• Tidak ada hasil yang ditemukan

eksistensi puisi indonesia di bali pada 0da9e651

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "eksistensi puisi indonesia di bali pada 0da9e651"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PADA ERA KOLONIAL

THE EXISTENCE OF INDONESIAN POETRY IN BALI ON THE COLONIAL ERA

I Nyoman Darma Putra

Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana Jalan Pulau Nias No. 13 Denpasar, Bali, Indonesia

Telepon (0361) 224121, Faksimile (0361) 224121 Pos-el: idarmaputra@yahoo.com

Naskah diterima: 11 Agustus 2017; direvisi: 3 Desember 2017; disetujui: 15 Desember 2017

Abstrak

Kontribusi Bali pada masa-masa awal perkembangan sastra Indonesia dikenal sebatas karya-karya Panji Tisna. Hal ini tidak mengherankan karena tahun 1930-an Panji Tisna sudah menulis beberapa novel seperti Sukreni Gadis Bali (1936) yang diterbitkan Balai Pustaka dan menjadi karya klasik yang masih mengalami cetak ulang sampai sekarang. Sebetulnya, di luar karya Panji Tisna ada banyak puisi yang dipublikasikan penulis Bali di media massa seperti Surya Kanta, Bali Adnyana, dan Djatajoe, terbit di Singaraja pada

era kolonial, 1920-an hingga awal 1940-an. Rumusan penelitian ini mengidentiikasi puisi Indonesia penyair Bali yang terbit pada zaman kolonial dan menganalisis tema-temanya

dikaitkan secara intertekstual dengan wacana sosial yang berkembang saat itu. Pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dan histori dengan teknik baca dan dokumentasi. Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitik dengan teknik pemahaman dan interpretasi. Hasil dan pembahasan penelitian ini menyimpulkan tiga hal. Pertama, puisi penyair Bali ikut memperkaya khasanah sastra Indonesia pada masa awal pertumbu-hannya. Kedua, kehadiran puisi penyair Bali di media massa lokal ikut memperkenalkan sastra nasional di daerah Bali. Ketiga, puisi penyair Bali dijadikan media bagi penulisnya untuk mengartikulasikan kepedulian sosial, misalnya masalah pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan dan kekhawatiran masyarakat Bali yang tidak siap menghadapi dampak pariwisata.

Kata kunci: sastra Indonesia, masa kolonial, penyair Bali, intertekstualitas

Abstract

(2)

Balinese poet enriched the repertoire of Indonesian literature at the beginning of its growth. Secondly, the presence of poetry of Balinese poet in local mass media also introduce national literature in Bali area. Thirdly, poetry of Balinese poet is used as a medium for writers to articulate social concerns, such as the issue of the importance of education for women and the concerns of Balinese who are unprepared for the impact of tourism.

Keywords: Indonesian literature, colonial period, Balinese poet, intertextuality

PENDAHULUAN

Sumbangan Bali pada perkembangan sastra Indonesia pada awal kelahiran dan pertum-buhannya tahun 1920-an dan 1930-an hanya dikenal lewat karya Panji Tisna. Tahun 1930-an, Panji Tisna sudah menerbitkan tiga novel yaitu

Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935), Sukreni Gadis Bali (1936), dan I Swasta Setahun di Be-dahulu (1938). Karya tersebut diterbitkan Balai Pustaka, milik pemerintah kolonial Belanda. Karya Panji Tisna, terus dicetak ulang juga oleh Balai Pustaka (milik pemerintah Indonesia), dan kini seakan sudah menjadi karya klasik dalam sastra Indonesia modern.

Tidak ada nama penulis Bali lain yang masuk dalam deretan nama sastrawan dalam se-jarah kelahiran dan awal pertumbuhan sastra In-donesia, kecuali nama Panji Tisna. Tumbuhnya penerbitan di Bali setidaknya mengungkapkan beberapa hal yang berkaitan dengan beberapa hal. Pertama, apakah tidak ada penulis sastra lainnya di Bali. Kedua, kalau ada, siapakah mereka, dan jenis karya sastra apakah yang mereka tulis. Ketiga, di mana karya mereka terbit. Keempat, di mana beredar dan siapa saja kira-kira pembacanya. Kelima, mengapa karya mereka kurang dikenal. Keenam, apakah kon-tribusi karya mereka pada perkembangan atau pengenalan sastra Indonesia di Bali. Rumusan masalah penelitian ini membahas (1) perkem-bangan sastra dan media massa di Bali; (2) puisi media massa di Bali tahun 1920-an sampai dengan 1930-an. Tujuan penelitian ini diharap-kan mampu memberidiharap-kan kontribusi terhadap perkembangan sastra Indonesia modern di Bali.

Belum ada kajian khusus tentang perkem-bangan sastra Indonesia di Bali tahun 1920-an dan 1930-an. Ini bisa dipahami karena Bali lebih dikenal dalam kontesk sastra tradisional Bali atau sastra Jawa Kuna. Sarjana dalam negeri dan luar negeri banyak meneliti sastra tradisional Bali, baik dengan pendekatan

tek-stual, instrinsik, maupun kajian ilologis atau

suntingan teks (Creese 1998, 2004; Rubinstein 2000; Vickers 2005; Cika 2006; Suarka 2007). Semua studi ini menguatkan kesan Bali sebagai daerah tempat tumbuh suburnya sastra Jawa Kuna, di luar daerahnya di Jawa. Bali dianggap sebagai daerah penyelamat sastra Jawa Kuna. Sastra Indonesia, walaupun ada dan sedikit, tertutupi oleh kehidupan sastra tradisional Bali atau Jawa Kuna.

Kalaupun ada kajian yang menyebutkan Bali atau pengarang Bali atau pengarang Indo-nesia datang dan mendapat inspirasi dari Bali, itu jelas dalam konteks perkembangan sastra

Indonesia, bukan spesiik sastra Indonesia di

Bali. Kajian atau tulisan sejarah sastra Indone-sia yang ada hanya menganalisis karya Panji

Tisna (Teeuw 1967; 1986). Dari zaman kolo -nial, tidak ada nama Bali masuk atau tercantum dalam sastra Indonesia.

(3)

membahas eksistensi puisi dan perannya dalam pengenalan sastra Indonesia di Bali.

Berdasarkan kajian yang ada, eksistensi

puisi penyair Bali zaman kolonial, dalam hal ini

tahun 1920-an dan 1930-an, masih belum ban-yak terungkap. Pengungkapannya memberikan manfaat ganda. Pertama, dapat memperjelas eksistensi puisi Indonesia karya penulis (kalau kurang cukup disebutkan penyair). Kedua, memberikan gambaran mengenai tema dan

kaitan tema puisi dengan keadaan sosial zaman

puisi itu ditulis. Dengan kata lain, puisi dari

zaman ini mungkin dapat dijadikan sumber

untuk mengenal sisi lain dari kehidupan sosial

masyarakat pada zaman itu.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah intertekstualitas. Kristeva (1996, hlm. 37) mengemukakan bahwa “… Any text is constructed as a mosaic of quatations: any text is the absorption and tranformation of another. The nation of intertextuallity replaces that of intersubjectivity…” Sebuah teks lahir itu tidak berawal dari kekosongan karena pengarang melahirkan karyanya tidak mendapat ilham dari sebuah kekosongan. Julia Kristeva adalah tokoh yang mempopulerkan teori dialogika Bakhtin ini di Prancis. Menurut Allen (2000, hlm. 14; Kristeva, 1971; Kristeva, 1996), is-tilah intertekstual kali pertama dikenal dalam bahasa Prancis, yaitu melalui karya awal Julia Kristeva pada abad Pertengahan sampai den-gan akhir tahun 1960. Dalam esainya berjudul “The Bounded Teks” dan “Word, Dialogue, and Novel”, Kristeva memperkenalkan karya dari pakar teori sastra Rusia M.M. Bakhtin ke dalam bahasa Prancis. Karya Bakhtin, saat ini, memu-nyai pengaruh yang luar biasa dalam bidang teori dan kritik sastra, dalam teori linguistik,

politik dan sosial, ilsafat, dan lainnya. Kristeva

tidak hanya memperkenalkan istilah intertek-stual, tetapi juga memperkenalkan sosok yang sejak saat itu dikenal sebagai pakar teori sastra

paling berpengaruh pada abad ke-20.

Menurut Barthes (1981, hlm. 31—32), intertekstual sebagai kombinasi berbagai teks dalam sebuah teks. Kombinasi tersebut telah melahirkan teks baru yang lahir dari kreativitas pengarangnya. Teori intertekstual memandang bahwa sebuah teks yang ditulis meniscayakan mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya. Tidak ada sebuah teks pun yang benar-benar mandiri, dalam arti pen-ciptaannya dengan konsekuensi pembacaannya, juga dilakukan tanpa sama sekali berhubungan dengan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka, atau acuan (Teeuw, 2015, hlm. 145; Nurgiyantoro, 2005, hlm. 35). Dari teori intertekstual Kristeva tersebut kemu-dian dikembangkan dalam penelitian ini untuk

mengkaji puisi-puisi zaman kolonial di Bali.

METODE

Penelitian dilaksanakan dengan memeriksa arsip, terutama media massa yang terbit di Bali tahun 1920-an dan 1930-an. Arsip yang diteliti adalah majalah Surya Kanta, Bali Adnjana, Bhawanegara, dan Djatajoe. Keempat media massa ini terbit di Singaraja, kota yang menik-mati kemajuan lebih awal daripada Denpasar, karena Bali Utara lebih dulu dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Di daerah ini banyak kalangan terdidik, guru, dan merekalah yang menerbitkan media massa. Para guru dan intelektual lainnya inilah yang menyumbangkan tulisan di media massa tersebut. Mereka aktif berorganisasi dan organisasi inilah yang menjadi penerbit media massa tersebut. Anggota organisasi tersebut biasanya diwajibkan untuk berlangganan. Tidak mengherankan kalau banyak kegiatan organisasi seperti risalah rapat terkadang termuat dalam media yang mereka terbitkan.

(4)

tetapi sebagian besar dapat diperoleh, sehingga penelitian bisa dikatakan representatif. Satu per satu majalah itu diperiksa, untuk mendata karya sastra yang dimuat. Artikel lain yang berkaitan tema karya juga dikaji, untuk memaknainya dengan pendekatan intertekstualitas.

Sesudah karya-karya yang ada teridentiika -si, analisis dilakukan terhadap karya khususnya karya puisi. Analisis intertekstual dilakukan untuk melihat kaitan antara dengan situasi sos-ial ketika diterbitkan. Pendekatan intertekstual mengarahkan bahwa teks senantiasa memiliki hubungan dengan teks lain, seperti ditulis Allen (2000, hlm. 2) bahwa makna teks ditentukan hubungannya dengan teks lain. Intertekstuali-tas menolak adanya makna tetap sebuah teks,

karena makna teks bergantung pada dari kepada teks apa yang diproyeksikan. Teks puisi dilihat dari teks yang dimuat di media massa yang menerbitkannya karena

ked-uanya merupakan produk wacana sezaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan ini menguraikan dua masalah penelitian. Pertama, sastra dan media massa di Bali yang memuat terbitan tahun 1920-an sam-pai dengan 1940-an. Sebagai data penelitian ada lima media massa terbitan pada masa kolonial. Kedua, puisi terbitan media massa di Bali tahun

1920-an sampai dengan 1939 dengan jumlah 39 puisi dengan analisis berikut ini.

Sastra dan Media Massa di Bali

Media massa memainkan peranan penting dalam perkembangan sastra. Hal ini tidak saja terjadi di Indonesia secara umum, tetapi juga di Bali. Jauh sebelum koran Bali Post (sebelum-nya bernama Suara Indonesia, Suluh Marhaen) mempublikasikan sastra, di Bali Utara tahun 1920-an dan 1930-an sudah terbit media massa yang memuat karya sastra utamanya puisi. Ada lima media yang terbit di Singaraja yang men-jadi sumber utama penelitian ini, yaitu Shanti Adnjana, Surya Kanta, Bali Adnjana, Bhawa-negara, dan Djatajoe (Tabel 1).

Tabel 1 Media Massa yang Terbit di Bali 1920-an hingga 1940-an

No Nama Media Penerbit Tahun

Shanti Adnjana Shanti 1924-1925

Bali Adnjana IGP Tjakra Tenaja 1925-1931

Surya Kanta Surya Kanta 1925-1928

Bhawanegara Liefrinck-Van der Tuuk Foundation 1931-1935

Djatajoe Bali Darma Laksana 1936-1941

Koran yang terbit pertama adalah Shanti Adnjana, diterbitkan oleh Shanti, organisasi intelektual Bali dengan tujuan, antara lain me-majukan pendidikan di Bali, misalnya dengan mendirikan sekolah (Picard, 1999, hlm. 33; Putra, 2003, hlm. 56). Arsip ini tidak terlacak sehingga tidak diketahui apakah pernah memuat karya sastra atau tidak hingga sekarang ini.

Shanti Adnjana pecah menjadi dua karena perbedaan paham pengelolanya, yaitu Bali Ad-njana dan Surya Kanta. Majalah Bali Adnjana

(5)

puisi “Selamat Tahun Baru untuk Bali Adnjana” karya Gd. P. Kertanadi. Inilah puisi pertama yang diketahui muncul di Bali. Selain puisi, ma-jalah ini juga memuat artikel budaya dan ulasan pertunjukan teater. Ulasan pertunjukan teater yang terbit dalam Bali Adnjana, misalnya pen-tas drama kelompok HUDVO (tidak diketahui singkatan dari apa), yaitu perhimpunan pelajar Bali di Jawa. Pada saat liburan, mereka pulang ke Bali untuk menggali dana beasiswa dengan mementaskan pertunjukan. Tiket pertunjukan dikumpulkan untuk beasiswa atau membantu anggota yang tidak mampu. Teater yang mereka pentaskan disebut dengan tonil (toneel), dari is-tilah bahasa Belanda yang berarti teater (Putra, 2008, hlm. 46). Pementasan dilaksanakan di dua kota, yaitu Singaraja dan Denpasar. Walaupun berita dan ulasannya pendek, informasi tersebut sangat berharga untuk menunjukkan kehadiran pertunjukan modern atau tonil atau teater di Bali

pada zaman kolonial.

Gambar 1 I G.P. Tjakra Tenaja

(Repro AA Putra Agung, 2001)

Gambar 2 Surat kabar Bali Adnjana

Surya Kanta diterbitkan oleh Surya Kanta dengan pemimpin redaksi K’toet Nasa (Foto 3 dan Foto 4), seorang guru dari Bubunan, Buleleng. Majalah ini terbit sebulan sekali, dengan perwajahan lebih menarik daripada Bali Adnjana, karena menggunakan teknik cetak. Selain itu, Surya Kanta cukup agresif dalam memuat tulisan. Artikel di Surya Kanta dan Bali Adnjana sering saling sahut dalam polemik, terutama dalam isu kasta. Surya Kanta banyak memuat puisi dan satu naskah drama anonim berjudul “Kesetiaan Perempuan” (1926). Tema

cerita adalah konlik kasta, sebagai perpanjan -gan dari isu polemik antara Bali Adnjana dan

(6)

Gambar 3 K’toet Nasa

(Repro AA Putra Agung, 2001)

Gambar 4 Surat Kabar/Majalah Surya

Kanta

Surya Kanta tutup 1928 dan disusul Bali Adnjana tahun 1931. Setelah itu, Liefrinck-Van der Tuuk Foundation, yayasan pendiri Gedong Kirtya, menerbitkan Bhawanegara (Lihat Foto 5).Bhawanegara bisa dikatakan corong pemer-intah kolonial untuk menjaga kedamaian Bali,

agar tidak ada konlik atau polemik apalagi

tentang kasta. Bhawanegara ini banyak memuat sastra tradisional seperti gaguritan, disalin dari lontar koleksi Gedong Kirtya, dan hanya satu sastra modern, yaitu puisi “Cinta”. Sementara itu, majalah Bhawanegara bubar tahun 1935.

Gambar 5 Bhawanegara

Sesudah Bhawanegara tutup, muncul

(7)

ma-jalah Poedjangga Baru. Antara kedua majalah tersebut sering terjadi saling kirim nomor-tukar, artinya pengelola Djatajoe mengirim majalah ke kantor Poedjangga Baru ke Jakarta, pen-gelola Poedjangga Baru mengirim ke kantor

Djatajoe di Bali.

Gambar 6 Majalah Kebudayaan Djatajoe Gambar 7 Panji Tisna

Puisi Pada Media Massa di Bali 1920-an Hingga 1939

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas media massa yang terbit di Bali, Surya Kanta, Bali Adnjana, Bhawanegara, dan Djatajoe, dapat

diidentiikasi sejumlah 39 judul puisi. Puisi

tersebut dimuat dalam Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Puisi yang Dimuat Media Massa di Bali 1920-an hingga 1939

No Judul Puisi Penulis Sumber

Selamat Tahun Baru untuk Bali Adnjana

Gd.P. Kertanadi Bali Adnjana, 1 Januari 1925:1

Assalamualaikum WD Surya Kanta, Oktober 1925:7

Ilmu AWD Surya Kanta, November 1925:3

Tachyul MAR Surya Kanta, Februari 1926:19-20

O! Zaman M.T Surya Kanta, Maret 1926:35

SK Soekarsa Surya Kanta, Maret 1926:45

Hiduplah SK MAR Surya Kanta, Mei 1926:74

Berlanggananlah Surat Bulanan SK KK Surya Kanta, Juni-Juli 1926:88-89

Kemanusiaan A. Kobar Surya Kanta, Agustus 1926:103-4

Rukunlah Surya Kanta WL Surya Kanta, Agustus 1926:106-8

Sadarlah M Surya Kanta, Agustus 1926:114

(8)

Cermin MDr Surya Kanta, September-Oktober 1926:155

Darma Sinar Surya Kanta, September-Oktober 1926: 150

Syair SK M. Gama Surya Kanta, Januari-Februari 1927:19

Setia pada SK Soekarsa Surya Kanta, Maret -April 1927:36

Tjinta Kedjora Bhawanegara, Desember 1933:102-103

Harta K. Kandia Djatajoe, 25 November (?):116-7

BDL Ktut Gde Maroete Djatajoe, 25 Maret 1937:250

Karena Berpahala K. Kandia Djatajoe, 25 June 1937: 309

Ke Arah Nan Maha Kuasa Ida Bagus Tugar Djatajoe, 25 Maret 1937:270

Ke Taman BDL Ktut Gde Maroete Djatajoe, 25 Desember 1936:138

Kodrat Cinta IG Ng Sidemen Djatajoe, Januari 1937:173

Ke Arah Nan Maha Kuasa Ida Bagus Tugar Djatajoe, 25 Maret 1937:270

Karena Berpahala K. Kandia Djatajoe, 25 Juni 1937: 309

Kenangan IG Ng Sidemen Djatajoe, 25 Juni 1937: 328

Oh Bali P. Windia Djatajoe, Februari 1937:197

Wahai Kama K. Kandia Djatajoe, Januari 1937:168-69

Ya Dharma K. Kandia Djatajoe, Februari 1937:186

Syair Seruan Djatajoe IG Ng Sidemen Djatajoe, Februari 1937:185

Oh Putriku Wayan Sami Djatajoe, 23 Maret 1937:226

Hiduplah Badala K. Djeloen Djatajoe, 25 Maret 1938:239

O Ibuku I Gusti P. Matharam Djatajoe, 25 Mei 1938: 318

Di Tepi Samudra P. Mudelare/ Nj Ke-dasih.

Djatajoe, 25 September 1938:51

Och Ratna M. Oke Djatajoe, 25 Mei 1938:317-18.

Seruan Ni Made Tjatri Djatajoe, 25 September 1938:51

Bladvulling, Kampungku Nj Merati Djatajoe, 25 Februari 1939:262

Di Rantau Mara Ati Djatajoe, 25 Februari 1939:244

Dilamun Maha Yogi Tanah Bali Tone Indara Djatajoe, 25 November 1939: 113

Sumber: Hasil Penelitian 2017

tiap bait. Bait pertama ditandai dengan tiap baris dimulai dengan huruf B: Bali Adnjana taman jauhari/ Buat pengerah putra dan putri/ Bersinar bagaikan matahari/ Bagi suluh BALI negeri. Pesannya adalah bahwa Bali Adnjana

adalah taman para cendekiawan (juhari) yang menyinari negeri Bali, sebuah promosi buat

Bali Adnjana.

Puisi yang terbit di Surya Kanta pun ber-bentuk syair dan berisi pesan promosi visi misi dari koran yang memuatnya. Ada puisi “Hidu-plah SK” karya MAR, “Berlanggananlah Surat Bulanan SK” karya KK, dan “Setia pada SK” Dari hasil penelitian diketahui bahwa puisi

(9)

karya Soekarsa. Promosi Surya Kanta sudah terasa di judul seperti promosi agar pembaca berlangganan.

Kecenderungan sama juga terdapat dalam

Djatajoe, majalah yang diterbitkan oleh Bali Darma Laksana, persatuan pemuda/pelajar Bali. Ini terlihat dalam sajak “Ke Taman BDL” karya Ketut Gde Maroeta dan “Hiduplah Badala” karya K. Djeloen. Kata-kata BDL di judul adalah singkatan dari Bali Darma Laksana, demikian juga akronim Badala yang berarti Bali Darma Laksana. Puisi yang ditulis dengan gaya akrostik penuh atau semi akrostik atau akrostik yang bervariasi merupakan salah satu ciri intrin-sik yang bisa ditandai dalam sajak-sajak Indo-nesia penulis Bali tahun 1920-an dan 1930-an. Gaya seperti ini tidak dominan dalam penulisan era sesudahnya sampai sekarang. Namun, gaya itu bukannya hilang sepenuhnya. Gaya seperti itu masih muncul dalam puisi anak-anak.

Tema lain dari puisi Djatajoe adalah ma-salah yang dihadapi Bali sebagai daerah tujuan wisata, identitas kasta, dan tentang pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan. Saat itu, pendidikan dianggap hak laki-laki, perempuan dianggap akan menjadi ibu rumah tangga, tidak perlu pendidikan. Pesan ini terungkap dalam “O Putriku” karya Ni Wayan Sami dan “Seruan” karya Ni Made Tjatri. Puisi “O Pu-triku” mendorong kaum perempuan untuk aktif, jangan bermalas-malasan (Gerakkan tangan yang berpangku/ Gerakkan jiwa yang lebih bebas). Konteksnya adalah mengajak perem-puan bergerak maju, mencapai kemajuan setara dengan laki-laki. Puisi tentang perempuan yang ditulis perempuan ini, menunjukkan bahwa perempuan Bali sudah aktif menyampaikan pendapat di media massa era 1930-an. Tema puisi ini sama dengan wacana media massa yang memuatnya, seperti tulisan-tulisan tentang pemberantasan buta huruf untuk perempuan (Putra, 2003, hlm. 25).

Perempuan Bali yang menulis di Djatajoe,

baik puisi maupun artikel lainnya, umumnya

bekerja sebagai guru. Mereka tergabung dalam organisasi Puteri Bali Sadar. Lewat organisasi ini, mereka menyumbangkan waktu dan tenaga serta uang mereka untuk memajukan pendidi-kan kaum perempuan. Tahun 1930-an, persepsi publik bersifat merugikan perempuan yang menganggap perempuan tidak perlu bersekolah. Masa depan mereka adalah mengurus rumah tangga. Beda dengan laki-laki yang dianggap akan membina karier di luar rumah, pantas disekolahkan. Sebaliknya, perempuan tidak perlu disekolahkan.

Persepsi yang timpang inilah hendak dilu-ruskan oleh anggota Puteri Bali Sadar. Mereka berusaha untuk mendorong agar anak-anak perempuan mendapat pendidikan yang sejajar dengan laki-laki. Anak-anak perempuan dido-rong untuk bersekolah. Organisasi Bali Darma Laksana juga bergerak di bidang pendidikan, tetapi bagi anggota Puteri Bali Sadar akan jauh lebih efektif kalau mereka yang mendorong kaum perempuan. Untuk itu, Puteri Bali Sadar berusaha menggali dana dan membantu orang tua yang kesulitan ekonomi dalam menyekolah-kan anaknya. Untuk perempuan usia sekolah, mereka didorong bersekolah, untuk perempuan dewasa yang tidak bisa membaca dan menulis didorong untuk mengikuti program pemberan-tasan buta huruf (PBH). Sebagai guru, anggota Puteri Bali Sadar melakukan semuanya. Mereka mengabdi untuk kemajuan kaumnya, dan kalau perempuan maju, berarti bangsa juga maju. Kontribusi kaum perempuan juga berguna bagi nusa dan bangsa (Putra, 2003, hlm. 41).

(10)

Berikut adalah kutipan penuh sajaknya.

O, Putriku

O, putriku, kaum bangsaku Marilah kita beramai-ramai! Turut mengabdi

Ibu Pertiwi

O, kakakku, O, adikku! Gerakkan badan yang lemah Lunglai

O, Putriku, sejawat bangsaku Lepaskan sifat bermalas-malas!

Ya, ke laut Nan larut

Gerakkan tangan yang berpangku Gerakkan jiwa yang lebih bebas

Sekian ganas gema mendesau Gelisah, rancak, derak menderu

Menggema Mendiang sukma

Membelai alam yang menghimbau Menyerak awan mendung nan biru

Tetapi, di mana kaum putriku? Sampai payah, tak dapat dicari, Sunyi, sepi

Masih bermimpi?

Aduhai, kenapa masih berpangku?

Apakah ini zaman bahari?

(Djatajoe, 23 Maret 1937, hlm. 226).

Setidaknya ada dua suara dalam sajak yang dimuat dalam Djatajoe (23 Maret 1937, hlm. 226) ini, yaitu suara mengajak agar kaum perempuan tidak bermalas-malasan, tetapi aktif bergerak mengabdi untuk Ibu Pertiwi. Suara yang satu lagi adalah kekhawatiran karena perempuan masih bermalas-malasan, tidak ada yang muncul, tidak ada yang bangkit. Sampai-sampai penyairnya secara retoris bertanya

‘apakah ini zaman bahari’, alias zaman kuno?

Jika diksinya diperhatikan, puisi ini meng-gunakan pola syair dengan membuat bunyi akhir sama, tetapi tidak sepenuhnya demikian karena ada ciri kuat puisi modern yang bebas dalam puisi ini. Yang dipentingkan adalah pe-nyampaikan gagasan yang bernas, tidak semata keindahan bunyi. Sampai di sini, kelebihan puisi Wayan Sami serentak terletak pada gaya ucap dan gagasan yang dilontarkan, yaitu sama-sama ‘dinamik’, optimistik akan masa depan.

Siapakah pembaca puisi-puisi mereka? Jawaban atas pertanyaan ini sulit diberikan, tetapi yang pasti adalah para pelanggan majalah tempat puisi dimuat. Jumlah pelanggannya pasti tidak banyak. Umumnya anggota organisasi penerbitnya, para anggota seperti kena kewa-jiban untuk berlangganan.

SIMPULAN

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa 1920-an dan 1930-an penulis Bali sudah mempublikasikan puisi berbentuk syair di media massa lokal, yaitu Bali Adnjana, Surya Kanta, Bhawanegara, dan Djatajoe. Jumlah karya mereka cukup banyak, mendekati 40 puisi. Temanya beragam, mulai dari promosi media massa yang memuatnya, kekhawatiran akan dampak pariwisata, dan dorongan bagi perempuan untuk meraih kemajuan setara kaum laki-laki. Tema ini menunjukkan bahwa penulis Bali juga menjadikan karya sastra untuk mengekspresikan kepedulian sosial mereka.

(11)

Tisna ada sejumlah penulis yang menciptakan karya sastra dan mewarnai kehidupan sastra Indonesia di Bali. Bukti-bukti puisi dan seman-gat kemajuan yang dikumandangkan dengan bernas dan optimistik adalah bukti bahwa Bali juga berpartisipasi dalam pengembangan sastra Indonesia di Bali. Kontribusi penulis Bali pada kehidupan sastra Indonesia seperti ini terus berlanjut sampai sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, A.A.G.P. (2001). Perubahan Sosial dan Pertentangan Kastadi Bali Utara. Yogya-karta: Yayasan Untuk Indonesia.

Barthes. R. (1981). “Theory of the Text”. In

Unitying the Text: A Post Structuralist Reader, pp. 31—34. Robert Young (Ed). London and New York: Routledge.

Allen, G. (2000). Intertextuality. London: Routledge.

Cika, I W. (2006). Kakawin Sabha Parwa: Analisis Filologis. Denpasar: Pustaka Larasan.

Creese, H. (1998). Parthayana, The Journey-ing of Partha: an Eighteenth-Century Balinese Kakawin. Leiden : KITLV Press.

Creese, H. (2004). Women of the Kakawin World: Marriage and Sexuality in the Indic Courts of Java and Bali. London: M.E. Sharpe.

Eddy, N.T. (1997). “Puisi Bali, Selintas-Pintas”.

Horison, 31—33; 27—29.

Hunter, T.M. (1998). “Figure in the Carpet: A Selection of Modern Indonesian Poetry of Bali”. Rima: Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Volume 32, Issue 1, June 1998, pp. 1—23. http://search.infor-mit.com.au/documentSummary;dn=2001 05150;res=IELAPA.

Kristeva, J. (1971). “The Bounded Teks” and “Word, Dialogue, and Novel”. In Semeio-tike: Recherches Pour Une Semanalyse.

Paris: Seuill.

Kristeva, J. (1996). “Intertextuality and Literary Interpretation”. In Julia Kristeva Inter-views, p. 189. Ross Guberman (Ed.). New York: Columbia University Press.

Nurgiyantoro, B. (2005). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univer-sity Press.

Picard, M. (1999). “The Discourse of Kebalian; Transcultural Constructions of Balinese Identity”. In Raechelle Rubinstein and Linda Connor (Eds.). Staying Local in the Global Village; Bali in the Twentieth Century, pp. 15—49. Honolulu: University of Hawai’i Press.

Putra, I N.D. (2003). Perempuan Bali Tempo Doeloe Perspektif Masa Kini. Denpasar: Pustaka Larasan.

Putra, I N.D. (2008). “Modern Perform-ing Arts as a Reflection of ChangPerform-ing Balinese Identity”. Indonesia and the Malay World, Vol. 36 , Issue. 104, pp. 87–114. http://www.tandfonline.com/doi/ abs/10.1080/13639810802017842.

Putra, I N.D. (2011). A Literary Mirror: Bali-nese Relections on Modernity and Identity in The Twentieth Century. Leiden: KITLV.

Rubinstein, R. (2000). Beyond the Realm of the Senses: the Balinese Ritual of Kakawin Composition. Leiden: KITLV Press.

Suarka, I N. (2007). Kidung Tantri Piśācaraṇa. Denpasar: Pustaka Larasan.

(12)

Sutedja-Liem, M. (2003). The Turning Wheel of Time: Modernity and Writing Identity in Bali 1900—1970. PhD thesis Leiden University.

Teeuw, A. (1967). Modern Indonesian Litera-ture. Vols. I and II. The Hague: Martinus Nijhoff.

Teeuw, A. (1986). “Translation, Transforma-tion, and Indonesian Literary History”. In

Cultural Contact and Tekstual

Interpreta-tion, pp. 190—203. C.D. Grijns and S.O. Robson (Eds.).Dordrecht, Holland: Foris Publications.

Teeuw, A. (2015). Sastra dan Ilmu Sastra. Ja-karta: Pustaka Jaya.

Gambar

Tabel 1 Media Massa yang Terbit di Bali 1920-an hingga 1940-an
Gambar 2  Surat kabar Bali Adnjana
Gambar 3 K’toet Nasa
Gambar 6 Majalah Kebudayaan Djatajoe

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia terletak dipertemuan tiga lempeng aktif (Eurasia, Indo-Australia dan Samudera Pasifik/ Filipina) merupakan suatu daur hidrologi air (air tanah dan hujan) yang dalam

Pengamatan Volume akar, Rasio Tajuk Akar dan Berat Kering juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu tidak terdapat interaksi yang berpengaruh nyata yang disebabkan

Dalam bab ini akan dijelaskan penggambaran sistem kendali, yang meliputi fungsi alih (transfer function), korelasi antara fungsi alih dengan persamaan ruang

Misalnya, suatu operasi pengolahan primer (contohnya, pabrik atau pejagalan) dapat melakukan penilaian untuk mempertimbangkan hukum yang berlaku bagi pemasoknya, terutama jika

Adapun dalam kelompok kedua (rentensi pelanggan), tugas pemasar berupaya terus-menerus mempertahankan pelanggan yang sudah menggunakan mereknya agar tidak pindah ke merek

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Research and Development). Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu 1)

Hingga saat ini yang banyak dilakukan oleh masyarakat adalah bank sampah (Apriliyanti et al., 2015; Rahmatika, 2017), namun yang kembangkan majelis lingkungan Hidup

Menurut Kustandi dan Sutjipto (2011:5) pada hakikatnya, pembelajaran merupakan suatu usaha sadar guru/pengajar untuk membantu siswa atau anak didiknya, agar mereka