BAB III
TANGGUNG JAWABDEVELOPERTERHADAP DEBITUR DAN BANK
ATAS PERJANJIAN YANG DIBUATNYA TERKAIT DENGAN
WANPRESTASIDEVELOPER
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Umum Tentang Perjanjian
Pembentuk undang-undang memberikan defenisi perjanjian didalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Kata perjanjian secara umum dapat mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk
didalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam arti sempit perjanjian disini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUH Perdata. Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian daripada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan
adalah bagian dari hukum kekayaan, maka hubungan yang timbul antara para pihak dalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. Karena perjanjian menimbulkan hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan maka
dapat disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan.145
Istilah perjanjian sering diikuti oleh beberapa istilah lainnya seperti perikatan, persetujuan dan bahkan kontrak. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata146, suatu perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.147Dari pengertian ini dapat dilihat salah satu unsur perjanjian yaitu “mengikatkan diri”. Sejalan dengan pengertian tersebut dalam Pasal 1233 KUH Perdata148 disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang.
R. Setiawan dalam bukunya lebih condong memakai istilah perikatan sebagai terjemahan dari verbintenis, karena dari segi terminologi sendiri verbintenis berasal dari kata kerjaverbindenyang artinya mengikat.149Perikatan mengandung pengertian “suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu”.150Menurut Pitlo, Perikatan adalah “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak dan pihak lain berkewajiban atas suatu prestasi”.151
146 Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kedua tentang Perikatan-Perikatan yang dilahirkan
dari kontrak atau perjanjian, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum
147 Bandingkan dengan kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua orang atau lebih
orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu dalam buku. Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu,Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 42; Kontrak adalah dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis dalam buku Abdul R Saliman,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Prenada Media, 2005) hal. 41
148 Buku Ketiga Tentang Perikatan, Bab Kesatu tentang Perikatan-Perikatan Umumnya,
Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum
149R. Setiawan [1],
Pokok-Pokok Hukum Perikatan,(Bandung: Binacipta, 1987), hal. 1
150
Ibid, hal. 2
151 Ibid, diterjemahkan dari buku A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar het Nederlands
Menurut Subekti, perikatan memiliki arti yang lebih luas dari kata “Perjanjian”, sebab dalam Buku III KUH Perdata juga diatur masalah perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan pengurusan
kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan atau perjanjian (zaakwaarneming).152 Dapat dilihat juga bahwa perikatan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari ialah perikatan yang bersumber dari perjanjian, bukan yang bersumber dari undang-undang, sedangkan kontrak memiliki arti yang
lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.153 Menurut Subekti, suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.154Dengan demikian, hubungan antara
perikatan dan perjanjian/persetujuan adalah jelas bahwa perjanjian menerbitkan perikatan antara dua orang/pihak yang membuatnya.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.155 Maka dari peristiwa itulah timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.156
Ada juga yang mengartikan lain dari istilah perjanjian tersebut, Yahya Harapan mengartikan “Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk
152Subekti [2],Pokok-Pokok Hukum Perdata,(Jakarta: PT. Intermasa, 2003), hal 122 153Subekti [3]
, Hukum Perjanjian,(Jakarta: PT. Intermasa, 1984), hal.1
154
Ibid
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain untuk menuaikan prestasi”.157Dari pengertian tersebut, dapat ditarik unsur-unsur perjanjian antara lain, hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak kepada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya tentang suatu prestasi.158 Prestasi ini adalah “Objek” atau “voorwerp” dari
verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai “kreditur” atau “schuldeiser”.
Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “debitur” atau
“schuldenaar”.159
Sepintas telah disebutkan bahwa objek dari perjanjian adalah “prestasi”. Kreditur berhak atas perstasi yang diperjanjikan, dan debitur wajib melaksanakan prestasi yang dimaksud. Dengan demikian, intisari dari perjanjian adalah prestasi.160
Jika undang-undang telah menetapkan “subjek” perjanjian yaitu pihak kreditur yang berhak dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka “objek” perjanjian adalah prestasi itu sendiri.161
2. Syarat Sah dan Terjadinya Perjanjian
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata yang berbunyi:162
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
157M. Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian,(Bandung: Alumni, 1986), hal. 6 158Ibid
159
Ibid,hal.7
160
Ibid,hal.9
161Ibid,hal.10
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh
objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.163
Kata sepakat disini harus diberikan secara bebas oleh kedua pihak,164sehingga tercapai persesuaian/persetujuan. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak,
yaitu:165
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Bahasa yang sempurna secara lisan;
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e. Diam atau membisu, tetapi asal bisa dipahami atau diterima oleh pihak lawan.
“Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya, tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya, tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan, sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi obyeknya adalah batal demi hukum.”166
163Subekti [3], op.cit,hal. 17
164 A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Beserta
Perkembangannya,(Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 10
165 Salim, H.S[2],
Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) hal. 33
166 Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992),
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.167 Didalam Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu, setidaknya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada. Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dan lain-lain, tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian, barang tersebut juga harus dapat ditentukan jenisnya.
Akhirnya oleh Pasal 1320 KUH Perdata ditetapkan syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan dengan sebab yang halal itu ialah isi dari perjanjian itu sendiri.168Selain itu, yang tidak halal maksudnya yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Berdasarkan saat lahirnya atau terjadinya perjanjian, perjanjian dapat dibedakan menjadi:169
167Subekti [3], loc.cit
168Mariam Darus Badrulzaman, dkk, [3],
Komplikasi Hukum Perikatan,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal.80
169 Projodikoro Wirjono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan
a. Perjanjian Konsensuil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian, dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. Pada perjanjian konsensuil, kata sepakat diantara para pihak sudah cukup untuk melahirkan perikatan.
b. Perjanjian Riil
Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi, kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
Bukan berarti dalam perjanjian riil tak perlu ada kata sepakat/persetujuan, tetapi yang benar adalah, bahwa sepakat saja belum cukup, untuk menimbulkan perjanjian riil. Malahan pada perjanjian yang riil, sepakat mempunyai dua fungsi, pertama ia merupakan unsur daripada perjanjian riil, kedua ia juga sekaligus menimbulkan perjanjian yang berarti sendiri. Kata sepakat pada perjanjian riil merupakan perjanjian pendahuluan sebelum adanya penyerahan barang.
3. Asas-asas Umum Hukum Perikatan
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat
bagi para pihak, oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga akhirnya
menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya.170
Dalam hukum perjanjian berlaku beberapa asas. Asas-asas hukum perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, sebagai berikut:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
170 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja [2], Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sistem terbuka adalah asas yang mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Asas ini sering
juga disebut “asas kebebasan berkontrak” (freedom of making contract). Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.171
Penegasan mengenai adanya asas kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan kekuatan tentang perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang, kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Dari asas “kebebasan berkontrak” itu juga dapat dilihat unsur-unsur yang terkandung didalamnya meliputi :172
1) Kebebasan untuk mengadakan perjanjian 2) Kebebasan untuk tidak mengadakan perjanjian
3) Kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun
4) Kebebasan untuk menentukan sendiri isi maupun syarat-syarat perjanjiannya. b. Asas Konsensualisme
171Abdulkadir Muhammad,
Hukum Perikatan, (Alumni Bandung, 1982), hal .84
172Djohari, Santoso, et.al,Hukum Perjanjian Indonesia,(Yogyakarta : Bagian Penerbitan dan
Yakni perjanjian sudah dapat dikatakan ada atau lahir dengan adanya kata sepakat dari pihak yang membuat perjanjian. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan adanya empat syarat sah
perjanjian, salah satunya adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan diri. c. Asas Kekuatan mengikat / Asas Pacta Sunt Servanda
Yakni bahwa setiap perjanjian yang dibuat adalah mengikat para pihak yang membuat dan berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Asas ini berarti bahwa
perjanjian hanya belaku bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”.
d. Asas Itikad Baik
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.
e. Asas Kepribadian (Personalitas)
Pada prinsipnya asas ini menentukan bahwa suatu perjanjian berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja. Ketentuan mengenai asas ini tercantum dalam Pasal
1315 dan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:
“Pada umumnya seseorang yang tidak mengadakan perikatan atau perjanjian
Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:
“Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan
kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317.”
4. Hapusnya Perikatan
Bab IV Buku III KUH Perdata mengatur tentang hapusnya perikatan baik yang timbul dari persetujuan maupun dari undang-undang. Dalam Pasal 1381 KUH Perdata disebutkan pada umumnya perikatan hapus apabila tujuannya tersebut telah
tercapai atau masing-masing pihak telah saling memenuhi prestasi sebagaimana yang mereka kehendaki. Mengenai hapusnya suatu perikatan dapat disebabkan:173
a. Karena adanya pembayaran (betaling);174
b. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan barang (konsignasi);
c. Novasi atau pembaharuan hutang; d. Kompensasi atau perjumpaan hutang;175 e. Percampuran hutang;
f. Pembebasan hutang;
g. Musnahnya barang yang terhutang; h. Pembatalan perjanjian;
173
R. Setiawan, [2]Pokok - Pokok Hukum Perikatan ,(Jakarta: Putra Abadin, 1999), hal. 107
174 Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 KUH
Perdata sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata, pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit dan secara yuridis teknis. Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, dokter bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
175Undang undang mengatur masalah kompensasi pada bagian 4 halaman 4 Buku III, dimulai
i. Berlakunya suatu syarat batal (diatur dalam Bab I);
j. Daluarsa atau lewatnya waktu (diatur dalam Buku IV Bab7).
Cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUH Perdata itu tidaklah lengkap,
karena tidak mengatur misalnya: hapusnya perikatan, karena meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh salah satu pihak.176
Lima cara pertama yang tersebut di dalam Pasal 1381 KUH Perdata
menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari debitur. Dalam cara keenam yaitu pembebasan hutang, maka kreditur tidak menerima prestasi, bahkan sebaliknya yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas prestasi. Pada empat cara
terakhir dari Pasal 1381 KUH Perdata maka debitur tidak menerima prestasi, karena perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah gugur.177
Untuk mengetahui dimanakah pengaturan dari berlakunya suatu syarat batal, sebagai salah satu cara hapusnya perikatan maka kita harus melihat kepada Bab I
KUH Perdata yaitu berturut-turut Pasal 1253 dan seterusnya dan Pasal 1266 KUH Perdata. Demikianlah juga apabila kita ingin mencari dimanakah diatur tentang hapusnya perikatan karena lampaunya waktu, maka haruslah diperiksa Buku IV KUH Perdata.178
Menurut R. Setiawan, “hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan perjanjian yang merupakan
176Mariam Darus Badrulzaman, dkk,[3]
Op.cit,hal. 115
177Ibid,hal. 116
sumbernya mungkin masih tetap ada”. Contoh: pada perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga maka perikatan tentang pembayaran menjadi hapus, sedangkan perjanjiannya belum karena perikatan tentang penyerahan barang belum
dilaksanakan.179
Dapat juga terjadi bahwa perjanjiannya sendiri telah berakhir (hapus), tetapi perikatannya masih ada, misalnya dalam menyewa, dimana perjanjian sewa-menyewanya sudah berakhir tetapi perikatannya untuk membayar uang sewa belum
berakhir karena belum dibayar. Walaupun pada umumnya jika perjanjian hapus maka perikatannya pun hapus, begitu pula sebaliknya. Suatu perjanjian hapus karena:180
a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu; b. Undang-Undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal
1066 ayat 3 KUH Perdata); c. Salah satu pihak meninggal dunia;
d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian;
e. Karena keputusan hakim;
f. Tujuan perjanjian telah tercapai dengan kata lain dilaksanakannya objek perjanjian atau prestasi;
g. Dengan persetujuan para pihak.
Dengan demikian, maka pembedaan cara hapusnya suatu perikatan dengan perjanjian tidaklah terlalu penting, karena cara berakhirnya perikatan dengan
perjanjian yang tertulis dalam Pasal 1381 KUH Perdata merupakan cara-cara yang
179R. Setiawan [2],
Op.cit., hal. 68
180 Septaliana Temmy Dwijaya, Kualifikasi PerjanjianPelayanan Safe Deposit Box Antara
ditunjuk oleh pembentuk Undang-Undang, sedangkan cara berakhirnya perjanjian yang disampaikan R. Setiawan adalah cara lain yang dibuat para pihak sesuai perkembangan zaman. Sehingga yang terpenting disini untuk mengetahui apakah
sebuah perjanjian itu sudah berakhir atau belum harus dilihat dulu masing-masing perikatan dalam perjanjian itu sudah hapus atau belum, kalau sudah maka tinggal melihat apakah sumber dari perikatan itu (perjanjian) juga hapus atau belum sehingga untuk hal ini perlu dilihat perjanjian itu terdiri dari berapa perikatan.181
Pembedaan cara hapusnya perjanjian dan perikatan diatas hanya merupakan perbedaan inisiatif saja, yaitu dalam Pasal 1381 KUH Perdata (perikatan) inisiatif berasal dari pembuat Undang-Undang. Kemudian dilihat dari cara berakhirnya
perjanjian yang disampaikan R. Setiawan adalah cara lain yang dibuat para pihak sesuai dengan perkembangan zaman.182
Dengan kata lain, cara hapusnya suatu perjanjian dapat berlaku atau
digunakan untuk cara hapusnya perikatan begitu juga sebaliknya. Hal ini dikarenakan Buku III bab IV KUH Perdata ini mengatur berbegai cara tentang hapusnya suatu perikatan yang muncul baik karena perjanjian ataupun Undang-Undang.183
B. Peranan Legalisasi Surat Perjanjian Bawah Tangan Yang Dibuat Antara Developerdengan Debitur Terkait dengan WanprestasiDeveloper.
Kegiatan Perniagaan berkembang dengan pesat hingga mencapai tingkat frekuensi seperti yang dihadapi saat ini. Meningkatnya tuntutan masyarakat akan
181R. Setiawan [2],
Op.cit., hal. 68
kepastian hukum serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha mendorong kebutuhan akan pelayanan dari pejabat (umum) dalam bidang pembuatan alat bukti guna menjamin kepastian hukum.Berdasarkan ketentuan Pasal 1865 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang dapat digunakan sebagai alat bukti berupa bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaaan, pengakuan dan sumpah. Bukti tulisan dapat berupa akta otentik dan akta dibawah tangan. Dengan demikian suatu akta yang terkuat dan akan dipergunakan untuk dijadikan alat bukti di dalam
masyarakat yakni akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris184.185
Sesuai dengan fungsi notaris bahwa selain membuat akta otentik, notaris juga melakukan legalisasi surat dibawah tangan.186 Dalam hal ini, perjanjian yang dibuat
antara debitur dengan developer adalah perjanjian bawah tangan yang dilegalisasi oleh notaris. Jika berdasarkan uraian diatas dijelaskan bahwa yang termasuk alat bukti, salah satunya adalah bukti tulisan yang bisa akta otentik atau akta dibawah
tangan. Dengan kata lain, perjanjian yang dibuat antara debitur dengandeveloperjuga merupakan salah satu alat bukti di pengadilan jika salah satu pihak wanprestasi. Akta dibawah tangan juga diatur dalam Pasal 1874 – 1984 KUH Perdata
Walaupun perjanjian yang dibuat antara debitur dan developerdibuat bersifat
bawah tangan tetap mempunyai kekuatan mengikat masing-masing pihak baik dalam hak dan kewajiban. Notaris disini berperan memastikan kebenaran dan keaslian dari
184 Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tersebut tidak dikhususkan kepada pejabat umum lainnya.
185 Herlien Budiono,
Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2013), hal.1
pihak yang bertanda tangan, selain itu juga memastikan keabsahan dan kepastian tanggal dilakukan penandatanganan tersebut.
Perjanjian yang dibuat antara debitur dandevelopermengatur tentang hak dan
kewajiban para pihak seperti tata cara pembayaran, serah terima bangunan dan denda keterlambatan pembayaran maupun denda keterlambatan penyerahan unit rumah atau pembangunan. Perjanjian yang dibuat tersebut walaupun hanya bersifat di bawah tangan tetap mempunyai kekuatan mengikat antara para pihak yang melakukan
perjanjian dikarenakan perjanjian tersebut merupakan kehendak para pihak tersebut yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk perjanjian sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa yang menyatakan
bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Selain Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan
tentang suatu akta yang sah di pengadilan baik akta otentik ataupun yang dibawah tangan tercantum dalam Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta aslinya ada, maka salinan-salinan serta iktisar-iktisar hanya dapat dipercaya,
sekedar salinan-salinan serta iktisar-iktisar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukannya.”
Perjanjian di bawah tangan yang dibuat antara debitur dengan developer
perjanjian tersebut bisa dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan untuk menggugat pihak yang telah melakukan wanprestasi sehingga pihak yang dirugikan mendapatkan perlindungan hukum baik berupa ganti rugi maupun pembatalan perjanjian.
Walaupun perjanjian bawah tangan tidak sekuat akta otentik tapi dengan
adanya legalisasi akta dibawah tangan, maka bagi hakim telah diperoleh kepastian mengenai tanggal dan identitas dari pihak yang mengadakan perjanjian tersebut serta tanda tangan yang dibubuhkan di bawah surat itu benar berasal dan dibubuhkan oleh orang namanya tercantum dalam surat itu dan orang yang membubuhkan tanda
tangannya dibawah surat itu tidak lagi dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahui apa isi surat itu, karena isinya telah dibacakan dan dijelaskan terlebih dahulu sebelum para pihak membubuhkan tanda tangannya
dihadapan pejabat umum.187
C. Tanggung Jawab Developer Terhadap Debitur dan Bank Atas Perjanjian Yang Dibuatnya.
Pengertian tanggung jawab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “tanggung
jawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain.188Selain itu, kata “tanggung jawab” merupakan kata benda abstrak yang bisa dipahami melalui
sikap, tindakan dan perilaku. Setelah bentuk dasar, kata “tanggung jawab” mendapat
187 Sidah,
Kekuatan Pembuktisn Akta Di Bawah Tangan Yang Dilegalisasi Oleh Notaris, Tesis Universitas Diponegoro Semarang, 2010.
188Hasan Alwi,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003),
imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi “pertanggungjawaban” yang berarti perbuatan bertanggung jawab atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan.189
Menelaah pengertian “tanggung jawab” merujuk kepada makna tanggung
jawab dalam proses hukum, dimana seseorang dapat dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan dan kesiapan menerima beban sebagai akibat dari sikap sendiri atau tindakan orang lain. Jika dikaitkan dengan kata pertanggungjawaban berarti kesiapan untuk menanggung segala bentuk beban berupa dituntut, diperkarakan dan
dipersalahkan akibat dari sikap dan tindakan sendiri atau pihak lain yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Mulyosudarmo membagi pengertian pertanggung-jawaban dalam dua aspek
sebagai berikut:190
1. Aspek internal yakni pertanggung-jawaban yang diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan oleh pimpinan dalam suatu instansi.
2. Aspek eksternal yakni pertanggung-jawaban kepada pihak ketiga, jika suatu tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain berupa tanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang diperbuat.
Secara sepintas, dari berbagai pengertian pertanggung-jawaban di atas menunjukkan keluasan wilayah pemikiran yang menyebabkan timbulnya kesulitan
untuk memberi satu definisi yang disepakati mengenai pertanggung-jawaban. Bagaimana pertanggung-jawaban diartikan, dimaknai, dipahami, serta
batasan--189
Ibid
190 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap
batasannya tergantung kepada konteks dan sudut pandang yang digunakan untuk menelaahnya.
Adapun bentuk-bentuk pertanggung-jawaban yakni :
1. Pertanggung-jabawan pidana
Pertanggung-jawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai toereken
-baarheid, criminal reponsibilty, atau criminal liability. Pertanggung-jawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di
pertanggung-jawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu.191
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk
pertanggung-jawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggung-jawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan,
“tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.192Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela.193 Dengan demikan, menurutnya, seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua
hal, yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur Obejektif, dan (2) 191 S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cet. IV, Jakarta :
Alumni, 1996), hal. 245.
192 Djoko Prakoso,
Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogyakarta : Liberty, 1987), hlm. 75.
193 Martiman Prodjohamidjojo,Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indoesia, (Jakarta :
terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggung-jawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif.
Di dalam hal kemampuan bertanggung-jawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah
sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal dan sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.194 Sementara bagi orang yang jiwanya tidak
sehat dan normal, maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.
3. Yang di tentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.
2. Pertanggung-jawaban Perdata
194 I Gusti Bagus Sutrisna,
Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang-undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang
tersebut yang menimbulkan kerugian itu.195 Hal tersebut diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam
ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:196
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian
Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:197
a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
195A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen,cetakan kedua, (Jakarta : Diapit Media,
2002), hal.77.
196 Munir Fuady,
Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 3.
b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
Adapun bentuk tanggung jawab dari developer berdasarkan akta perjanjian
kerja sama dan legalisasi surat perjanjian yaitu : a. Tanggung jawabdeveloperdengan PT. Bank X
Tanggung jawab developer dengan PT. Bank X sebagaimana diatur dalam akta
perjanjian kerja sama adalah:
1) developer menjamin bank bahwasannya tanah yang dijual kepada pembeli bebas dari sengketa/perkara.
2)developer membantu bank dalam menghadirkan pembeli/debitur pada saat
akan dilakukan pengikatan kredit dan jaminan.
3)developer bertanggung jawab akan menyelesaikan bangunan yang dibeli pembeli sampai dapat diserahterima sesuai perjanjian.
4)developerbertanggung jawab atas setiap kerugian yang diderita oleh bank atas pemberian fasilitas kredit kepada pembeli/debitur.
5)developerjuga bertanggung jawab untuk membeli kembali apa yang dijualnya
kepada pembeli/ debitur dan melunasi seluruh hutang debitur secara sekaligus jika debitur telah menunggak angsuran 3 kali berturut-turut.
6)developer harus membayar denda keterlambatan 1 ‰ per hari apabila
7)developer memberikan kuasa kepada bank untuk mendebit dan mempergunakan deposito, maupun dana pada rekening deposito milik
developer guna pembayaran hutang dan denda yang ditimbulkan oleh
developer.
b. Tanggung jawabdeveloperdengan debitur/pembeli
Tanggung jawab developer dengan debitur/pembeli sebagaimana diatur dalam legalisasi surat perjanjian adalah:
1)developer bertanggung jawab membangun bangunan dan menambah luas bangunan dari bangunan standart rumah tempat tinggal sesuai dengan gambar dan spesifikasi teknis bangunan.
2)developer bertanggung jawab menyelesaikan bangunan pada tanggal yang telah disepakati.
3)developer bertanggung jawab membayar ganti kerugian sebesar
Rp.1.000.000,- jika penyelesaian bangunan tersebut melampaui waktu yang diperjanjikan dan juga membayar segala biaya yang timbul akibat penggunaan jasa kontraktor lain yang ditunjuk debitur/pembeli untuk melanjutkan pembangungan tersebut.
4) developer juga bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan kerusakan yang timbul dari bangunan tersebut dalam jangka waktu 3 bulan sejak diserahterimakan.
wanprestasi atau melakukan perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak disengaja atau karena lalai, maka akan dikenakan sanksi, begitu juga apabila debitur lalai maka akan ada sanksi yang diterapkan kepadanya. Hal tersebut sebagaimana
diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata, bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Dengan adanya kewajiban berbentuk tanggung jawab tersebut akan memberikan sebuah perlindungan
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK DAN DEBITUR SEHUBUNGAN DENGAN WANPRESTASI DEVELOPER
A. Pengertian, Bentuk Wanprestasi Dan Akibat-Akibatnya
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah “suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian”198dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:199
1. Debitur sama sekali tidak berprestasi.
Dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma saja sebab debitur memang tidak mampu berprestasi.
2. Debitur salah berprestasi.
Dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya.
3. Debitur terlambat berprestasi.
Dalam hal ini debitur masih dapat diharapkan pemenuhan prestasinya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
198Nindyo Pramono,
Hukum Komersil, (Jakarta : Pusat Penerbitan UT, 2003, cet. 1), hal. 221
199 R. Setiawan [2],Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin, 1999, cet. 6),
hal.19
memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satupun pihak yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
Ada kemungkinan bahwa sungguh pun salah satu pihak telah melakukan
wanprestasi, tetapi sebahagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan untuk menunda sementara pelaksanaan prestasi ataupun ada alasan-alasan lain yang menyebabkan kepentingan yang melakukan wanprestasi pun mesti dilindungi.200 Karena itu dalam ilmu hukum kontrak dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni
keseimbangan antara pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang melakukan wanprestasi.
Pada umumnya tidak dengan sendirinya debitur telah melakukan wanprestasi.
Apabila tidak ditentukan dalam kontrak atau undang-undang maka wanprestasinya (debitur) akan resmi terjadi setelah dia (debitur) dinyatakan lalai oleh pihak kreditur (ingebrekestelling) yaitu dengan dikeluarkannya ”akta lalai” oleh pihak kreditur, Akta
lalai adalah tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa (dalam hal ini adanya kelalaian) dan ditandatangani oleh pembuatnya. Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 1238 KUH Perdata yaitu: “Si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”201
200 J.Satrio [3],
Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya,(Bandung : PT.Alumni,1999), hal.97
201 http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum-perusahaan/kn_508_slide_
Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:202 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu
sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian, sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut Pasal
1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut
dengan somasi.203
202Subekti [3],Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT.Intermasa, 1985), hal.132
203Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar
Menurut Pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.204
Dari ketentuan Pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUH Perdata adalah:205
1. Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploitjuru Sita”
2. Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris. 3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang
melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis. Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan
wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
204
Subekti [4], Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Jakarta, Pradnya Paramita, 2005, cet. 36
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa akibat hukum yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:206
1. Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2. Pembatalan perjanjian; 3. Peralihan resiko;
4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
1. Membayar Kerugian207
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga. a. Biaya
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang
termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain. b. Rugi
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh
pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah. c. Bunga
206
Ibid, hal. 223
207 Joko Rizkie Widokartie, Mata Kuliah Hukum Bisnis (http://web-suplemen.ut.ac.id/html/
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan
interestadalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan
ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.
Pasal 1247 KUH Perdata menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan
olehnya”.
Pasal 1248 KUH Perdata menentukan :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang
diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan
maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupainterest, renteatau bunga.
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang berarti kealpaan
atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.
2. Pembatalan Perjanjian208
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut
sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.
Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu.
Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”.
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat
pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk
membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut Pasal 1266 KUH Perdata hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.
3. Peralihan Resiko209
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 KUH Perdata. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang
menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Peralihan resiko dapat digambarkan demikian :
Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, maka resiko dalam jual beli barang
si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
4. Membayar Biaya Perkara210
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut Pasal 1267 KUH Perdata, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan :
a. pemenuhan perjanjian;
b. pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; c. ganti rugi saja;
d. pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Bank dan Debitur Sehubungan Dengan Wanprestasi Developer Ditinjau Dari Akta Perjanjian Kerja Sama dan Perjanjian Yang DibuatDeveloperDengan Debitur
Perlindungan hukum berasal dari dua suku kata yaitu perlindungan dan hukum. Perlindungan adalah hal atau perbuatan melindungi. Norma Hukum adalah aturan untuk menjaga kepentingan semua pihak. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Perlindungan hukum adalah “suatu upaya perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum, tentang apa-apa yang dapat dilakukannya untuk mempertahankan atau melindungi kepentingan dan hak subjek hukum tersebut”.211
210Nindyo Pramono,
Op.cit.,hal.225
211 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Bale Bandung, 1986),
Jadi perlindungan hukum adalah segala kegiatan atau perbuatan yang dapat memberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak dan memberikan kepastian hukum terhadap semua subjek hukum sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak para pihak apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam perjanjian, maka tergantung kepada kedudukan dari perjanjian dan wanprestasi. Wanprestasi atau ingkar janji atau tidak
memenuhi perikatan ada tiga macam yaitu :212
1. debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan; 2. debitur terlambat memenuhi perikatan;
3. debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan
Berdasarkan keterangan di atas terlihat bahwa ingkar janji bisa terjadi dalam beberapa bentuk sebagaimana di kemukakan di atas. Hal yang sama juga terjadi dalam perjanjian antara debitur dengan developer dimana bukan debitur yang ingkar
janji akan tetapi developer. Karena tidak selamanya setiap orang yang membuat kesepakatan mampu untuk melaksanakan semua kesepakatan tersebut. Bahwa banyak
developer melakukan wanprestasi setelah menerima pembayaran dari pembelinya. Wanprestasi yang dilakukan bisa seperti pembangunan bangunan telah melewati waktu yang diperjanjikan, developer melarikan diri, developer sengaja tidak mau melakukan pembangunan. Dalam kasus ini, wanprestasi yang dilakukan developer
dimana developer tidak mau melakukan pembangunan setelah menerima uang dari 212Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, (Jakarta :
debitur. Padahal pembeli atau debitur telah mengikat developer dengan suatu perjanjian. Perjanjian yang dilakukan antaradeveloper dan debitur hanya merupakan perjanjian bawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris.
Dari keterangan di atas tergambar bahwa perlindungan hukum yang diberikan dalam perjanjian cukup lemah karena berupa perjanjian dibawah tangan. Sifat pembuktian dari perjanjian yang dibuat di bawah tangan berbeda dengan pembuktian dari akta otentik.
Kekuatan pembuktian dari akta otentik sebagaimana yang diungkapkan oleh G.H.S Lumban Tobing yang menyatakan, menurut pendapat umum yang dianut pada setiap akta akta otentik dibedakan tiga kekuatan pembuktian jika dibandingkan
dengan akta dibawah tangan, yaitu :213 1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah
Maksudnya adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan itu menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat dibawah tangan, karena akta yang dibuat dibawah tangan baru berlaku sah terhadap siapa akta itu dipergunakan apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu. Sedangkan akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya, atau dalam bahasa latin : “acta publica probant sese ipsa. “ apabila suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu tidak otentik.214
2. Kekuatan Pembuktian Formal
Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu sebagaimana yang
tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu.215
Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte),akta itu
membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengan dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum didalam menjalankan jabatannya.216
3. Kekuatan Pembuktian Material
Dalam kekuatan pembuktian material tidak hanya kenyataan bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga diisi dari akta itu
dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya, akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material.217
Walaupun akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian
sebagaimana diuraikan diatas seperti akta otentik, akan tetapi akta dibawah tangan yang dibuat berdasarkan dari kesepakatan bersama dari para pihak yang terkait
215 Sidah,
Kekuatan Pembuktisn Akta Di Bawah Tangan Yang Dilegalisasi Oleh Notaris, Tesis Universitas Diponegoro Semarang, 2010
216
G.H.S Lumban Tobing,Op.cit., hal. 57
dengan perjanjian akan menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, hal mana sesuai dengan peraturan tentang perjanjian, diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berarti walaupun hanya perjanjian bawah tangan tetap mempunyai perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Ada beberapa perlindungan yang dapat diberikan jika developer melakukan
wanprestasi dalam perjanjian yang telah dibuatnya :
1. Perlindungan terhadap Bank
Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada Bank adalah berupa
persyaratan yang terdapat dalam akta perjanjian kerja sama yang dibuat antara bank dengan developer yang berbentuk otentik yang dibuat oleh notaris. Adapun Pasal yang terdapat dalam akta perjanjian kerja sama tersebut yang memberi perlindungan
kepada bank yaitu:
a. Pasal 1 akta Perjanjian Kerja Sama berbunyi :
“Pihak Kedua menyetujui, dengan memperhatikan tersedianya dana pada Pihak Kedua untuk memberikan Fasilitas KPR kepada Pembeli yang direkomendasikan oleh Pihak Pertama dan telah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan pemberian Fasilitas KPR yang berlaku pada Pihak Kedua, dengan ketentuan bahwa keputusan mengenai persetujuan atau penolakan terhadap setiap permohonan Fasilitas KPR yang diajukan oleh Pembeli dalam rangka kerja sama berdasarkan Perjanjian Kerja Sama sepenuhnya berada pada Pihak Kedua.”
Pasal tersebut menunjukan perlindungan terhadap bank dalam hal
pembeli yang akan menjadi calon debitur di PT. Bank X tersebut, tapi bank tetap harus sesuai dengan prosedurnya dalam menilai kelayakan calon debitur dengan prinsip 5 C yakni : Character, Capacity, Capital, Collateral,dan
Condition. Hal ini dikarenakan pihak bank tidak menginginkan calon debitur yang tidak mampu melakukan pembayaran kreditnya.
b. Pasal 5 ayat 4 akta Perjanjian Kerja Sama berbunyi :
“4. Pihak Pertama menyatakan dan menjamin kepada Bank akan menyelesaikan pembangunan bangunan yang dibeli oleh Pembeli sampai dapat diserahterimakan sesuai dengan perjanjian.”
Pasal tersebut menunjukan perlindungan terhadap bank dalam hal peyelesaian bangunan yang dijadikan objek jaminan debitur kepada PT. Bank X tersebut. Jadi bank tetap terlindungi dengan Pasal tersebut tanpa adanya kekhawatiran tidak adanya bangunan di atas tanah tersebut, karena diatas tanah tanpa bangunan maka akan membuat nilai taksasi terhadap objek tersebut menjadi turun.
c. Pasal 6 akta Perjanjian Kerja Sama berbunyi :
“1. Pihak pertama dengan ini menyatakan bahwa pihak pertama menjamin pihak kedua atas setiap kerugian yang diderita oleh pihak kedua atas pemberian fasilitas KPR kepada pembeli, kerugian mana mencakup seluruh utang pokok, bunga, denda dan biaya lain berdasarkan perjanjian kredit (“Utang”) yang tidak dibayar kembali oleh pembeli kepada pihak kedua sesuai ketentuan dalam perjanjian kredit.
2. Atas penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 di atas berlaku ketentuan sebagai berikut :
dan pihak kedua telah mengirimkan surat peringatan yang ketiga kalinya kepada debitur, dengan ketentuan bahwa pihak kedua telah-menginformasikan kepada pihak pertama mengenai kelalaian Debitur setelah Debitur lalai membayar angsurannya selama 2 (dua) kali berturut-turut, maka pihak kedua akan menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pihak pertama dan pihak pertama wajib membayar lunas seluruh utang Debitur yang lalai tersebut kepada pihak kedua secara seketika dan sekaligus lunas selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pihak pertama menerima surat pemberitahuan/ tagihan dari pihak kedua atau pada tanggal yang ditentukan dalam surat pemberitahuan / tagihan yang disampaikan oleh pihak kedua kepada pihak pertama, tanggal mana yang terjadi lebih dahulu.
b. Jika pihak pertama lalai untuk membayar kewajibannya sebagaimana tersebut pada butir (a) di atas, kelalaian mana cukup dibuktikan dengan lewatnya jangka waktu tersebut maka pihak pertama untuk setiap hari keterlambatannya dikenakan denda keterlambatan sebesar 1 ‰ (satu permil) per hari, yang dihitung dari jumlah yang wajib dibayar oleh pihak pertama kepada pihak kedua.
3. Penjaminan dari pihak pertama sebagaimana dimaksud pada pasal ini berlaku untuk setiap Debitur dan secara terus-menerus mengikat terhadap pihak pertama selama jangka waktu kredit terhitung sejak ditandatanganinya perjanjian kredit antara masing-masing pembeli dengan pihak kedua.
4. Penjaminan sebagaimana dimaksud pada Pasal ini tidak dapat ditarik kembali dan atau dibatalkan dengan alasan apapun kecuali terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat 3 Perjanjian Kerja Sama.
5. Penjaminan sebagaimana dimaksud pada Perjanjian Kerja Sama ini merupakan suatu janji yang berdiri sendiri sebagaimana dimaksud pada Pasal 1316 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
6. Pihak Kedua berhak dan sepanjang perlu dengan ini diberi kuasa oleh Pihak Pertama untuk menetapkan jumlah ganti rugi yang wajib dibayar oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, jumlah mana akan ditentukan berdasarkan Utang. Pihak Pertama akan menerima baik perhitungan yang dibuat dan diberikan oleh Pihak Kedua kecuali dapat dibuktikan terdapat kesalahan perhitungan.
Kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan berakhir karena sebab apapun juga termasuk karena peristiwa apa pun, termasuk sebab-sebab yang- diatur dalam Pasal 1813, 1814, dan 1816 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan mengesampingkan Pasal 1802 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
8. Bilamana sebelum atau setelah penjaminan ini, terdapat orang/pihak lain yang juga memberikan jaminan kepada Pihak Kedua untuk menjamin pembayaran dan atas apa yang terutang oleh Pembeli/Debitur kepada Pihak Kedua sebagaimana diuraikan di atas, maka hal itu sekali-sekali tidak mengurangi kewajiban Pihak Pertama untuk tetap melaksanakan pembayaran ganti rugi secara penuh sebagaimana mestinya kepada Pihak Kedua dan sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 1836 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka Pihak Kedua berhak untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap Pihak Pertama secara tersendiri maupun bersama-sama dengan penjamin lain sesuai dengan jaminan yang diberikan oleh masing-masing.
9. Penjaminan dari Pihak Pertama dengan melepaskan semua dan setiap hak serta hak-hak utama yang menurut peraturan hukum yang berlaku diberikan kepada seorang penjamin (borg), antara lain akan tetapi tidak terbatas pada :
a. hak untuk meminta pada Pihak Kedua supaya harta benda dari Pembeli disita dan digunakan terlebih dahulu untuk melunasi Utang ;
b. hak untuk meminta kepada Pihak Kedua supaya Utang tersebut dibagi antara para penjamin ; dan
c. hak-hak yang membebaskan kewajiban penjamin sebagaimana disebut dalam Pasal-Pasal 1430, 1831,- 1833, 1837, 1843, 1847 sampai dengan 1849 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Ketentuan Pasal 6 tersebut menunjukan perlindungan terhadap bank dalam hal penerimaan pembayaran atas wanprestasi debitur maupun developer dimana bank terlindungi dengan adanya penjaminan darideveloperatas kredit yang telah dicairkan kepada debitur sehingga apabila debitur wanpestasi terhadap bank, kredit tersebut akan dibayar secara lunas olehdeveloper tersebut, selain itu bank juga terlindungi dengan adanya jaminan kuasa pendebetan deposito milik
developerjika sewaktu-waktudeveloperjuga wanprestasi.
“2. Pengakhiran Perjanjian Kerja Sama tidak menghapuskan kewajiban-kewajiban Para Pihak yang tidak/belum dilaksanakan pada saat berakhirnya Perjanjian Kerja Sama yang berkenaan dengan Fasilitas KPR yang telah-diberikan kepada Pembeli, dan oleh karenanya pihak yang masih mempunyai kewajiban yang tidak/belum dilaksanakan terhadap pihak lainnya, tetap terikat atas pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diperjanjikan dalam Perjanjian Kerja Sama.”
Ketentuan Pasal 7 tersebut menunjukan bahwa developer tetap harus bertanggung jawab kepada bank walaupun perjanjian kerja sama diantara mereka telah berakhir. Bank tetap dapat meminta pertanggung jawaban developer untuk memenuhi kewajibannya yang belum terlaksana. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1265 KUH Perdata yang menyatakan : “Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.”
Selain perlindungan yang diuraikan diatas, sebetulnya bank selalu dalam posisi yang aman dan tidak terganggu karena wanprestasi developer karena bank dalam mencairkan dana kepada debitur telah melakukan penaksiran tentang harga
objek jaminan tersebut dan bank hanya melakukan pencairan sebesar 70 % (tujuh puluh persen) dari harga jual, berarti apabila debitur tidak sanggup membayar dan
developer juga menghilang, bank tetap tidak rugi karena telah untung 30 % (tiga puluh persen), selain itu bank juga telah memiliki pegangan deposito milikdeveloper
yang bisa di cairkan seketika melunasi hutang debitur atau untuk membangun bangunan yang dijadikan objek jaminan di bank tersebut, kemudian jaminan bisa dieksekusi lelang dan dipindahkan haknya kepada orang lain.218
218Wawancara dengan Tjong, Deddy Iskandar, Notaris di kota medan, pada tanggal 06
Objek jaminan yang diagunkan debitur kepada bank sudah dilakukan pemasangan hak tanggungan sehingga bank dapat melakukan eksekusi atas jaminan tersebut apabila debitur wanprestasi. Jadi, bank tidak pernah dirugikan karena dengan
adanya lembaga hak tanggungan, bank telah terlindungi dengan baik. Ada 2 cara eksekusi yang bisa dilakukan terhadap objek jaminan jika debitur wanprestasi berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu :
a. Mengajukan Permohonan Eksekusi ke Pengadilan Negeri
b. Menjual Obyek Hak Tanggungan Berdasarkan Kekuasaan Sendiri melalui pelelangan umum.
Menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum hanya berlaku bagi pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama ( Pasal 20 ayat 1.a jo Pasal 6 UUHT ).
Pasal 6 UUHT :
“Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan asset tersebut”
Untuk eksekusi Hak Tanggungan dengan kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dapat dilakukan dengan cara :
a. Langsung ke Kantor Pelayanan Piutang dan lelang Negara (KP2LN)
2. Perlindungan terhadap debitur
Berbeda dengan perlindungan terhadap bank, perlindungan terhadap debitur dilakukan dengan persyaratan yang tertuang dalam perjanjian debitur dengan
developer yang bukan berupa akta otentik melainkan perjanjian bawah tangan. Sebenarnya jika ditinjau dari perjanjian antara debitur dengan developer, debitur kurang mendapat perlindungan hukum bukan karena perjanjian yang dibuat bersifat bawah tangan, akan tetapi masalahnya di dalam isi perjanjiannya. Sebagaimana
tercantum dalam Pasal 6 surat perjanjian tersebut berbunyi :
“Apabila Pihak Kedua tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut tepat pada waktunya sebagaimana yang diuraikan pada Pasal 2 perjanjian ini, maka Pihak Kedua dikenakan denda sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) oleh Pihak Pertama yang harus dibayar dengan seketika dan sekaligus kepada Pihak Pertama atau pihak yang ditunjuk Pihak Pertama dan apabila denda itu telah berjalan 30 (tiga puluh) hari, maka dengan sendirinya Pihak Pertama berhak menunjuk kontraktor yang lain untuk melanjutkan bangunan tersebut dan segala biaya yang timbul untuk melanjutkan pembangunan- bangunan tersebut ditanggung dan dibayar oleh Pihak Kedua.
Ketentuan ayat 1 diatas tidak berlaku apabila terjadi force majeure.”
Dalam Pasal tersebut terlihat bahwa disepakati pembayaran denda keterlambatan pembangunan kepada debitur hanya sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), tetapi tidak disepakati bagaimana jika developer melarikan diri dari
kewajibannya tersebut yakni tidak membangun bangunan atau fasilitas yang dijanjikan tidak sesuai atau tidak membayar denda tersebut dan pada akhirnya pembeli selaku debitur harus terus-menerus mengejar developer dan melakukan
tetap harus melakukan kewajibannya kepada bank yakni membayar cicilan tiap bulan sampai lunas. Selain itu upaya lain yang bisa ditempuh debitur apabila jalur musyawarah mengalami kebuntuan yakni jalur pengadilan dengan mengajukan
gugatan ganti rugi atas wanprestasideveloper.
Apabila ditinjau dari isi Pasal dalam surat perjanjian tersebut yakni :219
a. Pihak Pertama menunjuk Pihak Kedua sebagaimana Pihak Kedua menerima penunjukkan dari Pihak Pertama untuk membangun dan menambah luas bangunan dari bangunan standart rumah tempat tinggal bertingkat 2 (dua) di Medan Jalan Letjen Jamin Ginting Kilometer 8,5, sesuai dengan denah lantai basement, lantai I (satu), lantai II (dua), lantai atap dan Gambar dan Spesifikasi Teknis Bangunan.220
b. Pihak Kedua wajib menyelesaikan pembangunan perumahan tersebut selambat-lambatnya pada tanggal 14-11-2015 (empat belas Nopember dua ribu lima belas).221
c. Pembangunan beserta penambahan luas bangunan rumah tempat tinggal tersebut diatas harus sesuai dengan syarat ketentuan yang telah diketahui dan disetujui oleh kedua belah pihak, sesuai dengan Gambar dan Spesifikasi Teknis Bangunan yang dikeluarkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama.222
d. Pihak Kedua berjanji akan mentaati peraturan dan tata tertib yang diatur dalam proyek tersebut termasuk membayar iuran maintenance dan keamanan yang ditetapkan oleh management.223
e. Total keseluruhan tanah dan upah untuk pembangunan rumah- tempat tinggal tersebut adalah sebesar Rp.3.800.000.000,- -(tiga milyar delapan ratus juta rupiah) yang dibayar oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua dengan perincian sebagai berikut :224
1) sebesar Rp.320.000.000,- (tiga ratus dua puluh juta rupiah) pada waktu penanda-tanganan surat ini untuk penerimaan jumlah uang mana surat ini seberapa perlu berlaku juga sebagai tanda bukti atau kwitansinya ;
219
Surat Perjanjian antara debitur dandeveloper
220Pasal 1 Surat Perjanjian antara debitur dan
developer 221
Pasal 2 Surat Perjanjian antara debitur dandeveloper 222
Pasal 3 Surat Perjanjian antara debitur dandeveloper 223
Pasal 4 Surat Perjanjian antara debitur dandeveloper 224
2) sebesarRp.2.200.000.000,- (dua milyar dua ratus juta rupiah) pada waktu pencairan fasilitas kredit yang dimohon oleh Pihak Pertama dari Bank tersebut;
3) sebesar Rp.1.280.000.000,- (satu milyar dua ratus delapan puluh juta rupiah) akan dicicil oleh Pihak Pertama sebanyak 15 (lima belas) kali cicilan dengan memakai Bilyet Giro Bank Permata, Cabang Iskandar Muda Medan, yakni : a) Bilyet Giro Nomor: 897387, tanggal 14-05-2014 (empat belas Mei dua ribu
empat belas) dengan nilai nominal Rp.85.333.000,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) ;
b) Bilyet Giro Nomor: 340095, tanggal 14-06-2014 (empat belas Juni dua ribu empat belas) dengan nilai nominal Rp.85.333.000,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) ;
c) Bilyet Giro Nomor: 782802, tanggal 14-07-2014 (empat belas Juli dua ribu empat belas) dengan nilai nominal Rp.85.333.000,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) ;
d) Bilyet Giro Nomor: 225510, tanggal 14-08-2014 (empat belas Agustus dua ribu empat belas) dengan nilai nominal Rp.85.333.000,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) ;
e) Bilyet Giro Nomor: 668216, tanggal 14-09-2014 (empat belas September dua ribu empat belas) dengan nilai nominal Rp.85.333.000,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) ;
f) Bilyet Giro Nomor: 419154, tanggal 14-10-2014 (empat belas Oktober dua ribu empat belas) dengan nilai nominal Rp.85.333.000,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) ;
g) Bilyet Giro Nomor: 553631, tanggal 14-11-2014 (empat belas Nopember dua ribu empat belas) dengan nilai nominal Rp.85.333.000,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) ;
h) Bilyet Giro Nomor: 996337, tanggal 14-12-2014 (empat belas Desember dua ribu empat belas) dengan nilai nominal Rp.85.333.000,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) ;
i) Bilyet Giro Nomor: 439045, tanggal 14-01-2015 (empat belas Januari dua ribu lima belas) dengan nilai nominal Rp.85.333.000,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) ;