• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DAN PENDEKATAN GE (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDEKATAN KONTEKSTUAL DAN PENDEKATAN GE (3)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDEKATAN KONTEKSTUAL DAN PENDEKATAN GENDER DALAM PENAFSIRAN

AL QURAN DAN AL HADIST

Muhamad Khoirul Anam Institut Agama Islam Negeri Metro

Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Iringmulyo Kota Metro Lampung 34111 E-Mail : muhamadkhoirulanamanam@gmail.com

Abstrak

Salah satu ilmuan Islam mengatakan bahwa penyebab diskriminasi gender bukan disebabkan oleh agama tetapi sistem politik, baik itu ideologi hukum maupun kultur sosial. Dalam Al Qur’an konsep gender dimaknai secara beragam menurut orientasi ayat dan penafsiran sesudahnya oleh para mufassir sehingga terjadi variasi pemaknaan dan kekhasan tersendiri dari ayat-ayat Al Quran yang berafiliasi dengan konsep gender, khusus dalam tafsir Al Kassyaf konsep gender dijelaskan sesuai dengan konteks makna realita sekarang sehingga makna yang terjadi lebih mengedepankan aspek objektifitas, keseimbangan, dan keterpaduan intra teks. Tafsir tentang relasi gender dalam Islam berkembang menjadi varian-varian yang beragam, meskipun bersumber dari referensi yang sama, yakni Al Qur’an dan Hadis. Salah satu faktor penting yang mendorong keragaman tersebut adalah perbedaan perspektif tentang disertakannya pertimbangan kontekstual dalam melakukan penafsiran. Bagi mufassir yang menyetujuinya memandang bahwa elemen-elemen historis dan sosiologis harus dijadikan pertimbangan dalam menafsirkan ayat. Jika elemen itu diabaikan, maka tafsir yang muncul akan mengandung bias. Namun demikian, masih diperlukan kerja keras untuk mensosialisasikannya secara komperehensif, sekaligus merespon setiap keberatan dan kritik tajam yang dilontarkan berbagai kalangan. Upaya tersebut mencakup pengembangan konsep metodologi yang lebih komprehensif sekaligus mengintegrasikan pendekatan-pendekatan studi Islam ke dalam bangunan pemikiran metodologisnya.

Kata Kunci: Gender, Tafsir, dan Konteks.

Abstacx

One of the scientists of gender discrimination is not caused by religion but a political system, whether it is legal ideology and social culture. In the Quran the concept of gender is meant for orientation varies by verse and purport afterward by the exegetes such variations and thus distinct from the verses of the Koran which is affiliated with the concept of gender, especially in tafseer al-Kassyâf interpretation of the concept of gender is described according to the context the meaning of reality right now so that, the meaning is going to put forward more aspects of objectiveness, balance, alignment and intra-text. Although it is from the same reference of sources, the Qur’an and the Haditz, tafsir of gender relation in Islam constanly growing into various kinds. Among many important factors that forces the diversity is the different perspectives about involved contextual consideration in the tafsir processes. For many exegesists (mufassir) to approve it, the elements of historical and sosiological must be considerated in analyzed. If the elements are neglected then it may lead to bias and its result will be fragmented. Nonetheles, it still needs ma ny efforts to sosializating it in more comprehensive and also to respond to any objections and outspoken critics from the society. The efforts also include to improve the methodological concept which are considered more comprehensive which integrate many a pproaches in Islamic Studies into main frame of methodological thought.

(2)

2 A. Pendahuluan

Sumber utama ajaran Islam adalah Al Qur’an, yang memiliki kekuatan yang sangat luar biasa melebihi apapun. Al Qur’an merupakan tolak ukur wawasan ke Islaman, dari zaman Rasulullah sampai akhir zaman. Al Qur’an menyerukan kepada umat manusia agar bertauhid atau mengesakan Allah. Al Qur’an juga menyeru umat Islam agar berfikir dan merenungi ayat-ayat Al Qur’an. Al Qur’an adalah kalam Allah S.W.T. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad S.A.W. Melalui malaikat Jibril dalam periode kurang lebih dua puluh tiga tahun. Al Qur’an merupakan bacaan yang sempurna dan agung. Tiada bacaan semacam Al Qur’an yang dibaca oleh ratusan juta orang Al Qur’an adalah firman Allah SWT yang digunakan sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia1. Al Qur’an adalah pedoman hidup dalam menjalankan tugas manusia di bumi yaitu sebagai kholifah2

.Al Qur’an bukanlah sebuah karya akademik maupun karya fiksi. Dari segi pandangan, Al Qur’an mengandung seluruh aspek kehidupan manusia, seperti aspek sosial, politik, dan ekonomi3. Di dalam Al Qur’an terkandung makna atau petunjuk kehidupan yang menembus dimensi ruang dan waktu dengan tujuan untuk memperoleh kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat. Karna dapat menembus dimensi ruang dan waktu, wajar bila bahasa yang ada di dalam Al Qur’an sulit dipahami oleh orang awam, karna bahasa Al Qur’an adalah bahasa illahi yang memuat pesan-pesan dalam bentuk global. Oleh karna itu maka diperlukanlah penjelasan yang lebih merinci mengenai maksut pesan-pesan yang ada didalam Al Qur’an yang kemudian disebut dengan tafsir.

Tafsir berasal dari kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup4. Tafsir difahami sebagai penjelasan, penyingkap atau pembuka makna yang belum jelas dari Al Qur’an. Meskipun banyak pengertian tafsir yang di kemukakan oleh para ulama tetapi semuanya memiliki kesamaan inti yaitu memberikan atau menjelaskan hal-hal yang masih samar yang ada pada Al Qur’an maupun al Hadis sehingga dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung di dalam al quran untuk di jadikan sebagai ketetapan hukum di dalam kehidupan sehari-hari. Apapun pendapat tentang pengertian penafsiran Al Qur’an dan al Hadis, yang terpenting adalah pendekatan dan metode yang digunakan dalam melakukan penafsiran Al Qur’an dan al Hadis. Ada banyak pendekatan dan metode yang digunakan untuk menafsirkan Al Quran, tetapi kali ini penulis membahas pendekatan kontekstualis dan pendekatan gender dalam menafsirkan Al Quran dan hadis.

1 Mokhtaridi Sudin, “Spirit Pendidikan Dalam Al Qur’an” 16 (2011): hal 1. 2Al Qur’an Surat Al Baqoroh, Surat Ke 2, Ayat ke 185.

3Mokhtaridi Sudin, “Spirit Pendidikan Dalam Al Qur’an” 16 (2011): hal 1.

(3)

3 B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hal-hal yang bersangkutan dengan pendekatan kontekstual dan pendekatan Gender dalam Penafsiran Al Qur’an dan Al Hadis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode “pengumpulan data”, yaitu penulis melihat atau membaca dari berbagai referensi buku maupun jurnal.

C. Pendekatan Kontekstual

Secara bahasa, kontekstual berasal dari kata benda bahasa inggris yaitu context yang artinya adalah kalimat pendukung atau kalimat penjelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu konteks yaitu situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Jadi dapat disimpulkan bahwa kontekstual adalah menarik suatu bagian atau situasi yang ada kaitannya dengan suatu kata atau

kalimat, sehingga dapat menambah dan mendukung makna kata atau kalimat tersebut. Secara

istilah, kontekstual memiliki pengetian usaha untuk mengartikan sesuatu dalam rangka

mengantisipasi persoalan yang sering terjadi pada saat ini yang umumnya mendesak, sehingga arti

kontekstual identik dengan situasional, pengartian yang melihat keterkaitan tentang masa lalu, masa

kini, dan masa yang mendatang atau memaknai kata dari segi sejarah, fungsional, serta prediksinya

yang dianggap benar, serta dapat mendudukkan keterkaitan antara teks Al Qur’an dan terapannya.

tafsir kontekstual melihat bahwa unsur politik, sosial, sejarah, budaya, dan ekonomi adalah hal-hal penting dalam upaya memahami makna teks (pada saat diturunkan, pada saat teks itu ditafsirkan, dan kemudian pada saat diterapkan)5. Pendekatan kontekstual studi yang didasarkan pada pendekatan sosio-historis6. Pemahaman sosio-historis dalam pendekatan kontekstual yaitu pendekatan yang tertuju pada pentingnya memahami kondisi-kondisi sejarah ketika ayat Al Qur’an diturunkan, dalam rangka menafsirkan pendapat dan kejadian sebenarnya yang terjadi pada masa lampau sampai sekarang.

Bibit dari pendekatan kontekstual dalam penafsiran adalah ayat-ayat Al-Qur`an yang

memiliki asbabun nuzul, terutama yang bersangkutan atau berkaitan dengan kejadian sosial pada

saat itu. Asbabun nuzul adalah sebab munculnya ayat Al Qur’an yang diwahyukan kepada nabi

Muhammad S.A.W. ada salah satu teori tentang asbabun nuzul yaitu teori sejarah. Teori sejarah

yaitu teori yang didasarkan pada sejarah turunnya Al Qur’an. Landasan teori sejarah ini adalah

hijrahnya nabi Muhammad S.A.W. dari Mekah ke Madinah. Menurut teori ini ayat makiyyah yaitu

ayat yang diturunkan sebelum nabi Muhammad S.A.W. hijrah ke Madinah, meskipun ada ayat yang

turun di luar kota mekah, seperti di Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah. Sedangkan ayat madaniyyah

5Abdullah Saeed, “Interpreting the Qur’an,” 2006, hal 3.

(4)

4

yaitu ayat yang diturunkan setelah nabi Muhammad S.A.W. hijrah ke Madinah, meskipun

diturunkan di kota mekah dan sekitarnya, seperti di Badar, Uhud, dan Arafah.

Asbabun nuzul adalah kejadian turunnya ayat-ayat Al Qur’an pada masa Rasullulloh. Jadi,

tidak ada cara lain untuk menafsirkan ayat selain dari periwayat yang mendengar atau melihat

langsung sebab diturunkannya ayat-ayat Al Qur’an. Asbabun nuzul merupakan patokan dari tafsir

kontekstual. Karena asbabun nuzul merupakan penggambaran dari kejadian sebenarnya dari suatu

peristiwa sosial kemasyarakatan yang melatarbelakangi dan mengiringi turunnya ayat-ayat al

Quran. Tetapi sayangnya hanya sedikit ayat yang memiliki asbabun nuzul. Sebaiknya asbabun

nuzul tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan.

Dalam kenyataannya, tidak ada banyak ayat Al Qur’an mengenai suatu kejadian atau peristiwa.

Paling tidak dari asbabun nuzul dapat diperoleh informasi tentang nilai-nilai sosial yang ada dan

berkembang pada saat itu. Nilai-nilai sosial tersebut bisa berupa adat-istiadat, karakter dari individu

atau masyarakat, relasinya dengan zaman mungkin yang populer dengan istilah Shalihun li kulli

zaman wa makan. Kita sebaiknya menggunakan asbabun nuzul sebagai alat bantu bagi kita untuk

memahami ayat Al Qur’an. Ada seseorang peneliti yang pernah berkata, “sesungguhnya pengetahuan kita tentang suatu sebab, akan membantu kita dalam memahami akibatnya”.

Al Qur’an tidak diturunkan langsung secara keseluruhan, tetapi justru diturunkan secara berangsur-angsur, menjadi bukti nyata bahwa Al Qur’an merupakan jawaban atas persoalan umat manusia7. Penulis dapat memahami secara sederhana bahwa tafsir kontekstual adalah paradigma berfikir, secara pendekatan yang berorientasi pada konteks kesejarahan. Dengan kata lain, istilah

kontekstual berarti kebiasaan suatu pandapat yang merujuk pada konteks yang tidak hanya

bertumpu pada makna teks secara literatur, tetapi juga melibatkan ayat Al Qur’an dan hadis tentang

kejadian sosial dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas penafsirannya.

Berkaitan dengan pendekatan kontekstual, para sahabat sudah menerapkannya sejak masa

Nabi Muhammad S.A.W. masih hidup. Imam Syafi’ipun banyak menafsirkan hadis Nabi secara

kontekstual, beliau menafsirkan Hadis-Hadis karena melihat bahwa banyak Hadis-Hadis yang

terlihat jelas saling bertentangan. Pendekatan kontekstual tafsir mempunyai prinsip dalam

menafsirkan Al Quran dan Al Hadist yaitu al ‘ibrah bi khusus as-sabab laa bi ‘umum al-lafdz yang

mempunyai arti ketetapan makna itu didasarkan kepada kekhususan sebab, bukan kepada

keumuman teks. Dengan metode ini, yang pertama kali dilakukan dalam menafsirkan Al Qur’an

dan Al Hadist yaitu memahami makna asli ayat, kemudian menyelidiki sejarah atau kejadian pada

kejadian pada masyarakat yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat tersebut. Dengan hal ini

penulis dapat menarik kesimpulan bahwa dalam menentukan dari suatu hukum harus dilihat dari

(5)

5

konteks zaman dan tempat, agar hukum tersebut dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat yang

ada dan dapat digunakan sebagai pedoman manusia juga.

Hadist adalah penafsiran kontekstualis dari keadaan atau pertanyaan para sahabat kepada Nabi Muhammad S.A.W. dan hadis juga pedoman bagi para sahabat untuk mengamalkan ayat-ayat Al Qur’an yang dianggap bahasanya terlalu tinggi. Nabi memberikan petunjuk-petunjuk bagi sahabat yang berbeda-beda sesuai latar belakang sahabat sendiri, maka yang interpretasi yang diberikan sahabat tentang Hadis Nabipun berbeda-beda pula. Hal ini yang menyebabkan hadis sendiri bersifat kontekstual. Usaha untuk mengkaji konteks-konteks hasil sebenarnya sangat penting untuk mengambil nilai-nilai yang didapat untuk diaplikasikan di dalam kehidupan. Tapi, sayangnya pendekatan kontekstual terhadap tafsir hadis kurang diminati.

Meskipun hadis mendapat kedudukan kedua dalam jajaran sumber hukum Islam, tapi dalam prakteknya banyak fase-fase yang mesti dilaluinya untuk mencapai kedudukan itu8. Hal tersebut terjadi karna Hadis baru dikodifikasi tahun 99H pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kodifikasi hadis inipun masih terbatas karna belum diteliti lebih lanjut lagi menggunakan disiplin ilmu hadis atau lebih dikenal dengan istilah musthalah, musthalah sendiri baru muncul pada abad 4 H. Berbeda dengan Al Qur’an yang sudah dikodifikasi sejak masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Al-Sidiq ra., kemudian dilanjutkan pada masa Usman bin Affan dengan gerakan Penyatuan Mashaf. Hal tersebut menjadikan kedudukan Al Qur’an semakin kuat, di samping ayat-ayat Al Qur’an diturunkan secara muttawatir dan pengkodifikasian Al Quran terjadi pada masa sahabat.

Permasalahan pada pendekatan kontekstal hadis sangatlah rumit, para peneliti hadis bertumpu pada sanad dan matan dari hadis. Sanad yaitu mata rantai Perawi Hadisnya, sedangkan matan yaitu isi dari Hadisnya. Kualitas Hadispun dapat berbeda-beda terhantung pada ijtihad yang digunakan dalam menafsirkan Hadis. Hanya saja penelitian hadis lebih banyak diarahkan kepada sanadnya9. Padahal sebenarnya penelitian hadis berdasarkan matannya lebih banyak didapatkan informasi. Pendekatan kontekstual hadis lebih mengacu kepada hal yang tersirat di dalam hadis. Melihat berbagai hal yang terkait.

Fazlur Rahman merupakan salah satu tokoh garda depan dalam penafsiran Al Qur’an modern10. Beliau adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah untuk memperhatikan segi konteks sejarah turunnya ayat Al Qur’an. Meskipun gagasan dari Fazlur Rahman sangat banyak, tetapi tujuan beliau adalah hanya untuk dijadikan pedoman bagi para penafsir dalam menafsirkan Al Qur’an, Tidak ada tujuan lain selain itu. Secara internal, konteks merupakan dasar

8 Abdul Malik Ghozali, “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah Dalam Ta’wil Mukhtalaf Al Hadis” 8 (Juni 2014): hal 120.

9 Ibid., hal 122.

10Lien Iffah Naf ’atu Fina, “Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed”

(6)

6 dalam memahami hukum-hukum atau perintah-perintah yang ada di dalam Al Qur’an. Akan tetapi, tafsir kontekstualis kurang diminati pada era klasik karena di anggap sulit. Perhatian akan konteks ini dipinggirkan baik dalam hal hukum maupun dalam hal tafsir, oleh sebab itu, peran dari konteks sosio-historis tidak terlihat dalam hal penafsiran Al Qur’an maupun Al Hadis. Di masa klasik, perharian akan hal ini ditunjukkan dalam pencarian asbabun nuzul dari ayat Al Qur’an. Tetapi, asbabun nuzul pada saat itu tidakbanyak dimanfaatkan dalam kerangka untuk menunjukkan keterkaitan antara Al Qur’an dengan sosio-historis. Asbabun nuzul hanya digunakan untuk mencari rujukan kejadian sosial ketika suatu ayat telah diturunkan, menyangkut hal sosial, budaya dan kepada siapa ayat tersebut di turunkan. Memperhatikan hal kontekstualis dalam menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadis sudah familiar sejak dahulu untuk memperhatikan nilai yang berubah dan tetap yang terkandung di dalam suatu ayat. Membangun sebuah nilai yang terkandung di dalam suatu ayat bukanlah perkara yang mudah, karna salah sedikit saja pasti akan menimbulkan salah pengertian pada umat, dan dikhawatirkan akan menyesatkan. Akan tetapi, jika mengidentifikasi ayatnya dengan teliti di harapkan dapat mengambil nilai yang benar dan tidak mengganggu keimanan dari umat.

Pendekatan kontenkstual Al Qur’an dan Al Hadis mengenai konsep syukur saat ini sangat diperlukan untuk menerapkan konsep syukur yang lebih mudah sesuai perkembangan zaman. Dalam konteks ini, tafsir kontekstual sebagai metode dalam memecah masalah kekinian11. Kata syukur banyak ditemukan di dalam berbagai ayat Al Quran seperti pada surat Al Furqon ayat 62 dan surat Al Insan ayat 9, kata syukur disebutkan sebanyak dua kali. Kata syukur di dalam dua ayat ini mengambarkan kekuasaan allah dalam menciptakan siang dan malam, kejadian ini menjadi pembelajaran bagi orang-orang yang ingin belajar dan ingin bersyukur kepada-Nya atas kenikmatan yang telah Allah S.W.T. berikan. Kedua kata syukur yang terdapat pada surat Al Insan pada ayat 9 tersebut menggambarkan yang berbuat kebajikan serta memberi bantuan atau makanan kepada kaum fakir miskin tanpa mengharapkan imbalan meskipun itu hanya ucapan terimakasih saja, kecuali mengharapkan keridhoan dari Allah semata. Seseorang yang meneladani sifat Allah yaitu memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan kecuali ridho Allah adalah yang termasuk kedalam golongan orang-orang yang terpuji.

Syukur mencakup tiga sisi: Pertama, syukur dengan hati, kepuasan batin atas kenikmatan yang telah didapatkan. Kedua, syukur dengan lisan, yaitu syukur yang diucapkan dengan lisan setelah bersyukur dengan hati. Yang ketiga, syukur dengan perbuatan, yaitu syukur dengan perbuatan atau tindakan memanfaatkan kenikmatan yang diberikan sebaik mungkin. Al Qur’an juga mengajarkan umat Islam untuk bersyukur atas nikmat yang diterima dengan mengucapkan

11Choirul Mahfud, “The Power of Syukur Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam Al Qur’an” 9 No 2 (Desember

(7)

7 Alhamdulillah yang mempunyai arti “segala puji bagi Allah”. Kata syukur yang banyak didapat di dalam Al Qur’an dapat menginspirasi para Mufassir untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an secara kontekstual agar tidak terpaku pada pemahaman yang sempit dan kaku. Penafsiran kata syukur pada ayat Al Qur’an sudah sebaiknya ditafsirkan sebaik mungkin agar dapat bermanfaat bagi umat Islam, agar menambah keimanan mereka.

Sebenarnya manfaat syukur itu sangat besar bagi umat manusia maupun dihadapan Allah S.W.T. banyak fakta yang menyebutkan manfaat jika kita mau bersyukur kepada Allah. Bahkan, iblis pun tidak senang jika ada manusia yang mau bersyukur. Iblis sudah berjanji kepada Allah akan menggoda manusia yang mau bersyukur dari segala penjuru, kanan, kiri, depan, dan belakang. Untuk membuat manusia lupa bersyukur atas kenikmatan yang sudah didapatkan dari Allah. Iblis dan syetan tidak dapat menggoda manusia dari atas dan bawah karena jika diatas menggambarkan manusia melihat keatas diibaratkan manusia selalu ingat kepada Allah, begitupun dari bwah, jika manusia melihat ke bawah tentunya manusia akan mengingat kematian, hal itu malah akan menambah manusia akan terus mengingat Allah S.W.T. maka tidak heran jika manusia mengaplikasikan bentuk syukur dengan bersujud sebagai tanda berserah diri kepada Allah. Yang melihat keatas untuk berdo’a kepada Allah.

Bersyukur itu sesungguhnya adalah kewajiban umat Islam kepada Allah, jika ada hamba yang tidak mau bersyukur maka dia telak mengkufuri nikmat Allah. Ekspresi dari syukur kita kepada-Nya dapat diaplikasikan dengan memanfaatkan segala nikmat yang diperoleh untuk diri sendiri, keluarga, nusa, dan bangsa. Ayat syukur sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an menunjukkan bahwa tafsir kontekstual dalam memahami konsep syukur secara lebih praktis dan bermakna memiliki sumbangan yang besar terhadap sukses dan bahagianya seseorang12.

D. Pendekatan Gender

Untuk mengetahui pembaruan Islam terhadap status perempuan perlu lebih dahulu diketahui bagaimana masyarakat Arab sebelum Islam pra-Islam memperlakukan perempuan13. Misi pokok kitab suci al Qur’an diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual14. Oleh karna itu jika ada penafsiran Al Qur’an dan Al Hadis yang nilainya mengarah pada ketidak adilan pada gender maka tafsir tersebut perlu untuk ditinjau kembali kesahihannya. Pendekatan gender tidak hanya terjadi dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat, melainkan juga muncul dalam pemahaman hadis Nabi Muhammad S.A.W.15. Gender dalam tafsir Al Qur’an dapat diamati dengan beberapa cara yaitu

12 Ibid., hal 397.

13Dedi Wahyudi, “Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,” Januari 2014, hal 10. 14Zaitunah Subhan, “Gender dalam Tinjauan Tafsir,” 2008, hal 1.

15

(8)

8 sebagai berikut: yang pertama dengan pembakuan tanda baca, tanda huruf dan qira’at, yang kedua dengan memahami perbedaan kosa kata, yang ketiga menetapkan kata ganti, yang keempat menetapkan kata pengecualian, yang kelima menetapkan kata penghubung, yang keenam menetapkan pemaknaan dalam struktur bahasa, yang ketujuh menetapkan bias kamus bahasa arab, yang kedelapan menetapkan bias dalam tafsir, yang kesembilan memahami bias riwayat Israiliyat, yang kesepuluh mengetahui bias berbagai mitos, yang kesebelas mengerti keadilan gender dalam perspektif Islam.

Sejarah panjang agama sesungguhnya sejarah kaum laki-laki dalam pengertian yang luas16. Hal ini karna sesungguhnya penafsiran ayat-ayat Al Qur’an mauput Al Hadis kebanyakan adalah karya kaum laki-laki, meskipun ada segelintir tafsir karya dali kaum perempuan, tetapi tafsir hasil karya kaum perempuan kalah dengan dominasi tafsir karya kaum laki-laki. Sehingga referensi, cara menyelesaikan masalah sosial budaya maupun agama menggunakan cara dari tafsir kaum laki-laki. Konsep gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang sama, karenanya keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang sederajat17. Banyak pemikiran Islam yang mencoba untuk menyusun kembali masalah tentang penafsiran Al Quran dan Al Hadis yang dianggap mrugikan kaum perempuan. Namun jika dilihat dari asal-usul penciptaan manusia, perempuan dengan freminimnya dan laki-laki dengan maskulinnya sesungguhnya mempunyai cirikhas masing-masing. Dengan perbedaan kekhasan dari kaum laki-laki dengan kaum perempuan itu justru dapat menimbulkan keseimbangan, karna perbedaan atau kekhasan masing-masing dapat saling melengkapi.

Di tengah-tengah masyarakat, pandangan yang berkembang tentang perempuan masih terbagi dalam dua kutub yang berseberangan18. Yang pertama menganggap peran perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak, diam didalam rumah. Pendapat yang kedua mengatakan perempuan berhak memperoleh kebebasan dalam bertindak, baik dalam berfikir maupun bersikap, namun tetap dalam batasan. Sudah menjadi sunatulloh makhluknya diciptakan secara berpasan-pasangan. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Secara kronologis, asal usul kejadian perempuan tidak dijelaskan oleh Al Qur’an. Informasi mengenai penciptaan manusia, banyak diketahui melalui hadis, israiliyat dan riwayat yang bersumber dari kitab Taurat, Injil dan Talmud19.

Sesungguhnya perempuan disisi Allah derajatnya sangat mulia, hal itu dapat dilihat dengan adanya salah sat surat yang mempunyai nama surat An Nisa yang mempunyai arti perempuan. Islam telah mengangkat derajat kedudukan perempuan sebagi seorang istri dan menjadikan

16 Ibid., hal 8.

17Nursyam, “Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam” 4 (Desember 2012): hal 1. 18 Halimatussa’diyah, “Tafsar Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qurān,” 1999, hal 1. 19

(9)

9 melayani keluarga sebagai jihad di jalan Allah. Oleh karna itu, Islam memberikan hak-hak istri yang tidak sekedar hitam di atas putih, tetapi harus dilaksanakan dan dijaga sebaik mungkin. Dalam tafsir Al Qur’an hadis posisi istri yangat vital didalam keluarga, seorang istri wajib mengurus keluarga dan mengatur keuangan keluarga sebaik mungkin, istri juga wajib menjaga keharmonisan antar anggota keluarga dan menciptakan susana damai di dalam keluarga.

Salah satu tafsir ayat yang mempunyai arti “perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki” menyebabkan banyak kesalahfahaman diskriminasi gender. Ada pendapat yang mngatakan bahwa perempuan hanya diciptakan dari salah satu bagian tubuh laki-laki, pendapat ini sudah tertanam didalam fikiran manusia sehingga posisi laki-laki selalu di prioritaskan dibanding posisi perempuan. Anggapan bahwa akal perempuan kurang kurang sempurna dibandingkan akal dari laki-laki menyebabkan sifat laki-laki lebih superior dibanding perempuan, sehingga sifat laki-laki lebih cocok sebagai pemimpin dalam rumahtangga. Jadi, jika ada perempuan yang menjadi pemimpin dalam keluarga kurang tepat karna menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Akal perempuan tidak sama dengan akal laki-laki, hal ini menyebabkan perempuan mempunyai sifat pasif, sifat ini cendrung akan muncul dalam berkeluarga, perempuan cenderung diatur dan nurut kepada laki-laki. Perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan menimbulkan pendapat remeh yang dilekatkan pada perempuan, yang sesungguhnya pendapat tersebut hanyalah rekayasa sosial yang diciptakan masyarakat saja yang dianggap takdir dati tuhan YME, kemudian dijadikan sebagai kodrat kultural yang mengakibatkan terpinggirnya kedudukan perempuan selama ini.

Peran perempuan sesungguhnya sudah sesuai dengan pembagian kerja di masyarakat. Maksudnya perempuan mengurus rumah tangga dirumah sedangkan laki-laki bekerja mencari nafkah di luar. Pembagian kerja seperti ini sesungguhnya dapat menjadikan kehidupan rumah tangga menjadi tentram dan harmonis. Sesungguhnya perempuan diperbolehkan menjalankan peran ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan bekerja di luar selama tidak mengganggu kewajiban perempuan di rumah sebagai ibu rumah tangga dan pendidik. Serta tidak melanggar ketetapan norma-norma dan susila masyarakat yang berlaku. Menurut Islam pekerjaan perempuan di ruang domestik dan pekerjaan laki-laki di ruang publik mempunyai nilai atau bobot yang sama20. Maka dari itu perempuan bebas menentukan apa yang mereka ingin lakukan, meskipun itu untuk bekerja. Yang terpenting adalah perempuan harus mempertimbangkan manfaat, dan umpan timbal balik dari hal yang mereka lakukan. Yang dapat meningkatkan rasa percaya diri dari kaum perempuan. Perempuan banyak juga yang ingin mempunyai sifat mandiri, keinginan ini nampaknya malah menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk aktif dalam bekerja di samping menjalankan peran sebagai ibu dan istri di rumah.

20Halimatussa’diyah, “Ta

(10)

10 Menurut Bronowski, sebenarnya perbedaan laki-laki dan perempuan itu tidak banyak, tidak seperti pada hewan: jantan dan betina21. Jika masih ada yang mempertentangkan perbedaan dari kaum laki-laki dan perempuan, maka sama seperti zaman purba dulu. Jika sekarang masih ada yang mempertentangkan perbedaan gender itu pun tergantung pada adat istiadat yang berlaku disuatu lingkungan masyarakat tertentu. Ketika wacana gender muncul, ada perselisihan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki yang berujung pada aksi unjuk rasa, dengan tujuan mencari keadilan atas diskriminasi gender selama ini.

Status artinya kedudukan seseorang di dalam suatu pola. Sementara itu status sosial yaitu kedudukan seseorang di dalam suatu kelompok masyarakat. Para ahli sosiologi membagi kedudukan atau status ini dalam tiga bagian22, yaitu: pertama, kedudukan seseorang yang diperoleh karna kelahiran. Contohnya anak dari seorang pejabat disuatu daerah tertentu pasti akan dihormati pula seperti kedudukan orangtuanya. Yang kedua, kedudukan yang diperoleh dengan usaha sendiri. Contohnya, orang yang dulunya kurang mampu dalam segi finansial, kemudian dia bekerja keras hingga dia menjadi mampu atau kaya, pasti orang tersebut akan memperoleh status sosial yang tingi pula didalam lingkungan masyaakatnya. Yang ketiga, status yang diperoleh dari pemberian. Contohnya, seorang guru honorer yang dinaikkan jabatannya menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) oleh kepala dinas setempat.

Berkaitan dengan mandirinya kaum perempuan, dan diperolehnya kesetaraan status sosial antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki merupakan HAM (Hak Asasi Manusia) demi tercapainya kesejahteraan dalam bermasyarakat. Kemajuan kaum perempuan dan tercapainya kesetaraan gender adalah satu-satunya cara untuk meperoleh masyarakat yang adil, dan maju serta damai. Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender salah satu syarat untuk memperoleh keamanan politik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup masyarakat. Peran gender dalam pembentukan status sosial tidak dapat terwujud atau tidak dapat berdiri sendiri karna, karna kesenjangan sosial gender bukan sekedar dalam persoalan seks semata, akan tetapi seluruh nilai dalam sosial budaya masuk kedalamnya.

Dari diorama sejarah masa lalu hingga masa modern, mengindikasikan bahwa pandangan terhadap posisi perempuan atau perempuan sangat dinamik sesuai dengan trend-trend yang menginspirasi kedudukan perempuan itu sendiri, bahkan dalam konteks kekinian disaat perempuan telah mencapai taraf kemajuan yang luar biasa dalam berbagai sektor kehidupan umat manusia23. Sehingga tidak ada lagi pemikiran yang dapat memecah atau mendeskriminasikan gender lagi pada kehidupan nyata.

21Surahman Amin, “Tafsir Keadilan Sosial dan Semangat Gender” 20 Nomor 2 (2015): hal 281. 22 Ibid., hal 182.

(11)

11 Ayat-ayat gender telah lama menjadi bagian dari obyek kegiatan penafsiran oleh para mufassir baik klasik maupun kontemporer24. Untuk mengakhiri dominasi laki-laki terhadap perempuan maka yang harus dilakukan adalah mendorong perempuan untuk lebih kreatif dan mandiri agar mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki agar relasinya sama antara kaum perempuan dengan laki-laki. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah derajatnya setara. Akan tetapi, jika disuatu hari terjadi ketidaksetaraan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan itu adalah akibat dari pemikiran dan adat-istiadat dari Pratiarki yang lebih dominan. Al Qur’an pun mengakui bahwa derajat kaum laki-laki dan kaum perempuan itu setara. Meskipun terdapat beberapa ayat yang dianggap lebih berpihak kepada kaum laki-laki, itupun dalam hal hak waris, persaksian, poligami, dan hak-haknya sebagai suami atau ayah. Al Qur’an cenderung mempersilahkan kepada manusia unduk cerdas dalam berfikir dalam menata atau mengatur peran dari kaum perempuan dan kaum laki-laki agar tidak terjadi paham diskriminasi gender. Teori feminisme modern mengatakan bahwa individu adalah makhluk otonom yang terlepas dari pengaruh lingkungan yag dapat bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.

Semua ayat-ayat yang ada di dalam Al Qur’an yang membicarakan tentang Adam dan Hawa selalu menekankan kedua belah pihak dengan kata ganti dua orang. Hal tersebut secara tidak langsung menganggap derajar keduanya sama. Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin25.

Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti pada Al Qur’an Surat Al Nisa ayat 34 dan Al Baqarah ayat 228, ayat-ayat tersebut sebenarnya tidak bermaksut untuk merendahkan kaum perempuan. Tetapi, ayat-ayat tersebut mengacu kepada peranan fungsi sosial berdasarkan gender ketika ayat-ayat tersebut di turunkan. Jika diperhatikan tentang ayat-ayat yang turun karena bersangkutan dengan keadaan perbudakan, poligami dan soal hak waris, sesungguhnya mempunyai satu tujuan yaitu menegakkan keadilan dan amanah dalam kehidupan. Ketika merujuk pada hak asasi perempuan tidak hanya melihat pada kitab-kitab fiqh saja, tetapi melihat dan membandingkan pula dengan perempuan pada masa sebelum Islam. Seperti contoh hak waris perempuan setengah dari hak waris laki-laki. Syariat Islam sejak munculnya sudah berusaha mewujudkan keadilan atau kesetaraan gender dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki budaya dan tradisi patriarkhi yang sangat kuat. Upaya tersebut diwujudkan dengan adanya hukum atau aturan dan doktrin-doktrin yang berusaha mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dari posisinya semula yang berada dibawah laki-laki. Dan

24 Mintaraga Eman Surya, “Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al Qur’an dengan Pendekatan Ekofeminisme: Kritik Terhadap Tafsir Feminisme Liberal” 6 No 1 (Juli 2014): hal 59.

25Al Qur’an Surat Al Hujarat

(12)

12 memberikan hak kepada kaum perempuan baik dalam lingkungan domestik (keluarga) maupun dalam lingkungan public (bekerja).

E. Kesimpulan

Pada ruang lingkup konseptual, Islam mengisyaratkan dirinya tidak berkepentingan dalam subordinasi hak-hak perempuan. Sedangkan pada lapis aksiologis, ternyata apa yang dirujuk selama ini menimbulkan bias karena dilahirkan dari ideologi penafsiran yang timpang. Kaum dominan menguasai penafsiran dalam setiap praktik hukum umat, sehingga secara gradual perempuan berada dalam kungkungan hegemoninya. Sekalipun harus menghadapi kritik-kritik tajam, tafsir kontekstual berwawasan gender terbukti memiliki landasan paradigmatik yang kokoh. Karakteristiknya yang moderat serta relevan dengan perkembangan kehidupan umat, menjadikannya terus mendapat banyak dukungan dari generasi ke generasi. Meskipun tafsir kontekstual memiliki landasan pragmatik yang kokoh, namun suatu ikhtiar rekonstruksi dan pengembangan konsep secara lebih konperehensif amat penting dilakukan demi merespons kritik-kritik dari berbagai kalangan. Ikhtiar tersebut mencakup upaya membuktikan legitimasi tafsir model tersebut secara visi sosiomoral keagamaan; memperhatikan prinsip-prinsip penafsiran secara ketat dalam implementasinya seperti ideologi, otoritas, klasifikasi dan regulasi terbatas. Jika konsep sebagaimana disebutkan di atas terealisasi, maka secara qua norma, Islam tidak bermasalah dengan gerakan kesetaraan gender. Gender di tangan Islam mempunyai masa depan cerah, selama elit-elit agama yang terlibat aktif dalam membuat penafsiran mampu mengawal kemurnian Islam.

(13)

13 F. Referensi

Abdul Malik Ghozali. “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah Dalam Ta’wil Mukhtalaf Al Hadis” 8 (Juni 2014).

Abdullah Saeed,. “Interpreting the Qur’an,” 2006.

Al Qur’an Surat Al Baqoroh, Surat Ke 2.

Al Qur’an Surat Al Hujarat, Surat ke 49.

Choirul Mahfud. “The Power of Syukur Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam Al Qur’an” 9 No 2 (Desember 2014).

Dedi Wahyudi. “Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,” Januari 2014.

Halimatussa’diyah. “Tafsar Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qurān,” 1999. Jajang A Rohmana. “Tafsir Lokal dan Polemik Keagamaan di Pringan” 23 (2018).

Lien Iffah Naf ’atu Fina. “Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed” 9 No 1 (Juni 2015).

Mintaraga Eman Surya. “Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al Qur’an dengan Pendekatan Ekofeminisme: Kritik Terhadap Tafsir Feminisme Liberal” 6 No 1 (Juli 2014).

MK Ridwan. “Metodologi Penafsiran Kontekstual” 1 (Juni 2016). Mokhtaridi Sudin. “Spirit Pendidikan Dalam Al Qur’an” 16 (2011).

Mustaqimah. “Urgensi Tafsir Kontekstual dalam Penafsiran Al Qur’an” Volume 12 Nomor 1 (Juni 2015).

Nasaruddin Umar. Argument Kesetaraan Jender. Jakarta: Paramadina, 2000.

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini nantinya akan memberikan informasi letak – letak ATM dalam bentuk peta dan dapat menentukan lokasi ATM terdekat dari posisi nasabah menggunakan formula

mengenai Hubungan Persepsi Wanita Pasangan Usia Subur Tentang Inspeksi Visual Asam Asetat Dengan Motivasi Pemeriksaan IVA didapat hasil bahwa usia tidak bisa

[r]

Menyajikan model matematika dari suatu masalah kontekstual yang berkaitan dengan matriks dan kesamaan matriks dengan tepat dan benar.. Merancang model masalah

Berdasar poin pemikiran di atas maka jika dikaitkan dengan domain disiplin arsitektur memunculkan beberapa asumsi yang harus ditetapkan; (1) wujud fisik ruang (space) dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kulit jengkol dapat dimanfaatkan sebagai alternatif obat herbal dengan terlebih dahulu dilakukan uji fenolik untuk

Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan merupakan upaya dalam mensinergiskan berbagai kepentingan sebagaimana makna dari suatu kawasan merupakan

(3) Model pembelajaran quantum teaching berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis untuk setiap aspek yang diteliti (kemampuan tata bahasa yaitu penggunaan