• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM VS BARAT Studi Komparatif tentang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISLAM VS BARAT Studi Komparatif tentang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Dalam sebuah karya, yang oleh Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud diberi judul The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief History and Philosophy of the International Institute of Islamic Thought and Civilization

(ISTAC), dikemukakan secara panjang lebar bagaimana perjuangan seorang anak Muslim bernama Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang penuh keperihatinan terhadap kondisi dan krisis yang melanda Ummat Islam yang, menurutnya, sesegera mungkin harus dicari solusi dan pemecahannya.

Berawal dari surat al-Attas yang beliau tujukan kepada Islamic Secretariat yang bermarkas di Jeddah, Saudi Arabia tertanggal 15 Mey 1973. Al-Attas, dalam suratnya, meyakinkan bahwa krisis yang melanda Ummat Islam, tak lain dan tak bukan, adalah krisis ilmu atau pengetahuan

(the real crux of the problems arising in Muslim nations is the problem of knowledge).

Oleh karenanya, perlu mengundang para otoritatif Muslim untuk duduk bersama memecahkan krisis tersebut.

Sebagai jawaban dan tanggapan atas surat tersebut, maka diadakanlah Konfrensi Dunia Islam Pertama pada tahun 1977 (First World Conference on Muslim Education) yang diorganise oleh Universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Konfrensi yang berlangsung selama 9 hari ini (31 Maret-8 April 1977) dihadiri oleh lebih dari 300 skolar dari berbagai belahan dunia.1 Dalam pertemuan tersebut, issue-issue

seputar pendidikan dibahas secara detail dan sistematik, baik secara teoretikal maupun praktikal, khususnya mengenai beberapa konsep penting seperti, konsep ilmu atau pengetahuan, konsep manusia, konsep mengenai tujuan dan objektif pendidikan dalam Islam, konsep universitas Islam (al-jāmi‘ah al-Islāmiyyah = Islamic University) Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer (islamization of present-day knowledge) dan lain sebagainya.

(2)

Seperti yang akan kita bahas dalam pemaparan berikut, bahwa konsep pendidikan dalam Islam, yang tercakup di dalamnya pembahasan mengenai ilmu atau pengetahuan atau sains dan sumbernya (knowledge and it’s sources and methods), objek ilmu (object of knowledge), manusia (the nature of man and the psychology of the human soul), tujuan dan objektif pendidikan, universitas dan islamisasi (ketiga yang tersebut terakhir tidak menjadi objek fokus dalam pembahasan artikel ini), berbeda dengan konsep pendidikan yang dianut oleh Barat. Hal ini, menarik benang merahnya, adalah akibat dari sebuah projek filsafat (a philosophical project) yang diistilahkan sebagai secular-secularism-secularization. Secularization yang mengambil akar katanya dari bahasa Latin saeculum memiliki padanan kata dalam bahasa Arab انه dan آنلا yang literalnya adalah

di sini dan kini (here and now). Artinya, world view atau “cara pandang” mengenai sesuatu apapun, baik konseptual ataupun praktikal, harus sesuai dengan prinsip di sini dan kini. Dengan kata lain, di sini dan kini adalah cara pandang yang hanya melihat aspek alam dunia materi dan kebendaan sebagai satu-satunya level eksistensi atau yang dianggap ada. konsekuensinya, aspek-aspek yang berkenaan dengan sesuatu yang “bentuknya” immaterial, seperti, alam akhirat, ruh, jiwa, dan bahkan Tuhan, harus dibuang dari alam pikir manusia dan dianggap tidak ada, karena tidak sesuai dengan prinsip di sini dan kini.

World-view Islam atau cara pandang Islam, justeru tidak terlepas dari dua alam yang saling berkaitan, alam materi dan immateri atau alam syahadah dan alam gaib atau alam fisik dan alam metafisika atau alam dunia dan alam akhirat. Pembahasan mengenai world-view Barat dan Islam inilah yang akan mewarnai diskursus kita mengenai ilmu atau sains Islam versus sains Barat.

Di dalam rangkaian perdebatan mengenai kluster “sains” (science), sedikitnya ada dua implikasi makna yang dapat kita simpulkan, yaitu: (1) sains berimplikasi sebagai sebuah metode pendekatan (method of inquiry) atau populernya diistilahkan dengan

(3)

“pengetahuan ilmiah,” atau “ilmu pengetahuan.”2 Tiga istilah yang

disebut terakhir ini agak membingungkan. Oleh karena itu, perlu diberi catatan awal, bahwa tulisan ini akan menggunakan terma sains atau ilmu atau pengetahuan (terjemahan al-‘ilm), berdiri sendiri tanpa penyandaran, dan yang referensinya adalah implikasi kedua. Adapun apabila menggunakan kluster metode ilmiah, maka yang dimaksud adalah pendekatan yang juga dapat berarti “sumber” (sources of knowledge).

Lalu apa dan bagaimanakah sains itu (al-‘ilm)? Pendekatan apa saja yang harus ditempuh untuk menghasilkan sains (al-‘ālim)? Apa hakikat objek materia-nya (al-ma’lumāt)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita ke dalam pembicaraan topik besar filsafat, yaitu, “epistemology” dan “ontology.” Diskursus ini akan dipresentasikan dari dua perspektif: Barat dan Islam.

A. PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI 1) EPISTEMOLOGI BARAT

Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu. Ianya membicarakan

sumber ilmu, dan proses tercapainya ilmu tersebut. Dengan kata lain, bagaimana ilmu tersebut dapat diperoleh, apa metode atau sumbernya? Berikut ini dikemukakan beberapa aliran yang khusus membicarakan epistemology yang sekaligus merepresentasikan world-view Barat:

1. Empirisme

Kata empirisme berasal dari kata yunani empeirikos (masdarnya empeiria) yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh ilmu melalui pengalamannya. Dan sesuai kandungan makna kata empeirikos, maka pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya. Konsekuensinya,

sesuatu yang tidak dapat diamati melalui lima indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba) bukanlah ilmu yang benar. Ilmu yang dihasilkann dari inderawi itulah sumber ilmu yang benar.

Karena itu, metode penelitian dari aliran ini adalah eksperimen.

(4)

Pada periode atau abad modern, aliran ini dikembangkan oleh John Locke (1632-1704). Melalui teorinya “tabula rasa” yang berarti jiwa yang kosong, Locke berpendapat bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari ilmu, kemudian pengalamannya mengisi jiwa yang kosong tersebut lantas ia memiliki ilmu.

2. Rasionalisme

Rasionalisme mengkritik empirisisme dengan mengemukakan keterbatasan indera. Indera ini dapat “menipu” dengan melaporkan objek tidak sebagaimana adanya. Pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin, dan bahkan objek yang lebih besar dari bumi pun dapat terlihat kecil, kata aliran ini. Oleh karena itu, akal adalah dasar kepastian ilmu, ilmu yang benar diperoleh dan diukur dengan akal melalui kegiatan akal menangkap objek. Aliran ini dikembangkan oleh Rene Descartes (1596-1650).

Meskipun demikian, aliran ini tidak sepenuhnya menolak kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Bagi aliran ini, indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata dengan akal. Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, kacau. Bahan ini kemudian dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akal mengatur bahan itu sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi, akal bekerja karena ada bahan dari indera. Akan tetapi, akal dapat juga menghasilkan ilmu yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal dapat juga menghasilkan ilmu tentang objek yang betul-betul abstrak.

3. Positivisme

Tokoh aliran ini adalah Agust Comte (1798-1857). Comte adalah penganut empirisme. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi melalui eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan dan sebagainya.3

(5)

“Perkawinan” saling silang dari aliran-aliran epistemology inilah yang kemudian melahirkan metode ilmiah (scientific method) dan selanjutnya memiliki “keturunan” yang bernama sains (scientific knowledge). Pastinya, perpaduan dan kerjasama antara aliran rasionalisme dan empirisme, diperkuat oleh positvisme adalah prosedur metode ilmiah yang diterapkan dalam membaca data atau objek materia untuk mencapai sains.

Prosedur metode ilmiah tersebut kemudian, oleh Manheim, dilengkapi dengan sifat penelitan yang objektif, akurat, sistematis, dan analitis. Manheim menulis:

Science is an objective, accurate, and systematic analysis of a determinate body of empirical data, in order to discover recurring relationships among phenomena (Sains adalah [hasil] analisa terhadap data [yang bersifat] empiris yang telah ditetapkan, dilakukan secara objektif, akurat dan analisa sistematik untuk mengungkap hubungan-hubungan di antara fenomena).4

Dapat disimpulkan bahwa sains dicapai melalui prosedur atau metode yang menggabungkan aliran-aliran dalam epistemology (antara rasionalisme dan empirisme, diperkuat dengan positivisme) dengan sifat penelitian yang objektif, akurat, sistematis dan analitis, terhadap objek materia. Jelasnya, berpikir rasional untuk menurunkan hipotesis, dilanjutkan dengan berpikir secara empiris yang didukung oleh eksperimen untuk membuktikan kebenaran hipotesis. Dari sinilah sains Barat benar-benar dimulai.5

Lalu apa dan bagaimana objek materia? Apa hakikatnya? Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa objek materia penelitian sains ialah “segala sesuatu” yang bersifat empiris, yaitu yang dapat diamati oleh panca indera, tidak lebih dari itu!!!

4 Disebut oleh Felix dalam Thesis Proposal, 1. Ada empat kata kunci dalam pernyataan definisi tersebut yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) Objektif. Artinya peneliti selayaknya mendudukkan perkara sebagaimana mestinya, artinya tidak bias, prejudis, ataupun personal dalam kegiatan penelitian, (2)

Akurat. Akurat berarti bahwa peneliti harus tepat, pasti dan persis dalam mengurai pembahasan, (3) Sistematis. Artinya, dalam pemaparan, peneliti harus menunjukkan “benang-merah” argumentasinya, yakni antara satu ide, konsep, atau postulat dengan yang lainnya terlihat jelas ketersinambungan dan koherensinya, dan (4) Analitis. Artinya melakukan pendalaman terhadap objek yang diteliti dengan memperhatikan segala aspek-aspeknya.

(6)

Kita beri ilustrasi mengenai hujan. Apa itu hujan? Mata melihat bahwa hujan adalah air yang turun dari langit. Dapat diamati. Mengapa air itu turun? Dilakukan penelitian dan ditemukan bahwa ada evaporasi, yaitu air menguap, kemudian berkumpul di atas, lalu turun ke bawah, itulah yang disebut hujan. Dapat diteliti. Mengapa air laut, air danau, ataupun air sumur menguap? Karena terjadi pemanasan. Masih dapat diteliti. Mengapa di Indonesia banyak hujan, tetapi di padang pasir sedikit hujan? Karena di Indonesia banyak gunung, sedangkan di padang pasir tidak. Tetap masih dapat diteliti. Akan tetapi, mengapa di Indonesia banyak gunung sedangkan di padang pasir tidak. Untuk pertanyaan ini (dan pertanyaan-pertanyaan semacamnya), sains “bungkam” karena sudah bukan areal yang dapat diamati dan diteliti!

Mengapa sains bungkam? Karena sains melakukan penelitian terbatas kepada objek materia yang bersifat empiris saja. Kenapa penelitian sains hanya terbatas kepada objek materia yang bersifat empiris saja? Bukankah materia itu terdiri dari objek yang sifatnya empiris dan yang bukan empiris, sebagaimana yang diyakini oleh agama atau bahkan sebahagian filosof? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan mewarnai diskursus kita mengenai epistemologi Islam.

2) EPISTEMOLOGI ISLAM

Dari pembahasan di atas, kita telah mengetengahkan bahwa sains (scientific knowledge) dihasilkan dari atau dengan menggunakan pendekatan ratio (melalui jalan deduktif) dan empeirikos (melalui jalan induktif) diperkuat dengan eksperimen.6 Perspektifnya adalah,

objektif, akurat, sistematis dan analitis. Objek penelitiannya adalah

(7)

segala yang dapat diamati oleh indera. Konsekuensinya, segala yang tidak dapat diamati oleh indera bukanlah sains.7

Lalu apa dan bagaimana epistemologi dalam perspektif Islam? Apakah menolak perspektif sains yang mengambil sumbernya dari rasio dan inderawi? Tentu jawabannya adalah tidak, akan tetapi Islam tidak berhenti kepada kedua sumber tersebut. Islam meyakini wahyu (al-khabar al- ādiq: al-Qur’ān dan al- adīṣ ṡ), dan intuisi (al-Ilhām) sebagai sumber dalam mencapai dan memperoleh ilmu.8

Wahyu adalah sumber utama bagi Islam. Berbagai aspek dibicarakan di dalamnya, baik secara global ataupun rinci, termasuk epistemologi, ontology, aksiologi, kosmologi, psikologi, sosiologi, eskatologi, dan lain sebagainya. Dalam epistemologi, misalnya, Wahyu amat mengharagai akal dan penelitian atau observasi inderawi. Penggalan-pengalan ayat berikut merupakan justifikasi dari penghargaan itu: آنورصبت لفا ،آنولقعت لفا dan لببإبلا ىببلا آنورببظني لفا تبببقلخ فبببيك .9 Bahkan berkembangnya pemikiran filsafat Islam

memperoleh dorongan yang kuat dari kedua sumber Islam tersebut. Lalu mengapa sains modern Barat tidak menggunakan sumber-sumber agama sebagaimana halnya dalam Islam? Bukankah peradaban Barat, dilihat dari sejarahnya, “berkembang” melalui proses “injeksi” atau perpaduan berbagai unsur, yaitu unsur filsafat dari Greek, hukum dan pemerintahan dari Roma, dan agama dari Yahudi dan Nasrani atau bahkan Islam?10

Ada tiga posibilitas jawaban dari pertanyaan tersebut yang salaing berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu:

Pertama: Kitab Suci Nasrani, tidak banyak “berbicara” mengenai akal.11 Kondisi demikian mengantisipasi munculnya

berbagai “spekulasi pemikiran.” Dua jalan pemikiran pokok yang saling bertentangan dan mendominasi sejarah perkembangan peradaban barat, yakni akal dan mistis. Sejak Thales sampai sophists, pemikiran rasional 7 Ahamad Tafsir, 24.

8 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 39. 9 Kata yang biasa digunakan dalam al-Qur’ān dan al-Ḥadīṡ adalah: ،رإبدت ،رظن

،ركفت Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), 20. Al-Attas menegaskan bahwa sumbangsi Islam berupa spirit “keilmuan” terhadap peradaban Barat tidak dapat memberi peran yang dominan, bahkan “dipaksa” untuk menyesuaikan diri dengan tradisi dan kultur Barat, sehingga memberi konsekuensi terjadinya “dualisme” dalam worldview (cara-pandang) Barat. Disebut selanjutnya sebagai Objectives.

(8)

mendominasi dan mengalahkan mistis. Namun, sejak Sokrates sampai menjelang Abad pertengahan, keduanya, yakni, akal dan mistis menduduki posisi yang sama. Pada Abad pertengahan, agama (iman kristen) mendominasi dan mengalahkan akal. Akan tetapi, munculnya Descartes sampai masa Kant, akal berkibar kembali, bahkan sampai zaman sekarang tetap bertahan meski tidak dikatakan mendominasi, karena agama pun kembali meraih popularitas. Kedua jalan pikiran yang saling mendominasi inilah yang mewarani jalan hidup peradaban Barat. Warna hidup peradaban ini diwakili oleh dua prinsip besar yang dikenal dengan prinsip cogito ergo sum-nya Rene Descartes (1596-1650) yang mewakili kalangan rasionalis, dan prinsip credo ut intelligam-nya Saint Anselmus (1033-1109) yang mewakili kalangan agamawan.12 Ketika pemikiran rasionalis mendominasi,

maka banyak kalangan yang meninggalkan agamanya alias materialis dan bahkan ateis, sedangkan apabila agama mendominasi, pemikiran rasional ditentang. Singkatnya, tidak ada keharmonisan diantara keduanya. Kedua: Teori “emanasi” yang memberi implikasi filosofis

terhadap eksistensi dan realitas Tuhan. Teori ini berasumsi ke-qadīm-an semesta alam, bahwa Tuhan eksis semesta alam pun eksis, Tuhan tidak menciptakan alam, dan bahkan Tuhan tidak mendahului alam dari sisi waktu dan zaman. Tuhan hanya mendahuluinya dari sisi tingkatan eksistensi atau wujūd, seperti halanya angka 1 yang mendahului angka 2. Angka satu tidak menciptakan angka 2, 3, 4 dan seterusnya, serta tidak mendahuluinya dari sisi waktu, meski angka 2, 3, 4 dan seterusnya tidak eksis jika angka satu tidak eksis. Tuhan dan alam ibarat Manusia yang bercermin di kaca, bayangan tidak diciptakan oleh yang bercemin. Manusia yang bercermin tersebut tidak mendahului bayangannya dalam hal bergerak. Jadi Tuhan ada, semesta alam pun ada. Konsekuensinya, negasi atas qudrah, irādah dan

ikhtiyār Tuhan. Konsekuensi berikutnya, semesta alam tidak bergantung kepada yang lain selain dirinya (independent), ianya berkembang melalui “hukum” yang

(9)

ada pada dirinya (self-subsistent). Konsekuensi selanjutnya, semesta alam (natural world) dianggap sebagai satu-satunya level eksistensi (the only level of reality). Sederhananya, objek materia yang tidak empiris tidak diakui keber-ada-annya, alias tidak eksis. Negasi atas aspek sakral dalam semesta alam ini (desacralization of nature) juga berimplikasi pada penolakan authority agama (revealed knowledge) dan intuisi (an intuitive knowledge).

Konsekuensi terakhir ini, beserta segala implikasi-implikasinya, akan mengembalikan kita pada diskusi mengenai apa dan bagaimana objek materia, dan tentunya memasuki areal dan sistematika filsafat, yakni ontologi.

Ketiga: Pengaruh ajaran Sophist yang menjadikan manusia sebagai ukuran segala sesuatu. Implikasinya adalah tidak ada kebenaran hakiki, artinya, tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika, tentang metafisika, dan juga tentang agama. Yang benar adalah yang benar menurutku, atau menurutmu, atau menurutnya.

B. PERSPEKTIF ONTOLOGI

Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat “sesuatu” (a study of being per se). Haqiqah yang berasal dari bahasa Arab diterjemahkan sebagai reality (realitas). Realitas ialah

kenyataan yang sebenarnya atau keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan pula keadaan yang berubah.

Bidang pembicaraan ontologi ini adalah segala yang ada dan yang mungkin ada. Filosof membagai bidang ontologi, sebagaimana yang dikutip oleh imam al-Sanusi, kedalam 3 bagian:

(10)

oleh akal akan ada-nya. Yang ke-ada-annya mungkin, adalah akal dapat memikirkan ada ataupun tidak ada-nya.13

Pembagian realitas di atas sudah barang tentu memunculkan pro dan kontra. Pro bagi kalangan yang meyakini realitas dan eksistensi alam metafiika (beyond physics), termasuk ruh, spirit dan Tuhan. Dan kontra bagi kalangan yang hanya mengakui hakikat fisik sebagai satu-satunya realitas. Untuk kepentingan pembahasan ini, dan sekaligus melihat sains (scientific knowledge) Barat secara utuh, sedikitnya tiga aliran ontologi yang melatar belakangi pemikiran (cognitive foundation) sains Barat akan menjadi fokus diskusi, yaitu: (1) materealisme, (2) naturalisme, dan (3) sophisme.14

1. Materialisme adalah aliran yang melihat bahwa objek materia itu adalah materi atau benda itu sendiri. Ruh, spirit dan bahkan Tuhan muncul dari benda. Ruh, spirit dan Tuhan tidak akan ada apabila benda tidak ada. Sebutan Dewi Sri tidak akan ada kecuali karena ada benda yang disebut padi, kata mereka. Jadi realitas adalah benda itu sendiri.

2. Naturalisme adalah aliran yang hampir sama dengan aliran materialisme. Persamaannya adalah pengakuan objek materia atau benda sebagai satu-satunya “tingkatan” eksistensi (the only level of reality). Perbedaannya, aliran materialisme mengakui keber-ada-an, ruh, spirit dan Tuhan, akan tetapi tergantung pada realitas objek, sedangkan naturalisme tidak mengakui keber-ada-annya atau realitasnya.

3. Sophisme (sūfastā’iyyah dalam bahasa Arab dan sophistai dalam bahasa Greek). Ajaran ini muncul pada zaman Yunani kuno diketuai oleh Protagoras (480-410 SM). Ajaran ini berangkat dari pemikiran bahwa tidak ada yang eksis, kalaupun ada, hal itu tidak dapat diketahui pasti, dan kalaupun dapat diketahui, maka hal itu tidak dapat dikomunikasikan kepada yang lain (nothing exists, and if something exists, it could not be known, and that if it could be known, it could not be communicated). Prinsip dasar mereka adalah memandang

manusia sebagai ukuran segalanya (man is the measure of all things).

13 Secara komprehensif dibahas dalam Syeikh Ibrahim Baijuri, Sharh al-Sanusiyyah (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, th), 9-13 dan Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 18-22.

14 Ahmad Tafsir, 29-30. Secara ekstensif dibahas dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Oldest Known Malay Manuscript: a 16th Century Malay Translation

(11)

Dengan demikian, kebenaran adalah relatif (tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika, metafisika, dan juga tentang agama)! Yang benar adalah yang benar menurutku, atau menurutmu, atau menurutnya. Sophisme memiliki tiga bentuk aliran, yaitu: (a) al-‘inādiyyah,

(b) al-‘indiyyah, dan (c) al-lā adriyyah:

a. al-‘inādiyyah adalah aliran dalam Sophisme yang menolak realitas atau hakikat sesuatu (tidak ada yang eksis).

b. al-‘indiyyah (subjectivists) adalah aliran dalam Sophisme yang menolak objektifitas dan kebenaran ilmu. Mereka mengajarkan bahwa semua ilmu adalah subjektif, dan kebenaran sesuatu itu hanyalah menurut perspektif dan pandangan seseorang terhadap sesuatu tersebut. Kalimat yang biasa digunakan oleh mereka adalah: menurut pandanganku, menurut pandanganmu, menurut si pulan.

c. al-lā adriyyah (agnostics) adalah aliran dalam Sophisme yang menggunakan ungkapan saya tidak tahu. Ungkapan tersebut bermaksud: saya ragu atau tidak yakin apakah sesuatu itu benar ada, benar-benar riil atau memiliki realitas. Implikasinya adalah manusia tidak mungkin tahu atau memiliki pengetahuan tentang sesuatu tersebut (deny the possibility of knowledge).

(12)

Penjelasan mengenai epistemologi dan ontology Islam yang juga sekaligus sebagai sanggahan atas asumsi sains yang berkembang di Barat, dapat kita baca melalui karya monumental al-Imam al-Nasafi dalam teologi. Beliau menulis:

،ةتإبااث ءايأشلا قئاقح ،ادإبا هللا مه زعا قحلا لها لاق

باببباسا مبباث .ةيئاطببسفوسلل افلخ ،ققحتم اهإب ملعلاو

،قداببصلا ربببخلا ،ةميلسلا ساوحلا :ةاثلاث قلخلل ملعلا

ةحبصإب ةبفرعملا باببباسا نم سيل ماهللاو ... لقعلاو

...قحلا لها دنع ئشلا

Berkata ahl al- aqḥ (mudah-mudahan Allah memberinya kucuran rahmat!) realitas segala sesuatu itu “tetap” adanya, dan ilmu mengenainya (segala sesuatu) benar-benar dapat “diperoleh,” berbeda dengan apa yang diyakini oleh para sophists. Adapun sebab-sebab atau

sumber-sumber ilmu itu ada tiga: (1) al-khabar al- ādiq [al-Qur’ān dan al- adī ]Ḥ ṡ , (2) indera [lima indera luar dan lima indera dalam], dan (3) aql [rasio] … adapun al-ilhām

[intuisi] itu tidak termasuk sebagai sumber ilmu.15

Beberapa poin yang perlu mendapat perhatian dalam pernyataan al-Nasafi ini, di antaranya adalah:

Pertama: ةتإبااث ءايأشلا قئاقح = realitas segala sesuatu itu ada hakikatnya.

Kata

ئشلا

berarti sesuatu, atau segala yang ada selain dari Tuhan (

هللا ىواس ام

). Kata ini memiliki padanan arti dalam bahasa Arab yaitu:

،تامولعملا ،يعيبط ،(تاقولخملا) قلخلا ،(تانئاكلا) آنوكلا

ملاعلا

:

1. (تانئاكلا) آنوكلا

dalam filsafat disebut sebagai

آنوكلا ملاع

داسفلاو artinya alam yang berasal dari atau muncul dan

tercipta dari ‘ālam al-’amr (alam perintah Allah) melalui kata atau kalimat (نببك - نئاببك / آنوببك – آنوببكي – آناببك) نببك sebagaimana firman Allah: لوقي آنا ائيأش دارا اذا هرما امنا

آنوكيف نك هل

(13)

2. (تاببقولخملا) قببلخلا

artinya ciptaan, kata ini memberi indikasi adanya قلاخلا atau pencipta (- اقلخ – قلخي – قلخ

قلاخ).

3.

يعيبببط dalam filsafat disebut sebagai يعيبببط ملاببع yang

berarti alam “terbit” atau alam ”stempel.” Indikasinya adalah bila ada yang terbit sudah pasti ada penerbitnya atau pelaku yang melakukan stempel tersebut.

4.

تامولعملا

atau objek ilmu. Indikasinya adalah

ملاعلا

yang

berarti yang Maha Mengetahui

– ملاع – املع – ملعي – ملع

تامولعم / مولعم)).

5. ئببشلا yang berarti sesuatu. Ini mengindikasikan adanya

ةئيشم atau yang “menghendaki,” dalam “teologi-kehendak”

(free will & pre destination) disebut sebagai

– ءاأش)

هللا ةئيشمإب

(ةئيشم - ئأش – ءاشي.

Terma-terma tersebut di atas, sebagaimana yang dapat dilihat, memunculkan indikasi adanya “sesuatu” yang lain selain dari dirinya (point to something other than itself). Sesuatu yang lain selain dari dirinya ini biasa diistilahkan dengan “tanda” (simbol = āyah) akan adanya Allah. Hal ini tentu berbeda dengan keyakinan “animisme” dan “dinamisme” yang memandang adanya “jiwa dan kekuatan” terhadp sesuatu atau objek materia. Perspektif Islam ini, justeru menolak adanya kepercayaan yang berbau magic dan mistis terhadap sesuatu (the expulsion from our understanding of a magical or mythical conception of nature). Beberapa ungkapan yang biasa digunakan oleh para ulama kita dalam menjelaskan hal tersebut, di antaranya oleh al-Imam Ali R.A: ”هيف هللا تيأرو لا ائيأش تيأر ام” “aku tidak melihat sesuatu kecuali [sesuatu tersebut] merepresentasikan Allah padanya.” Dengan kata lain, segala sesuatu atau objek materia “harus” dilihat sebagai simbol atau manifestasi (يلجت) Allah.

(14)

Selanjutnya, sesuatu yang merupakan manifestasi Allah memberi konsekuensi logis adanya penciptaan. Bahwa sesuatu atau objek materia adalah merupakan ciptaan yang tidak mungkin begitu saja

ada tanpa ada yang meng-ada-kannya, yaitu Allah. Dengan demikian ke-ada-annya bergantung kepada (dependent up on) yang meng-ada-kannya. Keadaan yang bergantung tersebut diistilahkan dalam ‘ilm al-kalām sebagai qiyāmuh li gairih dan dalam tasawwuf sebagai fanā’

(antonim dari sifat Allah al-baqā’ = kekal).

Kondisi sesuatu yang keadaannya bergantung tersebut, tak lain dan tak bukan, karena penciptaannya oleh Allah dilakukan secara “terus menerus setiap saat.” Artinya “ada” dan “tiada” secara

bergantian dan terus menerus terjadi tanpa ada durasi waktu yang meng-antara-i dalam masa eksistensi pertamanya menuju eksistensi keduanya dan eksistensi selanjutnya tanpa batas, jika Allah menghendaki!. Hal ini, menurut para Sufi, dilakukan agar supaya entitas atau sesuatu tersebut merasa fakir (al-faqr) dan membutuhkan Tuhan (al-Ganī) setiap saat (sense of dependency). Karena jika tetap atau pernah mengalami ketidak fanā-an atau ada dalam eksistensinya untuk dua durasi masa atau lebih, maka entitas akan mempunyai kualifikasi sebagai sesuatu yang independent (ginā) dari Tuhan dalam durasi tersebut.16 Demikianlah realitas sesuatu atau

objek materia.17 Dan inilah tesis kedua kita.

Kedua:

ققحتم اهإب ملعلاو

ilmu mengenai sesuatu atau objek materia itu benar dapat “dicapai.” Lalu pertanyaan akan muncul:

bagaimana mungkin pengetahuan mengenai sesuatu dapat tercapai, apabila realitas sesuatu atau yang menjadi objek pengetahuan tersebut kondisi penciptaannya ada dan tiada secara silih berganti dan terus menerus? Bukankah kondisi itu menunjukkan “perubahan” atau ketidak tetapan pada “diri” sesuatu atau objek materia, dan dengan kondisi demikian tidak memungkinkan tercapainya pengetahuan atau ilmu?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada pentingnya terlebih dahulu melihat konsepsi ilmu yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan Muslim. Menurut mereka, 16 Lihat Syafa’atun al-Mirzanah, When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 141-143.

(15)

semua ilmu atau pengetahuan bersumber dari Allah. Adapun proses tercapainya ilmu tersebut melalui dua jalan, yaitu: (1) ma’rifah, dan (2) iktisābī. Ma’rifah (disebut juga sebagai ladunnī) adalah ilmu yang langsung diberikan oleh Allah kepada sang “tercerah” yang telah mencapai tingkat spiritual “khusus” dan telah memiliki “kesiapan” (isti‘dād) untuk menerima “pencerahan.” Sedangkan iktisābī adalah ilmu yang diperoleh oleh seseorang melalui “aktifitas pencarian” atau usaha dengan menggunakan logika rasio dan pengalaman inderawi.18

Melihat bahwa segala ilmu mengembalikan sumbernya kepada Allah serta menimbang bahwa jiwa atau soul (‘aql, qalb, al-rū dan al-nafsḥ ) yang memiliki fungsi sebagai penerima yang sekaligus penterjemah “interpreter” ilmu tersebut melalui “organ” spiritual dan fisikal, yakni panca indera dalam dan luar, maka ilmu atau pengetahuan dapat didefinisikan sebagai ketibaan “arti” sesuatu atau objek pengetahuan pada jiwa (

سفنلا ىف ئشلا ىنعم لوصح

= the arrival in the soul of the meaning of a thing or an object of knowledge) atau

berhasilnya jiwa memperoleh “arti” sesuatu atau objek pengetahuan (

لوصو

ئشلا ىنعم ىلا سفنلا

= the arrival of the soul at the meaning of a thing or

an object of knowledge).19

Dengan demikian, apabila definisi ilmu atau pengetahuan tersebut diaplikasikan terhadap objek materia atau sesuatu, yang mana sesuatu atau objek pengetahuan tersebut memiliki kondisi penciptaan secara terus menerus, maka pengetahuan hanya dimungkinkan atau dapat tercapai melalui jalan “abstraksi.” Artinya: apabila aktifitas pencarian ilmu atau pengetahun dilakukan dengan “menggunakan” pendekatan indera (indera luar), maka yang terabstraksi dari objek materia tersebut adalah form (ṣūrah atau bentuk) yang direpresentasikannya, bukan benda atau objek itu sendiri, selanjutnya form yang telah terabstraksi tersebut, oleh ‘indera dalam’ “diolah” sedemikian rupa menjadi sebuah “ide.” Proses pembentukan atau pengolahan form menjadi ide ini disebut sebagai proses “pemahaman” (

مببهفلا

) yang pada gilirannya membuat objek pengetahuan atau sesuatu dapat “dipahami” (

موهفم). Begitu pun halnya apabila aktifitas pencarian ilmu atau

pengetahun dengan “menggunakan” pendekatan rasio atau akal, 18 Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1993), 79-80. 19 Bandingkan Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Positive Aspect of

(16)

maka yang terabstraksi dari objek materia tersebut adalah arti

(ma‘na) yang direpresentasikan oleh sesuatu atau objek pengetahuan yang melekat padanya, bukan benda atau objek itu sendiri, selanjutnya arti yang telah terabstraksi tersebut, oleh jiwa melalui organnya (al-‘aql, al-qalb, al-rūḥ dan al-nafs) “diolah” sedemikian rupa menjadi sebuah “ide.” Proses pembentukan atau pengolahan arti menjadi ide ini disebut sebagai proses “pemahaman” (مهفلا) yang pada gilirannya membuat objek pengetahuan atau sesuatu dapat “dipahami” (موببهفم).20 Perbedaan dari kedua proses ini

adalah, apabila aktifitas pencarian ilmu itu terjadi dengan jalan abstraksi form, untuk menjadi sesuatu atau objek materia yang dipahami, maka sesuatu atau objek materia tersebut mengalami proses abstraksi oleh indera luar terlebih dahulu. Indera luar kemudian mengirim “sinyal” atau data yang telah terabstraksi kepada indera dalam untuk kemudian diolah menjadi sebuah konsep atau ide. Akan tetapi, apabila aktifitas pencarian ilmu itu terjadi dengan jalan abstraksi arti, untuk menjadi sesuatu yang dipahami, maka sesuatu atau objek pengetahuan tersebut tidak harus diabstraksi oleh indera luar terlebih dahulu, tetapi langsung “diolah” oleh indera dalam. Hal ini terjadi karena arti sesuatu atau objek pengetahuan telah ada dan telah melekat pada jiwa melalui aktifitas organ-organnya, yaitu: al-‘aql, al-qalb, al-rūḥ dan al-nafs. Inilah tesis ketiga kita yang sekaligus sebagai objeksi terhadap sikap para Sophis.

Ketiga:

لقعلا

dan

ةميلسلا

ساوحلا

. Pembahasan mengenai akal (al-‘aql, al-qalb, al-rū ḥ dan al-nafs) dan indera (five external and internal senes) adalah pembahasan mengenai manusia. Oleh karenanya, diskursus kita arahkan untuk memasuki areal psikologi yang berfokus pada realitas manusia (man’s nature).

Manusia menurut perspektif Islam tidak sama dengan apa yang dianut dan diyakini oleh Barat yang nota-benenya membatasi pembahasan manusia hanya pada aspek atau level realitas fisik semata.21 Menurut Islam, disamping fisik, manusia juga memiliki

unsur non-fisik yang biasa disebut sebagai spirit atau rūḥ yang dapat dibuktikan ada-nya secara ‘sapontan’ (ةبببهيدبلا) ketika

20 Telusuri Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1989), 9-10. Selanjutnya disebut sebagai Philosophy of Science.

21 Psikologi yang dianut oleh sains modern Barat, tak lain dan tak bukan, adalah “ekstensi” dari metodologi sains yang dasar asumsinya adalah realitas fisik

(17)

seseorang berkata “saya” atau “aku.” Dengan demikian, unsur manusia terdiri dari dua aspek: fisikal dan spiritual.

Perlu ditegaskan, bahwa aspek spiritual adalah realitas atau

hakikat manusia atau yang mendifinisikannya. Oleh karena, aspek spiritual manusia inilah yang membedakannya dengan makhluk atau ciptaan lainnya. Dalam logika atau mantiq, definisi genus and differentia dilakukan untuk “membedakan” sesuatu dengan yang lainnya. Sesuatu yang membedakan ini adalah sesuatu yang essensial yang tidak terdapat pada sesuatu yang lainnya, esensi inilah yang kemudian menjadi realitas sesuatu yang didefinisikan.22 Apabila

manusia, misalnya, didefinisikan sebagai hewan yang rasional (a rational animal = قطانلا آناويحلا). Rational, yang akar katanya dari Latin rasio, memiliki padanan makna dengan

قطن

dalam bahasa Arab yang berarti “ucapan.” Kata

قطن

juga mengindikasikan rasionalitas dari sisi bahwa manusia memiliki “fakultas dalam = (inner faculty)” yang dapat memformulasikan arti. Dengan demikian, definisi manusia sebagai hewan yang rasional memberi pengertian bahwa manusia adalah hewan yang memiliki fakultas dalam yang dengan fakultas tersebut ia sanggup memformulasikan arti yang dapat dipahami dengan jalan menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat sempurna yang terungkap melalui ucapan. Dan hal ini terindikasi pada level di mana manusia masih dalam kondisinya yang berada di ‘ālam al-amr (man’s condition before he became manifested in human form) ketika ditanya untuk diambil kesaksian dan janji mereka (‘ahd atau mī āqṡ ) oleh Allah: “.مببكإبرإب تببسلا.” “bukankah Aku ini Tuhanmu?” lalu, dengan spontan, mereka menjawab “ اندهأش ىلإب اولاق ” “ya, benar dan kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami!”

Fakultas dalam inilah yang merupakan substansi spiritual yang mendefinisikan atau membedakan manusia dengan hewan yang lainnya dan menjadi realitasnya dan menjadikan manusia sebagai manusia. Dan inilah tesis keempat kita.

Menurut al-Gazālī, substansi spiritual manusia tercakup di dalamnya al-‘aql (akal atau rasio), al-qalb (hati atau heart), al-nafs (jiwa atau soul) dan al-rū ḥ (ruh atau spirit). Dan terma-terma tersebut hakikatnya memiliki entitas yang satu. Adapun penyebutannya yang berbeda-beda, hal itu dikarenakan oleh keadaannya (a wālḥ ), sehingga: (a) apabila entitas tersebut melakukan kegiatan intelektual (apprehension) maka ia disebut sebagai akal atau rasio (al-‘aql), (b) apabila entitas tersebut keadaannya “menaungi” tubuh

(18)

(governs the body), maka ia disebut sebagai jiwa atau soul (al-nafs), (c) apabila entitas tersebut keadaannya menerima intuisi dan pencerahan (receiving intuitive illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (al-qalb), dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada dunianya yang abstrak (the world of abstract entity), maka ia disebut ruh atau spirit (al-rūḥ).23

Pembahasan di atas, di samping menegaskan adanya unsur non fisikal manusia, yaitu ruh, juga menunjukkan “adanya kemungkinan” manusia untuk memperoleh pencerahan atau intuisi apabila hatitelahdipersiapakan untuk menerima pencerahan.24 Disebut adanya

kemungkinan (possibility) karena tidak semua hati dapat dan siap untuk tercerahkan. Hati yang siap adalah hati yang telah melalui “pelatihan =

ةببضاير

“ dengan melewati berbagai tingkatan dan stasiun, yakni,

لاوببحلاو ماببقملا

, yang berakhir ditandai dengan adanya “penyingkapan =

فببشكلا

” atas misteri sesuatu atau realitas.

Penting menyinggung sekilas mengenai pernyataan al-Nasafī mengenai intuisi ini

ئببشلا ةحببصإب ةفرعملا باباسا نم سيل ماهللاو

.

Bahwa: “adapun intuisi itu tidaklah menjadi sumber ilmu atau pengetahuan” tidak dimaksudkan kepada intuisi itu sendiri yang, dalam Islam diakui secara affirmatif sebagai salah satu sumber rujukan dalam pencapaian ilmu atau pengetahuan.25 Kalimat tersebut ditujukan kepada “personal” atau

pihak-pihak tertentu, khususnya, pseudo-Sufi (ke-sufi-sufi-an) yang sesat dan banyak melakukan “penyesatan” akibat dari klaim penerimaan intuisi tersebut. Jadi negasi atas ilham sebagai sumber ilmu tidak bersifat general atau umum, oleh karena bagi sebahagian, khususnya, kalangan yang telah teruji tingkat kesalehan dan spiritualnya, terjadinya intuisi sangat dimungkinkan.26

ساوحلا

ةميلسلا

atau indera. Indera yang merupakan sumber

ilmu atau pengetahuan tidak hanya terbatas kepada lima indera 23 Dikutip dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul: A Brief Outline and a Framework for an Islamic Psychology and Epistemology (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990), 7-8. Pengutipan selanjutnya menyebut Islamic Psychology.

24 Diskursus mengenai intuisi secara filosofis dibahas dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Intuition of Existence: A Fundamental Basis of Isamic Metaphysics (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990).

25 Fa al-hamaha fujuraha wa taqwaha, wa auhaina ila ummi musa dan ………..

(19)

luar, sebagaimana yang diyakini oleh Barat. Akan tetapi, menurut Islam, disamping indera luar, yaitu indera penglihatan, pendengaran, peraba, perasa dan penciuman, ada juga indera dalam yaitu, fantasia (كرتشملا سحلا), representatif (ةيلايخلا), estimatif (ةيمهولا), retentive dan rekolektif (ةركاذلا و ةظفاحلا), dan imaginatif ( ةليختملا). Indera dalam tersebut adalah fakultas intermediari yang dapat berhubungan langsung dengan(1) indera luar, dan (2) rasio. Ringkasnya, hubungan antara indera dalam dengan indera luar adalah transfer data form. Artinya, indera luar melakukan transfer data form yang dipersepsinya dari objek materia menuju indera dalam sebagai penerima dan interpreter. Form tersebut, selanjutnya, diolah (act upon it) sedemikian rupa menjadi sebuah ide yang dipahami. Begitu juga halnya dengan hubungan indera dalam dengan rasio. Bedanya hanyalah dari sisi objek yang ditransfer. Di sini yang ditransfer adalah data arti yang dipersepsi oleh rasio.

Fungsi dari kelima indera dalam tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

a) Fantasia adalah fakultas yang melakukan persepsi atau menangkap form dari objek pengetahuan. Form tersebut kemudian disimpan oleh fakultas imaginatif atau representatif. b) Estimatif adalah fakultas yang melakukan persepsi atau menangkap arti dari objek pengetahuan. Arti tersebut disimpan oleh retentif dan rekolektif.

(20)

melakukan abstraksi arti dari form-form tersebut. Jiwa memanfaatkan fakultas imaginatif ini dalam rangka pengklasifikasian data: jika pemanfaatan tersebut bertujuan intelektual maka hasilnya adalah ‘renungan,’ tetapi, jika fakultas imaginatif tersebut digunakan berdasarkan realitasnya yang bersifat imaginatif, maka hasilnya adalah imaginasi.

KESIMPULAN:

1. Sains atau ilmu atau pengetahuan menurut perspektif Barat dan Islam tidaklah sama.

2. Epistemologi Barat memberi penekanan terhadap kerja akal yang dapat diidentifikasi sebagai “otak atau brain” dan indera yang diidentifikasi sebagai penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa yang dilengkapi dengan eksperimen.

3. Epistemologi Islam di samping mengakui akal dan inderawi, tetapi menambahkan wahyu dan intuisi sebagai sumber ilmu atau pengetahuan.

4. Ontologi Barat melihat segala sesuatu atau objek pengetahuan atau natural world sebagai satu-satunya level eksistensi. Artinya, hanya alam fisikal yang dianggap sebagai realitas. Konsekuensinya, alam spiritual, alam non fisikal, alam gaib termasuk jiwa, ruh dan Tuhan dianggap tidak eksis.

5. Ontologi Islam

(21)

mengakui adanya alam spiritual, metafisikal, alam gaib, termasuk jiwa, ruh dan pastinya Tuhan.

b. Islam juga menegaskan bahwa realitas segala sesuatu itu hanyalah merupakan simbol atau ayah. Artinya, segala sesuatu tersebut hanyalah manifestasi dari Allah. c. Penegasan ini tidaklah berarti bahwa Islam mengakui keberadaan dinamisme dan animisme. Akan tetapi penegasan tersebut bermaksud bahwa segala sesuatu menunjuk adanya Tuhan yang menciptakannya.

d. Penciptaan tersebut dilakukan secara berkesinambungan tanpa henti dan tanpa ada dua durasi yang mengantarai dalam masa penciptaan pertamanya menuju penciptaan keduanya dan penciptaan seterusnya (jika Allah menghendaki).

e. Penciptaan yang sedemikian rupa (berkesinambungan) tidak berarti bahwa pengetahuan mengenai sesuatu tersebut tidak dimungkinkan. Pengetahuan dimungkinkan dengan adanya konsep ilmu yang menegaskan sifat abstraksi form dan arti dari sesuatu, bukan sesuatu atau objek materia itu sendiri.

6. Psikologi Islam:

a. Berbeda dengan apa yang diyakini oleh Barat yang menekankan realitas manusia pada aspek fisik semata. Islam mengakui kedua aspek, yaitu aspek fisik dan non fisik manusia. aspek non fisik inilah yang menjadi realitasnya dan mendefinisikan manusia sebagai manusia. Unsur tersebut terindikasi pada leve dimana manusia masih berada di ‘ālam al-malakūt dan belum menghuni ‘ālam al-dunia.

(22)

tersebut keadaannya menerima intuisi dan pencerahan (receiving intuitive illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (al-qalb), dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada dunianya yang abstrak (the world of abstract entity), maka ia disebut ruh atau spirit

(al-rūḥ).

c. Aspek non fisik inilah yang kemudian membuktikan adanya kemungkinan terjadinya pencerahan atau intuisi yang berlokasi pada hati yang siap untuk menerima pencerahan.

(23)

Rumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan problematik. Tetapkan juga variable yang ada atau terkandung dalam pertanyaan tersebut.

Identifikasi kemungkinan-kemungkinan jawaban dari setiap pertanyaan tersebut dengan melakukan analisis teori-teori, prinsip, hukum dari ilmu pengetahuan yang menunjang tema permasalahan tersebut.

Dari setiap kemungkinan jawaban yang ditemukan dan atas pertimbangan rasional kita setelah mengkaji teori, hukum, prinsip keilmuan, tetapkan kemungkinan mana yang

paling mendekati jawabannya. Rumuskanlah

kemungkinan ini sebagai hipotesis penelitian.

Rencanakan data apa yang harus diperoleh untuk menguji

hipotesis tersebut, dari mana data itu diperoleh dan

bagaimana cara memperolehnya.

Setelah ditemukan gambaran masalah, teori dan hipotesis, dan verifikasi data di lapangan, buatlah usulan penelitian untuk diajukan kepada pihak yang berwenang untuk meminta petunjuk dan atau pengesahannya.

Setelah instrumen (alat pengumpul data) disetujui oleh pihak yang berwenang melalui uji coba, dan telah diperoleh izin penelitian, peneliti turun ke lapangan untuk melakukan pengumpulan data.

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis, kemudian hipotesis diuji, hasilnya disimpulkan, dibahas secara teoretis, berikan saran lebih lanjut.

Tulislah langkah-langkah di atas dalam satu sistematika rangkaian kegiatan penelitian.

lampiran

Prosedur sains yang kemudian menjadi “pedoman” dalam prosedur penelitian ilmiah, sebagaimana yang dapat dilihat dalam diagram, berikut: Mempelajari teori, konsep,

(24)

Penjelasan:

1) Langkah 1 adalah proses identifikasi masalah yang dapat dilakukan melalui cara berpikir rasional/deduksi, yakni dengan analisis teoretis, dan atau empirical/induksi, yakni dimulai dari pengamatan empiris. Melalui proses berpikir tersebut kita temukan masalah.

2) Langkah 2 adalah Merumuskan masalah yang telah diidentifikasi, yakni mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk dicari jawabannya. Pertanyaan yang diajukan hendaknya problematik dalam pengertian mengandung banyak kemungkinan jawabannya.

3) Langkah 3 adalah melakukan deduksi teori yang berkenaan dengan masalah untuk mengajukan hipotesis (langkah 4). Dengan demikian hipotesis dihasilkan dari teori, bukan dari pengamatan empiris. 27

4) Langkah 5 adalah verifikasi data atau metodologi, artinya mengumpulkan data secara empiris kemudian mengolah dan

27 Hipotesis adalah jawaban sementara dari pertanyaan pertanyaan penelitian yang telah diajukan di atas. Hipotesis lazimnya diungkapkan dalam bentuk pernyataan (declarative sentence), tidak boleh dalam bentuk pertanyaan. Hipotesis berfungsi sebagai tuntunan dan pegangan/jawaban sementara yang masih harus diuji kebenarannya di dalam kenyataan (empirical verification), percobaan (experimentation) atau praktek (implementation). Dalam menetapkan jawaban, hipotesis yang diajukan hendaknya diturunkan dari kajian teoretis melalui penalaran deduktif.

Ada 2 tipe hipotesis: (1) hipotesis kerja/penelitian (alternative hypothesis ) dilambangkan dengan H1, yakni asumsi-asumsi (assumption or predictions) atau pernyataan yang menunjukkan adanya hubungan antar 2 atau lebih variable, dan (2) hipotesis Nol/statistik (nul hypothesis) dilambangkan dengan H0 menunjukkan tidak adanya hubungan/kaitan antar variable. Contoh Hipotesis dalam penelitian peranan bimbingan dan penyuluhan dalam menanggulangi kesulitan belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Al-Kenaniyyah, Jakarta adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis Kerja “Ada peranan bimbingan dan penyuluhan dalam menanggulangi kesulitan belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Al-Kenaniyyah, Jakarta.”

(25)

menganalisis data untuk menguji benar tidaknya hipotesis. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya melalui data yang diperoleh secara empiris, pada dasarnya adalah jawaban definitif dari pertanyaan yang diajukan. Apabila proses pengujian hipotesis tersebut dilakukan berulang-ulang dan ternyata kebenarannya selalu ditunjukkan melalui fakta atau data empiris, maka hipotesis tersebut telah menjadi tesis.

5) Langkah 6 adalah menyusun usulan penelitian.

6) Langkah 7 adalah persiapan penelitian, terutama penyusunan instrument untuk memperoleh data dan izin mengadakan penelitian.

7) Langkah 8 adalah menganalisis data, menguji hipotesis, menarik kesimpulan hasil analisis data (menentukan jawaban-jawaban definitif dari setiap masalah yang diajukan atas dasar pembuktian atau pengujian secara empiris untuk setiap hipotesis), mengadakan pembahasan hasil pengujian hipotesis, dan memikirkan saran-saran atas dasar hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang telah diperoleh pada analisa data, konsep design layout interior dan mengumpulkan berbagai macam referensi yang akan dibuat dalam perancangan

Selanjutnya menghubungkan antara indikator biomarker (Hg dalam rambut dan Hg dalam urine) dengan gangguan kesehatan yang muncul di masyarakat di wilayah Kecamatan

Dari hasil survei yang dilakukan peneliti terhadap 8 orang wartawan di surat kabar “X” tampak 62,5 % orang wartawan di surat kabar “X” menampilkan sikap apabila

Nepenthes dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi tanah yang miskin hara dan biasanya menghasilkan kantong yang besar dengan warna yang mencolok, sementara itu kantong Nepenthes

Kunci teknologi dari desain Network Processor System-On-aChip dapat diperoleh :Frekuensi clock prosesor memiliki pengaruh yang signifikan pada konfigurasi dengan cache SRAM

1) Tes.. Tes dapat di definisikan sebagai seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan di mana

Berdasarkan data pada Gambar 1.4 dapat diketahui bahwa angka kejadian Plebitis pada bulan Januari - Maret 2015 bersifat fluktuatif yaitu mengalami penurunan pada bulan Februari dan

Untuk pemberantasan parasit benih ikan dengan menggunakan ekstrak daun mimba disarankan menggunakan dosis 15 ppm khususnya bagi pembudidaya yang belum terampil