• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan Dalam Merespon Kepentingan Perempuan (Studi Kasus DPRD Kota Pematang Siantar 2016) Chapter III IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan Dalam Merespon Kepentingan Perempuan (Studi Kasus DPRD Kota Pematang Siantar 2016) Chapter III IV"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

ANALISIS PERAN POLITIK ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM MERESPON KEPENTINGAN PEREMPUAN DI KOTA

PEMATANGSIANTAR

3.1 Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan

Penilaian peran politik merupakan suatu hal yang penting karena dapat

digunakan dalam mengkaji sebuah ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam hal

ini adalah DPRD Kota Pematangsiantar dalam menjalankan tugas yang telah

dimandatkan sebagai wakil rakyat. Dengan melakukan penilaian maka upaya

untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara terarah dan sistematis.

Peran politik anggota legislatif dapat dilihat dari peranan anggota legislatif

dalam menjalankan fungsinya. Anggota legislatif perempuan memiliki peran

ganda sebagai ibu rumah tangga dan juga sebagai representatif rakyat terutama

bagi kaum perempuan yang selama ini tertinggal akibat kurang diperjuangkannya

kepentingan-kepentingan perempuan yang jarang mendapatkan perhatian. Dengan

meningkatnya kuota perempuan di parlemen yang kemudian dipeertegas dengan

adanya UU Partai Politik dan UU Pemilu yang mewajibkan adanya keterwakilan

perempuan diparlemen merupakan kesempatan bagi anggota legislatif yang

terpilih untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Di DPRD Kota

Pematangsiantar keterwakilan perempuan sangat sedikit, namun untuk periode

2014-2019 dapat dikatakan meningkat dari tahun sebelumnya meskipun tidak

(2)

berhasil duduk di parlemen hanya berjumlah 6 orang dari 30 orang anggota

dewan. Pada periode 2014-2019 dari 30 anggota dewan, perempuan yang berhasil

duduk di parlemen ada 7 orang. Hal ini menunjukkan hal yang positif bagi

keterwakilan perempuan di parlemen.

Keterwakilan perempuan dalam legislatif sangat penting karena

perempuan memiliki kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami dengan baik

oleh perempuan itu sendiri. Kebutuhan khusus tersebut dapat meliputi kebutuhan

akan kesehatan reproduksi, masalah kesejahteraan keluarga (seperti soal harga

Sembilan bahan pokok yang terjangkau,masalah kesehatan, dan pendidikan anak),

kepedulian kepada anak, kebutuhan manusia tingkat lanjut, kekerasan dalam

rumah tangga serta isu-isu kekerasan seksual dan lain-lain.

Keadilan gender merupakan proses atau perlakuan keadilan bagi semua

kaum bagi laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya keseteraan gender dan

keadilan gender dengan tidak adanya diskriminasi terhadap perempuan sehingga

memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan memiliki akses kontrol dalam

proses pembangungan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari

pembangungan yang telah dilakukan dan memperoleh kesempatan serta

hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan

ekonomi,hukum,politik,sosial budaya,pendidikan,pertahanan dan keamanan

(3)

Perempuan tidak banyak menguasai praktek politik untuk bisa

membantunya menghadapi perubahan kebijakan yang berpihak kepada mereka,

dibandingkan dengan laki-laki meskipun sebagai aktor handal politik, namun pada

umumnya rentan terhadap stress yang menimbulkan tindakan emosi berlebihan.

Sejak awal reformasi, pembicaraan tentang keterwakilan perempuan diparlemen

bergeser dari isu akademik dan gerakan sosial menjadi agenda kerja politik.

Dengan adanya peraturan kuota perempuan dilembaga legislatif dan partai politik

sebagaimana yang ditetapkan dalam UU pemilu No. 10 tahun 2010 semakin

menguatkan desakan terhadap partai dan parlemen untuk memberikan ruang

khusus bagi politisi perempuan.27

Penduduk Indonesia khususnya di Sumatera utara di dominasi oleh kaum

perempuan sehingga keterwakilan perempuan di parlemen sangat dibutuhkan

untuk bisa merepresentasikan kepentingan perempuan yang tidak dapat diwakili

oleh kaum laki-laki dan disini lah dibutuhkan affirmative action. Affirmative

action juga dibutuhkan untuk kuota politik perempuan di parlemen,rekrutmen pejabat politik,birokrasi yang sensitive gender,konsultasi khusus untuk kalangan

perempuan, akses-akses khusus bagi perempuan terhadap kebijakan publik dan

prioritas anggaran untuk mewujudkan kepentingan perempuan. Gender bukan

kodrat ketuhanan tetapi lebih kepada proses penempatan bagaimana sebaiknya

laki-laki dan perempuan bertindak dan berperan sesuai dengan tata nilai dan

struktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Seperti yang

27

(4)

dikatakan Bapak Henri Dunand Sinaga S.P bahwa ‘antara laki-laki maupun

perempuan memiliki hak yang sama dalam membahas masalah ataupun isu dari

masyarakat pun juga sama hal nya soal penyusunan program tidak ada dibatasi

hak bersuara perempuan disini. Ketika rapat juga semua bebas mengelurakan

pendapat tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan.28

Memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan

merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan dalam pengambilan keputusan. Kesetaraan kesempatan dalam

pengambilan keputusan akan mewujudkan persamaan peran dan posisi antara

laki-laki dan perempuan dalam kuasa pengambilan keputusan sehingga kepentingan

perempuan dapat diperjuangkan. Pengalaman, kepentingan, dan daya tanggung

perempuan dan laki-laki seharusnya menjadi pertimbangan dalam perumusan

kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga semua kebijakan public

memberikan manfaat yang sama adilnya bagi perempuan dan laki-laki.

Perjuangan mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah salah satu

strategi mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik, terutama dalam hal

pengambilan keputusan. Tujuan akhir dari perjuangan mewujudkan kesetaraan

gender dalam politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen

adalah mencapai keadilan bagi perempuan dan laki-laki (keadilan gender) di

segala aspek kehidupan. Kaum perempuan harus tahu bahwa dalam

Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-Undang-undang No. 2

28

(5)

tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam

dunia politik adalah sebesar 30 %, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Pasal

8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30%

keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah

satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU

mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling

sedikit 30 % keterwakilan perempuan. Ada yang pro dan kontra mengenai

keterwakilan perempuan di parlemen, seperti yang di ungkapkan oleh Ibu Nurlela

Sikumbang,SH

“dalam UU telah diatur tentang keterwakilan perempuan 30 % di parlemen, memang ada sedikit masalah dan perdebatan dengan kuota perempuan 30 % tapi kita harus bersyukur karena ini sudah menjadi pintu untuk kita perempuan berpartisipasi, kalau tidak maka lelaki akan mendominasi.”29

menurut saya ada kekeliruan dalam UU keterwakilan perempuan, dari redaksi 30 persen tersirat bahwa perempuan di batasi dalam parlemen, sebenarnya tidak

Undang-Undang tentang keterwakilan 30% perempuan di parlemen telah

membuka ruang demokrasi bagi perempuan untuk dapat lebih lagi masuk dalam

sistem politik dan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen,

namun banyak juga yang kurang begitu sepakat dengan kuota 30 % perempuan di

parlemen dikarenakan secara tersirat membatasi jumlah perempuan di parlemen

seperti yang dikatakan Hj. Rini Silalahi, S.Si

29

(6)

usah ada redaksi begitu sehingga tidak di batasi, asalkan mereka mampu dalam melakukan fungsi sebagai wakil rakyat. Lebih dari itu bisa, dan perempuan dari dulu sudah melakukan dan terlibat dalam perjuangan bersama rakyat.”30

Faktanya ditemukan di lapangan bahwa untuk mengisi kuota 30% perempuan sangat sulit untuk menemukan calon legislatif perempuan yang mau

Lahirnya kuota perempuan melalui undang-undang tersebut sebenarnya

menjadi berita baik bagi kaum perempuan. Secara tekstual,undang-undang

tersebut memang baru mengakui adanya kebutuhan untuk melibatkan perempuan

dalam partai politik sebagai upaya agar perempuan dapat memperoleh akses yang

lebih luas dalam pengambilan keputusan. Pesan semacam itu tidak terdapat dalam

regulasi sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum. Apabila dicermati secara lebih mendalam, terutama dalam

undang-undang partai politik, kebijakan kuota perempuan ini sebenarnya sangat

lemah. Hal itu tercermin dari tidak adanya penekanan secara eksplisit tentang

keterlibatan perempuan dalam mengambil keputusan partai. Maka dari itu tidak

ada jaminan bahwa penyertaan 30% perempuan di dalam keanggotaan partai

politik akan secara otomatis mengubah paradigma partai untuk berpihak kepada

perempuan. Ketidaktegasan aturan dalam undang-undang tersebut juga

menyebabkan angka 30% menjadi angka yang meragukan untuk dapat terwujud.

Seperti yang dikatakan oleh bapak Zainal Purba selaku Ketua DPP Partai PAN

Kota Pematang Siantar

30

(7)

dan berkompeten dalam hal berpolitik, karena pendidikan politik perempuan disini masih sangat rendah juga untuk mengisi kuota 30% itu harus diberlakukan sistem undangan yang dimana dalam hal ini walaupun bukan kader partai tetap diberikan kartu anggota supaya bisa mencalonkan dan partai mampu memenuhi kuota 30% yang telah ditetapkan”.31

31

Hasil wawancara dengan bapak Zainal Purba pada hari Senin 8 Mei 2017 Pukul 13.20

Pemberian kuota sama halnya dengan pemberian batasan atas perempuan

itu sendiri, karena hanya dilihat dari segi kuantitas. Padahal semestinya juga harus

melihat aspek kualitas, dalam hal ini bagaimana posisi dan peran perempuan itu

didalam sistem nantinya. Perwakilan perempuan di legislatif diharapkan dapat

mengartikulasikan kebutuhan kaumnya dalam setiap proses politik yang

menghasilkan kebijakan untuk kepentingan perempuan. Ada beberapa hal yang

membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik

dianggap sebagai sesuatu yang penting. Beberapa di antaranya adalah

tanggungjawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait

dengan perempuan dan anak, lingkungan sosial, moral yang baik, kemampuan

perempuan melakukan pekerjaan multitasking, dan pengelolaan waktu. Dan juga

fakta di lapangan bahwa anggota dewan perempuan merupakan pemimpin dalam

kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di

posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan

(8)

“Di wilayah konstituen saya, saya sering menggelar program pemberdayaan perempuan dalam hal ekonomi dimana saya mengadakan pelatihan bagi para ibu-ibu di daerah saya, selain itu di bidang agama saya boleh dikatakan sebagai penasihat ibu-ibu pengajian dan baru saja kami mengadakan program yang kami adakan di gedung MUI Pematang siantar”32

“Jika melihat kuota belum tercapai disini, seharusnya sekitar 10 orang tapi disini hanya 7 orang, tapi dari segi peran, kualitas mereka, serta fungsi, mereka itu menyeimbangkan semua, antar tugas dirumah dan di DPRD, secara kuantitatif belum, tapi secara kualitas saya tidak meragukan, saya berharap akan bertambah lagi perempuan di DPRD pada periode berikutnya.”

Adanya kebebasan berpolitik bagi kaum perempuan atau lahirnya politik

perempuan ternyata juga dianggap sebagai salah satu faktor atau indikator dari

kemajuan suatu negara. Suatu negara dianggap belum maju atau masih tertinggal

apabila belum memberikan kebebasan atau kesempatan yang setara antara

laki-laki dan perempuan dalam ranah politik. Sebab kesetaraan adalah salah satu aspek

dari penegakan Hak Azasi Manusia yang merupakan ciri dari negara demokrasi.

DPRD Kota Pematang Siantar pada pemilu legislatif 2014 terpilih 7 orang

anggota legislatif perempuan, sehingga belum mencapai kuota 30 % yang

disediakan, seperti yang diungkapkan Boy Parady Purba S.sos.I :

33

32

Hasil wawancara dengan ibu Nurlela Sikumbang,SH pada hari Senin 1 Mei 2017 Pukul 10.20

33

(9)

“Perempuan lebih banyak dan lebih cepat menampung aspirasi, dan mereka bertujuh disini sudah terlatih, mereka sangat memperhatikan isu dan sensitif melihat aspirasi diluar yang ditujukan ke DPRD, Antara laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam membahas masalah ataupun isu dari

masyarakat pun juga sama hal nya soal penyusunan program tidak ada dibatasi hak

bersuara perempuan disini. Ketika rapat juga semua bebas mengeluarkan pendapat

tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan”34

2. Mempertegas pasal tentang kuota perempuan

Dari pernyataan kedua narasumber diatas penulis menyimpulkan bahwa

secara kuantitas jumlah kuota 30 % keterwakilan perempuan di DPRD Kota

Pematang Siantar belum terpenuhi, namun secara kualitas ke tujuh anggota

legislatif perempuan tersebut telah menunjukan kapasitas mereka sebagai wakil

perempuan di DPRD yang berupaya untuk selalu memperjuangkan kepentingan

rakyat, khususnya perempuan. Perempuan Kota Pematang Siantar bisa semakin

meningkatkan peran sosial secara kuantitatif maupun kualitatif di berbagai bidang

ruang publik. Karena itu perempuan harus diletakkan sebagai subyek

pembangunan yang memiliki akses, kontrol, dan manfaat dari berbagai kebijakan

publik .

Adapun tugas yang dijalankan perempuan sebagai anggota dewan adalah:

1. Mengembangkan jaringan lintas fraksi antara perempuan di parlemen guna

memperkuat basis

dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.

34

(10)

3. Memperjuangkan Undang-undang (perda) yang menjamin peran perempuan

diranah public

dan perlindungan kepada perempuan.

Berbicara kepentingan perempuan dalam proses legislasi setidaknya

menyangkut dua hal. Pertama, adanya produk legislasi yang memperhatikan

kepentingan kaum perempuan termasuk di dalamnya perempuan dan anak. Kedua,

partisipasi perempuan dalam proses legislasi. Keduanya saling berkaitan dan

mempengaruhi satu sama lain.

Ada beberapa faktor yang melatar belakangi sehingga kuota 30 % belum

diupayakan secara maksimal oleh perempuan, antara lain :

1. Perempuan menjalankkan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif

serta peran produktif,di dalam maupun diluar rumah. Peran produktif,

perempuan berusaha membantu dalam hal pendapatan keluarga.

Sedangkan peran reproduktif yaitu peran perempuan sebagai nyonya

rumah (home maker) yang bertanggung jawab atas kegiatan reproduktif

dan pekerjaan domesitik. Adanya peran ganda tersebut, membatasi waktu

pilihan-pilihan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.

2. Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara

seksual dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi

gerak perempuan. Kaum lelaki masih dominan dalam kepengurusan dan

kekuasaan di dalam partai politik. Seperti diungkapkan oleh Ibu

(11)

“ Perempuan saat ini harus pandai dalam melihat situasi apalagi di era emansipasi wanita saat ini, perempuan mesti jeli melihat setiap kesempatan. Walaupun hambatan terbesar bagi perempuan adalah budaya yang menjadi penghalang terbesar dalam keterlibatan perempuan, yang mana didominasi oleh lelaki”.35

Mayoritas masyarakat kita, masih didominasi oleh cara pandang dan sikap

yang cenderung melihat serta memperlakukan kaum perempuan sebagai

pelengkap kaum laki-laki. Persepsi semacam ini, tidak jarang pada akhirnya

melihat dan menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap laki-laki bahkan

dalam tingkat tertentu hanya dilihat sebagai objek semata. Secara cultural dimana

sudut pandang patrinial (laki-laki dilihat lebih superior) menjadi acuan utama

dalam melihat dan menempatkan perempuan, telah menyebabkan peranan

perempuan selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang bersifat pelengkap kaum

lakilaki, bukan sebagai mitra yang mempunyai kedudukan sejajar sehingga berhak

mendapatkan peluang yang sama diberbagai bidang sendi kehidupan. Hambatan

kultural merupakan hambatan yang cukup fundamental karena kultur/budaya akan

membentuk persepsi dan persepsi pada akhirnya akan bermuara pada pola

perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat terlibat dalam segala aspek

kegiatan politik bagi perempuan tidaklah mudah. Kondisi perempuan Indonesia

yang dicapai sekarang ini terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat

partisipasi politiknya. Kendala pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai

35

(12)

alasan lemahnya partisipasi politik perempuan, keengganan besar perempuan

untuk terlibat dalam kegiatan politik. Keengganan ini dikarenakan budaya mereka

yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakan dan menyampaikan keinginan

serta aspirasinya di bidang politik.

3.1.1 Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan dalam menjalankan

fungsi Legislasi

Legislasi daerah adalah instumen perencanaan program di daerah. Proses

penyusunan memiliki dua jalur. Pertama, melalui Inisiatif Eksekutif dimana

sebuah rancangan masuk ke dewan dari legislatif yang kemudian dibahas di rapat

dewan untuk dianalisis apakah layak untuk dibawa ke Panitia Khusus. Dari pansus

ini jika sudah dianalisis, diuji, dan disepakati maka akan diajukan ke tim dimana

tim ini terdiri atas eksekutif dan legislatif. Kedua, melalui Inisiatif dari DPRD,

dari sini sebenarnya bisa dilihat bahwa kewenangan penyusunan legislasi di

daerah dapat dilakukan oleh dewan.

Berdasarkan hasil wawancara saya dengan anggota legislatif perempuan

Ibu Hj.Rini Silalahi S.Si dari Fraksi Golkar mengatakan “Sampai pada saat ini

(13)

kepentingan konstituennya”36

Pengalokasian anggaran yang berpihak pada orang miskin dan perempuan

menjadi kegiatan yang selalu diadvokasi oleh masyarakat sipil baik ditingkat

nasional maupun daerah. Sejauh mana pemerintah komitmen dalam pemenuhan . Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat

anggota legislatif perempuan di Kota Pematangsiantar banyak yang menempati

posisi strategis di komisi maupun di fraksi, seharusnya hal ini harus diberdayakan

sebagai sumber kekuatan mereka dalam memperjuangkan kepentingan perempuan

di kota Pematangsiantar.

Jika dikaji lebih jauh, masih kurangnya rasa tanggung jawab anggota

legislatif perempuan ini dalam merespon kepentingan perempuan. Dapat dilihat

pada masa kerja anggota dewan DPRD Pematangsiantar yang telah berjalan

kuranglebih selama 3 tahun belum ada produk legislasi yang berhasil dibuat yang

khusus menangani perempuan. Seperti dalam menjalankan fungsi legislasi

membuat tentang perlindungan perempuan,serta memperjuangkan anggaran yang

pantas untuk memenuhi kepentingan perempuan yang memang dalam

kenyataanya perempuan lebih membutuhkan biaya yang lebih besar daripada

perempuan.Inilah yang harus nya menjadi agenda kerja mereka dalam

merepresentasikan kepentingan-kepentingan perempuan saat ini.

3.1.2 Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan dalam menjalankan

fungsi Budgeting

36

(14)

hak-hak dasar warga negaranya maka akan dilihat dari wajah anggarannya.

Minimnya akses layanan kesehatan memberatkan perempuan. Dewasa ini kondisi

kesehatan perempuan semakin menurun karena layanan kesehatannya tidak baik.

Upaya untuk mewujudkan Anggaran Responsif Gender (ARG), masih banyak

menemui kendala. Salah satunya adalah masih minimnya pemahaman

Pengarusutamaan Gender (PUG) di kalangan penentu kebijakan di tingkat lokal

(eksekutif/ legislative). Hal ini disebabkan karena dalam proses penyusunan

APBD masih sering muncul usulan titipan yang bermuatan politis. Seperti yang

diutarakan oleh ibu Nurlela Sikumbang SH “Peranan keterwakilan perempuan di

legislatif masih sangat lemah, sehingga tidak semua fraksi yang menempatkan perempuan dalam posisi yang strategis,seperti menempatkan perempuan dalam badan anggaran sehingga apabila perempuan menjabat posisi yang strategis otomatis akan memperjuangkan anggaran untuk kepentingan perempuan”37

37

Hasil wawancara dengan ibu Nurlela Sikumbang,SH pada hari Senin 1 Mei 2017 Pukul 10.30

3.1.3 Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan Dalam

Menjalankan Fungsi Pengawasan

Dalam menjalankan fungsi pengawasan pada dasarnya anggota dewan

laki-laki dan perempuan saling bersinergi dan bekerjasama. Menjalankan fungsi

pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan peraturan perundang-undangan

yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan pengawasan terhadap

(15)

Ibu Hotmaulina Malau mengatakan “Dalam menjalankan fungsi pengawasan sejauh ini kami anggota dewan perempuan melakukan jajak dengar pendapat dengan masyarakat, ikut turun langsung ke lapangan dan melakukan pengawasan ke setiap SKPD yang berkaitan dengan perempuan seperti Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana”38

Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan

kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi Dari pengamatan peneliti sejauh ini kinerja lembaga legislatif perempuan

dalam menjalankan fungsi pengawasan belum maksimal. Hal ini disebabkan

karena masih banyak anggaran yang kurang tepat sasaran.

Lahirnya UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)membuktikan

bahwa sering sekali terjadi kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan

karena cara pandang kaum pria terhadap perempuan. Begitu pula dalam kasus

hubungan suami-istri, kaum perempuan cenderung diperlakukan tidak sejajar dan

dalam posisi bargaining yang lemah sehingga dominasi dan ego kaum laki laki

seolah-olah mendapatkan tempat yang lebih baik. Pencerahan politik kepada

kaum perempuan ini masih sangat jarang. Aspek-aspek historis yang menuturkan

peran perempuan dalam kehidupan politik seharusnya diangkat agar ruang politik

jangan dikesankan maskulin sehingga membuat kaum perempuan phobia,

menekankan pentingnya peningkatan kapasitas dan kompetensi kaum perempuan

agar bisa semakin melebarkan peran-peran sosial di dalam ruang publik.

38

(16)

politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan

keputusan merupakan hak asasi manusia. Tidak dapat dipungkiri perempuan

secara demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka menempati

posisi minoritas. Di Kota Pematang Siantar kualitas perempuan sudah dapat

dikatakan baik diliat dari potensi, tingkat pendidikan dan strata hidup. Namun

untuk terlibat dalam politik minat perempuan Kota Pematang Siantar masih

terbilang sedikit, mereka lebih nyaman hanya menjadi partisipasi aktif politik

dalam memilih, ketimbang harus dipilih, dan perempuan Kota Pematang Siantar

banyak yang lebih memilih berada pada jajaran jabatan publik ketimbang jabatan

politik. seperti yang diungkapkan Hj Frida Damanik

“Perempuan Pematang Siantar sudah dapat dikatakan mampu dan memiliki skill, pemerataan pendidikan perempuan merata semakin meningkat. Perempuan sebenarnya sangat teliti dalam dan peka terhadap aspirasi. Sayangnya mereka masih agak ragu-ragu terlibat dalam jabatan politik, mereka lebih banyak yang suka pada tataran jabatan publik.”39

Mayoritas masyarakat kita, masih didominasi oleh cara pandang dan sikap yang

cenderung melihat serta memperlakukan kaum perempuan sebagai pelengkap

kaum laki-laki. Persepsi semacam ini, tidak jarang pada akhirnya melihat dan

menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap laki-laki bahkan dalam tingkat

tertentu hanya dilihat sebagai objek semata. Hambatan kultural merupakan

hambatan yang cukup fundamental karena kultur/budaya akan membentuk

39

(17)

persepsi dan persepsi pada akhirnya akan bermuara pada pola perilaku dalam

kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk

meluruskan cara pandang budaya yang kurang tepat dalam memahami dan

memandang kaum perempuan sehingga kaum perempuan dapat memainkan peran

dan fungsinya lebih maksimal lagi.

Untuk dapat terlibat dalam segala aspek kegiatan politik bagi perempuan

tidaklah mudah. Kondisi perempuan Indonesia yang dicapai sekarang ini

terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat partisipasi politiknya. Kendala

pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik

perempuan, keengganan besar perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik.

Keengganan ini dikarenakan budaya mereka yang belum memungkinkan bisa

aktif menyuarakan dan menyampaikan keinginan serta aspirasinya di bidang

politik. Hal senada juga diungkapkan oleh anggota DPRD Kota Pematang Siantar

Nazli Juwita Panei

Perempuan Masih belum memiliki minat dan terlihat kurang nyaman untuk duduk di politik, mungkin karena politik masih di dominasi oleh kaum lelaki dan banyakanya persaingan pertarungan dan intrik. Saya sendiri mengapa mau terlibat dikarenakan kalau saya terlibat maka saya akan bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat, kita lebih bisa efektif karena kita sudah masuk ke dalam sistem pemerintahan”40

40

(18)

Lingkungan sosial budaya yang kurang mendukung pengembangan

potensi perempuan, antara lain wawasan orang tua, adat, penafsiran terhadap

ajaran agama yang tidak tepat, tingkat pendapatan keluarga, dan sistem

pendidikan yang diskriminatif. Masih lekatnya budaya tradisional dan kecilnya

akses wanita pada penguasaan faktor sosial ekonomi menyebabkan terbentuknya

image dalam diri perempuan bahwa memang sewajarnya mereka berada di

belakang pria. Kendala pokok lemahnya partisipasi politik perempuan antara lain

berada pada lingkungan social budaya yang kurang mendukung pengembangan

potensi perempuan. Selain itu dapat pula bersumber dari kebijaksanaan

pembangunan politik yang kurang memadai serta kurang berfungsinya partai

politik. Peningkatan partisipasi politik perempuan dapat diupayakan antara lain

dengan melalui pendidikan politik yang mampu menciptakan kemampuan dan

kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di bidang politik.

Adanya hambatan legal bagi perempuan seperti larangan berpartisipasi

dalam politik tanpa seijin suami. Perempuan masih sering diposisikan sebagai

pihak yang harus bersikap “menerima” tanpa perlawanan (reserve) sehingga pada

akhirnya kaum perempuan lebih dilihat sebagai objek dari pada sebagai subjek

yang menjadi mitra kaum laki-laki. Kekerasaan rumah tangga yang sering

menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, adalah sebuah contoh nyata

dimana kaum perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan

(19)

Pencerahan politik kepada kaum perempuan ini masih sangat jarang.

Aspek-aspek historis yang menuturkan peran perempuan dalam kehidupan politik

seharusnya diangkat agar ruang politik jangan dikesankan maskulin sehingga

membuat kaum perempuan phobia, menekankan pentingnya peningkatan

kapasitas dan kompetensi kaum perempuan agar bisa semakin melebarkan

peran-peran sosial di dalam ruang publik.

Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan kebijakan

publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi politik

perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan

merupakan hak asasi manusia. Tidak dapat dipungkiri perempuan secara

demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka menempati posisi

minoritas. Di Kota Pematang Siantar kualitas perempuan sudah dapat dikatakan

baik diliat dari potensi, tingkat pendidikan dan strata hidup. Namun untuk terlibat

dalam politik minat perempuan Kota Pematang Siantar masih terbilang sedikit,

mereka lebih nyaman hanya menjadi partisipasi aktif politik dalam memilih,

ketimbang harus dipilih, dan perempuan Kota Pematang Siantar banyak yang

lebih memilih berada pada jajaran jabatan publik ketimbang jabatan politik.

seperti yang diungkapkan Yesika Sidabalok,SH

(20)

Sayangnya mereka masih agak ragu-ragu terlibat dalam jabatan politik, mereka lebih banyak yang suka pada tataran jabatan publik.”41

Dari penelitian penulis, pada tahun 2016 telah ditemukan 64 kasus yang

melibatkan perempuan namun hingga saat ini belum ada peraturan legislasi yang

dikeluarkan oleh anggota legislatif kota Pematangsiantar yang khusus untuk

memenuhi kebutuhan perempuan, organisasi anggota dewan perempuan atau

KAUKUS juga belum ada dibentuk di legislatif kota Pematangsiantar, hal ini Terkait peran anggota legislatif perempuan dalam merespon kepentingan

perempuan di Kota Pematang Siantar, Kepentingan perempuan dapat dibedakan

menjadi kepentingan gender “strategis” dan kepentingan gender “praktis”.

Kepentingan gender strategis lahir dari analisis subordinasi perempuan dalam

masyarakat yang mendorong keinginan untuk mewujudkan tatanan sosial yang

lebih adil gender. Contoh kepentingan gender strategis adalah penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga, pemberian kesempatan bagi perempuan di bidang

politik, tuntutan-tuntutan tersebut identik dengan feminisme. Sementara itu,

kepentingan gender praktis berangkat dari kondisikondisi konkret yang dialami

perempuan sehari-hari. Kepentingan gender praktis tidak mempersoalkan

konstruksi gender yang tidak adil, melainkan bersumber dari kesulitan-kesulitan

yang dihadapi perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi mereka sebagai

perempuan, seperti masalah pemeliharaan anak, perawatan kesehatan, kebutuhan

sanitasi lingkungan, air bersih dan pemenuhan kebutuhan pangan.

41

(21)

disebabkan oleh masih belum mengertinya sebahagian anggota legislatif

mengenai tugas mereka sebagai wakil perempuan yang duduk sebagai dewan.

Mereka sampai saat ini juga belum pernah menaikkan wacana tentang pembuatan

program khusus untuk perempuan. Seperti yang dikatakan oleh ibu Asrida

Sitohang Amd

“di dalam DPRD kota Pematang Siantar tidak ada program khusus yang

diperuntukkan khusus untuk menanggapi kepentingan perempuan, dan juga para

anggota legislatif perempuan hingga saat ini belum ada membentuk organisasi kaukus

perempuan yang bertujuan khusus untuk merespon kepentingan perempuan di Pematang

Siantar”42

Sebagai anggota legislatif perempuan, sudah seharusnya mereka selalu

memperdalam khasanah berpikir tentang politik, hal ini agar mereka dapat

menunjukkan kualitas mereka dan mereka sebagai perempuan tidak disepelekan.

Permasalahan nya bukan lah mengenai jumlah atau kuanttitas akan tetapi lebih

kepada kualitas personal anggota legislatif perempuan dalam menyampaikan

usulan menjadi faktor penting yang menentukan apakah anggota laki-laki akan

mendukung usulan anggota legislatif perempuan atau tidak, karena respon Dalam hal ini memang tidak terlepas dari keberadaan laki-laki yang secara

luas mendominasi arena politik, laki-laki sangat dominan dalam

memformulasikan aturan-aturan permainan politik; dan laki-laki lah yang sering

mendefinisikan standar untuk evaluasi.

42

(22)

anggota legislatif laki-laki sangat tergantung kepada kualitas bagaimana anggota

perempuan dalam menyampaikan argumen.

Sampai saat ini isu perempuan belum mendapatkan perhatian dari anggota DPRD

kota Pematangsiantar. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya produk legislasi

yang dikeluarkan khusus menanggapi dan mengatur kepentingan perempuan,

maupun program dari DPRD yang khusus dibentuk untuk menanggapi

permasalahan perempuan yang ada di kota Pematangsiantar. Kedudukan

perempuan dalam ekonomi dan politik sangat strategis, sehingga diperlukan suatu

skema pelayanan khusus bagi perempuan, seperti kemudahan pendidikan,

kemudahan mengakses modal dan teknologi, semua itu semestinya dapat diatur

dengan Perda sesuai dengan kewenangan daerah. Penulis melihat tentang perlunya

Perda yang dapat mengakomodir kepentingan perempuan menunjukkan adanya

perhatian anggota legislatif laki-laki terhadap persolan perempuan merupakan

bukti kekritisan mereka dalam melihat persoalan perempuan, sebuah pandangan

yang semestinya disampaikan oleh anggota legislatif perempuan.

Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar sampai saat ini belum ada yang

secara khusus mengatur tentang kepentingan perempuan, namun dalam

melandasinya, dasar hukum yang dipakai adalah Undang-Undang yang bersifat

universal secara keseluruhan yang dipakai di Indonesia. UU No 23 tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang pada

ayat (1) disebutkan : “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,

(23)

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Media massa merupakan salah satu sarana bagi anggota legislatif

perempuan untuk menggalang kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan

perempuan. Melalui media massa, anggota legislatif dapat berwacana untuk

membentuk opini publik. Media massa biasanya memanfaatkan

peristiwa-peristiwa tertentu yang berkaitan dengan persoalan perempuan ketika melakukan

peliputan dan wawancara. Momentum yang biasanya dimanfaatkan media massa

untuk melakukan peliputan dan wawancara adalah Hari Perempuan, Hari Ibu,

Hari Kartini, saat ada audiensi di DPRD yang membawa persoalan-persoalan

perempuan, saat komisi terkait terjun ke lapangan kemudian menemukan kasus,

atau pada saat penyusunan anggaran untuk dinas-dinas pemerintah.

Selain memperjuangkan kepentingan perempuan dalam proses legislasi,

serta memanfaatkan media massa , anggota legislatif perempuan juga seharusnya

membuka diri dan bekerjasama dengan masyarakat, terutamanya organisasi

perempuan maupun lembaga pemerintahan yang bergerak di bidang

pemberdayaan perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Asrida Sitohang Amd

(24)

tidak ada menyimpan data-data mengenai permasalahan perempuan , data-data tersebut dapat ditemukan di kantor BP2KB” 43

“Sejauh ini belum pernah kami melakukan kerjasama dengan DPRD kota Pematangsiantar, kami melakukan tugas kami sesuai arahan dari pemerintah kota, dan biasanya ketika kami menjalankan program para anggota dewan perempuan hanya datang sebagai tamu undangan yang di undang melalui Pemko”

Memang pada prakteknya di lapangan anggota DPRD perempuan kota

pematangsiantar tidak bersinergi dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan

Keluarga Berencana (BP2KB) Kota Pematangsiantar guna melakukan konsultasi

untuk membahas masalah perempuan yang ada di kota ini. Seperti yang dikatakan

oleh Ibu Juita Tarigan selaku bagian pemberdayaan di BP2KB kota

Pematangsiantar

44

43

Wawancara dengan Ibu Asrida Sitohang Amd pada hari selasa 2 Mei 2017 Pukul 12.00

44

Wawancara dengan Ibu Juita tarigan pada hari Kamis 19 Januari 2017 pukul 10.00

Seharusnya kerjasama antara anggota legislatif perempuan dengan

Lembaga pemberdayaan perempuan sudah seharusnya dilaksanakan, agar tupoksi

dari anggota dewan perempuan dalam memberdayakan perempuan dapat berjalan

dengan optimal. Dengan demikian BP2KB ataupun organisasi perempuan di kota

Pematangsiantar dapat menitipkan isu untuk diperjuangkan di lembaga legislatif.

Ada empat indikator yang penulis digunakan untuk menilai apakah keterlibatan

perempuan di parlemen berdampak positif atau berpihak pada kepentingan

(25)

1. Perubahan institusional/prosedural yang menghasilkan peraturan-peraturan

yang lebih ramah terhadap perempuan,

2. Perubahan representasi, termasuk tindakan di parlemen yang dirancang

untuk menempatkan perempuan dalam posisi penting di parlemen

3. Perubahan terhadap keluaran (output), yaitu apakah lahir Undang-Undang

atau regulasi yang mengakomodir keinginan perempuan(gender sensitive)

4. Perubahan wacana, sehingga menjadikan berpolitik sebagai sikap yang

wajar dan membuat akses yang lebih besar bagi media dan publik kepada

parlemen.

Dari hasil penelitian, peran anggota legislatif perempuan di kota

pematangsiantar secara keseluruhan masih lah minim, hal ini dapat dilihat dari

belum adanya kebijakan ataupun program yang dimiliki khusus untuk

mengakomodir kepentingan perempuan, selain itu juga belum terbentuknya

KAUKUS perempuan di lembaga ini menjadi bahan penilaian bahwasanya

anggota legislatif perempuan belum menjadikan kaum perempuan sebagai fokus

kebijakan mereka, selama ini mereka belum pernah menaikkan isu ataupun

wacana mengenai perempuan. Kepemimpinan perempuan di parlemen sebagai

pengambil kebijakan juga menjalankan fungsi legislasi,anggaran,dan monitoring

akan sangat berdampak dalam perkembangan perubahan bagi kemajuan

pembangunan khususnya bagi kaum perempuan.

Kerjasama dengan organisasi perempuan ataupun dengan lembaga

(26)

nantinya dapat mengakomodir kebutuhan khusus kaum perempuan di kota

Pematangsiantar, nantinya dengan di adakan kerjasama ini merupakan bentuk

keterbukaan diri dari para anggota dewan perempuan. Kerjasama ini juga

menunjukkan arti penting organisasi perempuan dan BP2KB di mata anggota

(27)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Keterlibatan perempuan di kancah politik bukanlah sesuatu hal yang baru.

Dalam sejarah perjuangan kaum perempuan, partisipasi perempuan dalam

pembangunan telah banyak kemajuan dicapai terutama di bidang pendidikan,

ekonomi, lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Partisipasi perempuan dibidang

politik pada masa reformasi kini mengalami perluasan peran menjadi anggota

parlemen.Pada prinsipnya perempuan di Indonesia secara hukum mempunyai hak,

kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berkiprah dibidang

politik. Tetapi karena alasan nilai kultural yang berkembang di masyarakat dan

kendala struktural sehingga hanya sedikit sekali jumlah perempuan yang tampil di

panggung politik. Sehingga dalam merepresentasikan kepentingan-kepentingan

perempuan pun lemah untuk di perjuangkan.

Mengingat kualitas perempuan secara Intelengesia dan potensi lainnya

yang pada dasarnya sama dengan laki-laki, diharapkan dimasa mendatang, jumlah

perempuan yang memasuki panggung politik dan menduduki posisi yang strategis

di lembaga legislatif semakin meningkat demi tercapainya keadilan gender yang

selama ini selalu menjadikan perempuan lemah. Dengan adanya keterwakilan

perempuan di Parlemen diharapkan berbagai aspirasi yang berkaitan tentang

masalah-masalah perempuan bisa “terinstitusionalisasikan” melalui berbagai

(28)

tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 53 mengamanatkan agar

partai politik memuat (keterwakilan) paling sedikit 30% perempuan dalam daftar

calon legislatifnya. Kebijakan kuota perempuan paling sedikit 30% dalam daftar

calon legislatif juga diperkuat dengan kebijakan pemerintah melalui

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.Keterwakilan perempuan

dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD), bukan tanpa

alasan yang mendasar.

Keterwakilan perempuan di legislatif merupakan suatu keharusan yang

dipergunakan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dalam arena

legislasi, dengan adanya mereka diharapkan kepentingan perempuan dapat

terwakili. Partisipasi perempuan yang terlibat seharusnya bukan untuk pemenuhan

kuota belaka, namun lebih dari itu mereka semestinya menunjukkan kemampuan

dirinya sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Penulis menyimpulkan :

1. Secara Kuantitas jumlah kuota 30% keterwakilan perempuan di

DPRD Pematangsiantar belum terpenuhi,pada pemilihan legislatif

tahun 2014 hanya terpilih 7 (tujuh) orang wakil perempuan.

Namun demikian tidak seluruhnya anggota DPRD Perempuan

Kota Pematangsiantar menunjukkan peranannya dalam merespon

kepentingan perempuan di kota Pematangsiantar. Wakil-wakil

perempuan di DPRD ini semestinya turut memperjuangkan

(29)

2. Hubungan antara DPRD dengan lembaga perempuan lainnya

seperti BP2KB belum memiliki sinergitas untuk melakukan

kerjasama untuk melakukan program-program kerja yang

berorientasi kepada perlindungan dan pemberdayaan perempuan di

kota Pematangsiantar.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian kurang lebih selama dua bulan dan dengan berbagai

temuan di lapangan, maka penulis memberikan beberapa saran terkait dengan

peran anggota DPRD Perempuan dalam merespon kepentingan perempuan di kota

Pematangsiantar, antara lain :

1. DPRD Kota Pematangsiantar hendaknya melahirkan suatu regulasi dalam

bentuk perda yang khusus untuk melindungi dan mengakomodasi

kepentingan perempuan di kota Pematangsiantar.

2. Memberikan pemahaman khusus kepada setiap anggota legislatif

perempuan sebagai representatif masyarakat, agar lebih paham mengenai

fungsi nya dalam melindungi dan menanggapi kepentingan perempuan.

3. KAUKUS Perempuan sudah sepatutnya dibentuk di lembaga DPRD Kota

Pematangsiantar, sebagai wadah yang khusus dalam merespon

kepentingan perempuan.

4. Ketegasan semua unsure atau lembaga dalam menetapkan undang-undang

(30)

partai politik. Partai Politik seharusnya memberikan kebebasan terhadap

perempuan demi mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Komisi Pemilihan Umum juga dituntut untuk tegas dalam menerapkan

aturan, dimana jika ada ditemukan partai politik yang tidak memenuhi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

SKRIPSI SLIPS OF THE TONGUE... KARTIKA DIANPUSPA ESTADHA.. Finding I: The Occurrence of Slips of the Tongue Produced by Interviewees during Job Interview at PT. Bimasakti Multi

Melalui model, ditunjukkan estimasi pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung variabel bebas terhadap variabel terikat yang dapat diformulasikan dalam

Didasarkan pada Teachers College Student Handbook 2015/2016, maka hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk perbaikan

Dalam hal keterkaitan antara kelompok sekolah yaitu sekolah negeri dan swasta dengan konsep dirinya, yang terbanyak adalah siswa sekolah swasta dengan konsep diri yang tinggi

Hubungan Gender Dan Etnis Dengan Outcome Pada Pasien Migren Dan Pada Pasien Chronic Tension Type Headache. Latar belakang : Migren dan Chronic Tension Type Headache

Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas, sistematis dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam

Investasi pada entitas asosiasi dicatat di laporan posisi keuangan konsolidasian sebesar biaya perolehan dan selanjutnya disesuaikan untuk perubahan dalam bagian