance sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara yang mencakup asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

Konsep pemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud bila pemerintahan diselenggarakan dengan transparan, responsif, partisipasif, taat pada ketentuan hukum,

berorientasi pada konsensus, adanya kebersamaan, akuntabilitas dan memiliki visi yang strategis. Pemerintahan dikatakan baik jika tujuan bersama dijalankan dengan baik, memperhatikan proses pembuatan keputusan, menjalankan fungsi peraturan, kekuasaan dijalankan sebagaimana

mestinya dan lembaga yang teratur.

Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan demokrasi adalah adanya penegakkan hukum yang adil dan

dilaksanakan tanpa pandang buluh. Sebagai langkah awal penciptaan good governance adalah membangun sistem hukum yang sehat, baik perangkat lunak (soft ware), perangkat keras (hard ware), maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya (human ware).

Sumber daya manusia sebagai faktor penentu berhasil atau tidaknya pelaksanaan penegakkan hukum dalam konteks good governance, harus benar-benar memiliki kualitas ( Recrutmen ) .

Kualitas dalam hal ini ialah kualitas dari segi keilmuan dalam bidang law making dan law enfocement dengan cara:

 Menghilangkan kebijakan-kebijakan yang bermasalah dan orientasi parsial,

 Tidak dibenarkan untuk mendatangkan saksi ahli dari kalangan ahli/pakar hukum pada sidang pengadilan, karena asumsinya adalah para penegak hukum merupakan ahli/pakar dibidang hukum.

(12)

Tujuan penegakan hukum antara lain adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum yang juga merupakan salah satu asas umum penyelenggaraan negara. Setiap tindakan aparat hukum baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun upaya hukum, eksekusi dan eksaminasi harus selalu berpegang kepada aturan hukum yang juga merupakan ciri dari good governance.

Penegakkan hukum tidak hanya dimaksudkan untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap pelanggar hukum, penegakkan hukum juga dimaksudkan agar pelaksanaannya harus selalu berpedoman kepada tata cara atau prosedur yang telah digariskan oleh undang-undang dengan memperhatikan budaya hukum yang hidup di masyarakat terutama harus mampu menangkap rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Aparat penegak hukum juga dituntut untuk memperhatikan asas tertib penyelengaraan negara. Salah satu ciri penegakkan hukum yang baik tercermin dari tertib administrasi di dalam proses penegakkan hukum serta adanya keterpaduan dan keserasian antar aparat penegak hukum khususnya dalam sistem peradilan pidana yang dikenal dengan integrated criminal justice system.

Keterpaduan antar aparat penegak hukum tersebut tidak boleh disalahartikan sehingga hanya mengedepankan kerjasama antar aparat hukum saja yang dapat mengakibatkan terjadinya bias yang mengarah kepada tidak tertibnya administrasi atau bahkan dilanggarnya hukum.

Kerja sama antar aparat hukum dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakkan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. Dengan kata lain, keterpaduan dimaksudkan untuk terciptanya efektifitas dan efisiensi yang merupakan ciri lain dari good governance dengan tetap selalu memperhatikan hukum dan tertib administrasi.

Aparat penegak hukum yang juga merupakan bagian dari masyarakat luas dituntut untuk senantiasa memperhatikan Asas Kepentingan Umum. Aparat penegak hukum harus selalu peka dan aspiratif terhadap perkembangan masyarakat yang semakin sadar hukum dan kritis terhadap praktek hukum yang ada. Reformasi hukum sebagai salah satu dari agenda reformasi yang dituntut oleh masyarakat tidak hanya menghendaki adanya perbaikan pada materi atau peraturan hukum, melainkan juga peningkatan kinerja aparat penegak hukum.

Kepekaan aparat penegak hukum harus tergambar jelas pada pola perilaku dan profesionalisme serta kinerja aparat penegak hukum yang merupakan cerminan dari Asas Profesionalitas. Setiap aparat penegak hukum dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan dirinya baik secara teknis maupun akademis, karena hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari cepatnya perkembangan teknologi modern yang juga berpengaruh kepada perkembangan psikologi masyarakat modern.

(13)

Cari Contoh kasus yang mengarah kepada penyalahgunaan prosedur yang tidak berdasarkan aturan hokum atau undang – undang yang berlaku di Indonesia, kasus disangkut pautkan dengan peraturan yang berlaku pada daerahnya.

Contoh kasus nya harus final dan memiliki analisa.

Kasus sifatnya mengkerucut… dan tidak jauh dari AAUPB Pasal 28.

KONSEP DAN MEKANISME PELAYANAN PUBLIK DASAR

Oleh:

Slamet Luwihono

1. Pengantar

Dalam masa transisi otonomi daerah ini, kesejahteraan masyarakat hendaknya tetap menjadi acuan dalam merumuskan peran pemerintah. Perumusan ulang tentang peran pemerintahan meerupakan bagian dari reformasi sistem pemerintahan, selain penataan kelembagaan pemerintahan dari tingkat pusat sampai daerah. Dengan perumusan ulang tentang peran pemerintah, maka dapat dipetakan fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik, kerena salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik sudah barang tentu tidak dapat dilayani secara keseluruhan oleh pemerintah pusat dan untuknya perlu didistribusikan ke daerah. Dalam konteks yang demikian, sistem desentralisasi menjadi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi ini dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Dengan demikian otonomi bukanlah hanya pelaung tetapi sekaligus sebagai tantangan untuk menggapai kesejahteraan rakyat.

Dalam sistem otonomi daerah telah terjadi perpindahan sebagian kewenangan yang tadinya berada di pemerintahan pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga daerah otonom dapat lebih tanggap terhadap tuntuntan masyarakat berdasar kemampuan dan potensi yang dimiliki oelh masyarakat di daerah tersebut. Bangunan sistem dan kelembagaan menjadi penting dilakukan sebagai dasar merancang standard pelayanan publik yang optimal. Idealnya otonomi daerah memberi dampak nyata dalam peningkatan layanan oleh pemerintah kepada masyarakat. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah membuka peluang terjadinya penyelenggaraan layanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas dalam peningkatan layanan publik. Kemajuan teknologi juga diharapkan menjadi alternative terpenuhinya prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut hendaknya menjadi acuan dalam penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah di setiap tingkatan pemerintahan.

(14)

 “…. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan…”  “…. berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan…”

 “…. berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secar utuh sebagai manusia yang bermartabat; dan berhak mempunyai hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun…”

Untuk memenuhi hak warga negara tersebut Negara mempunyai kewajiban:

§ “…. mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan…”

§ “…. bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak…”

Berdasarkan desentralisasi pelayanan public, telah terjadi pembegian kekuasaan dan/atau wewenang untuk merencanakan, memutuskan, dan/atau mengelola fungsi public dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berkaitan dengan desentralisasi pelayanan publik, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 dan 14, pemerintah daerah mempunyai fungsi :

§ penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

§ penyediaan sarana dan prasaran umum;

§ penanganan bidang kesehatan;

§ penyelenggaraan pendidikan;

§ penanggulangan masalah sosial;

§ pelayanan bidang ketenagakerjaan;

§ fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

§ pelayanan pertanahan;

§ pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

§ palayanan administrasi umum pemerintahan;

§ pelayanan administrasi penanaman modal;

(15)

2. Pelayanan Publik: Pengertian, Jenis, Prinsip, dan

Asas

2.1. Pengertian

Seiring dengan penerapan sistem desentralisasi, pelayanan publik akhir-akhir ini menjadi diskusi yang hangat dan menjadi perhatian di kalangan masyarakat. Sebelumnya, isu-isu pelayanan publik ini kurang menjadi perhatian karena berkembang asumsi bahwa pelayanan publik itu hanyalah urusan pemerintah saja, mulai dari proses perumusan kebijakan, implementasi, sampai dengan evaluasi. Masyarakat seringkali tidak bisa mengakses segala informasi yang berkaitan dengan pelayanan publik ini. Penyelenggaraan Negara yang semakin transparan telah berdampak pada kesadaran orang untuk ikut terlibat dalam proses pelayanan publik baik dalam proses perumusan kebijakan, implementasi, sampai dengan evaluasi, dan pengawasan.

Dari sisi administrasi Negara, pelayanan publiok dipahami sebagai[2] “segala kegiatan layanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum sebagai pelaksanan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam era globalisasi dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memeberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indicator dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan negara, terdapat asas-asas umum yang harus dijadikan acuan pemerintah dalam melakukan layanan public.[3] Negara sebagai organisasi publik, pada dasarnya dibentuk untuk penyelenggaraan layanan masyarakat dan bukan dimaksudkan untuk berkembang menjadi besar dan mematikan organisasi publik lainnya.[4] Meskipun organisasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tidak ada salahnya dalam opersionalnya menganut paradigma yang dianut dalam organisasi bisnis, yaitu, efisien, efektif, dan tetap menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya.

Menurut salah satu kajian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), pelayanan publik diartikan sebagai: “suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau undang-undang kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warna Negara atau penduduk atas suatu layanan (publik)”.[5] Pengertian menurut KHN ini secara tegas menekankan bahwa pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah (negara). Batasan ini berbeda denga batasan yang diberikan oleh Menpan yang mendefinisikan pelayanan publik hanya sebagai kegiatan instansi pemerintah.

(16)

pelayanan public sebagai pemberian dari pemerintah, masyarakat memahami pelayanan public sebagai aktivitas belanja yang menggunakan uang pemerintah. Pemahaman yang demikian akan membawa akibat masyarakat akan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pelayanan public itu kepada pemerintahan, karena dalam pandangan masyarakat tersebut uang yang dibelanjakan untuk pelayanan public itu milik pemerintah. Masyarakat merasa tidak memiliki hak mencampuri pengelolaan pelayanan publik.

Dengan demikian pemahaman yang benar tentang pelayanan publik ini menjadi penting. Pelayanan public harus dijadikan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan kegiatan yang dibiayai dengan uang uang public. Pelayanan publik ini mempunyai arti penting terutama bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pelayanan publik haruslah ditujukan untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar manusia. Menurut Jim St. George[6], pengertian hak-hak dasar manusia tersebut sebagai hak ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh setiap individu untuk membebaskan dirinya dari kemiskinan, keterasingan, dan keterbelakangan. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk memperoleh makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pekerjaan. Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar itulah yang harus menjadi prioritas terpenting dari pemerintah dalam menetapkan anggaran publik sebagai produk kebijakan. Ketiga tersebut (penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat) hendaknya dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik. Apakah kebijakan pelayanan public pro rakyat atau tidak sebenarnya dapat dilihat antara lain dari paling tidak apakah memang kebijakan pelayanan public memenuhi ketiga hal tersebut.

Karena essensi dasar dari kebijakan pelayanan public adalah implementasi pengelolaan uang masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, maka peran masyarakat dalam management pelayanan public mempunyai makna yang penting. Peran masyarakat di sini penting dilakukan untuk menghindari berbagai penyimpangan yang akhirnya justru merugikan masyarakat. Peran tersebut tidak hanya terjadi pada proses pelaksanaan tetapi sebaiknya mulai dari proses perencanaannya, supaya dalam proses perencanaan disusun dengan memperhatikan berbagai kepentingan, saran, dan kritik dari masyarakat. Semestinya penyusunan kebijakan pelayanan public memenuhi tiga syarat, yaitu:[7] (1) Si pembuat keputusan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh public (accountable); (2) Prosesnya tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sehingga tidak mengindikasikan adanya korupsi dan kolusi (transparent); (3) Proses itu juga terbuka untuk mengakomodasi opini kritis khalayak ramai (participated).

Dalam lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph I, butir c tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, layanan publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga sebagai berikut:

(17)

2. Kelompok Layanan Barang yaitu layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.

3. Kelompok Layanan Jasa yaitu layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan sebagainya.

2.2. Prinsip Pelayanan Publik

Layanan publik tersebut di atas merupakan hak masyarakat yang dalam pelaksanaannya pada dasarnya mengandung prinsip-prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kedisplinan-kesopanan-dan keramahan, dan kenyamanan.[8] Agak berbeda dengan rumusan prinsip-prinsip layanan publik tersebut di atas, The Charter of Fundamental Right of the European Union dalam pasal 14 menyatakan prinsip-prinsip layanan publik sebagai berikut:

[9]

1. Memperoleh penanganan urusan-urusannya secara tidak memihak, adil, dan dalam waktu yang wajar.

2. Hak untuk didengar sebelum tindakan individual apapun yang akan merugikan dirinya diputuskan.

3. Hak atas akses untuk memperoleh berkas milik pribadi dengan tetap menghormati kepentingannya yang sah atas kerahasisaan dan atas kerahasiaan profesionalitasnya. 4. Kewajiban pihak admisitrasi Negara untuk memberikan alasan-alasan yang mendasari

keputusannya.

5. Memperoleh ganti rugi yang ditimbulkan oleh lembaga atau aparatur pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

2.3. Asas Pelayanan Publik

Selain prinsip-prinsip di atas,dalam memberikan layanan kepada masyarakat harus berasaskan:

1. Transparansi: bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

2. Akuntabilitas: dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

3. Kondisional: sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi penerima layanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

4. Partisipatif: mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan Hak : tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

(18)

Apabila prinsip dan asa layanan publik tersebut ditaati oleh pelaksana/pelayan publik dalam hal ini aparatur Negara, maka keluhan masyarakat terhadap rendahnya kualitas layanan npublik tidak harus muncul. Munculnya keluhan dari masyarakat sebagai penerima layanan publik lebih banyak disebabkan belum termanifestasikannya prinsip-prinsip dan asas-asas layanan publik dalam pelaksanaan tugas aparatur Negara.

3. Kelembagaan Layanan Publik

Dalam konteks pelayanan publik dapat dapat dipetakan paling tidak tiga pelaku sebagai berikut:

1. Penetapan kebijakan dalam layanan publik 2. Penyedia/pelaksana layanan publik

3. Penerima layanan publik

Di Negara-negara yang mana pemerintah sangat dominant, seringkali pemerintah mendominasi sebagai pelaku pertama sekaligus pelaku kedua, sedangkan penerima layanan publik adalah masyarakat. Dalam perkembangannya, penyedia/pelaksana layanan publik tidak harus pemerintah karena sudah banyak terjadi contoh swastanisasi layanan publik. Pihak swasta telah masuk dalam relasi layanan publik, sehingga sekarang dalam konteks layanan publik terdapat tiga pihak yang saling berinteraksi, Dalam proses layanan publik masing-masing pihak memegang fungsi dan peran yang berbeda tetapi saling berinteraksi dalam lingkaran proses layanan public.[10] Banyak model yang dicoba untuk dikembangkan berkaitan dengan penyediaan layanan publik. Berkaitan dengan layanan publik di tingkat lokal, Leach[11] mengatakan bahwa eksistensi pemerintah lokal adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menggunakan jalur atau mekanisme apapun yang paling memadai, apakah melalui pemerintah langsung, sektor swasta, maupun masyarakat. Savas (Savas, 1994) mengemukakan sepuluh model hubungan antara tiga pihak dalam layanan publik, yaitu:[12]

1. Government service 2. Government Vending 3. Intergoverment Agreement 4. Contract

(19)

10.Self Service

4. Partisipasi Publik Dalam Pelayanan Publik 4.1. Pengertian Partisipasi

Sistem desentrasliasi diterapkan sebagai instrument untuk percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan, dan partisipasi masyarakat, serta daya saing daerah dengan tetap memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewaan daerah. Pelayanan public sebagai salah satu produk kebijakan dari pemerintah dalam pelaksanaannya haruslah tetap mengacu pada tujuan kerangka besar yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui salah satunya partsipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu nilai yang harus dikembangkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Gagasan partisipasi publik dalam pelayanan public pada dasarnya adalah satu ide untuk memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, terutama dalam perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi pelayanan publik. Partisipasi masyarakat dalam implementasi pelayanan publik ini merupakan upaya untuk melakukan pembatasan kekuasaan pengelolaan pelayanan publik supaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan untuk melakukan control sosial terhadap implementasi pelayanan publik. Dengan adanya partisipasi dalam pelayanan publik, diharapkan pemerintahan tidak lepas kontrol dalam implementasi pelayanan publik.

Dewasa ini pengertian pelaksanaan partisipasi seringkali hanya ditujukan untuk kegiatan pembangunan (baca: proyek) di tingkat lokal; sementara partisipasi untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat makro (baca: yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat dan kegiatan yang menggunakan uang masyarakat), termasuk yang berkaitan dengan kebijakan, belum banyak mendapat perhatian. Padahal partisipasi untuk kebijakan makro juga penting dan mempengaruhi seluruh tatanan kehidupan masyarakat.[13] Conchelos (1985)[14] membagi partisipasi menjadi dua jenis, yaitu partisipasi dalam pengertian teknis dan partisipasi dalam pengertian politik. Partisipasi teknis diartikan sebagai “taktik” untuk mengikutsertakan masyarakat dalam aktivitas: mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisa data dan mengimplementasikan hasilnya. Sedangkan partisipasi politik diartikan sebagai pemberian kekuasaan dan kontrol kepada masyarakat melalui pilihan-pilihan untuk beraksi, berotonomi dan berefleksi terutama melalui pengembangan dan penguatan kelembagaan. Kegiatan partisipasi teknis yang tidak dilandasi dengan partisipasi politis, tidak akan memberikan makna yang signifikan bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan.

Secara sederhana Larry W. Canter (1977) mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu). Dari sudut terminologi peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite) (Arimbi HP dan Mas Achmad Santoso 1993: 1).

(20)

Terdapat asumsi, bahwa secara formal procedural demokrasi sudah bisa berjalan dengan adanya lembaga trias politika yang menyatakan bahwa kekuasaan negara hanya terdiri dari tiga jenis lembaga yaitu: pertama, kekuasaan legislative yang mewakili berbagai golongan masyarakat yang tugasnya membuat peraturan (undang-undang) dan mengontrol cara kerja serta kinerja lembaga ekskutif; kedua, ekskutif yang tugasnya melaksanakan undang-undangn untuk penyelenggaraan pemerintah sehari-hari dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat; ketiga, lembaga yudikatif yang mempunyai kekuasaan dan berfungsi menegakkan peraturan perundang-undangan. Adanya pembagian kekuasaan ini secara sederhana bisa dipahami dalam rangka untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh pihak yang berkuasa dengan tidak menyerahkan segala urusan kenegaraan kepada satu orang atau satu lembaga saja. Dengan demikian diharapkan apabila antara ketiga lembaga tersebut saling melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik maka demokrasi bisa berjalan. Dalam kenyataannya, dalam penyelenggaraan demokrasi bernegara berdasarkan trias politika mengalami bias pada kepentingan institusi dan orang yang ada di institusi sendiri. Bias itu terjadi berdasarkan kenyataan yang sering terjadi bahwa, dalam negara banyak warga negara (masyarakat) yang kebutuhannya seringkali justru tidak sejalan atau berseberangan dengan institusi-institusi negara, bahkan dengan lembaga legislative yang dianggap mewakili warga masyarakat itu sendiri. Pada kenyataannya seringkali lembaga-lembaga negara tidak menyuarakan dan memihak kepada masyarakat yang diwakilinya. Sistim demokrasi dengan penerapan trias politika nampaknya masih jauh dari prinsip-prinsip representatif.[15] Selanjutnya menurut Budi Rajab, sistem demokrasi yang dikembangkan faham trias politika mengingkari dictum sosiologis, yang dari pengalaman sejarah telah terungkap, bahwa sangat jarang ada institusi yang merepresentasikan secara utuh kepentingan pihak-pihak yang diwakilinya.

Menurut Jurgen Habermas,[16] demokrasi yang selama ini berlangsung lebih bersifat formal procedural. Artinya , penyelenggaraan hidup bernegara hanya dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal kenegaraan, yang isinya menunjuk pada relasi-relasi antara lembaga-lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif, tanpa ada keterlibatan institusi-institusi kemasyarakatan. Demokrasi yang demikian dipandang tidak cukup karena yang disebut wakil tidak selalu sejalan bahkan bisa berseberangan dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu dikembangkan bentuk demokrasi partisipatif, yang memungkinkan warga masyarakat melalui institusi-institusi yang dibentuknya bisa ikut serta atau terlibat langsung dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam melakukan pengawasan atas cara kerja dan kinerja berbagai instutusi negara tersebut. Oleh karena itu perlu dikembangkan institusi yang ada di masyarakat untuk melakukan kontrol perilaku publik institusi kenegaraan dalam rangka melakukan pengendalian.

4.3. Prasyarat Partisipasi

(21)

penyelenggaraan negara yang baik. Asas keterbukaan ini diartikan sebagai asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.

4.4. Bagaimana Partisipasi dalam Pelayanan Publik Dilakukan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat betapa pentingnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses penyusunan kebijakan publik bagi pengembangan demokrasi penyelenggaraan pemerintahan. Karena begitu pentingnya partisipasi masyarakat, prinsip ini menjadi salah satu pilar dalam rangka mewujudkan good governance. Dalam konteks pelayanan public, paradigma baru yang menempatkan masyarakat hanya sebagai pelanggan sudah saatnya ditinggalkan. Pelayanan public bukan semata-mata kegiatan untuk mencari keuntungan tetapi harus dilihat juga sebagai kegiatan yang bernuansa social (bukan semata-mata bersifat ekonomis). Dalam aktivitas pelayanan public, masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan tetapi juga sebagai pemilik negara dan pemerintah (penyelenggara layanan)à dari hanya sebagai customer ke posisi sebagai owner. Sebagai pemilik dan pemberi mandat kepada pemerintah, sudah sewajarnya masyarakat dilibatkan dalam setiap tahapan perumusan dan pengambilan kebijakan public termasuk kebijakan dalam pelayanan publik, yang di dalamnya menyangkut jenis pelayanan yang dibutuhkan, cara terbaik untuk menyelenggarakan pelayanan public, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan mengevaluasi pelayanan publik.[18] Dengan demikian, pertisipasi merupakan salah satu pilar dari good governance dalam pelayanan publik selain transparansi, akuntablitas, dan fairness. Untuk mewujudkan good governance maka dipandang perlu diatur partisipasi masyarakat dalam perymusan kebijakan pelayanan publik. Pemberian ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi ini sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi. Prinsip ini mengharuskan Penyelenggara Negara (pemerintahan) membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan negara. Partisipasi public dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas public dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Meskipun mengetahui arti pentingnya dan manfaat partisipasi dalam pelayanan public, di banyak kasus pemerintah sering mengelabui masyarakat dengan menjadikan partisipasi hanya sebagai jargon untuk memperoleh legitimasi public. Partisipasi yang demikian tentu tidak akan mendatangkan manfaat apapun bagi masyarakat. Oleh karena itu paling tidak perlu diidentifikasikan metode atau instrument yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi. Urban Institute dan USAID, Pemerintah Skotlandia dalam penelitiannya yang tentang “Customer and Citizen Focused Publik Service Provision”, menyebutkan ada beberapa instumen yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyediaan pelayanan public, sebagai berikut:[19]

1. membuat saluran untuk menampung keluhan konsumen.

2. membuat saluran untuk menampung saran-saran dari konsumen. 3. Melakukan survai konsumen.

4. Melakukan kontak atau pertemuan dengan konsumen.

5. Membuat forum untuk memperoleh masukan kualitatif dari konsumen, misalnya membentu forum konsumen.

(22)

CONTOH KASUS 1:

Citizen's Charter dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan di Kota Blitar[21] Masalah Pelayanan Publik yang ada sebelum dilakukan Partisipasi

Puskesmas bagai sebagaian masyarakat Kota Blitar merupakan pelayanan publik yang sangat vital. Hal ini karena tidak semua warga masyarakat di Kota Blitar mampu membayar biaya untuk memeriksakan diri ke dokter swasta pada saat mereka sakit. Sehingga apabila mereka sakit, Puskesmas masih menjadi tumpuan harapan satu-satunya untuk mencari tempat kesembuhan. Sayangnya, sebagai salah satu pusat pelayanan publik yang menjadi andalan masyarakat, Puskesmas di Kota Blitar masih banyak menghadapi kendala. Survay layanan Puskesmas yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK-UGM) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Blitar menemukan berbagai permasalahan pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas di Kota Blitar diantaranya adalah: masyarakat pengguna Puskesmas tidak mengetahui biaya secara pasti yang akan ditarik oleh Puskesmas. Pada beberapa Puskesmas juga ditemukan masalah tentang minimnya fasilitas pelayanan kesehatan yang mereka sediakan dan rendahnya otonomi Puskesmas untuk menangani pasien yang perlu penanganan mendesak.

Untuk mengatasi permasalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas di Kota Blitar, Pihak Pemkot bekerjasama dengan PSKK-UGM berusaha memecahkan masalah tersebut dengan instrumen partisipasi publik yang disebut sebagai citizen's charter.

Partisipasi Publik melalui Citizen's Charter

Pada dasarnya kegiatan citizen's charter merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik di mana antara pemberi dan pengguna layanan, serta pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) secara bersama-sama membuat dan menyepakati suatu kontrak pelayanan menyangkut prosedur, waktu, biaya, dan cara pelayanan. Kesepakatan ini harus mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara penyedia dan pengguna layanan serta stakeholders. Kesepakatan tersebut yang kemudian dijadikan dasar dalam praktek penyelenggaraan layanan publik.

Sebelum sampai pada kontrak pelayanan tersebut, langkah awal yang dilakukan oleh pihak Pemkot Blitar dan PSKK-UGM adalah menandatangani nota kesepakatan untuk melakukan pelembagaan citizen's charter. Nota kesepakatan ini ditandatangani pada tanggal 22 Juli 2003 di Balai Kota Blitar. Bersamaan dengan penandatanganan kontrak ini juga dilakukan seminar dengan mengundang semua stakeholders yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di Kota Blitar, Camat, Lurah, tokoh masyarakat, paramedis dan pers.

(23)

anggota forum ini adalah mereka yang oleh masyareakat dianggap mempunyai komitmen untuk memperbaiki pelayanan publik di Kota Blitar.

Setelah forum ini terbentuk , maka forum citizen's charter bekerjasama dengan PSKK-UGM melakukan survai pengguna layanan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna Puskesmas pada saat mereka ingin memperoleh layanan kesehatan dari Puskesmas. Selain melakukan survai, untuk memperkaya temuan, forum citizen's charter juga melakukan FGD dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang terpilih untuk memetakan permasalahan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas.

Setelah permasalahan pelayanan Puskesmas teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah membuat kontrak pelayanan untuk mengatasi masalah pelayanan publik di Puskesmas. Melalui serangkaian kegaiatan yang melaibatkan penyelenggara layanan, masyarakat dan stakeholders, akhirnya forum citizen's charter dengan difasilitasui oleh PSKK-UGM berhasil merumuskan kontrak pelayanan. Agar kontrak pelayanan ini diketahui oleh masyarakat luas yang akan menggunakan layanan puskesmas, setelah disepakati , kontrak pelayanan ini disosialisasikan kepada masyarakat dengan berbagai cara, misalnya melalui radio, sekolah, paramedis, dan lain sebagainya.

Perubahan Pelayanan Publik Setelah ada Citizen's Charter

Meskipun pada awalnya implementasi kontrak pelayanan ini banyak mengalami kendala namun akhirnya dapat teratasi. Dari kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh PSKK-UGM, Tim citizen's charter Pemkot Blitar, Dinas Kesehatan, Forum citizen's charter, dan masyarakat pengguna layanan, berhasil menemukan perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan setelah diimplementasiukannya kontrak pelayanan, yang terlihat dari beberapa indikator sebagai berikut:

(1) Para Petugas Puskesmas menjadi lebih ramah, bersikap sopan, tidak merokok, dan tidak melakukan pekerjaan lain sewaktu melayani pasien.

(2) Petugas memberikan pelayanan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.

(3) Prosedur pelayanan menjadi lebih jelas sesuai dengan kontrak pelayanan yang telah disepakati .

(4) Penampilan para petugas lebih bersih dan rapi.

(5) Pengguna layanan dapat menyampaikan kritik dan keluhan. 5. Tantangan-Tantangan dalam Partisipasi Pelayanan Publik

Dalam upaya untuk berpartisipasi dalam pelayanan publik, masyarakat seringkali menghadapi beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut bisa berasal dari diri masyarakat sendiri dan bisa juga berasal dari pemerintahan. Kendala-kendala tersebut antara lain berupa:

7. Sistem yang terbangun belum memberikan ruang yang luas, aman, dan memadahi bagi pengembangan partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

(24)

9. Masih rendahnya kapasitas atau kemampuan masyarakat untuk melakukan partisipasi. Dalam melakukan partisiapsi dalam pelayanan publik dibutuhkan keaktifan masyarakat. Partisipasi membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas karena esensi dari partisipasi adalah masyarakat aktif. Tanpa masyarakat aktif, ruang partisipasi yang sudah terbuka tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal.

10. Belum terbangun kemauan dan komitmen politik dari sebagian besar Pemerintah untuk menciptakan transparansi pelayanan publik. Anggapan bahwa pemerintah telah menerima mandat yang penuh dari masyarakat merupakan sumber dari ketidakterbukaan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian akses masyarakat untuk memperoleh informasi berkaitan dengan pelayanan publik prasyarat partisipasi menjadi tidak ada.

11. Belum terbangun kemauan dan komitmen politik dari legislative untuk melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pelayanan publikj. Bahkan dalam banyak kasus oknum anggota DPRD terlibat dalam berbagai penyimpangan pelaksanaan pelayanan publik. 12. Sudah berkembangnya kultur tanpa partisipasi dalam pelaksanaan pelayanan publik, sehingga

partisipasi sering dimaknai sebagai ekspresi resistensi.

13. Sistem informasi pelayanan publik masih bersifat pasif. Untuk mendapatkan informasi, masyarakat sendiri yang harus mencari informasi berkaitan dengan segala yang berkaitan dengan pelayanan publik. Sistem ini jelas tidak mendorong inisiatif masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses pengawasan terhadap pelayanan publik.

14. Perangkat hukum yang dapat menjadi dasar yang memberikan jaminan bagi partisipasi masyarakat masih minim. Perangkat hukum yang memberi ruang bagi partisipasi masyarakat ini penting karena selain supaya masyarakat mengetahui hak, kewajiban, tanggungjawab serta mekanisme dalam berpartisipasi, masyarakat juga memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya tersebut.

6. Rekomendasi

Berkaitan dengan uraian etrsebut di atas, hal-hal yang penting dilakukan dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan upaya penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam pelayanan publik.

2. Perlu dilakukan penguatan kapasitas masyarakat misalnya dengan pelatihan-pelatihan tentang bagaimana berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

3. Selalu mendorong pemerintah untuk membuka ruang-ruang partisipasi dalam peneyelenggaraan pelayanan publik.

(25)

Disampaikan pada “Pelatihan Partisipasi Warga dalam Pengelolaan Pelayanan Publik Dasar” yang diselenggarakan oleh Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) pada tanggal 30 November 2006 di Wisma “ASRI” Tawangmangu.

 Staff Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lokal Lembaga Percik, dan Advokad pada Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH) Percik. Organizing Committee (Fasilitator Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Metode) Forum Pengambangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) periode April 2004 - Juni 2006.

[1] Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah pasal 1 ayat (7).

[2] Lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph I, butir C.

[3] Untuk penyelenggaraan pemerintah yang baik ini telah diterapkan aturan formal berupa Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam UU tersebut asas penyelenggaraan negara terdiri dari: asas kepastian hukum; asas tertib dalam penyelenggaraan Negara; asas kepentingan umum; asas keterbukaan ; asas proporsionalitas; dan asas akuntabilitas.

[4] Bdgk, “Otonomi Daerah dan Layanan Publik”, dalam

http://www.pu.go.id/itjen/buletin/3031otoda.htm.

[5] Komisi Hukum Nasional (KHN) , “Reformasi Sektor Layanan Publik”

[6] Bandingkan, Ihsan Haerudin, “Anggaran Pro Rakyat Miskin”, Bujet, Edisi 9/Oktober 2003, hal. 48 – 49.

[7] Agus Priyanto, “Mendorong Partisipasi Publik untuk Transparansi APBD”, Bujet, Edisi 10/Nopember – Desember 2003, hal. 43-44.

[8] Lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph V.

[9] Komisi Hukum Nasional (KHN), op. cit.

[10] Terhadap swastanisasi layanan publik ini masih terjadi perdebatan. Diskusi untuk ini, lihat antara lain Ikhsan Haerudin, “Reformasi Pelayanan Publik” Pikiran Rakyat, Selasa 24 September 2002.

[11] Dalam Roy V. Salomo dan Jamal bake, “Administrasi Publik, Aransemen Kelembagaan dan reformasi Pelayanan Publik di Tingkat Lokal”, Jurnal PSPK, Pusat studi Pengembangan

Kawasan, Edisi 1, Februari 2002, Jakarta, hal. 9.

[12] Savas, ES, Privatization: The Key To Better Government (New Jersey: Chatham House Publishers Inc., 1994) dalam Roy V. Salomo dan Jamal Bake, ibid.

[13] Lihat Ganjar Kurnia, “Jangan Ada Rahsia Diantara Kita”, Bujet, Edisi 3, Pebruari 2003, hal. 43-44.

[14] Dalam Ibid, hal. 43.

[15] Budi Rajab, “Pengawasan Masyarakat atas Institusi Kenegaraan”, Bujet, Edisi 10 / Nopember-Desember 2003, hal. 46.

(26)

[17] Suhirman, “Mendefinisikan Partisipasi: Penelusuran Awal Atas Konsep, Tahap, Dan

Dinamika Partisipasi”, Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Pengembangan partisipasi Masyarakat ke-7 (PF VII FPPM) di Ngawi, 15 – 18 Juli 2003.

[18] Bdgk Agus Dwiyanto (ed), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Japan Internasional Cooperation Agency (JICA) – Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm 194.

[19]Ibid, hal. 199.

[20]

-[21] Sumber: Pelembagaan Citizen's Charter dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Yogyakarta, Kabupaten Semarang, dan Kota Blitar, PSKK-UGM dan Ford Foundation, 2004, dalam Agus Dwiyanto, ed, op. Cit. Hal. 206-209.

11

Negeri Reydonnyzar Moenek, mengatakan dengan diskresi tersebut diharapkan dapatmelindungi kepala daerah yang kreatif menerobos aturan perundangan, namun tak sampai bikin negara rugi (Koran Rakyat Merdeka, Edisi Minggu, 19 Mei 2013 dalamKoranmedia_online.com).Untuk itu, Kepala daerah dalam mengambil kebijakan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepadanya, diperlukan adanya pengaturan diskresikepala daerah agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan dengan lancar dantanpa hambatan, pada saat kepala daerah menemukan adanya regulasi, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang tidak jelas, kabur, multi-tafsir, atau bahkan tidak

adaketentuannya.Sejalan dengan itu oleh Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi

Regional(PATTIRO) Sad Dian Utomo, mengatakan pengaturan tentang diskresi kepala daerah inimesti melibatkan beberapa ketentuan, diantaranya adalah Pengertian, definisi, atas diskresikepala daerah menegaskan adanya ruang lingkup atau batas-batas wilayah dimana kebijakankepala daerah yang bersifat diskresi dapat dirumuskan, ditetapkan, dan dijalankan. Dengandemikian, tidak membuka adanya upaya diskresi diluar ruang lingkup yang ditentukan(http://pattiro.org/?p=1933, diakses 21 mei 2013).Sejumlah kekhawatiran dalam penerapan diskresi ini bagi kepala daerah memangcukup banyak, sekalipun

kemudian alasan untuk memberikan ruang kreatifitas dan inovasidari pemerintah daerah dalam pelayanan publiknya didaerah, selama hal itu tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Hanya saja, jika kemudian diskresi inicenderung digunakan untuk hal-hal yang merugikan negara, maka

kecenderungan diskresi iniakan merugikan negara bahkan bisa menjerat kepala daerah dalam praktek korupsi.Untuk itu, pengaturan mengenai hak diskresi ini perlu diperhatikan dengan cermat.Sehingga dalam pelaksanaannya kemudian dapat digunakan kepada daerah sebagai ivovasidalam pemerintah daerah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, dikresi itu ada batasannyadan diatur agar apa yang dikeluarkan tidak terjadi. Ada beberapa syarat, termasuk (melakukan inovasi) tidak melanggar hukum. Hal ini untuk menjawab, Sejumlahkekhawatiran yang muncul dengan diaturnya hak diskresi itu, antara lain kepala daerah dapatmenyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingan

(27)

12

kebal terhadap hukum dan bisa berlindung di balik alasan inovasi atas perbuatan korupsi.Selain itu, pasal itu bisa digunakan sebagai upaya berlindung dari hukum bagi para kepaladaerah (Koran Rakyat Merdeka, Edisi Minggu, 19 Mei 2013/Koranmedia_online.com).Dengan melihat realitas tersebut diatas, dapat ditarik benang merah bahwa peluangdan tantangan diskresi berada pada kepala daerah, dalam hal ini kemudian bagaimana penafsiran kepala daerah terhadap kewenangan diskresi yang dimilikinya melakukan inovasidalam pelayanan publik didaerahnya. Kecenderungan ini lahir karena banyaknya persoalanyang muncul dari salah tafsirnya regulasi yang dibuat, terutama dalam mendukung inovasidan kreatifitas kepala daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Kondisi ini juga perludidukung dengan regulasi yang jelas, jika kemudian diskresi tersebut dilaksanakan didaerahsebagai upaya mengakomodasi kreatifitas kepala daerah dalam melakukan inovasi dan tidak melanggar aturan yang ada.

Kesimpulan

Diskresi merupakan kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah untuk membuatkeputusan berdasarkan penilaiannya sendiri. Sehingga sejumlah indikasi misalnya penyalahgunaan kewenangan dan korupsi seringkali mengikuti pelaksanaan diskresi tersebutoleh kepala daerah. namun disisi lain, diskresi bisa dilihat sebagai akomodasi kreativitas daninovasi kepala daerah, sebagai upaya merespon kondisi dan situasi yang berkembangdimasyarakatnya. Dimana hal ini kemudian ditujukan untuk memperbaiki layanan publik didaerah, disisi lain juga akan dapat menggenjot kreasi dan inovasi pemerintah daerah dalammensejahterakan masyarakatnya.Peluang sekaligus tantangannya kedepan, bahwa dengan adanya diskresi yangdiberikan kepada kepala daerah tentunya akan berhadapan dengan etika moral seorang aparat pemerintah. Karena diskresi disatu sisi dapat memberikan kelaluasaan kepada kepala daerahuntuk melakukan inovasi dalam pelayanan publik, yang sebelumnya belum diatur dalamregulasi atau peraturan yang ada sepanjang itu baik bagi daerah. dan sisi lain, bahwa peluangadanya penyimpangan dan

(28)

dibalik diskresi dapat direduksi dan dihindari. Selain itu perlu diperhatikan beberapa prinsip utama ketentuan diskresi yakni, diskresi masih dalam

13

batasan ruang lingkup kewenangan kepala daerah bersangkutan, kemudian tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan implikasi negatif lainnya terkait kekuasaan kepaladaerah. sudah sepatutnya diskresi kemudian dikaitkan dengan bentuk akuntabilitas pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintah

daerah. Namun tentunya, penggunaan diskresi ini mesti diperkuat dengan adanya regulasiyang jelas dan tegas, sehingga indikasi penyalahgunaanya bisa dihindari. Untuk itu, RUUPemda yang sedang dibahas saat ini ditujukan untuk memasukkan aturan tentang diskresi bagi kepala daerah, dan aturan tentang diskresi tersebut wajib untuk mengatur mengenaiketentuan-ketentuan mengenai pengertian, tujuan, prinsip, dan syarat-syarat dari penentuandiskresi. Disamping itu, kejelasan regulasinya juga diperlukan untuk menghindari adanyasalah tafsir kepala daerah terhadap diskresi tersebut. Terakhir bahwa dengan diskresi tersebutdalam kaitannya dengan pelayanan publik, akan dapat menjawab ekspektasi

(29)

Dari urain belum ada prosedur baku dalam bentuk legislasi maupun regulasi daerah dalam hal penegakan hokum produk, hokum daerah sesuai dengan prosedur dan substansi prinsip – prinsip Good Governance.

(30)

penegakan hokum dan substansi peraturan tersebut hendaknya sesuai dengan prinsip prinsip Good Governance seperti Asas kecermatan yang terdiri atas

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Oleh karena patokan harga yang dipergunakan di ‘pasar kaget’ adalah rupiah, maka dengan sejumlah ringgit tertentu warga Malaysia dapat membeli barang dalam jumlah lebih

Seperti yang telah disinggung dalam bagian terdahulu, bagian yang paling penting dalam paper ini adalah membahas bagaimana bagian Yunus 1:17 (Maka atas penentuan Tuhan datanglah

Pada penelitian ini memiliki tujuan untuk menentukan tingkat kualitas (grading) secara visual untuk kayu kelapa secara otomatis dapat ditingkatkan keakurasiannya

- Melakukan ulangan berisi materi yang berkaitan dengan sifat dari bilangan berpangkat rasional dan berpangkat bulat positif, merasional kan penyebut pecahan bentuk akar,

Tari muncul dan berkembang ditatar sunda menurut Anis (2002) yaitu “Tayuban dalam pengertian umum menunjukan kepada jenis kesenian tradisional yang dilihat dari segi bentuk

RONY. “Pengembangan model kendali perilaku belajar yang efektif bagi siswa SMAN 1 Klaten”. PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN,

CRM sebagai salah satu strategi pemasaran sudah selayaknya diaplikasikan dalam layanan informasi di perpustakaan, karena perpustakaan merupakan lembaga yang menyediakan

Puji syukur kepada Tuhan, karena kasih dan penyertaan – Nya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan di Universitas Kristen Satya Wacana dan penulisan skripsi dengan judul Film