• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berita Penelitian. Robert Siburian. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berita Penelitian. Robert Siburian. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Berita Penelitian

Entikong: Daerah Tanpa Krisis Ekonomi di

Perbatasan Kalimantan Barat–Sarawak

1

Robert Siburian

(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Pengantar

Krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 menorehkan berbagai catatan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Catatan yang tidak mungkin dilupakan oleh seluruh lapisan masyarakat adalah runtuhnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto setelah tidak tergoyahkan selama 32 tahun berkuasa. Semasa pemerintahannya, Indonesia berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata dibangun melalui penimbunan hutang luar negeri yang mengakibatkan rapuhnya pondasi bangunan ekonomi tersebut.

Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia ini telah mengakibatkan berbagai konsekuensi, yang merupakan bencana bagi perekonomian nasional, dan juga bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Akan tetapi, penilaian sebagian besar masyarakat Indonesia yang menghendaki agar krisis ekonomi cepat berakhir bertolak belakang dengan keinginan masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan, khususnya mereka yang tinggal di Entikong,2 Kalimantan Barat. Bagi mereka

ini, krisis ekonomi justru menjadi ‘berkah’ yang dapat membuat tingkat ke-sejahteraannya terangkat. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mengkaji tentang pengaruh krisis ekonomi terhadap masyarakat di daerah perbatasan dengan memfokus pada tiga kegiatan ekonomi yang secara nyata memperoleh ‘berkah’ dari krisis ekonomi itu.

Daerah dan masyarakat perbatasan

Terminologi yang digunakan oleh pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Timur tentang daerah perbatasan adalah daerah yang terletak di sepanjang perbatasan antara negara Republik

1 Tulisan ini merupakan ringkasan dari makalah yang disajikan dalam panel: ‘Dinamika Sosial Budaya di Daerah

Perbatasan Indonesia–Malaysia: Pengalaman Masa Lalu, Masa Kini, dan Prospek Masa Depan’, pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2: ‘Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli 2001.

(2)

Indonesia dan negara Malaysia (Mubyarto 1991:106). Analog dengan itu, pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Barat mengklasifikasikan daerah perbatasan menjadi dua bagian. Pertama, daerah perbatasan lini I, yaitu daerah yang langsung berhadapan dan melekat pada tapal batas dengan Sarawak (Malaysia Timur). Kedua, daerah perbatasan lini II, yaitu daerah yang secara tidak langsung berhadapan dengan wilayah Sarawak, akan tetapi masih terkena pengaruh langsung sebagai akibat berbatasan dengan Sarawak. Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur merupakan dua propinsi di Indonesia yang berbatasan dengan negara Malaysia, khususnya Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah).

Entikong termasuk daerah perbatasan lini I. Daerah ini langsung berhadapan dan melekat pada tapal batas dengan Sarawak. Bahkan, Entikong merupakan satu-satunya daerah yang dilalui jalan tembus lintas antarnegara, yaitu Kota Kuching (Sarawak) dan Kota Pontianak (Kalimantan Barat). Tidak jauh dari garis perbatasan Sarawak dan Kalimantan Barat, masing-masing negara telah membangun Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). PPLB Indonesia dibangun di Entikong dan PPLB Malaysia dibangun di Tebedu. PPLB beroperasi sejak 1 Oktober 1989 dengan waktu operasi mulai pukul 05.00 WIB sampai 17.00 WIB.

Daerah perbatasan Entikong relatif lebih maju ketimbang daerah perbatasan daratan lain yang berada di Kalimantan Barat maupun Kalimantan Timur. Daerah Entikong sudah dilengkapi oleh berbagai fasilitas untuk mendukung tumbuhnya sebuah kota, seperti terminal, warung telpon, hotel, pertokoan dan tempat karaoke.3 Fasilitas yang mendukung terlaksananya

pemerintahan juga sudah memadai, seperti kantor karantina, imigrasi, bea dan cukai.

Masyarakat perbatasan tidak saja terdiri dari masyarakat lokal, tetapi juga masyarakat pendatang yang sudah bertempat tinggal di daerah tersebut, ataupun mereka yang sekedar mencari nafkah di daerah perbatasan.

Aktivitas ekonomi masyarakat perbatasan tidak homogen. Selain usaha di bidang pertanian ladang, sawah, perkebunan, kehutanan, dan peternakan, masyarakat perbatasan di Entikong banyak melakukan aktivitas perdagangan, jasa, dan kegiatan di sektor informal lain. Masyarakat lokal lebih banyak bekerja sebagai petani, karena mereka memiliki lahan pertanian. Pekerjaan sambilan yang dilakukan oleh masyarakat lokal adalah menjadi kuli angkat barang bawaan pelintas, dan bongkar muat barang dari/ke dalam truk.

Penduduk pendatang umumnya tidak memiliki lahan pertanian. Karena itu, mereka lebih banyak bergerak di bidang perdagangan, jasa penukaran uang, jasa pengisian blanko bepergian ke luar negeri, dan sektor informal lainnya. Untuk melakukan aktivitas perdagangan, awalnya mereka membuka usaha di pertokoan Entikong. Tetapi, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi, tempat baru untuk berdagang pun muncul yang disebut dengan ‘pasar kaget’.4 Terjadinya krisis

ekonomi dan hadirnya ‘pasar kaget’ semakin menggairahkan usaha ekonomi di atas. Hasil penelitian Sugesti (1999:22) mencatat bahwa dari 45 responden yang berdagang di ‘pasar kaget’, sejumlah 19 orang berasal dari Pontianak, 9 orang Jawa Barat, 7 orang Sumatera dan 10 orang berasal dari luar Entikong.

3 Karaoke adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menyebut salah satu tempat hiburan malam di

Entikong. Tempat ini merupakan gedung tertutup dengan penerangan yang dibuat remang-remang, di dalamnya selain bernyanyi pengunjung pun dapat menikmati minuman beralkohol.

4 ‘Pasar kaget’ adalah pasar yang hadir secara mendadak tanpa suatu perencanaan sebagai akibat krisis ekonomi

(3)

Secara garis besar, ada tiga kegiatan ekonomi yang mendatangkan berkah; yakni kegiatan di sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor informal lainnya.

Sektor pertanian

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan hidup dari hasil pertanian. Lahan pertanian yang mereka miliki relatif luas. Selain ada yang mempertahankan tradisi berladang berpindah, ada yang sudah menerapkan sistem berladang menetap. Selain itu, sekitar tahun 1970-an, dengan penyuluhan yang dilakukan pemerintah, sudah ada yang mengolah lahan basah (sawah) dengan sistem irigasi tradisional.

Jenis hasil pertanian dari ketiga sistem pertanian itu beraneka ragam. Yang paling menonjol berasal dari tanaman keras, seperti karet, kakao, rambutan, dan durian. Selain produk tanaman keras tersebut, akhir-akhir ini tanaman lada menjadi tanaman yang sangat menguntungkan petani. Padahal, sekitar tahun 80-an jenis tanaman ini sempat ditinggalkan, karena harga lada yang sangat rendah, yaitu sekitar Rp500,- per kilogramnya (Indrawasih dkk. 1996). Tingkat harga itu tidak saja dialami oleh petani di daerah perbatasan, tetapi juga daerah-daerah lain di tanah air. Ada dugaan bahwa penurunan harga tersebut berkaitan dengan menurunnya harga lada di tingkat internasional sebagai konsekuensi dari supply yang melebihi jumlah permintaan pasar. Pada tingkat harga Rp500,- itu, para petani tidak memperoleh keuntungan apa pun, karena biaya yang dikeluarkan untuk memelihara tanaman lada lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Petani di daerah perbatasan pun mengganti tanaman lada dengan jenis tanaman karet dan kakao.

Seiring dengan terjadinya krisis, pola tanam petani juga ikut berubah. Jika pada tahun 80-an tanaman lada disia-siakan, maka saat krisis berlangsung, jenis tanaman lada menjadi primadona yang mendominasi hasil pertanian mereka.

Kecenderungan maraknya penduduk menanam lada disebabkan oleh meningkatnya harga lada pada saat krisis ekonomi terjadi, yakni mencapai Rp100.000,- untuk setiap kilogramnya. Harga yang relatif tinggi itu dapat diperoleh petani secara utuh. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk memasarkannya, karena daerah pemasaran terletak tidak lebih dari 10 km, yakni di Sarawak yang berbatasan dengan Entikong. Tentu saja hal itu akan menghemat biaya angkut. Dalam waktu dua hari setelah lada dipetik dan dijemur hingga kering, uang pun sudah diperoleh petani. Biasanya petani menggunakan sepeda motor untuk mengangkut hasil tanaman ladanya melalui pintu perbatasan yang dibuka dari jam 05.00 WIB sampai dengan 17.00 WIB. Para cukong lada sudah menunggu di Sarawak, sehingga lada dalam jumlah besar akan tetap terjual.

Para petani lebih tertarik menjual lada ke Sarawak daripada ke kota-kota di Kalimantan Barat. Selain jaraknya yang relatif dekat, mata uang yang diterima oleh petani adalah ringgit Malaysia. Fluktuasi nilai dolar AS yang tidak stabil berpengaruh pada nilai mata uang asing lain, termasuk ringgit Malaysia. Dengan demikian, petani masih memperoleh keuntungan dari selisih kurs yang berlaku. Hasil dari pertanian lada inilah yang sangat berperan untuk mengangkat tingkat kesejahteraan petani di daerah perbatasan.

Keadaan sebaliknya justru dialami tanaman karet yang ditinggalkan oleh petani di daerah perbatasan. Selain harga karet rendah, daerah pemasarannya pun sangat sulit. Karet Indonesia

(4)

kurang diminati di Malaysia, sehingga pemasarannya harus ke Pontianak. Jarak yang jauh (lebih kurang 300 km) mengakibatkan tingginya biaya transportasi untuk mengangkut karet, sehingga mengurangi pendapatan petani.

Sektor perdagangan

Aktivitas perdagangan masyarakat Entikong dilakukan di dua tempat, yaitu ‘pasar kaget’ dan pusat pertokoan Entikong. Kalau pusat pertokoan Entikong berada di antara pemukiman penduduk, maka ‘pasar kaget’ mengambil lokasi di areal Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Jarak antara kedua pasar tersebut kurang lebih lima kilometer.

Aktivitas ekonomi di ‘pasar kaget’ dapat disebut sebagai aktivitas baru akibat terjadinya krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia sejak tahun 1997. Padahal, merujuk pada aturan yang ada, seharusnya tidak ada kegiatan lain di luar kegiatan pos di areal PPLB. Tetapi, sejak krisis ekonomi, implementasi dari aturan tersebut jauh dari kenyataan dan sangat bertolak belakang dengan PPLB yang ditampilkan oleh Malaysia. Sebelum ‘pasar kaget’ diformalkan, para pedagang justru berkeliaran menawarkan dagangannya di areal PPLB, bahkan juga di dalam pos sehingga mengganggu kegiatan pos. Melihat aktivitas perdagangan yang tidak teratur dan kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami krisis, hal itu menjadi dilema bagi pengelola PPLB. Jika para pedagang yang berkeliaran itu ditertibkan, mereka tidak mempunyai sumber penghasilan untuk membiayai hidupnya. Sebaliknya kalau dibiarkan, kegiatan para pedagang itu akan mengganggu aktivitas pos. Jalan tengah yang ditempuh pengelola PPLB adalah memformalkan kehadiran para pedagang untuk berjualan di sekitar areal PPLB dengan membangun kios-kios yang kemudian dikenal sebagai ‘pasar kaget’. Dengan menetapnya para pedagang di kios-kios itu, mereka tidak lagi berkeliaran di areal PPLB. Pemerintah setempat pun memperoleh pemasukan dari pemakai kios dengan menarik retribusi.

Jumlah pedagang yang berjualan di ‘pasar kaget’ mencapai 200 orang yang berasal dari berbagai daerah, seperti Bandung, Tangerang, dan Pontianak. Barang-barang yang diperjualbelikan didominasi oleh barang keperluan sehari-hari, misalnya sepatu, peralatan rumah tangga, kosmetik, ambal dan mainan anak-anak. Barang-barang tersebut didatangkan dari Pontianak dan kota-kota besar lainnya, baik yang disuplai oleh pemasok, maupun yang didatangkan oleh pedagang sendiri, misalnya sepatu Cibaduyut Bandung. Pembeli di ‘pasar kaget’ ini umumnya warga negara Malaysia, kendati tidak tertutup kemungkinan penduduk Entikong sendiri yang berbelanja di ‘pasar kaget’ tersebut.

Ada dua alasan mengapa warganegara Malaysia bersedia berbelanja di ‘pasar kaget’. Pertama, harga barang-barang yang dijual di ‘pasar kaget’ relatif lebih murah dibandingkan dengan harga barang yang dijual di Malaysia. Hal itu akibat merosotnya nilai rupiah terhadap mata uang asing, termasuk ringgit Malaysia. Oleh karena patokan harga yang dipergunakan di ‘pasar kaget’ adalah rupiah, maka dengan sejumlah ringgit tertentu warga Malaysia dapat membeli barang dalam jumlah lebih banyak dibandingkan di Malaysia sendiri. Kualitas barang yang dijual di ‘pasar kaget’ pun sama atau tidak jauh berbeda dari barang yang dijual di Malaysia.

Kedua, warga negara Malaysia yang berbelanja di ‘pasar kaget’ tidak harus menggunakan pas lintas batas (PLB) ataupun paspor. Hal itu sesuai dengan kesepakatan tentang lintas batas yang pernah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia sebelumnya bagi warga

(5)

kedua pihak. ‘Pasar kaget’ Entikong berada di areal PPLB, sehingga warga negara Malaysia bebas berbelanja di situ. Lain halnya dengan warga negara yang keluar dari areal PPLB. Warga negara yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) daerah perbatasan, atau paspor bagi warga negara yang bukan pemilik KTP daerah perbatasan diwajibkan menggunakan PLB.

Jika ‘pasar kaget’ mengambil tempat di areal PPLB, pusat pertokoan Entikong berada di antara permukiman penduduk Entikong yang letaknya sekitar 5 kilometer dari areal PPLB. Pertokoan Entikong bentuknya lebih permanen, berupa rumah toko (ruko). Jumlah pedagang di pertokoan Entikong yang umumnya adalah pendatang relatif banyak. Aktivitas perdagangan di pusat pertokoan ini dimulai dari pagi hingga malam hari. Jenis dan asal barang yang diperjualbelikan tidak berbeda dari yang dijual di ‘pasar kaget’. Pedagang yang berjualan di ‘pasar kaget’ juga pemilik usaha di pertokoan Entikong.

Munculnya ‘pasar kaget’ di areal PPLB menyebabkan sepinya pengunjung di pertokoan Entikong, karena barang-barang yang dipasarkan di kedua tempat itu sama. Selain itu, pengunjung warga negara Malaysia yang ingin berbelanja di pertokoan Entikong harus direpotkan dengan persoalan birokrasi. Warga negara Malaysia yang berbelanja di pertokoan Entikong harus memiliki syarat keimigrasian, seperti PLB dan paspor. Padahal, sebelum ‘pasar kaget’ beroperasi, pasar Entikong selalu ramai dengan pengunjung dari Malaysia; baik untuk berbelanja maupun sekedar berjalan-jalan, khususnya pada hari Sabtu dan Minggu, atau hari libur lainnya. Pada saat itu, yang berkunjung ke pertokoan Entikong tidak saja warga negara Malaysia beretnik Melayu, tetapi juga mereka yang beretnik Cina.

Sektor informal lain

Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, jenis usaha pertukaran uang (money changer) pun bermunculan. Jumlah pengusahanya mencapai 40 orang, padahal luas areal PPLB tidak lebih dari satu hektar.

Penukar uang itu berasal dari luar Entikong, seperti Batak, dan Melayu-Pontianak. Informan yang bermukim di Sanggau mengemukakan bahwa sebelum berprofesi sebagai penukar uang di Entikong, mereka bekerja di terminal Sanggau, sebagai kondektur mobil angkutan, atau calo penumpang. Mereka beralih menjadi penukar uang bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Fluktuasi rupiah yang tidak stabil terhadap mata uang asing dilihatnya sebagai peluang ekonomi. Modal yang dibutuhkan untuk turut serta dalam kegiatan itu pun tidak berjumlah besar sejalan dengan volume pertukaran uang yang dilakukan.

Cara penukaran uang yang dilakukan adalah dengan ‘jemput bola’. Para pedagang itu aktif mencari dan menawarkan uang untuk ditukar, baik ke dalam mata uang ringgit ataupun rupiah ke seluruh pelintas di areal PPLB. Bagi calon penukar uang yang tidak ingin repot, dan uang yang hendak ditukarnya pun tidak terlalu banyak, cenderung memilih penukaran uang yang tidak resmi ini. Lain halnya dengan penukar uang atau money changer resmi yang menunggu calon penukar uang mendatanginya di tempat yang telah disediakan.

Kehadiran para penukar uang di areal PPLB berdampak positif dan negatif. Manfaat positifnya ada dua. Pertama, pelayanan oleh para penukar uang kepada masyarakat yang ingin menukarkan uangnya, berlangsung relatif cepat, sambil berjalan. Kedua, aktivitas penukaran uang itu mampu menyediakan lapangan kerja baru di saat krisis. Sisi negatifnya ialah mengganggu kenyamanan

(6)

para pelintas batas, sebab–dalam melakukan aktivitasnya–para penukar uang menyerbu orang-orang yang baru turun dari bis di areal PPLB. Mereka berusaha mempengaruhi pelintas agar bersedia menukarkan uang, sekalipun pelintas tidak ingin didekati oleh penukar uang.

Kurs yang berlaku di areal PPLB sama dengan nilai kurs saat itu yang diketahui dari siaran televisi. Nilai tukar yang menjadi patokan adalah dolar AS, baru kemudian dikonversikan ke dalam ringgit Malaysia. Misalnya, kurs yang berlaku pada hari itu adalah US$1 = Rp9.200. Sementara itu, kurs ringgit Malaysia terhadap dolar AS adalah tetap: 3,8 untuk setiap satu dollar, karena Malaysia menganut sistem nilai kurs tetap. Dengan perhitungan seperti itu, maka nilai satu ringgit Malaysia adalah Rp9.200/RM3,8 = Rp2.421.

Keuntungan yang diperoleh para penukar uang ini adalah selisih antara kurs jual dengan kurs beli. Oleh karena itu, para penukar uang akan berusaha untuk mendapatkan ringgit sebanyak-banyaknya dari mereka yang ke luar dari Malaysia. Pada hari itu juga para penukar uang akan berusaha menukar ringgit tersebut dengan rupiah. Jika tidak, dengan nilai rupiah yang belum stabil, ringgit yang tidak terjual pada hari itu nilainya dapat berfluktuasi, turun atau naik pada esok harinya. Jika nilai tukar ringgit naik, hal itu tidak menjadi masalah bagi penukar uang. Justru keuntunganlah yang diperoleh. Sebaliknya, jika nilai ringgit turun, para penukar uang yang tidak cepat menukar ringgitnya akan mengalami kerugian, sebab harga jual ringgit lebih rendah dibandingkan dengan harga belinya.

Banyaknya penukar uang jalanan yang beroperasi di areal PPLB membuat bank tidak mampu bersaing. Kurs yang berlaku di bank ditetapkan dari pusat, artinya nilai kurs tidak dapat diubah oleh pihak bank setempat. Sementara itu, para penukar uang jalanan ini dapat membeli ringgit pada harga yang lebih tinggi (ada tawar menawar) bila uang yang hendak ditukar berjumlah besar. Misalnya, kurs yang berlaku pada hari itu adalah Rp2.200/RM1, penukar uang jalanan ini terkadang sanggup menukarnya dengan harga Rp2.250.

Kesanggupan menukar ringgit di atas kurs yang berlaku membuat kantor bank hengkang dari areal PPLB. Seorang informan menyebutkan bahwa di balik kesanggupan penukar uang jalanan ini menukar uang di atas kurs yang berlaku, ternyata tindakan itu disertai oleh ‘permainan’ yang merugikan pihak lain. Jika tidak demikian, secara logika menukar uang ringgit di atas kurs yang berlaku dan kembali menukarnya di bawah kurs yang berlaku akan menyebabkan penukar uang mengalami kerugian. Namun, tanpa sepengetahuan orang yang ingin menukar uang, ternyata kalkulator yang digunakannya untuk membantu berhitung sudah ‘direkayasa’ sebelumnya. Akibatnya, jumlah perhitungan antara banyaknya uang yang ditukar dengan kurs yang berlaku pada saat itu akan lebih kecil daripada jumlah yang seharusnya. Oleh karena angka yang ditekan dalam kalkulator adalah benar, tentu saja orang yang menukarkan uangnya tidak curiga. Kelengahan itulah yang dimanfaatkan oleh para penukar uang tradisional itu, sehingga masuk akal apabila mereka mampu menawarkan kurs di atas ataupun di bawah kurs yang berlaku sesuai dengan jenis mata uang yang ingin ditukar.

Selain kegiatan penukaran uang, mereka yang bekerja sebagai kuli angkut barang pelintas juga ketiban rezeki dengan terjadinya krisis ekonomi. Areal PPLB selalu ramai oleh pelintas yang berjalan kaki, baik yang sengaja berbelanja di areal PPLB ataupun pelintas yang tidak menggunakan kendaraan pribadi dan bis penumpang. Barang-barang bawaan para pelintas pejalan kaki itulah yang diangkut oleh para kuli dari satu PPLB ke PPLB lain yang jaraknya tidak lebih dari 300 meter.

(7)

Mereka yang bekerja sebagai kuli angkut barang ini adalah warga negara Indonesia, mulai dari anak-anak yang masih sekolah hingga orang dewasa. Upah yang mereka terima untuk mengangkut barang dari satu pos ke pos lain antara 5–10 ringgit, atau sekitar 20–40 ribu rupiah. Lazimnya, mata uang yang menjadi patokan adalah ringgit Malaysia, baru kemudian dikonversikan ke dalam rupiah Indonesia.

Kesimpulan

Entikong, salah satu daerah yang berbatasan dengan negara Malaysia, merupakan daerah yang merespon krisis ekonomi secara berbeda dari sebagian besar daerah di tempat lain. Jika sebagian besar wilayah negara Indonesia mengalami ‘kebangkrutan’ akibat krisis ekonomi, sebaliknya, masyarakat di daerah perbatasan ini justru meraup keuntungan. Masyarakat Entikong justru menginginkan tetap berlangsungnya krisis ekonomi, karena hal itu membuat semakin bergairahnya kehidupan mereka. Harga jual komoditi pertanian, perkebunan, kehutanan, dan keperluan barang sehari-hari melalui lintas batas antarnegara relatif tinggi. Hal itu terjadi karena selisih kurs yang sangat tinggi. Bahkan, harga barang yang dibeli dari warganegara Indonesia jauh lebih murah daripada harga barang yang sama di Malaysia. Faktor itulah yang mengakibatkan masyarakat Malaysia bersedia membeli barang-barang Indonesia.

Faktor pendukung dari keuntungan masyarakat Entikong itu berkaitan dengan fasilitas sarana dan prasarana di Entikong yang relatif memadai. Warga Indonesia atau warga Malaysia tidak terlalu sulit mencapai garis perbatasan sebagai titik pertemuan mereka untuk melakukan interaksi. Selain itu, tingkat ekonomi warga Malaysia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat ekonomi warga Indonesia. Warganegara Indonesia pun mampu menawarkan komoditi dengan kualitas yang tidak terlalu rendah dan harga bersaing dengan barang-barang yang diperjualbelikan di Malaysia. Bahkan, tingkat harganya sangat rendah dipandang dari sudut kacamata ekonomi Malaysia.

Kepustakaan

Azazi, A.

2000 ‘Foreign Direct Investment in West Kalimantan Problems, Prospect and Policy Implication’, dalam M. Leigh (peny.) Borneo 2000: Language, Management and Tourism . Kuching, Sarawak: Universitas Malaysia-Sarawak. Hlm. 245–258.

Indrawasih, R., A. Marzuki, Soewarsono, dan S. Abdurrachman

1996 Dinamika Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia: Studi Kasus Desa Entikong-Kalimantan Barat dan Pulau Nunukan-Kalimantan Timur. Jakarta: Seri Penelitian PMB-LIPI.

Mubyarto, L. Soetrisno, P. Sudiro, S.A. Awang, Sulistiyo, A.S. Dewanta, N.S. Rejeki, dan E. Pratiwi 1991 Kajian Sosial Ekonomi Desa-desa Perbatasan di Kalimantan Timur. Yogyakarta: Aditya

Media. Sugesti, N.

1999 Profil Pedagang Lintas Batas Entikong (Pasar Kaget). Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Pontianak: Fakultas Ekonomi Universitas Tanjung Pura.

Referensi

Dokumen terkait

Tahap awal dari proses pembiayaan mudharabah ini adalah pengajuan dari nasabah ke bagian marketing pembiayaan yang disebut dengan Account Officer (AO) untuk

Memberikan cairan oralit di puskesmas sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam dengan menentukan jumah oralit yang akan di berikan, jumlah oralit yang di perlukan (dalam ml) dapat

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sistem penentuan almari favorit dengan menggunakan metode profile matching yang bisa dapat mempermudah bagian gudang dalam

Kepada suami tercinta, Dr.Hari Putra Dermawan, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas do’a, dukungan semangat dan pengertian yang tidak terhingga dalam menerima

Hasil penelitian dengan mengunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada mata pelajaran pada mata pelajaran Konstruksi Bangunan SMK N 1 Sidoarjo

Kepala Suku Dinas Perhubungan dan Transportasi Jakarta Utara, Mirza Aryadi, mengatakan dengan diberlakukan sistem ini nantinya kendaraan dari arah Jl Pluit Utara Raya sudah

Sedangkan untuk perbandingan prediksi kebuthan BBM dengan prediksi persediaan optimal perbulan pada tabel 13, maka BBM di Kota Poso tidak akan mengalami kekurangan Kuota

menguatkan kemampuannya mengelola proses pembeljaran demi pencapaian tujuan pembelajaran. Ini diadakan sekolah untuk menjaga dan atau menguatkan kualitas guru dalam