BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara berkembang yang masih berusaha melaksanakan
pembangunan yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga di dalam
pelaksanaannya sering menitikberatkan pada pembangunan dalam bidang ekonomi.
Pembangunan dilaksanakan dengan berpedoman pada penekanan yang lebih
menonjol kepada segi pemerataan seperti pembangunan rumah, gedung bertingkat
dan sebagainya.
“Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasil pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat agar terciptanya tujuan dari pembangunan nasional tersebut dan hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin secara adil dan merata”.1
“Dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, pemerintah senantiasa dituntut untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mengemban kewajiban ini, pemerintah mempunyai kewajiban menyediakan kebutuhan rakyat dalam berbagai bentuknya baik yang berupa barang, jasa maupun pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, pemerintah juga memerlukan barang dan jasa itu dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan. Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa merupakan bagian yang terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan”.2
1
F.X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1995), hlm 1. (untuk
selanjutnya disebut F.X. Djumialdji 1) 2
Pengadaan Barang dan Jasa pemerintah sesungguhnya merupakan bagian
yang sangat penting dalam proses pelaksanaan pembangunan. Bagi pemerintah,
ketersediaan barang dan jasa pada setiap instansi pemerintah akan menjadi
faktor penentu keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing unit
kerja. Tanpa sarana dan prasarana yang memadai tentu saja jalannya
pelaksanaan tugas pemerintah akan terganggu dan tidak akan mencapai hasil
yang maksimal.3
Pengadaan Barang/Jasa pada hakikatnya merupakan upaya pemerintah
sebagai pengguna untuk mewujudkan atau mendapatkan Barang/Jasa yang
diinginkan. Agar kebutuhan akan barang/jasa terpenuhi dengan baik sesuai
dengan kemampuan keuangan negara yang terbatas, maka pemerintah perlu
mengatur norma, prinsip-prinsip, metode dan proses pengadaan barang/jasa.
Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara spesifik diatur melalui
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemudian yang dalam perkembangannya
pemerintah mengeluarkan peraturan terbaru mengenai pengadaan barang/jasa
yaitu Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 35
Tahun 2011 tentang perubahan pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah
3
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang perubahan
kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 172 Tahun 2014 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015
tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan “Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan
Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan
sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa”.
Pengadaan Barang/Jasa dilakukan dengan Kontrak Pengadaan
Barang/Jasa yang dilakukan antara pemerintah dengan pihak lain. Kontrak yang
melibatkan pemerintah sebagai pihak, yang biasanya disebut dengan
government contract. Dalam hal ini pemerintah, memanfaatkan instrumen
hukum perdata, sehingga kontrak yang dibuat oleh pemerintah memiliki
karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan kontrak privat pada
hukum dalam hukum kontrak privat tidak sepenuhnya berlaku dalam kontrak
yang dibuat oleh pemerintah.4
Dalam berbagai kepustakaan, government contract pada umumnya
sebagai kontrak yang didalamnya pemerintah terlibat sebagai pihak dan
obyeknya adalah pengadaan barang dan jasa.5
“Kontrak pengadaan merupakan jenis kontrak yang rutin dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi aneka kebutuhan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah. Objek pengadaan sangat beragam seiring dengan perkembangan jaman. Demikian pula metode yang digunakan dalam melakukan pengadaan dan jenis hubungan hukum yang dibentuk. Pengadaan juga merupakan proses yang di dalamnya terdapat tahapan-tahapan yang diawali penentuan kebutuhan sampai pada pembayarannya kepada pemasok atau kontraktor”.
Dalam kajian tentang kontrak
pengadaan yang melibatkan pemerintah, kiranya dapat menentukan lingkup
yang termasuk sebagai pemerintah.
6
Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 dirumuskan
bahwa “Kementerian/Lembaga Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
(K/L/D/I) adalah instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD)”, sedangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
Pasal 1 Point 1 tentang Pengadaan Barang/Jasa adalah “kegiatan untuk
memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya (K/L/D/I) yang prosesnya dimulai dari perencanaan
4
Yohanes Sogar Simamora, Op. Cit, hlm 41. 5
Ibid., hlm 42. 6
kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa”.
Berdasarkan Pasal 3 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 disebutkan bahwa :
“Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan melalui Swakelola dan/atau
pemilihan Penyedia Barang/Jasa”. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang dilakukan dengan menggunakan penyedia barang/jasa
mempunyai perbedaan dengan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah
dengan cara Swakelola. Dari definisi tersebut, dapat diartikan bahwa yang
dimaksud dengan “pemerintah” dalam pengadaan barang/jasa adalah K/L/D/I.
Namun, dalam hal penandatanganan kontrak pengadaan, pemerintah yang
dalam hal ini K/L/D/I diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, agar pembangunan tersebut berhasil
dengan baik, dalam pelaksanaan pembangunan fisik harus didukung oleh sarana
dan prasarana yang baik serta peraturan-peraturan yang jelas terutama
menyangkut hak dan kewajiban para pihak yang melaksanakan pekerjaan
pembangunan tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan perjanjian yang dibuat
dalam pelaksanaan pekerjaan pemborongan seperti yang diatur dalam Pasal
1601 b KUHPerdata.
Perjanjian pemborongan diatur dalam Pasal 1601 b sampai dengan 1617
KUHPerdata. Menurut Pasal 1601 b KUHPerdata, Pemborongan Pekerjaan
adalah “Perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan
memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Jadi dalam
perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak yang terikat dalam perjanjian
pemborongan yaitu : pihak kesatu yaitu yang memborongkan atau prinsipal
(bouwheer, Kepala Kantor, Satuan Kerja dan Pemimpin Proyek) dan pihak
kedua yaitu pemborong atau rekanan, kontraktor.7
Menurut R. Subekti Perjanjian Pemborongan pekerjaan dibedakan dalam
dua macam yaitu:8
1. Dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk
pekerjaan tersebut.
2. Dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja.
Perjanjian pengadaan barang dan jasa termasuk dalam perjanjian pemborongan
yang terdapat dalam Pasal 1601 KUHPerdata, Pasal 1601 b dan Pasal 1604 sampai
dengan Pasal 1616 KUHPerdata. Agar pengadaan barang/jasa pemerintah dapat
dilaksanakan dengan efektif, efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan,
terbuka dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak. Sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi
kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan. Kenyataan yang sering terjadi dalam
pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa sering bertentangan dengan pasal
1616 KUHPerdata karena pelaksanaannya tidak efektif, tidak sesuai dengan prinsip
persaingan sehat, dan tidak transparan.
7
F.X. Djumialdji (1), Op. Cit, hlm 3. 8
Perjanjian Pemborongan suatu pekerjaan dalam hal ini mengenai pelaksanaan
pemborongan untuk proyek-proyek pemerintah berdasarkan ketentuan Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, khususnya yang berupa pengadaan barang/jasa maka pelaksanaannya
dapat dilakukan melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas, pemilihan
langsung dan penunjukan langsung. Ketentuan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun
2003 tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada intinya tidak
memberikan penekanan terhadap sistem pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa
lain.
Dengan terjadi adanya hubungan hukum dalam melakukan pemborongan
pekerjaan tersebut, maka pemberi kerja membutuhkan tenaga ahli dari pelaksana
pekerjaan/pemborongan yang dapat membantu pelaksanaan pekerjaan tersebut agar
lebih baik, sebaliknya dalam pelaksana pekerjaan/pemborongan sendiri memberikan
suatu jasa yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan oleh
pemberi kerja. Sehingga dalam melakukan pelaksanaan tugasnya, baik pemborong
maupun pemberi kerja senantiasa harus memperhatikan apa yang dikerjakannya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan diberikan adanya
kesempatan untuk berpartisipasi bagi swasta, maka asal pekerjaan pemborongan
dapat dibedakan sebagai berikut :
a Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang berasal dari pemerintah untuk
pengadaan barang dan jasa yang dahulu dilakukan melalui proses lelang
Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Dan
sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
b Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang berasal dari swasta yang diperoleh
langsung sebagai hasil perundingan antara pemberi tugas (swasta) dengan
pemborong (swasta)
Borongan pekerjaan yang berasal dari pihak swasta dan dikerjakan oleh
pemborong tersebut perlu dibuat suatu perjanjian atau kontrak yang mengikat
kedua belah pihak. Secara garis besar, tatanan hukum perdata Indonesia
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk saling
mengadakan perjanjian tentang apa saja yang dianggap perlu bagi tujuannya.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaimana undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Menyikapi hal tersebut R. Subekti menjelaskan
:
“Bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang. Atau dengan perkataan lain, dalam soal perjanjian kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu”.9
9
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur dalam Pasal 3
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 atas perubahan kedua Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah dilakukan melalui :10
1) Swakelola; dan/atau
2) Pemilihan penyedia barang/jasa
Samsul Ramli dan Fahrurrazi menjelaskan :
“Pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, penempatan swakelola sebelum pemilihan penyedia mempunyai makna bahwa cara pengadaan melalui swakelola menempati kedudukan yang lebih utama dibandingkan dengan pemilihan penyedia. Keutamaan swakelola ini sebenarnya bisa dilihat pada Pasal 1 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 yaitu : Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa”11.
Unsur perencanaan merupakan indikator utama swakelola. Dengan
demikian, bagi K/L/D/I dalam menentukan cara pengadaan terlebih dahulu
melihat pada kemampuan sumber daya internalnya, minimal kemampuan
perencanaan dan pengawasan. Jika tidak mampu dilaksanakan sendiri oleh
K/L/D/I, alternatifnya adalah menyerahkan kepada ahlinya.12
10
Samsul Ramli & Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta : Visi Media, 2014), hlm 1.
11
Ibid.
12
Dalam Pasal 26 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 atas
perubahan kedua Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, Swakelola adalah “Pengadaan Barang/Jasa dimana
pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya
(K/L/D/I) sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain
dan/atau kelompok masyarakat”.
Swakelola tidak hanya sekadar melaksanakan pengadaan barang/jasa,
tetapi juga tentang merencanakan dan mengawasi. Perencanaan menghasilkan
kegiatan pengadaan barang/jasa dimana proses pengadaan barang/jasa harus
dimulai dari kebutuhan yang ditetapkan pada dokumen anggaran dalam rangka
memenuhi program pembangunan.
Sesuai dengan definisi Swakelola pada Pasal 26 ayat 1 Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012,
maka jenis swakelola dikelompokkan atas tiga tipe, yaitu :13
a) Tipe 1
Swakelola yang direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran.
b) Tipe 2
Swakelola yang direncanakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I oleh penanggung jawab anggaran, sedangkan pelaksanaannya dikerjakan oleh instansi pemerintah lain.
c) Tipe 3
13
Swakelola yang direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi oleh kelompok masyarakat.
Dalam perjanjian terdapat beberapa asas-asas yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat,
asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral
dan asas kepatutan. Asas yang digunakan didalam tesis ini adalah asas
keseimbangan.
Asas Keseimbangan bermakna sebagai asas yang melandasi atau
mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai porsi, beban
dan/atau bagiannya. Asas Keseimbangan mengandaikan berlangsungnya
mekanisme pembagian hak dan kewajiban secara proposional yang diwujudkan
dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase pra contractual
maupun post contractual (pasca kontrak).
Menurut Herlien Budiono bahwasanya :
“Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal kontrak”.14
Asas Keseimbangan sangat berorientasi pada konteks hubungan dan
kepentingan para pihak, dalam arti menjaga kelangsungan hubungan kontrak
mereka. Penerapan asas keseimbangan dalam sebuah kontrak dapat dilihat dari
14
segi subjeknya, klausulnya dan penerapan klausul-klausul tersebut di lapangan.
Faktor-faktor yang dapat menggangu keseimbangan perjanjian salah satunya
adalah cara terbentuk perjanjian yang melibatkan pihak-pihak yang
berkedudukan tidak setara seperti perjanjian ini dimana satu pihak merupakan
badan hukum dan satu pihaknya lagi bukan merupakan badan hukum.
Dalam Perjanjian Pemborongan yang berada di Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Deli Serdang banyak kontrak yang mengalami ketidakseimbangan
dalam isi perjanjian, namun di dalam penulisan tesis ini hanya diangkat 3
contoh kontrak diantaranya adalah Kontrak dengan Nomor Perjanjian
050/0346.1/DPU/DS/2014, Kontrak dengan Nomor Perjanjian
050/2312.2/DPU/DS/2014 dan Kontrak dengan Nomor Perjanjian
050/4552/DPU/DS/2014.
Adapun perjanjian pemborongan yang terdapat di dalam penulisan tesis
ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli
Serdang yang diwakili FL selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Deli Serdang (Pihak Pertama) dengan pihak swasta yang diwakili WP selaku
pelaksana pekerjaan (Pihak Kedua).
Perjanjian ini dibuat pada tanggal 10 April 2014 yang bertujuan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan di
Desa Bandar Khalifah dan Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten
Deli Serdang. Dalam hal ini pekerjaan yang dilakukan pihak swasta untuk
menggunakan dana/uang mereka sendiri disebabkan tidak adanya suatu
anggaran yang tersedia dari KAS Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli
Serdang sehingga pihak Dinas terkait menggunakan dana pihak swasta untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut.
Seketika pekerjaan rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan itu telah
selesai dilaksanakan oleh pihak swasta sesuai dengan waktu yang tersedia
dalam isi perjanjian yang mereka buat dengan para pihak. Maka pihak swasta
berusaha menagih hak mereka yang semestinya mereka dapatkan ketika
pekerjaan itu selesai. Namun dalam kenyataannya pihak swasta tidak menerima
hak mereka dalam hal pembayaran disebabkan KAS Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Deli Serdang saat itu tidak memiliki anggaran untuk membayar hak
mereka, sehingga pihak swasta menunggu kepastian yang tidak jelas akibat
KAS yang ada di Dinas Pekerjaan Umum belum tercukupi untuk membayar
hak mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, pihak swasta belum ada menerima hak
pembayaran mereka dari Dinas Pekerjaan Umum dengan disebabkan anggaran
belum dikeluarkan oleh pemerintah daerah sehingga akhirnya pihak swasta
tetap menunggu pembayaran yang tidak mendapat kejelasan yang diberikan
oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang.
Sering mendapatkan penundaan yang tidak berujung pembayaran yang
jelas dari pihak Dinas Pekerjaan Umum maka pihak swasta melakukan
hasil pertemuan tersebut. Sehingga pihak swasta melakukan upaya hukum
dengan melakukan somasi terlebih dahulu ke Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Deli Serdang agar segera melakukan penyelesaian pembayaran
kepada pihak-pihak swasta. Dengan tidak adanya itikad baik yang dilakukan
pihak Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang, maka para pihak
swasta dengan di dampingi kuasa hukum mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Lubuk Pakam sesuai dengan isi perjanjian jika mengalami permasalahan
di kedepan harinya.
Berdasarkan uraian-uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian
mengenai “Perlindungan Hukum terhadap Debitur (Pelaksana Pekerjaan) dalam
pelaksanaan perjanjian upah borong (Partisipatif) dalam proyek Swakelola di
Lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang yang telah dikemukakan diatas, maka
rumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan terhadap debitur (pelaksana pekerjaan) dalam
perjanjian upah borong (partisipatif) proyek Swakelola di Lingkungan
Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang ?
2. Bagaimana perlindungan terhadap debitur (pelaksana pekerjaan) dalam
pelaksanaan perjanjian upah borong (partisipatif) proyek Swakelola di
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat pada rumusan masalah di atas, maka yang
menjadi tujuan dari penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan terhadap debitur (pelaksana
pekerjaan) dalam perjanjian upah borong (partisipatif) proyek Swakelola di
Lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan terhadap debitur (pelaksana
pekerjaan) dalam pelaksanaan perjanjian upah borong (partisipatif) proyek
Swakelola di Lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta
pemahaman dan pandangan baru serta menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada. Dengan penelitian ini juga
diharapkan memberikan sejumlah manfaat terhadap para akademisi maupun
masyarakat umumnya serta dapat menambah khasanah ilmu hukum dalam segi
perjanjian pengadaan barang dan jasa pemerintah.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan dan panduan bagi para praktisi hukum dalam
mengetahui dan menyelesaikan kasus yang dihadapi.
b. Sebagai bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang
berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui tata cara
melakukan perjanjian pengadaan barang dan jasa pemerintah.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan data informasi serta penelusuran yang dilakukan di
Perpustakaan Hukum Universitas Sumatera Utara maupun Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum USU, maka penelitian tesis dengan Judul
“Perlindungan Hukum terhadap Debitur (Pelaksana Pekerjaan) dalam
pelaksanaan perjanjian upah borong (Partisipatif) dalam proyek Swakelola di
Lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang” akan tetapi ada
beberapa penelitian yang menyangkut tentang pengadaan barang/jasa
pemerintah yang dilakukan oleh :
1. Penelitian tesis oleh Mangaratua Naibaho NIM 077005039 dengan judul
Persengkongkolan Tender Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Praktek
Persaingan Usaha tidak sehat di Pematang Siantar ditinjau dari UU Nomor 5
Tahun 1999 (Studi Kasus R.S.U kota Pematang Siantar) dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Apa yang menjadi substansi dan dasar pertimbangan kebijakan perubahan
Barang/Jasa Pemerintah yang telah dirubah beberapa kali yang terakhir
dengan peraturan Presiden Republik Indonesia No. 95 Tahun 2007 ?
b. Bagaimana terjadinya persekongkolan tender dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah ditinjau dari UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?
c. Apakah KPPU telah benar dalam menerapkan Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 yang dicerminkan dalam putusannya No. 06/KPPU-L/2006 tentang
Pelelangan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Perbaikan Bangsal di Unit
Kerja RSU Kota Pematang Siantar Tahun 2005 ?
2. Penelitian tesis oleh Rini Widiastuty NIM 097011116 dengan judul Perjanjian
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Studi di Pemerintah Provinsi Sumatera
Utara) dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana bentuk perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah pada
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ?
b. Bagaimana kedudukan pemerintah dalam perjanjian pengadaan barang/jasa
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara?
c. Mengapa tidak pernah terjadi ganti rugi sebagaimana yang dituangkan dalam
perjanjian pengadaan barang/jasa Provinsi Sumatera Utara ?
3. Penelitian tesis oleh Thommy Henkary Sihite NIM 137011148 dengan judul
Analisis Hukum terhadap keseimbangan kedudukan para pihak dalam
perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Studi Perjanjian Nomor :
Komitmen Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Dalam Negeri
dengan PT. Suzuki Indomobil Sales) dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana letak ketidakseimbangan antara penyedia barang dengan
pemerintah sebagai pengguna barang Pengadaan Kendaraan Roda Empat
antara Pejabat Pembuat Komitmen Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian dalam Negeri dengan PT. Suzuki Indomobil Sales ?
b. Bagaimanakah akibat hukum atas ketidakseimbangan di dalam Perjanjian
Nomor : 027/256/SES Pengadaan Kendaraan Roda Empat antara Pejabat
Pembuat Komitmen Badan Penelitian dan Pengembangan dalam Negeri
dengan PT. Suzuki Indomobil Sales ?
c. Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan para pihak apabila terjadi
sengketa di dalam Perjanjian Nomor : 027/256/SES Pengadaan Kendaraan
Roda Empat antara Pejabat Pembuat Komitmen Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian dalam Negeri dengan PT. Suzuki Indomobil
Sales?
Walaupun ada beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
pengadaan barang/jasa, namun aspek yang dibahas berbeda. Maka penelitian ini
dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat
dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran,
rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan
akademis.
1. Kerangka Teori
Dalam melakukan penelitian hukum sangat penting adanya kerangka teori dan
kerangka konsep yang bertujuan adanya pembatasan-pembatasan terhadap konsep
atau teori supaya tidak terdapat berbagai pandangan ataupun pendapat terhadap suatu
objek.
Kerangka Teori Menurut Hadari Nawawi adalah
“Berisi uraian tentang pemahaman teori dan hasil penelitian terdahulu yang terkait. Pemahaman ini bisa dalam arti meletakkan kedudukan masing-masing dalam masalah yang sedang teliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi atau pendirian peneliti disertai dengan alasan-alasan dan bukan bermaksud untuk memamerkan teori dan hasil-hasil penelitian ilmiah pakar terdahulu sehingga pembaca diberitahu mengenai sumber tertulis yang telah dipilih oleh peneliti, hal ini juga dimaksudkan untuk memberitahukan mengapa dan bagaimana teori hasil penelitian para peneliti terdahulu dalam melakukan penelitiannya”.15
Kerangka teori diperlukan dalam suatu penelitian supaya penelitian tersebut
mempunyai dasar-dasar yang kokoh, dan bukan hanya sekedar coba-coba dalam
melakukan penelitian. Setiap melakukan penelitian pasti membahas teori-teori yang
mendukung atau sesuai dengan tema dari penelitian. Teori bermanfaat untuk
memberikan dukungan analisis terhadap tema yang sedang dilakukan penelitian dan
dapat memberikan dasar-dasar dalam mengemukakan hipotesa dalam penelitian,
hipotesa dapat digunakan sebagai alat ukur sekaligus tujuan yang akan dicapai dalam
suatu penelitian yang kemudian dibuktikan kebenarannya serta apabila relevan
dengan hasil penelitian maka dimasukkan ke dalam kesimpulan suatu penelitian.
15
Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan
mensistematisasikan masalah yang dibicarakan dan teori bisa juga mengandung
subjektivitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks
seperti hukum ini.16 M. Solly Lubis mengatakan bahwa teori merupakan pengetahuan
ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin
keilmuan.17 Sedangkan menurut D.H.M Meuwissen menyebut ada tiga tugas teori
hukum yaitu :18
a. Menganalisis dan menerangkan konsep hukum dan konsep-konsep yuridis
(rechtsleer)
b. Hubungan Hukum dengan logika
c. Metodologi Hukum
Teori sebagai pisau analisis yang digunakan untuk dijadikan panduan dalam
melakukan analisis, dengan memberikan penilaian terhadap penemuan fakta atau
peristiwa hukum yang ada. Berdasarkan uraian mengenai teori hukum maka hukum
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perlindungan hukum. Teori
Perlindungan Hukum merupakan salah satu teori yang sangat penting untuk dikaji,
karena fokus kajian teori ini pada perlindungan hukum yang diberikan kepada
masyarakat. Masyarakat yang didasarkan pada teori ini yaitu masyarakat yang
16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm 259. 17
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Medan : PT. Sofmedia, 2012), hlm 30. 18
berbeda pada posisi yang lemah, baik secara ekonomis maupun lemah dari aspek
yuridis.19
Istilah Teori Perlindungan Hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu legal
protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan theorie van de
wettelijke bescherming, dan dalam bahasa Jerman disebut dengan theorie der
rechtliche schutz.20 Teori Perlindungan Hukum merupakan teori yang mengkaji dan
menganalisis tentang ujud atau bentuk atau tujuan perlindungan, subjek hukum yang
dilindungi serta objek perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada subjeknya.
Teori ini dikembangkan oleh Roscou Pound, Sudikno Mertokusumo, dan Antonio
Fortin.21
Pada dasarnya, teori Perlindungan Hukum merupakan teori yang berkaitan
pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kepentingan manusia adalah suatu tuntutan
yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum.22
19
Salim HS & Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 259.
Pemikiran Roscoe
Pound mengenai hukum sebagai suatu institusi sosial yang tercipta untuk memuaskan
keinginan-keinginan manusia, keinginan sosial “dengan cara memberikan pengaruh
bagi kita sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil mungkin sedemikian jauh
agar keinginan-keinginan bisa terpenuhi dan tuntutan-tuntutan terpuaskan dengan
suatu peraturan pelaksanaan manusia melalui masyarakat yang terorganisir secara
politis”. Esensi peraturan legal ini merupakan jaminan dan perlindungan akan
20
Ibid.
21
Ibid., hlm 3. 22
berbagai kepentingan dan dibutuhkan modifikasi tradisionil serta peraturan
perundang-undangan yang diwariskan terhadap kondisi sosial yang ada.
“Kepentingan (Interest). Roscoe Pound mendefinisikan suatu kepentingan sebagai “permintaan atau kehendak (hasrat) ataupun pengharapan dimana umat manusia baik secara individu ataupun dalam kelompok atau persekutuan ataupun relasi, mencari kepuasan ; karena itu keserasian hubungan manusia dan pengaturan perilaku manusia melalui kekuatan suatu masyarakat yang diorganisir secara politis harus dipertimbangkan”. Pengenalan dan definisi kepentingan menuntut : suatu inventaris dan klasifikasi kepentingan ; keputusan terhadap seleksi kepentingan agar dikenal secara resmi ; studi mengenai cara-cara menetapkan batas dan menjamin kepentingan yang dikenal. Ini merupakan “keseimbangan kepentingan” (masyarakat individu dan sosial) dimana merupakan problem utama bagi para ahli hukum dan para pembuat undang-undang”.23
Roscoe Pound membagi kepentingan manusia yang dilindungi hukum
menjadi tiga macam, yang meliputi :24
1) Public Interest ( Kepentingan Umum)
2) Sosial Interest (Kepentingan Masyarakat)
3) Privat Interest (Kepentingan Individual)
Kepentingan Publik. Dalam hal ini mengkaitkan pada tuntutan-tuntutan
yang dipandang dari segi kebutuhan hidup publik yaitu :25
a) Kepentingan-kepentingan negara dipandang sebagai “Juristic Person”,
maksudnya mengenai integritasnya, kebebasan tindakan, keamanan, dan
sebagainya.
b) Kepentingan negara sebagai pelindung kepentingan sosial.
23
L.B. Curzon (Terjemahan), Jurisprudance, hlm 185. 24
Salim HS & Erlies Septiana Nurbani, Op. Cit, hlm 275. 25
Kepentingan Sosial. Kebutuhan-kebutuhan penting ini merupakan
tuntutan atau hasrat kelompok sosial selaku komunitas, yakni sebagai berikut:26
(1)Kesejahteraan umum ; mencakup tuntutan untuk tenteram dan mengatur melawan tindakan yang mungkin mengancam berbagai eksistensi masyarakat. (2)Kesejahteraan lembaga sosial (domestik, religius, politik, dan ekonomi).
(3)Moral umum (utama) ; yakni kesejahteraan hidup sosial melawan tindak ofensif yang mengancam perasaan moral pada umumnya.
(4)Pelestarian sumberdaya sosial.
(5)Kemajuan umum. “penilaian diri atas kelompok sosial kearah perkembangan kekuasaan manusia yang lebih tinggi dan lebih lengkap”, misalnya, meliputi bicara bebas dan kemajuan budaya.
(6)Kehidupan individu ; kebutuhan terpenting dari segala-galanya ; melibatkan tuntutan atau permintaan masing-masing individu untuk “menghidupkan kehidupan manusia” menurut standar-standar masyarakat.
Kepentingan Individual. “ada kepentingan personalitas atau kepentingan
dalam kaitan domestik atau kepentingan substansi”. Kesemuanya termasuk
tuntutan dan permintaan yang berkaitan dengan kehidupan individu. Karena itu
ada :27
(a)“Personalitas”. Dalam hal ini melibatkan kepentingan menyinggung tentang eksistensi fisik dan spiritual individu ; misalkan keamanan fisik, kesehatan, kebebasan dari paksaan dan desakan, bebas memilih lokasi, bebas berkeyakinan dan opini.
(b)“Relasi-relasi domestik”. Disini mencakup kepentingan para orang tua dan anak-anak serta perlindungan perkawinan.
(c)Substansi. Dalam hal ini mengenai kepentingan harta milik, kebebasan kontrak dan persekutuan ; yakni tuntutan-tuntutan atau permintaan-permintaan itu “ditegaskan oleh individu-individu dengan sebutan eksistensi ekonomi individu”
Jaminan kepentingan. Hukum berusaha memuaskan, mendamaikan,
mengharmoniskan dan mengatur tuntutan-tuntutan dan permintaan-permintaan
26
Ibid.,hlm 186-187 27
yang simpang siur bertentangan. Dalam hal ini berupaya untuk memberikan
pengaruh terhadap “total kepentingan terbesar atau kepentingan yang paling
berat dalam peradaban kita, dengan pengorbanan terkecil dalam skema
kepentingan secara menyeluruh”. Kepentingan harus disetarakan dan ditimbang
pada bidang yang sama. Pound menyatakan tidak ada standar untuk evaluasi
dan penimbangan kepentingan. Penyetaraan perlu penggunaan bentuk-bentuk
hukum berikut :28
1}Peraturan (rules) ; yakni “aturan yang menetapkan suatu batasan, konsekuensi legal terinci pada suatu batasan, statemen fakta-fakta terinci” 2}Prinsip ; yakni “point-point permulaan yang otoritatif agar pemikiran legal
berlaku secara kontinyu dan sah di mana kasus-kasus tidak terselesaikan atau tidak sempurna atau pun secara nyata terselesaikan melalui peraturan dalam makna yang lebih sempit”
3}Konsepsi ; yakni “kategori-kategori otoritatif pada mana kasus-kasus atau situasi terkait, sebagai akibatnya serangkaian peraturan, prinsip-prinsip dan standar-standar menjadi berperan”.
4}Standart ; yakni “batas-batas umum perbuatan yang diijinkan untuk diterapkan menurut keadaan sekitar dari tiap-tiap kasus”.
Menurut Sudikno Mertokusumo mengemukakan tidak hanya tentang
tujuan hukum, tetapi juga tentang fungsi hukum dan perlindungan hukum. Ia
berpendapat bahwa:
“Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar
28
perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum”.29
Hal mengenai perlindungan hukum yang telah dikemukakan Sudikno
Mertokusumo diatas menimbulkan adanya substansi hukum yang diawali dengan
memahami kata “recht”, dengan memahami kata “recht” maka akan menimbulkan
subjectief recht dan objectief recht yang berarti adanya hak dan kewajiban.30
Hal tersebut memberikan P. Scholten berpendapat bahwa “keseluruhan sistem
hukum perdata itu didasarkan pada subjectief recht”. Sebaliknya Algra memberikan
pendapat dengan mengatakan bahwa “objectief recht adalah dasar dari subjectief
recht”. Perbedaan kedua pendapat itu terletak pada sudut pandangan. Algra melihat
dari sudut daya kerjanya yang menyatakan subjectief recht baru timbul jika “objectief
recht” sudah ditetapkan, dengan ditetapkan objectief recht maka hukum memerlukan
terjadinya peristiwa yang memberi hak atau membebani kewajiban apabila peristiwa
itu terjadi. P. Scholten melihat “subjectief recht” melekat pada setiap individu sejak
dilahirkan sampai mati yang melihatnya secara historis teoritis, sedangkan Algra
melihatnya secara positif operasional.
Hak dan
kewajiban setiap orang sifatnya adalah individual yang melekat pada individu orang
tersebut.
31
Setiap hak memiliki 4 (empat) unsur yaitu subjek hukum, objek hukum,
hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban dan perlindungan
29
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), hlm 71.
30
Ibid., hlm 50 31
hukum. Hak milik itu ada subjeknya, yaitu pemilik. Sebaliknya, setiap orang terikat
oleh kewajiban untuk menghormati hubungan antara pemilik dan objek yang
dimilikinya. Hak pada hakikatnya merupakan hubungan antara subjek hukum dengan
objek hukum atau subjek hukum dengan subjek hukum lain yang dilindungi oleh
hukum dan menimbulkan kewajiban.32
Kewajiban yang dimaksud adalah suatu beban yang bersifat kontraktual. Hak
dan kewajiban itu timbul apabila terjadi hubungan hukum dan antara dua pihak yang
didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian. Jadi selama hubungan hukum yang
lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban
kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya. Sebaliknya apa yang
dinamakan tanggung jawab adalah beban yang sifatnya moral.
Pada dasarnya sejak lahirnya kewajiban sudah lahir pula tanggung jawab. Akan
tetapi, kalau kemudian kewajibannya tidak dilaksanakan dan hubungan hukumnya
hapus karena kedaluwarsa (bukan karena berakhirnya hubungan hukum yang
disebabkan karena telah dipenuhinya kewajiban), maka tanggung jawab itu tampak
lebih menonjol. Jadi kewajiban merupakan beban kontraktual, sedangkan tanggung
jawab merupakan beban moral.33
Menurut pendapat yang dikemukan oleh Sudikno Mertukusumo mengenai kata
“recht” hal tersebut diikuti oleh Tan Kamello. Tan Kamello berpendapat bahwa
“dengan memahami kata “recht” maka akan menimbulkan “subjective recht dan
32
Ibid., hlm 60
33
objective recht”. Subjective recht dan objective recht yang dikemukakan Tan
Kamello adalah hak dan kewajiban. Hak yang dimaksud adalah hak untuk memberi
kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya, sedangkan
kewajiban yang dimaksud adalah pembatasan dan beban sehingga menonjolkan segi
aktif dalam hubungan hukum. Akibat adanya hubungan hukum akan menimbulkan
hak. Hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan peraturan atau kaidah,
melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu
pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lawan. Kalau ada hak maka ada
kewajiban. Hak dan kewajiban ini merupakan kewenangan yang diberikan kepada
seseorang oleh hukum.
Menurut Antonio Fortin menyajikan tentang teori perlindungan hukum.
Antonio mengemukakan :
“Pentingnya perlindungan internasional hak asasi manusia. Perlindungan internasional berarti suatu perlindungan secara langsung kepada individu yang dilakukan oleh badan-badan yang ada dalam masyarakat internasional. Perlindungan semacam itu dapat didasarkan kepada konvensi internasional, hukum kebiasaan internasional atau prinsip-prinsip umum hukum internasional. Dipandang dari segi tujuan dari dilakukannya tindakan perlindungan, perlindungan internasional dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yang meliputi antisipatoris atau preventif, kuratif atau mitigasi, dan pemulihan atau kompensatoris”.34
Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori Perlindungan Hukum bahwa
“bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan
34
dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan
terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi
berbagai kepentingan di lain pihak”.35 Menurut Theresia Geme mengartikan
Perlindungan Hukum adalah Berkaitan dengan tindakan negara untuk
melakukan sesuatu dengan (memberlakukan hukum negara secara eksklusif)
dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau
kelompok orang.36
Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa “perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif”.37
Perlindungan hukum di luar perjanjian adalah dimaksudkan bahwa para
pihak akan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai isi kontrak yang dimuat
dalam perjanjian pengadaan barang dan jasa. Apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan hak dan kewajiban, maka pihak yang dirugikan berhak untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan.
Tujuan perlindungan hukum di dalam perjanjian adalah mengatur hak-hak dan
kewajiban para pihak harus diatur secara lengkap dan konkret. Dan tidak ada
yang dirugikan antara satu dengan pihak lainnya.
35
Satjipto Raharjo, Op. Cit, hlm 53. 36
Maria Theresia Geme, Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur, disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2012, hlm 99. Sebagaimana dikutip dalam Salim HS & Erlies Septiana Nurbani, Op. Cit, hlm 262.
37
Dalam teori Perlindungan Hukum terkait dengan isi Perjanjian
berdasarkan surat perjanjian upah borong (partisipatif) Nomor
050/23122/DS/2014 adanya ketidakseimbangan sehingga perlu dilindungi hak
pelaksana pekerjaan (debitur) dikarenakan adanya pergantian pejabat di
lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang disebabkan kasus
korupsi38
Dikaitkan dengan kontrak surat perjanjian upah borong (partisipatif)
nomor 050/23122/DS/2014 terdapat hak-hak yang dirugikan berupa tidak
dibayarnya sisa pembayaran yang dilakukan oleh DLT sebagai pengganti FL
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang dengan WP. Sehingga
diperlukan perlindungan hukum terhadap pihak yang mengalami kerugian yaitu
pihak WP.
yang melibatkan pejabat tersebut.
Teori Perlindungan Hukum sebagaimana diuraikan diatas dipandang
tepat/relevan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini dengan
pertimbangan sebagai berikut :
a}Kepentingan Individual (Private Interest) sebab didalam kepentingan
individu hak pemberi kerja berupa proyek atau kerja sama sudah dipenuhi
oleh pihak pelaksana pekerjaan dan prestasi berupa kewajiban membayar
sisa pembayaran kepada pelaksana pekerjaan sedangkan untuk pelaksana
pekerjaan haknya tidak dipenuh oleh pemberi kerja berupa kewajiban atas
sisa pembayaran dan prestasi yang dilakukan sudah dipenuhi berupa proyek
38
atau kerja sama sudah dilaksanakan sesuai ketentuan yang berada di dalam
perjanjian.
b}Untuk mengetahui sejauh mana hukum melindungi subjek hukum baik
pemberi kerja maupun pelaksana pekerjaan dari kerugian yang dilakukan
oleh para pihak atau pihak ketiga.
c}Untuk melindungi kedua belah pihak, dalam hal ini untuk pemberi kerja
telah dilindungi dengan adanya jaminan pelaksanaan pekerjaan.
Salah satu bentuk perlindungan hukum dalam perjanjian adalah melalui
asas keseimbangan. Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua
belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai
kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
Asas keseimbangan dilandaskan pada ideologi yang melatarbelakangi
tertib hukum Indonesia. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
sumber tata nilai dan mencerminkan cara pandang masyarakat Indonesia.
Pemerintah Indonesia adalah wakil dan cerminan masyarakat, dan juga menjaga
arah perkembangan tertib hukum sehingga tolok ukur tata nilai pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 tetap terjaga sebagai ideal yang setiap kali hendak
diejawantahkan.39
39
Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan
seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan
kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan, dalam konteks asas
keseimbangan, bukan semata menegaskan fakta dan keadaan, melainkan lebih
dari itu berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal perjanjian dimaksud.40
Asas keseimbangan menawarkan, dalam kaitan dengan situasi tidak
seimbang yang terjadi selama atau setelah ditutupnya perjanjian, suatu
pertanggungjawaban umum pemberlakuan keragaman norma serta juga untuk
menilai dan menetapkan apakah terjadi keterikatan kontraktual yang adil. Dalam
tercipta atau terbentuknya perjanjian, keseimbangan bisa muncul sebagai akibat
perilaku para pihak sendiri ataupun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan
isi) perjanjian atau pelaksanaan perjanjian.
41
Menyeimbangkan situasi dan kondisi dapat dilakukan dengan melakukan
penyesuaian ataupun pengakhiran setelah dilakukan perundingan. Asas
keseimbangan memiliki tujuan utama kepatutan sosial (sociale gezindheid) atau
menjamin tercapainya keseimbangan antara satu individu dan lainnnya atau
antara individu dan masyarakat.42
40
Ibid., hlm 317
Jiwa keseimbangan, sebagaimana tercakup
dalam asas keseimbangan, terungkap melalui kehendak, kepercayaan, dan
pernyataan, dan sebab itu pula cakupan isinya berbeda dari yang muncul dalam
pemikiran hukum Barat tradisional. Kehendak dilandaskan pada tata nilai dan
41
Ibid., hlm 358 42
norma yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, yakni
kehendak untuk mencapai kepatutan sosial dalam jiwa atau semangat
keseimbangan.
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka Konsepsi adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.43
Kerangka konsep yang menjadi definisi operasional dalam penelitian ini adalah : Kerangka konsep bertujuan
untuk menghubungkan atau menjelaskan tentang suatu variabel yang satu dengan
variabel yang lainnya dan kerangka konsep bertujuan untuk memberikan definisi
suatu variabel dan mengarahkan asumsi mengenai permasalahan yang akan diteliti.
a. Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan
kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum.44
b. Pelaksana Pekerjaan (Debitur) adalah seorang tekhnisi yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan pekerjaan atau terlaksananya pekerjaan dan ditunjuk
oleh seorang pemborong agar selalu ada di tempat pekerjaan disaat
pemborong berhalangan.45
43
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm 132.
Dalam penelitian ini debitur sebagai pelaksana
pekerjaan.
44
Satjipto Raharjo, Op. Cit, hlm 53. 45
c. Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh
Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang
prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya
seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa46
d. Swakelola adalah pengadaan barang/jasa dimana pekerjaannya direncanakan,
dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab
anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat.47
e. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.48
f. Pemborongan Pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si
pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi
pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga
yang ditentukan.49
G. Metode Penelitian
46
Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 47
Pasal 1 angka 20 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
48
Pasal 1313 KUHPerdata. 49
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang
menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.50 Sedangkan
penelitian adalah sebagai bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan dengan
menggunakan metode tertentu yang bertujuan untuk mengetahui apa yang telah dan
sedang terjadi serta memecahkan masalahnya atau suatu kegiatan pencarian kembali
pada kebenaran.51
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dengan demikian metode penelitian hukum adalah suatu cara kerja
atau upaya ilmiah untuk memahami, menganalisis, memecahkan, dan
mengungkapkan suatu permasalahan hukum berdasarkan metode tertentu.
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis
normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas
atau prinsip-prinsip hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan
horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Penelitian yuridis normatif juga
meneliti norma-norma hukum positif, asas-asas, prinsip-prinsip, dan doktrin-doktrin
hukum.52
50
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris,Cetakan ke-1(Jakarta : IND-HILL-CO, 1990), hlm 106.
Dalam penelitian tesis ini, penulis melakukan penelitian hukum normatif
dengan tipe penelitian inventarisasi hukum positif dan penelitian terhadap asas-asas
hukum.
51
Mukti Fajar N.D., dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm 19.
52
Penelitian ini bersifat preskriptif analitis.53
2. Pendekatan Penelitian
Preskriptif yang bertujuan untuk
memberi gambaran mengenai fakta-fakta disertai analisis yang akurat mengenai
peraturan perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori-teori hukum
dan praktek yang berkaitan dengan perjanjian swakelola. Selanjutnya, akan
mengomentari dan memberi saran-saran untuk mencari solusi penyelesaiannya.
Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus
(case approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani.54
Pada pendekatan konseptual (conceptual approach) akan beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum55
Pada pendekatan kasus (case approach), yang menjadi pokok dalam
pendekatan ini adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan
untuk sampai kepada suatu putusan, baik untuk keperluan praktik maupun untuk mengenai perjanjian swakelola. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.
53
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 22
54
Ibid., hlm 93 55
kajian akademis.56
3. Sumber Data
Ratio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi
penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. Dalam penelitian ini akan di
telaah perjanjian-perjanjian swakelola.
Dalam penelitian ini menggunakan data primer yaitu melakukan wawancara
terhadap pihak-pihak pihak terkait yang berada di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Deli Serdang dan Kuasa Hukum penggugat. Penelitian ini juga menggunakan data
sekunder sebagai bahan hukumnya yang terdiri atas :
a. Bahan Hukum Primer yaitu:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
3) Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang perubahan pertama
atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
4) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
5) Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang perubahan ketiga atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
56
6) Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
7) Surat Perjanjian Upah Borong (Partisipatif) Nomor Perjanjian
050/0346.1/DPU/DS/2014, Nomor Perjanjian 050/2312.2/DPU/DS/2014
dan Nomor Perjanjian 050/4552/DPU/DS/2014.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang mendukung dan memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan
pendapat para ahli.
c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan-bahan yang berasal dari bahan hukum primer dan sekunder,
seperti Kamus Umum, Kamus Hukum, Majalah dan Jurnal Ilmiah.57
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam
penelitian hukum normatif58
57
Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 1.
. Informasi itu dapat diperoleh peraturan
perundang-undangan dan artikel. Kemudian diuraikan dan dihubungkan
sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis, guna
58
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahan-bahan hukum
sekunder yaitu hasil penelitian hukum, pendapat ahli hukum serta
mengumpulkan bahan-bahan hukum tersier yaitu dokumen-dokumen hukum,
buku-buku hukum, majalah hukum, internet.
b. Studi Lapangan (Field Research)
Studi lapangan adalah pengumpulan data secara langsung ke lapangan
dengan mempergunakan teknik pengumpulan data59
Alat pengumpul data yang digunakan pada penelitian ini adalah studi
literatur yaitu suatu alat untuk menyelesaikan permasalahan dengan
menelusuri sumber-sumber tulisan yang pernah dibuat sebelumnya. . Tujuannya untuk
menjawab rumusan permasalahan didalam penelitian ini. Teknik
pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan wawancara pada
informan. Informan pada penelitian ini adalah Bapak FL (Kepala Dinas
Pekerjaan Umum yang lama), Bapak MD (Bendahara Dinas Pekerjaan
Umum Deli Serdang), Bapak HA (Staff Kepala Bidang Peningkatan Jalan
dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang) dan Kuasa
Hukum Penggugat Bapak Afrizon.
60
59
Ibid., hlm 18
Penelitian ini juga memakai pedoman wawancara yang berisi pertanyaan
60
secara sistematis untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan rumusan
masalah.
5. Analisis Data
Analisis data adalah suatu proses mengatur urutan data, membuatnya ke dalam
suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar.61 Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan secara kualitatif, yaitu didasarkan pada relevansi data dengan
permasalahan, bukan berdasarkan banyaknya data (kuantitatif)62. Analisis kualitatif
ini dengan norma-norma, asas-asas, prinsip-prinsip, konsep-konsep, doktrin-doktrin63
Penelitian dengan menggunakan metode analisis data kualitatif yang
berdasarkan asumsi mengenai realitas atau fenomena sosial yang memiliki sifat untuk
dan komplek bahwa terdapat regulasi atau pola tertentu namun penuh keragaman atau
variasi.
para ahli yang berhubungan dengan pandangan-pandangan tentang ideologi
Pancasila, doktrin ideologi komunis, doktrin tentang aset kekayaan negara, dan
lain-lain yang relevan, termasuk menganalisis permasalahan ini berdasarkan ketentuan
yuridis yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana terdapat
dalam bahan hukum primer diatas.
64
61
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2004), hlm 103.
Suatu data sekunder yang sudah diperoleh melalui penelitian kepustakaan
(Library Research) dan sudah diperoleh juga data lapangan (Field Research) yang
62
Johny Ibrahim, Op. Cit, hlm 161. 63
Ibid., hlm 306 dan 310-311.
64
kemudian disusun berurutan dan sistematis serta selanjutnya dianalisis menggunakan
suatu metode penarikan kesimpulan kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh
suatu gambaran mengenai pokok permasalahan. Data yang diperoleh dari hasil
penelitian di tarik kesimpulan menggunakan metode deduktif yaitu menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum ke khusus sehingga menjadi
acuan menjawab permasalahan dalam penelitian.65
H. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus
diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan tesis ini, maka
diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab
yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan tesis ini
direncanakan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang didalamnya
terurai mengenai latar belakang penelitian tesis, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori
dan konsep, metode penelitian, yang diakhiri dengan sistematika
penulisan.
BAB II : ASPEK HUKUM PERJANJIAN BORONGAN DAN PROYEK
SWAKELOLA
65
Dalam bab ini menguraikan tinjauan umum mengenai perjanjian
borongan dalam Hukum Positif di Indonesia dan Proyek Swakelola dalam
sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
BAB III: PERLINDUNGAN TERHADAP DEBITUR (PELAKSANA
PEKERJAAN) DALAM PERJANJIAN UPAH BORONG
(PARTISIPATIF) PROYEK SWAKELOLA DI LINGKUNGAN
PEKERJAAN UMUM KABUPATEN DELI SERDANG
Dalam bab ini menguraikan proyek Swakelola, proses pengadaan upah
borong, analisis perjanjian upah borong dan perlindungan terhadap
Debitur (Pelaksana Pekerjaan) dalam perjanjian upah borong (partisipatif)
proyek Swakelola di Lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli
Serdang.
BAB IV: PERLINDUNGAN TERHADAP DEBITUR (PELAKSANA
PEKERJAAN) DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN UPAH
BORONG (PARTISIPATIF) PROYEK SWAKELOLA DI
LINGKUNGAN PEKERJAAN UMUM KABUPATEN DELI
SERDANG
Dalam bab ini menguraikan tentang hambatan yang dihadapi Debitur
dalam pelaksanaan perjanjian upah borong, wanprestasi Kreditur dalam
praktek pelaksanaan upah borong, perlindungan preventif terhadap
represif terhadap Debitur dalam praktek pelaksanaan upah borong
(partisipatif) proyek Swakelola.