• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor Risiko Kejadian Gizi Bur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Faktor Risiko Kejadian Gizi Bur"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL

“Analisis Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita di Puskesmas Pegandan, Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang”

Disusun Oleh: Kelompok 4 Kelas D 2013

Miranti 25010113140270

Karinta Ariani Setiaputri 25010113140272 Luluk Safura Priyandina 25010113130273 Ade Yuny Afriyanty 25010113130275 Fitriana Candra Dewi 25010113130276 Ziyaan Azdzahiy Bebe 25010113140277 Sabrilla Putri Gotama 25010113140278 Fina Khiliyatus Jannah 25010113140279 Ronna Atika Tsani 25010113130280 Bagas Satrio Priambudi 25010113140311

Tugas PBL dilakukan untuk memenuhi salah satu Tugas MK Isu Terkini Penyakit Tidak Menular Semester V 3 sks

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

(2)

ii HALAMAN PENGESAHAN

(Laporan Project Based Learning Isu Terkini Penyakit Tidak Menular) 1. Judul : Faktor Risiko yang Mempengaruhi

Kejadian Gizi Buruk Pada Balita di Wilayah Puskesmas Pegandan Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang

2. Penyusun :

Nama/NIM :

 Miranti 25010113140270

 Karinta Ariani Setiaputri 25010113140272  Luluk Safura Priyandina 25010113130273  Ade Yuny Afriyanty 25010113130275  Fitriana Candra Dewi 25010113130276  Ziyaan Azdzahiy Bebe 25010113140277  Sabrilla Putri Gotama 25010113140278  Fina Khiliyatus Jannah 25010113140279  Ronna Atika Tsani 25010113130280  Bagas Satrio Priambudi 25010113140311 Kelompok/Semester/Tahun : Kelompok 4 / Semester V / 2015

3. Nama Mata Kuliah/sks : Isu Terkini Penyakit Tidak Menular / 3 sks 4. Lokasi Kegiatan : Puskesmas Penggaron

5. Waktu Kegiatan : 06 Oktober 2015 Sudah diperiksa isi materi keilmuan dan disetujui.

Semarang, 2015 Dosen Pembimbing/Penguji PBL,

Lintang Dian Saraswati, SKM, M.Kes

NIP. 198111042003122001 Menyetujui,

Penanggung Jawab Mata Kuliah Isu Terkini Penyakit Tidak Menular

(3)

iii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ………. 4

2.7 Kategori KEP Berdasarkan Kriteria KMS ……….. 13

2.8 Cara Deteksi KEP ……….. 14

2.9 Patofisiologi KEP ……….. 14

2.10 Kerangka Teori / mindmapping ………... 16

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep ……….. 17

(4)

iv

4.2 Analisis Kuisioner Berdasarkan Skala Guttman ……… 32

4.3 Analisis Faktor Risiko ……… 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……… 42

5.2 Saran ……….... 42

DAFTAR PUSAKA ………. 44

(5)

v

DAFTAR TABEL

(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

(7)

vii

DAFTAR ISTILAH

ISPA : ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. TBC : Penyakit Tuberculosis yang biasa disebut TB atau TBC

merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Penularan melalui udara.

Diare : Diare adalah penyakit saat tinja atau feses berubah menjadi lembek atau cair yang biasanya terjadi paling sedikit tiga kali dalam 24 jam Diare kebanyakan disebabkan oleh beberapa infeksi virus tetapi juga seringkali akibat dari racun bakteria. Imunisasi : Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu

penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya.

KMS : KMS adalah kartu yang memuat grafik pertumbuhan serta indicator perkembangan yang bermanfaat untuk mencatat dan memantau tumbuh kembang balita setiap bulan dari sejak lahir

sampai berusia 5 tahun. KMS juga dapat diartikan sebagai “ rapor “

(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Malnutrisi adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh diet yang tidak tepat atau tidak mencukupi.malnutrisi pada anak-anak akan sangat mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangannya, karena pada usi anak-anak zat gizi sangat diperlukan untuk membangun tubuh yang sehat dan mental yang kuat. Lebih dari itu, malnutrisi pada usia ini juga dapat berdampak pada munculnya berbagai penyakit ketika anak tumbuh menjadi remaja atau dewasa (Hafid, dkk, 2014).

Malnutrisi merupakan salah satu masalah gizi balita di Indonesia.Masalah ini banyak terjadi pada balita terutama di negara-negara berkembang.Malnutrisi dapat diakibatkan karena masukan makanan yang tidak sesuai atau tidak cukup atau dapat diakibatkan karena penyerapan makanan yang tidak cukup (Nelson, 1996).Rata-rata berat badannya hanya berkisar 60-80% dari berat ideal. Adapun ciri-ciri klinis yang biasa menyertainya antara lain; kenaikan berat badan berkurang, terhenti, atau bahkan menurun, ukuran lingkar lengan atas menurun, maturasi tulang terlambat, rasio berat terhadap tinggi atau cenderung menurun, tebal lipat kulit normal atau semakin berkurang (Israr dkk, 2009).

Malnutrisi pada balita tidak hanya menjadi perhatian tenaga kesehatan di Indonesia namun juga menjadi perhatian dunia, sebagaimana telah dicantumkan

dalam MDG’s (Millenium Development Goals) bahwa dunia harus bisa memberantas kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar yang universal, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi angka mortalitas anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV / AIDS, malaria dan penyakit lainnya, menjamin kelestarian lingkungan, mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (WHO, 2009).

(9)

2 karena penyakit diare, pneumonia, dan penyakit infeksi menular yang dimana gizi yang menjadi penyebab dasarnya, dalam kebijaksanaan pembangunan kesehatan, ragam gizi diakui sebagai salah satu penyebab penting tingginya mobiditas dan mortalitas bayi di indonesia khususnya negara-negara berkembang (Zulfita, Putri Nelly Syofiah, 2013).

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang Kesehatan 2010-2014 telah ditetapkan salah satu sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 15%. Ternyata berdasarkan data yang didapatkan dari Riskesdas tahun 2013, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita meningkat dari 17,9 tahun 2010 menjadi 19,6 tahun 2013. Yang artinya belum tercapai sasaran pembangunan tersebut.sedangkan di Jawa Tengah pun angkanya cukup tinggi yaitu 17,6% dari estimasi jumlah balita. Untuk Kota Semarang kasus kekurangan gizi pun menjadi perhatian pihak Dinas Kota Semarang itu sendiri. Pada tahun 2012 tercatat terdapai 39 anak balita yang mengalami kasus gizi buruk dan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 32 anak balita, yang artinya terdapat menurunan kasus gizi buruk di Kota Semarang dari tahun 2012 sampai tahun 2013.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang dr. Widoyono wilayah tertinggi temuan kasus gizi buruk dan kekurangan gizi berasa di Kecamatan Semarang Utara, Semarang Tengah, Semarang Barat dan Kecamatan Genuk. Pemerintah setempat juga sudah berusaha dalam menurunkan kasus gizi buruk dengan mendirikannya Rumah Gizi di Banyumanik (Jateng Tribun News, 2014).

(10)

3 tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “AnalisisFaktor Risiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita di Puskesmas Pegandan, Kecamatan Gajah Mungkur, Kota

Semarang”.

1.2.Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko kejadian gizi buruk di Puskesmas Pegandan, Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah. b. Tujuan Khusus

1. Menganalisis faktor akses terhadap bahan pangan terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

2. Menganalisis faktor pendapatanterhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

3. Menganalisis faktor infeksi terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

4. Menganalisis faktor pengetahuan ibu terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

5. Menganalisis faktor sikap ibu terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

6. Menganalisis faktor pola asuh ibu terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

(11)

4

BAB II

TINJAUAN PUSAKA

2.1.Landasan Teori 2.1.1. Klinis

a. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan, dan penggunaan makanan (Suhardjo, 2003).Makanan yang memenuhi gizi tubuh, umumnya membawa ke status gizi memuaskan.Sebaiknya jika kekurangan atau kelebihan zat gizi esensial dalam makanan untuk jangka waktu yang lama disebut gizi salah.Manifestasi gizi salah dapat berupa gizi kurang dan gizi lebih (Supariasa, 2004).

Keadaan tubuh dikatakan pada tingkat gizi optimal, jika jaringan tubuh jenuh oleh semua zat gizi, maka disebut status gizi optimal. Kondisi ini memungkinkan tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya tahan yang tinggi. Apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi kesalahan gizi yang mencakup kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa, 2004).

2.1.2 Antopometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2002). Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

(12)

5 Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang. Berat badan yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Current Nutritional Status).

b. Tinggi Badan Menurut Umur

Indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status ekonomi.Berikut berat badan menurut umur 0-60 bulan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Antropometri Status Gizi Anak. (Permenkes, 2010)

(13)

6 c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa,dkk 2002).

2.2.Klasifikasi Gizi Buruk

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.

2.2.1.Marasmus

(14)

7 a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan

otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang dan perut cekung d. Otot paha mengendor (baggy pant)

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar 2.2.2.Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.

a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis.

b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam. c. Wajah membulat dan sembab.

d. Pandangan mata anak sayu.

e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.

2.2.3. Marasmiks – Kwashiorkor

(15)

8 dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal.Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.

2.3.Faktor Risiko 2.3.1 Asupan Makanan

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap keadaan gizi seseorang. Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memenuhi asupan zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Zat gizi esensial adalah zat gizi yang diperoleh dari makanan yang bila dikelompokkan memiliki tiga fungsi yakni memberi energi, mengatur pertumbuhan jaringan tubuh, dan mengatur proses dalam tubuh. Konsumsi makanan oleh bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pengolahan, jumlah anggota keluarga, dan kebiasaan makan per orangan (Almatsier, 2001).

2.3.2 Status Sosial Ekonomi

Kehidupan sosial ekonomi adalah suatu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator pendidikan, pekerjaan dan penghasilan sebagai tolak ukur (Dalimunthe, 1995). Sosial ekonomi merupakan suatu konsep dan untuk mengukur status sosial ekonomi keluarga dilihat dari variabel tingkat pekerjaan. Rendahnya ekonomi keluarga, akan berdampak dengan rendahnya daya beli pada keluarga tersebut (Effendi, 1998).

(16)

9 ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut (Effendi, 1998). Balita dengan gizi buruk pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi (Soekirman, 2000).

2.3.3 Pendidikan Ibu

Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan adalah pendidikan yang rendah. Adanya pendidikan yang rendah tersebut menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupan (Abu, 1997). Rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi akses terhadap bahan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Sholeh, 2008).

Tingkat pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu dapat mempengaruhi derajat kesehatan karena pendidikan ibu berpengaruh terhadap kualitas pengasuhan anak. Tingkat pendidikan yang tinggi membuat seseorang mudah untuk menyerap informasi dan mengamalkan dalam perilaku sehari-hari. Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi balita karena pendidikan yang meningkat kemungkinan akan meningkatkan pendapatan dan dapat meningkatkan daya beli makanan. Pendidikan diperlukan untuk memperoleh informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang (Depkes, 2004).

2.3.4. Pengetahuan Ibu

Ibu merupakan orang yang berperan penting dalam penentuan konsumsi makanan dalam keluaga khususnya pada anak balita. Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan keanekaragaman makanan yang berkurang. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari (Abu, 1997).

(17)

10 tidak menyediakan makanan beraneka ragam setiap hari bagi keluarganya. Pada gilirannya asupan gizi tidak sesuai kebutuhan (digilib.unimus.ac.id).

2.3.5.Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan gizi buruk dikarenakan terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit dan gizi buruk. Balita yang menderita gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan sehingga rentan terhadap penyakit. Selain itu anak yang menderita sakit akan memperjelek keadaan gizi melalui gangguan asupan makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial (FKUI, 2007).

2.3.6. Kelengkapan Imunisasi

Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya dapat memberi kekebalan terhadap penyakit tersebut sehingga bila balita kelak terpajan antigen yang sama, balita tersebut tidak akan sakit dan untuk menghindari penyakit lain diperlukan imunisasi yang lain. Infeksi pada balita penting untuk dicegah dengan imunisasi.Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi adalah bayi dan balita karena meraka yang paling peka terhadap penyakit dan sistem kekebalan tubuh balita masih belum sebaik dengan orang dewasa (Hidayat, 2008). Sistem kekebalan tersebut yang menyebabkan balita menjadi tidak terjangkit sakit. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena penyakit. Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan kejadian gizi (Supartini, 2002). Macam macam imunisasi diantaranya :

a. BCG : vaksin untuk mencegah TBC yang dianjurkan diberikan saat berumur 2 bulan sampai 3 bulan dengan dosis 0,05 ml pada bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml pada anak disuntikkan secara intrakutan.

(18)

11 c. Polio : imunisasi ini terdapat 2 macam yaitu vaksi oral polio dan inactivated polio vaccine.Kelebihan dari vaksin oral adalah mudah diberikan dan murah sehingga banyak digunakan.

d. Campak : imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular. Pemberian yang dianjurkan adalah sebanyak 2 kali yaitu pada usia 9 bulan dan pada usia 6 tahun.

(Hidayat, 2008) 2.3.7.Akses Terhadap Bahan Pangan

Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu dan rumah tangga.PBB menyatakan bahwa penyebab kelaparan dan malnutrisi seringkali bukan disebabkan oleh kelangkaan bahan pangan namun ketidakmampuan mengakses bahan pangan karena kemiskinan. Kemiskinan membatasi akses terhadap bahan pangan dan juga meningkatkan kerentanan suatu individu atau rumah tangga terhadap peningkatan harga bahan pangan.Kemampuan akses bergantung pada besarnya pendapatan suatu rumah tangga untuk membeli bahan pangan, atau kepemilikan lahan untuk menumbuhkan makanan untuk dirinya sendiri.

2.3.8. Pola Asuh

Pola asuh orang tua merupakan perlakuan orang tua dalam interaksi yang meliputi orang tua menunjukkan kekuasaan dan cara orang tua memperhatikan keinginan anak. Kekuasaan atau cara yang digunakan orang tua cenderung mengarah pada pola asuh yang diterapkan (Singgih D.Gunarso, 2000).

2.3.9. Pelayanan Kesehatan

(19)

12 Menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalahpelayanan preventif (pencegahan) dan promotive(peningkatan kesehatan) dengan sasaranmasyarakat. 2.4.Faktor Penyebab Gizi Buruk

2.4.1. Penyebab Langsung

Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker.Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya menderita kurang gizi.

2.4.2. Penyebab Tidak Langsung

Akses terhadap bahan pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan kesehatan.Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, akses terhadap bahan pangan dan kesempatan kerja.Oleh karena itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik maupun gizinya. (Dinkes SU, 2006) 2.5.Tanda dan Gejala Terjadinya KEP

a. Badan kurus bila ditimbang pada KMS berada di bawah garis merah ata pita kuning bagian bawah.

b. Lemah lesu.

c. Selera makan kurang,

d. Gangguan pertumbuhan pada anak.

(20)

13 2.6. Dampak Gizi Buruk

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat

”catch up” dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini

berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak,

akibat kondisi ”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan

perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri.Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.

Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak (Nency, 2005).

2.7. Kategori KEP Berdasarkan Kriteria KMS

(21)

14 a. KEP Sedang - Berat

Anak disebut dalam kategori sedang-berat bila berat badan kurang dari 70% baku rujukan BB/U WHO-NCHS. Pada KMS artinya sama dengan di bawah garis merah.

b. KEP Ringan

Anak disebut KEP ringan bila BB 70% sampai kurang dari 80% baju rujukan BB/U WHO-NCHS.

(Depkes, 1999) 2.8.Cara Deteksi KEP

a. KEP dapat dideteksi dengan cara antopometri yaitu mengukur BB dan umur yang dibandingkan dengan indeks BB/ Baku standar WHO-NCHS sebagaimana tercantum dalam KMS.

b. Badan kurus bila di timbang BB pada KMS berada di bawah garis merah. c. Lemah lesu dan cengeng.

d. Gangguan pertumbuhan badan kurang. e. Selera makan kurang.

f. Gangguan perkembangan kecedasan. g. Sikap anak kurang tanggap.

(Depkes, 1999) 2.9.Patofisiologi KEP

(22)

15 protein mengakibatkan penyakit defisiensi yang disebut penyakit Kurang Energi Protein (KEP).

(23)

16 2.10. Kerangka Teori / mindmapping

(24)

17

Jenis penelitian yang digunakan dalam kegiatan ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan desain studi kasus.Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang mencakup pengkajian satu unit penelitian secara intensif, misalnya satu pasien, keluarga, kelompok, komunitas atau institusi. Meskipun jumlah subyek cenderung sedikit, jumlah variabel yang ditiliti sangat luas. Penggalian data dapat melalui kuisioner, wawancara, observasi maupun data dokumen.

3.3.Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

(25)

18 menjadi sasaran penelitian, baik itu seluruh anggota, sekelompok orang, kejadian atau obyek yang telah dirumuskan secara jelas dan memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang ada di Wilayah Puskesmas Pegandan tahun 2015.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggapmewakili seluruh populasi, Sampel harus memenuhi unsur representative

dari seluruh sifat – sifat populasi. Sampel yang representative dapat diartikan bahwa Sampel tersebut mencerminkan semua unsur dalam populasi secara proporsional atau memberikan kesempatan yang sama pada semua unsur populasi untuk dipilih, sehingga dapat mewakili keadaan yang sebenarnya dalam populasi (Setiadi, 2013).

Penentuan sample menggunakan teknik purposive sampling,yaituberdasarkan pada ciri atau sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut era dengan ciri-ciri atau sifat yang terdapat pada populasi yang sudah diketahui sebelumnya..Berdasarkan hal tersebut, maka didapat sampel dari data puskesmas adalah seluruh balita yang mengalami gizi, yaitu sebanyak 4 balita.

3.4.Variabel Penelitian

Variabel penelitian menurut Sugiyono (2008) “...variabel penelitian pada

dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik

kesimpulannya.”

Penelitian ini membahas dua variabel, yakni variabel bebas dan variabel terikat.Variabel bebas dari penelitian ini adalah faktor – faktor risiko kejadian gizi buruk, yaitu akses terhadap bahan pangan, pendapatan, infeksi, pengetahuan ibu, sikap ibu, pola asuh gizi ibu dan pelayanan kesehatan. Sedangkan variable terikatnya adalah kejadian gizi buruk pada balita.

(26)

19 1. Akses terhadap

ketersediaan pangan

Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu dan rumah tangga.

Nominal a. Ya b. Tidak

2. Pendapatan Jumlah penghasilan yang diperoleh anggota keluarga responden setiap bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarganya. berkembang biaknya bibit penyakit atau parasit ke dalam tubuh manusia atau binatang.

Nominal

a. Ya

b. Tidak

4. Pengetahuan ibu Pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pikiran, dan kecenderungan ibu yang kurang lebih bersifat permanen mengenal pemberian gizi terhadap

(27)

20 6. Pola asuh gizi ibu Pola asuh gizi orang tua

merupakan perlakuan orang tua dalam interaksi yang meliputi pemberian gizi yang dilakukan oleh orang tua.

Nominal a. Ya b. Tidak

7. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan, mencegah dan

menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan balita yang mengalami gizi buruk.

(28)

27 3.5.Sumber Data

Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data primer yaitu dengan cara wawancara dan observasi serta data Sekunder. a. Data Primer

1. Wawancara

Wawancara merupakan merupakan salah satu metode pengumpulan data untuk memperoleh data dan informasi dari responden secara lisan.Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik (Basuki 2006).

2. Observasi

Observasi diartikan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (Margono 2000). Teknik pengumpulan data dengan observasi dilakukan bila peneliti berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang tidak diamati tidak terlalu besar.

3. Kuesioner

Angket atau kuesioner adalah teknik pengumpulan data melalui formulir-formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan.(Mardalis 2008).

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti data puskesmas, buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.

3.6.Instrumen

(29)

28 menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan observasi dan kuesioner serta wawancara. Observasi adalah metode pengumpulan data dengan cara mengamati langsung terhadap obyek penelitian. Observasi atau pengamatan digunakan dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu penelitian, merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya suatu rangsangan tertentu yang diinginkan, atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat (Mardalis,2002).Wawancara merupakan merupakan salah satu metode pengumpulan data untuk memperoleh data dan informasi dari responden secara lisan.Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik (Basuki, 2006).

Kuesioner adalah merupakan daftar pertanyaan yang akan digunakan oleh periset untuk memperoleh data dari sumbernya secara langsung melalui proses komunikasi atau dengan mengajukan pertanyaan.

Berikut beberapa-jenis kuesioner : a. Kuesioner Terstruktur Yang Terbuka

Tingkat struktur dalam kuesioner adalah tingkat standarisasi yang diterapkan pada suatu kuesioner. Pada kuesioner terstruktur yang terbuka dimana pertanyaanpertanyaan diajukan dengan susunan kata-kata dan urutan yang sama kepada semua responden ketika mengumpulkan data. b. Kuesioner Tidak Terstruktur Yang Tersamar

(30)

29 c. Kuesioner Terstruktur Yang Tersamar

Kuesioner terstruktur yang tersamar merupakan teknik yang paling jarang digunakan dalam riset pemasaran. Kuesioner ini dikembangkan sebagai cara untuk menggabungkan keunggulan dari penyamaran dalam mengungkapkan motif dan sikap dibawah sadar dengan keunggulan struktur pengkodean serta tabulasi jawaban. (Jhon, 2009)

3.7.Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data

Pada penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Mengacu pada pengertian tersebut, peneliti mengartikan teknik pengumpulan data sebagai suatu cara untuk memperoleh data melalui beberapa langkah atau tahapan, yaitu: observasi, wawancara, dan dokumentasi. Langkah-langkah tersebut berfungsi untuk mempermudah peneliti dalam proses pemerolehan data. 2. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan suatu teknik dalam penelitian kualitatif yang dilakukan setelah data lapangan terkumpul. Data terbagi menjadi dua, yaitu data lapangan (data mentah) dan data jadi. Sehubungan dengan hal itu, timbulah batasan data sebagai bahan penelitian, yaitu bahan jadi (lawan dari bahan mentah), yang ada karena pemilihan aneka macam tuturan (bahan mentah). Data lapangan atau data mentah merupakan data yang diperoleh saat pengumpulan data. Data mentah pada penelitian ini adalah berupa data lisan (berupa tuturan), data tertulis serta foto. Data lisan dan tertulis tersebut diperoleh melalui pengamatan dan pertanyaan terhadap narasumber atau subjek penelitian. Data lisan didokumentasikan ke dalam bentuk rekaman suara, sedangkan data tertulis didokumentasikan ke dalam bentuk tulisan atau catatan penelitian. Data yang ke dua adalah data jadi. Data jadi merupakan suatu data mentah (data lapangan) yang telah mengalami proses penyeleksian data.

(31)

30 dengan cara: (a) persiapan, (b) penyeleksian. Persiapan dilakukan dengan menyiapkan seluruh data lapangan, baik yang berupa rekaman, catatan lapangan, maupun foto. Data yang berupa rekaman suara ditranskrip atau disalin dalam bentuk tulisan, sedangkan data yang berupa foto dideskripsikan sesuai gambar. Setelah semua terkumpul, peneliti memulai menyeleksi data sesuai dengan objek penelitian.

3. Analisis Data

(32)

31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gambar 4.1 Peta Kota Semarang

(33)

32 Kecamatan Banyumanik, sebelah barat dengan Kecamatan Semarang Barat. Puskesmas Pegandan bertanggungjawab terhadap 8 wilayah kerja kelurahan yang berada di dalam Kecamatan Gajahmungkur yaitu :

1. Kelurahan Bendan Duwur 2. Kelurahan Bendan Ngisor 3. Kelurahan Bendungan 4. Kelurahan Gajahmungkur 5. Kelurahan Karang Rejo 6. Kelurahan Lempongsari 7. Kelurahan Petompongan 8. Kelurahan Sampangan

Lokasi penelitian ini terdapat di 4 kelurahan : 1. Kelurahan Sampangan

2. Kelurahan Bendungan 3. Kelurahan Gajahmungkur 4. Kelurahan Karang Rejo

4.2 Analisa Kuisioner Berdasarkan Sksala Guttman Tabel 4.1 Skala Guttman

4.3 Analisis Faktor Risiko

(34)

33 pada penelitian ini meliputi pendapatan, akses terhadap bahan pangan, dan infeksi. Berikut ini adalah karakteristik responden yang meliputi :

1. Akses Terhadap Bahan Pangan

Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu dan rumah tangga.Pada perhitungan menggunakan Skala Guttman, presentase variabel akses terhadap bahan pangan sebesar 35%.Besar persentase jauh dari angka 100%.Akses terhadap bahan pangan pada masing-masing keluarga berbeda, pangan yang seharusnya menjadi kebutuhan utama suatu keluarga pada penelitian ini tidak dapat tercukupi dengan baik.Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata keluarga memiliki akses terhadap bahan pangan yang terbatas.Dari empat responden Sebanyak tiga responden sulit mengakses terhadap bahan pangan, dan hanya satu reponden yang mampu mengakses terhadap bahan pangan. Pada skala Guttman apabila presentase variabel di bawah 60% maka variabel dapat dikatan mempengaruhi, karena variabel akses terhadap bahan pangan di bawah presentase 60% maka variabel menjadi faktor risiko terjadinya kasus gizi buruk di Kelurahan Kemijen, wilayah kerja Puskesmas Pegandan, Semarang, Jawa Tengah.

Terpenuhi 35% Tidak

Terpenuhi 65%

(35)

34 Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kendal oleh Nurlaela Fitrian (2013) bahwa ada hubungan antara penyiapan makan dengan status gizi balita pada lingkungan tahan pangan dan gizi. Hal ini sesuai dengan hasil uji chi-square dimana nilai p value yang diperoleh sebesar 0,042. Oleh karena p value <0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara penyiapan makan dengan status gizi. Nilai OR sebesar 3,45 dengan IK 95% 1,016 – 11,72. Artinya responden dengan pola penyiapan makan yang kurang mempunyai kemungkinan 3,45 kali untuk mempunyai status gizi buruk dibandingkan dengan responden dengan pola penyiapan makan yang baik.

Keluarga yang tidak memiliki akses terhadap bahan pangan yang cukup akan menyajikan makanan yang serupa hampir setiap harinya. Bila hal ini terjadi terus-menerus dapat berakibat pada rendahnya asupan nutrisi dikonsumi oleh keluarga terutama pada balita.Usia balita merupakan masa dimana tubuh si kecil membutuhkan asupan nutrisi yang cukup dan bernilai gizi tinggi yang mana makanan dengan nilai gizi tinggi ini didapatkan dari beragam jenis makanan yang sehat untuk dikonsumsi setiap harinya. Bila, asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh balita tidak terpenuhi, maka akan memengaruhi kondisi kesehatan maupun tumbuh kembang anak yang mana pada akhirnya bila sudah terlalu parah lambat laun dapat menyebabkan kekurangan gizi pada balita (Soekirman, 2000). 2. Pendapatan

(36)

35 pendapatan merupakan salah satu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian gizi buruk pada balita di di Kelurahan Kemijen, wilayah kerja Puskesmas Pegandan, Semarang, Jawa Tengah.

Berdasarkan hasil presentase maka keluarga responden kurang mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya terutama pada varian makanan yang mengandung nilai gizi tinggi. Bila bahan makanan yang dibeli tidak memiliki nilai gizi yang tinggi maka akan memengaruhi kondisi kesehatan maupun tumbuh kembang anak yang mana pada akhirnya apabila sudah terlalu parah lambat laun dapat menyebabkan kejadian gizi buruk pada balita.

Hasil dari penelitian tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Novitasari (2012) bahwa uji statistik didapatkan p = 0,000 yang mempunyai arti bahwa status sosial ekonomi memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi buruk pada balita. CI 95% menunjukkan 6,459-68,279 merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Nusa Tenggara Barat tahun 2010 dan di Kabupaten Lombok Timur tahun 2005. Status sosial ekonomi merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk dikarenakan rendahnya status sosial ekonomi akan berdampak pada daya beli makanan.

Sesuai UMR 25%

Tidak Sesuai UMR

75%

(37)

36 Rendahnya kualitas dan kuantitas makanan merupakan penyebab langsung dari gizi buruk pada balita.

3. Infeksi

Infeksi dapat dikatakan masuk dan berkembangnya agen infeksi ke dalam tubuh seseorang.Penyakit infeksi pada balita berkaitan sekali dengan status gizi yang rendah.Pada penelitian ini berdasarkan perhitungan dengan menggunakan skala guttman, variabel infeksi memperoleh presentase sebesar 25%, besar presentase yang diperoleh hasil dari perhitungan jauh dari 60%.

Pada penelitian ini balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi hanya satudari empat balita, dan tiga balita lainnya mengalami infeksi yang berbeda, yaitu : Diare, ISPA dan TBC. Hal ini menandakan bahwa infeksi sangat berpengaruh terhadap terhadap status gizi balita.Semakin kecil presentasenya, maka semakin besar pula pengaruh variabel infeksi terhadap kejadian gizi buruk.Penyakit infeksi seperti Diare, ISPA, dan TBC ini masing-masing memengaruhi kondisi tubuh balita, sehingga berat badan balita tidak sesuai dengan umur dan tinggi badan balita.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi Novitasari (2012) di RSUP dr. Kariadi bahwa Uji Pearson Chi Square menunjukkan nilai p =

Berpengaruh 75% Tidak

Berpengaruh 25%

(38)

37 0,000 yang berarti bahwa penyakit penyerta mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian gizi buruk. Selain itu diperoleh CI 95% = 7,390-168,476 yang merupakan faktor risiko dari kejadian gizi buruk. Selain itu diperoleh hasil pula bahwa penyakit penyerta merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk. Hal ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2007 bahwa penyakit penyerta merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk.

Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat gizi ensensial, yang bisa disebabkan oleh asupan yang kurang karena makanan yang jelek atau penyerapan yang buruk dari usus (malabsorbsi), penggunaan berlebihan dari zat-zat gizi oleh tubuh, dan kehilangan zat-zat gizi yang abnormal melalui infeksi penyakit diare (Nurcahyo, 2008).

Pada balita yang menderita penyakit diare sebagian cenderung memiliki nafsu makan yang baik, namun menjadi sia-sia karena penyakit diare banyak menghabiskan cairan tubuh yang mana bila sehingga kondisi tersebut memengaruhi berat badan balita.Sedangkan kaitan penyakit infeksi TBC dan ISPA terhadap kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Nency, 2005).

Bila kekebalan tubuh ini menurun, maka menyebabkan mudah masuknya virus maupun bakteri kedalam tubuh. Selain itu juga, bila tubuh balita sudah terinfeksi penyakit maka akan memengaruhi nafsu makan balita sehingga asupan nutrisi yang dibutuhkan tubuh balita tidak tercukupi sehingga bila nafsu makan menurun terus-menerus dapat mengakibatkan gizi buruk pada balita.

(39)

38 Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga.Pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan keanekaragaman makanan yang disajikan dalam sehari hari.Berdasarkan perhitungan skala guttman, variabel tentang pengetahuan ibu memperoleh presentase sebesar 69%.Presentase yang diperoleh melebihi 60%, sehingga pengetahuan ibu tidak mempengaruhi kejadian gizi buruk di Kelurahan Kemijen, wilayah kerja Puskesmas Pegandan, Semarang, Jawa Tengah.

Ibu sudah mengetahui tentang gizi dan gizi buruk pada balita.Informasi yang diperoleh ibu didapatkan dari penyuluhan yang diberikan oleh petugas kesehatan Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS).

Hal ini bertentangan dengan penelitian yang telah dilakukan Hidayat 2010 tentangnalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk pada balita di Kabupaten Kebumen Tahun 2010, dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu tentang gizi balita dapat dikategorikan rendah. Sebesar 66,7% pengetahuan ibu tentang gizi balita rendah. Pola konsumsi masyarakat miskin kurang memenuhi syarat kebutuhan minimal kalori, protein dan lemak. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan akan

Berpengaruh 69% Tidak

Berpengaruh 31%

(40)

39 pengadaan bahan pangan yang murah dengan gizi yang baik, disertai perilaku yang kurang memadai untuk menunjang kesehatan yang optimal.

5.

Sikap Ibu

Sikap ibu berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki ibu.sikap ibu mengenai makanan pada anak akan mempengaruhi praktik ibu dalam pemberian makan anaknya. Berdasarkan hasil perhitungan skala guttman variabel tentang sikap ibu tentang gizi balita diperoleh presentase sebesar 78%.Presentase yang diperoleh melebihi 60% sehingga sikap ibu terhadap gizi balita sudah baik.Variabel sikap ibu terhadap gizi balita tidak mempengaruhi kejadian gizi buruk.

Namun pada penelitian lain diperoleh bahwa sikap ibu mempengaruhi kejadian gizi buruk. Berdasarkan hasil penelitian Zuraida (2013) tentang

hubungan pengetahuan dan sikap ibu dengan perilaku ibu dalam pemberian makanan anak usia 12-24 bulan, diketahui bahwa pengetahuan ibu mengenai makanan anak lebih banyak pada kategori baik yaitu sebanyak 56 ibu (86,1%). Sikap ibu mengenai makanan lebih banyak pada kategori kurang yaitu 50 ibu (76,9%).Perilaku ibu mengenai makanan anak lebih banyak pada kategori kurang yaitu sebanyak 48 ibu (73,8%).

Berpengaruh 22%

Tidak Berpengaruh

78%

(41)

40 6. Pola Asuh Ibu

Berdasarkan perhitungan skala guttman variabel pola asuh ibu dalam kejadian gizi buruk, besar presentasenya yakni 66%.Presentase yang diperoleh melebihi 60%, sehingga pola asuh ibu dalam penelitian ini tidak mempengaruhi kejadian gizi buruk.Pola asuh yang diteliti mencakup pola asuh dalam pemberian makanan pada balita dan kebersihan dalam memberikan makanan pada balita.

Penelitian lainnya hasil yang diperoleh sama yakni penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi I tahun 2009 tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita Puskesmas Samigaluh 1 Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Padapenelitian ini didapatkan bahwa status gizi tidakdipengaruhi oleh pola asuh ibu.Hal ini didukung olehpenelitian Muslim.Pola pemberian makan padaanak tergantung kepada kebiasaan makan, keadaansosial ekonomi, pengertian dan kesadaran tentanggizi, serta penyediaan pangan setempat.Haltersebut di atas berbeda dengan penelitian yangdilakukan di daerah konflik di Kabupaten PidiePropinsi Nangroe Aceh Darussalam yangmenyatakan bahwa adanya hubungan yangbermakna antara pola pengasuhan dengan statusgizi balita.

7. Pelayanan Kesehatan

Berpengaruh 34% Tidak

Berpengaruh 66%

(42)

41 Berdasarkan perhitungan skala gutman pada variabel pelayanan kesehatan, besar presentase pelayanan kesehatan yakni 85%.Besar presentase melebihi 60%, sehingga pelayanan kesehatan sudah baik dan bukan faktor risiko terjadinya kejadian gizi buruk di Kelurahan Kemijen, wilayah kerja Puskesmas Pegandan, Semarang, Jawa Tengah.

Bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Erna Kusumawati Tahun 2012 tentang Pengaruh Pelayanan Kesehatan terhadap Gizi Buruk Anak Usia 6 _ 24 Bulan. Hasil analisis regresi logistik ganda ditemukan variabel yang berpengaruh secara bermakna secara multivariat terhadap gizi buruk meliputi infeksi, pola asuh makanan, pendapatan, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Faktor yang paling berpengaruh adalah pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan nilai p = 0,000 dan nilai odds ratio (OR) sebesar 12,49.

Berpengaruh 15%

Tidak Berpengaruh

85%

(43)

42

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan zat gizi, atau dengan ungkapan lain status gizinya berada di bawah standar rata-rata. (Nency, 2005) Kejadian gizi buruk yang dialami oleh 4 balita dalam penelitian ini dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko yaitu : Asupan makanan, Status sosial ekonomi, Pendidikan dan Pengetahuan ibu serta Penyakit Infeksi. Namun berdasarkan penelitian yang kami lakukan pada keempat penderita gizi buruk di Kecamatan Gajah mungkur didapati bahwa faktor risiko yang memengaruhi kejadian gizi buruk pada balita ialah faktor pendapatan, akses terhadap bahan pangan, serta terdapatnya penyakit infeksi yang mana ketiganya memengaruhi kejadian gizi buruk.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian ini disarankan bagi :

1. Dinas Kesehatan Provinsi Kota Semarang

a. Memperpanjang ataupun menambah program enam bulan pada Rumah Pemulihan Gizi

(44)

43 c. Melakukan pembagian PMT-P langsung ke rumah-rumah keluarga pasien gizi buruk, sehingga semua pasien mendapatkan bantuan makanan tersebut.

d. Peningkatan kegiatan pelacakan gizi buruk ke rumah-rumah, agar balita-balita yang terkena gizi buruk yang tidak melapor ke Puskesmas dapat ditangani dengan baik

2. Masyarakat setempat

a. Diharapkan para orang tua memberikan perhatian khusus dalam mencukupi kebutuhan gizi harian balita meskipun dengan keadaan ekonomi yang tidak mencukupi.

b. Sebaiknya tidak hanya mengharapkan bantuan dari Dinas Kesehatan, melainkan berusaha secara mandiri dalam menjaga keadaan status gizi balita.

c. Tidak memberikan makanan kepada balita hanya dari PMT-P yang diberikan oleh Dinkes, namun harus tetap memberikan makanan harian keluarga yang bergizi seimbang, sehingga angka kecukupan gizi harian balita dapat terpenuhi.

d. Datang ke Puskesmas atau Posyandu pada saat pembagian PMT-P, sehingga balita mendapat makanan tambahan dengan kecukupan gizi harian yang baik

(45)

44 DAFTAR PUSTAKA

Abu A. 1997. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta

Achmad Djaeni, 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta : Dian Rakyat.

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Arikunto,Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta : Rineka Cipta.

Anwar K, Juffrie M, Julia M. 2005. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Gizi Klinik Indonesiahttp://ijcn.or.id/v2/content/view/33/40/. Diakses pada 16 November 2015.

Basuki, S., 2006. Metode Penelitian, Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Dalimunthe, R.F. 1995. Analisis Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bekas Pemilik Lahan di Kawasan Industri Medan. Medan: Tesis. Pascasarjana-USU.

Departemen Kesehatan RI. 1999. Profil Kesehatan. Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan RI. 2004. Analisis Situasi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes RI.

Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara. 2006. Profil Dinas Kesehatan, Sumatera Utara.

Efendi dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Terori Dan Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Green, L.W. 1980. Health Education Planning: a diagnostic approach. (1stedition).

(46)

45 Hafid, Raehanul Bahren, Muhammad Syaiffudin Hakim, dkk. 2009. Edisi VIII, Tahun I -

Majalah Kesehatan Muslim: Lebih Dekat Tentang Khitan. Yogyakarta: Pustaka Muslim.

Hartoyo, A, dan F, Zakaria. 2000. “Pengaruh Konsumsi Jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap Kadar Malonaldehida dan Vitamin E Plasma pada Mahasiswa

Pesantren Ulil Albaab Kedung Badak, Bogor”. Dalam: Jurnal Teknologi dan Industri Pangan

Hendri, Jhon. 2009. Riset Pemasaran. Surabaya: Universitas Gunadarma

Hidayat AAA. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, Yusliana. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Buruk Pada Balita Di Kabupaten Kebumen Tahun 2010. Purwokerto: Akademi Kebidanan YLPP

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/106/jtptunimus-gdl-kasiatig2a-5285-3-bab2.pdf. Diakses pada 4 Oktober 2015.

http://jateng.tribunnews.com/2014/01/09/dinkes-semarang-berupaya-tekan-angka-gizi-buruk. Dikases pada tanggal 5 Oktober 2015

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17280/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada 4 Oktober 2015.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37295/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada 4 Oktober 2015

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3747/1/fkm-juanita5.pdf. Diakses pada 4 Oktober 2015.

(47)

46 Ismarawanti, D. N. 2010. Kader Posyandu : Peranan Dan Tantangan Pemberdaya annya Dalam Usaha Peningkatan Gizi Anak Di Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Volume 13 Nomor 04 Tahun 2010, 169-173. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2015.

Israr, Yayan ,Cristopher, Riri Julianti, dkk. 2009. Gizi Buruk (Severe Malnutrition). http://www.files-of-drsmed.tk/. Diakses pada tanggal 5 oktober 2015

Istiono, Wahyudi. 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita Puskesmas Samigaluh 1 Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Yogyakarta: UGM. Kementrian Kesehatan. 2009. Menuju Masyarakat Sehat yang Mandiri dan

Berkeadilan.Kinerja Dua Tahun

2009-2011 .http://www.depkes.go.id/resources/download/laporan/kinerja/kinerja-kemenkes-2009-2011.pdf. Diakses pada 5 Oktober 2015.

Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Kosim, Sholeh M. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Kristiadi, E., 2007. LIPI, 2004.Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta.

Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Praktek Ibu tentang Pemberian Makanan Bayi dengan Kejadian Kurang Energi Protein pada Balita. Tesis. Program Ilmu Gizi. Universitas Diponegoro.

Kusaeri dan Suprananto. 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Kusumawati, Erna dan Setiyowati Rahardjo. 2012. Pengaruh Pelayanan Kesehatan terhadap Gizi Buruk Anak Usia 6 _ 24 Bulan. Purwokerto : Universitas Jendral Sudirman Purwokerto.

(48)

47 Mardalis, 2008. Metode Penelitan Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: PT. Bumi

Aksara.

Margono, S., 2000. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia

Nency Y, Arifin M.T. 2005. Gizi Buruk Ancaman Generasi yang Hilang.Diakses tanggal 10 Oktober 2015.

Notoatmodjo, S. 2005. Promosi kesehatan teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Rineka

Novitasari, Dewi. 2012. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk pada Balita yang Dirawat di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran.

Nurcahyo. 2008. Ilmu Kesehatan Jilid 2. Jakarta: Depdiknas

Permenkes.2010. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.No. 1995/Menkes/SK/XII/2010. Jakarta: Menkes.

Setiadi.(2013). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Ed.2. Jogjakarta : Graha Ilmu

Singgih D.Gunarso &Ny Y Singgih D.Gunarso. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia

Soekirman.2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: CV. AFABETA.

(49)

48 Supariasa, I Dewa Nyoman.2001.Penilaian Status Gizi.EGC : Jakarta

Suryabrata , Sumadi. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Widi, R.K. 2010.Asa s Metodologi Penelitian; Sebuah Pengenalan dan Penuntun Langkah demi Langkah Pelaksanaan Penelitian (Ed.1). Yogyakarta: Graha Ilmu. Zuraida R, Nuris. 2013.Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dengan Perilaku Ibu

(50)

49 LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian

FAKTOR RESIKO YANG MEMENGARUHI KEJADIAN GIZI BURUK PADA BALITA DI WILAYAH PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT (PUSKESMAS)

KROBOKAN

I. KARAKTERISTIK

Nama :

Nama Balita : 1. 2. 3. Umur Balita : 1. 2. 3.

Alamat :

Jumlah anggota keluarga : 1. Pendidikan

a. Tidak sekolah b. Tamat SD c. Tamat SMP

(51)

50 a. Tidak bekerja

b. Bekerja

3. Pendapatan Keluarga: a. ≤ Rp. 1.600.000/bulan b. > Rp. 1.600.000/bulan

Jawablah kuesioner berikut ini dengan memberi tanda silang (x) yang menurut ibu benar dan isilah titik-titik berikutnya.

II. SUMBER INFORMASI

1. Apakah banyak sumber yang ibu ketahui tentang gizi buruk? a. Ya, sumbernya...

b. Tidak, jika tidak kenapa...

2. Apakah ibu merasa cukup dengan informasi yang didapatkan? a. Ya

b. Tidak

III. PENGETAHUAN

1. Apakah ibu tahu tentang gizi buruk? a. Ya

b. Tidak

Jika ya, apa... 2. Apakah ibu tahu makanan bergizi yang diberikan utnuk anak?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, apa saja... 3. Apakah ibu tahu yang menyebabkan gizi buruk?

(52)

51 Jika ya, apa saja...

Jika tidak, kenapa... 4. Apakah ibu tahu ciri-ciri anak yang mengalami gizi buruk?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, apa saja...

5. Tahukah ibu gizi buruk itu berpengaruh pada pertumbuhan anak: a. Ya

b. Tidak

Jika ya, apa saja pengaruhnya... 6. Tahukah ibu makanan bergizi itu bermanfaat untuk anak:

a. Ya b. Tidak

Jika ya, untuk apa manfaatnya... 7. Apakah ibu tahu manfaat ASI untuk anak balita?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, apa saja manfaatnya...

8. Apakah ibu tahu ikan mempunyai kandungan protein yang tinggi? a. Ya

b. Tidak

Jika ya, apa saja proteinnya...

9. Apakah ibu tahu bahwa makan ikan berguna untuk pertumbuhan balita?

a. Ya b. Tidak

(53)

52 IV. SIKAP IBU

1. Apakah setuju disaat umur balita, balita membutuhkan konsumsi makanan bergizi?

a. Setuju b. Tidak setuju

2. Apakah setuju makanan berprotein penting untuk anak-anak dalam menghindari gizi buruk?

a. Setuju b. Tidak setuju

3. Apakah setuju untuk kekebalan tubuh, anak perlu diberikan air susu pertama kali?

a. Setuju b. Tidak setuju

4. Apakah setuju anak yang sering sakit biasanya kurang nafsu makan? a. Setuju

b. Tidak setuju

5. Apakah setuju disaat umur balita, balita membutuhkan konsumsi makanan bergizi?

a. Setuju b. Tidak setuju

Jika setuju, kenapa...

6. Apakah setuju makanan bervariasi: nasi, ikan, sayuran, buah dan susu? a. Setuju

b. Tidak setuju

Jika tidak setuju, apa saja...

7. Apakah setuju makanan tambahan: kacang hijau, kue, buah dan susu? a. Setuju

b. Tidak setuju

8. Apakah setuju untuk merangsang nafsu makan anak perlu diberikan vitamin/jamu?

(54)

53 b. Tidak setuju

V. AKSES TERHADAP PANGAN

1. Apakah anak mengonsumsi makanan yang mengandung protein dalam sehari-hari?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah anak mengonsumsi makanan yang mengandung vitamin dalam sehari-hari?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah anak mengonsumsi makanan yang mengandung lemak dalam sehari-hari?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah anak mengonsumsi makanan yang mengandung susu dalam sehari-hari?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah anak mengonsumsi suplemen untuk meningkatkan nafsu makan?

a. Ya b. Tidak

VI. FASILITAS KESEHATAN

1. Adakah fasilitas Puskesmas di tempat ibu? a. Ya

b. Tidak

Jika tidak, apa saja fasilitas kesehatan lain...

2. Ketika anak balita ibu menderita gizi buruk apakah pernah dibawa ke puskesmas terdekat?

(55)

54 Jika tidak, dibawa kemana...

3. Pernahkah anak diimunisasi ke Posyandu? a. Ya

b. Tidak

Jika tidak, kenapa... 4. Pernahkah ibu membawa anak ke posyandu untuk menimbang?

a. Ya b. Tidak

Jika tidak, kenapa...

5. Adakah anak balita ibu mendapatkan makanan tambahan dari petugas kesehatan?

a. Ya, makanan... b. Tidak

6. Adakah kunjungan PKK dalam memberikan fasilitas lain? a. Ya

b. Tidak

Jika ya, apa saja fasilitas itu... 7. Tahukah ibu tentang puskesmas?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, untuk apa... 8. Tahukah ibu tentang posyandu?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, untuk apa... VII. PETUGAS KESEHATAN

(56)

55 a. Ya

b. Tidak

Jika tidak, kenapa...

2. Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang gizi buruk? a. Ya

b. Tidak

Jika tidak, kenapa...

3. Jika anak ibu menderita gizi buruk apakah berkonsultasi dengan petugas kesehatan?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, tentang apa saja...

4. Apakah petugas kesehatan merawat anak balita ibu yang menderita gizi buruk?

a. Ya b. Tidak

5. Apaka pernah petugas kesehatan datang ke rumah saat anak balita ibu didiagnosa menderita gizi buruk?

a. Ya b. Tidak VIII. POLA ASUH

1. Apakah anak membutuhkan perhatian khusus, jika ternnyata anak dinyatakan gizi buruk?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah ibu memberikan makanan yang bergizi kepada anak? a. Ya

b. Tidak

(57)

56 3. Apakah ibu yang memberi sendiri makan anak, jika anak tidak mau

makan? a. Ya b. Tidak

Jika tidak, siapa yang berikan...

4. Apakah anak ibu diberikan makanan tambahan untuk memulihkan gizi buruk?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, apa saja... Jika tidak, kenapa...

5. Apakah makanan yang diberikan untuk anak selalu habis dimakan? a. Ya

b. Tidak

6. Apakah ibu memberikan makanan untuk anak dengan sendok? a. Ya

b. Tidak

Jika tidak, alasan tidak menggunakan sendok...

7. Apakah ibu mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memberikan makan pada anak?

a. Ya b. Tidak

8. Apakah mulut anak ibu selalu dibersihkan setelah memberi makan? a. Ya

b. Tidak

9. Apakah ibu mencari tahu faktor penyebabnya, jika ternyata anak ibu kurang berselera dalam makan?

(58)

57 Jika ya, maka penyebabnya...

IX. PENYAKIT INFEKSI

1. Apakah anak ibu dalam 1 tahun terakhir sering mengalami sakit? a. Ya

b. Tidak

Jika ya, berobat kemana... 2. Apakah penyakit memengaruhi berat badan balita?

(59)
(60)
(61)
(62)

Gambar

Tabel 2.1 Standar Berat Badan Menurut Umur 0-60 Bulan.
Gambar 2.1 Kerangka teori
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Gambar 4.1 Peta Kota Semarang
+7

Referensi

Dokumen terkait

+pabila radang paru atau pneumonia terjadi pada paru*paru bagian bawah dekat dengan daerah perut, maka masalah pernafasan tidak akan tampak, gejala yang terjadi adalah demam, nyeri

harus direncanakan untuk menahan tekanan tanah sesuai dengan ketentuan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, anugerah, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

“Dulu, saya kurang lancar dalam membaca AL-Qur‟an, banyak diantara teman-teman yang juga ikut kegiatan tahsin ada juga yang mengikuti selama satu bulan karena sudah bagus

Internet Kecamatan (PLIK) Desa Banjarwangi Kecamatan Pulosari Kabupaten Pandeglang. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas dan proporsi spermatozoa Y hasil pemisahan semen domba lokal dengan beberapa fraksi albumen telur dan lama penyimpanan

Sananwetan Permasalahan Pelayanan Kelurahan Gedog Sebagai Faktor Penghambat Pendorong (1) (2) (3) (4) (5) 1 Terwujudnya sistem pemerintahan yang baik dan demokratis

Hal yang digambarkan dalam diagram Zero adalah proses utama dari sistem serta hubungan terminator atau entitas proses, data flow dan data store. Diagram Rinci: Diagram level