• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB II"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Film, Kreativitas, dan Industri

―Cinema is something between art and life‖

Film adalah salah satu industri kreatif berupa tontonan yang punya peran menghibur, itu adalah fungsi yang paling konkret dan mudah. Sebenarnya, film bukan hanya berfungsi sebagai tontonan atau hiburan, ia memiliki banyak fungsi yang lain. Film sebagai teknologi layar kini bisa digunakan untuk komunikasi sosial, iklan, kampanye politik, seminar akademis, dan aktifitas pendidikan. Sekarang film sudah menjadi bahasa komunikasi yang umum. Film secara efektif mampu membentuk, mengarahkan, menggugat atau pun merusakkan gambaran dan pengertian kita tentang realitas. Ini bisa terjadi karena film dapat memainkan persepsi, emosi, imajinasi, pengetahuan dan perasaan penontonnya.

Tak ada karya seni yang sekuat film, efeknya langsung ke dalam, masuk ke ruang-ruang batin pemirsanya. Penonton bisa menangis atau tertawa, ikut merasakan kegembiraan dan kesedihan yang ditunjukkan dalam adegan. Menurut seorang sutradara, Peter Greenaway, kekuatan sebuah film tidak terletak pada

story-telling-nya, namun pada produk imaji putik-simboliknya. Padahal, film yang biasa kita tonton adalah film cerita, bagaimana ceritanya atau sinopsis film tertentu, itu yang biasanya penonton ingin tahu. Namun ternyata, adegan menurut sutradara lebih penting. Sebuah adegan memasuki ruangan misalnya, hanya menjadi satu adegan tertentu yang dinikmati pemirsa tanpa banyak alternatif adegan lain di kepala. Berbeda halnya jika yang dilihat adalah tulisan dalam novel yang sedang dibaca.

(2)

riil, makin sulit membedakan antara yang fiksi dengan kenyataan. Film seperti berada di antara seni dan kehidupan. Apakah film yang meniru kehidupan –film adalah yang fiksi sedangkan kehidupan itu nyata-- atau sebaliknya, kehidupan menjadi hal yang fiksi sedangkan gambaran

di film menjadi lebih ―nyata‖ (Sugiharto, I.B., et.al., 2013).

Sejarah Film

Teknologi film berkembang melalui banyak penemuan. Dalam

buku ―Untuk Apa Seni‖ (Sugiharto, I.B., et.al., 2013) sejarah tentang film diceritakan. Film awalnya dibuat dengan kamera obscura (sekitar tahun 1021) yang memungkinkan gambar bergerak namun tidak bisa direkam. Tahun 1830-an ditemukan stroboscope, phenakistoscope dan

zaetrope oleh Simon von Stampfer, Joseph Plateau, dan William Horner, sehingga gambar bergerak bisa dibuat. Alat tersebut disempurnakan dengan kamera stereoskopik seri 24 pada tahun 1878 oleh Edweard Muybridge di California, yang berhasil memotret seekor kuda yang bergerak cepat. Alat chronophotographic gun (oleh Etienne-Jules Murey) dan kinetoscope (oleh Thomas Alva Edison) menjadi penyempurnaan berikutnya. Dengan alat-alat tersebut bisa dilakukan 12 frame per detik, bahkan kinestocope memungkinkan gambar bergerak. Sejak itu film 35 mm dari Thomas Edison dan proyeksi 16 frame per detik dari Lumiere bersaudara dijadikan standar umum.

Adalah Dickson dan Edison yang menemukan pita seluloid tahun 1893 untuk menyimpan sekuensi imaji, juga kamera yang lebih praktis –kinetograph—beserta kabinet untuk menontonnya. Presentasi publik gambar hidup baru ditemukan sekitar tahun 1895 oleh Max dan Emil Skladanowsky di Berlin. Mereka menggunakan konstruksi dupleks yang disebut ―bioscop‖ yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Di New York tahun 1894, Jean Aime juga

menemukan alat serupa yang disebut ―Marvelous Cinematograph‖. Era

(3)

Industri film yang paling awal berkembang adalah ―American Mutoscope‖ di Amerika, alat mutoscope yang ditemukan Dickson digunakan dalam industri ini. Di Perancis, perusahaan keluarga Lumiere semakin gencar menayangkan produk mereka. Pada masa itu yang khas adalah film dokumenter, yaitu peristiwa aktual di berbagai tempat. Produser film terbesar di Perancis adalah Georges Melies, salah

satu adegan yang terkenal ada di film ―A Trip To The Moon‖

(Hayward, S., 2000). Tahun 1900-an, produser terkenal di Inggris adalah Cecil Hepworth yang memproduksi 100 film per tahun. Gedung

bioskop ―Nickelodeon‖ di Pitsburgh adalah bioskop permanen pertama

yang sukses kala itu. Amerika mulai mengikuti, dan tumbuhlah ribuan

nickelodeon di Amerika. Sejak saat itu, Amerika menjadi tempat untuk industri film terbesar di dunia. Negara-negara lain kemudian mengikuti. Italia dengan film-film epiknya yang kolosal maupun jenis komedi slapstick di Turin dan Roma, serta Jerman, Swedia, Denmark, dan Rusia.

Bahasa dan genre film kian beragam. Istilah-istilah seperti teknik animasi, dissolve, konstruksi naratif, intertitles (tulisan dialog),

soft focus dan berbagai strategi shooting mulai digunakan. Genre film dokumenter, fiksi, komedi, kartun, musikal, hingga film seni (d‘art, atau, art-film) dan sinema puitik (poetic cinema) mulai berkembang di Perancis, Italia, Inggris, dan Amerika. ―Style‖ film berbeda dari genre

film. Style merupakan cara membuat film yang dilandasi paham atau mazhab tertentu. Beberapa style film yang menonjol adalah:

1. Avant-garde

(4)

ini, penonton memproduksi sendiri ―teks‖ film yang dibacanya. Mereka bereksperimen mengeksplorasi gramatika film baru dan mendefinisikan ulang subyektifitas pada film. Mereka bermaksud, dengan cara itu, memperluas wacana film yang dominan. Di Amerika gerakan ini tampak pada karya Maya Deren (1943), distansiasi Bertolt Brecht, dan montase Eisenstein. Ada tiga fase dalam sinema avant-garde, yaitu : (i) sinema subyektif, yang menampilkan kehidupan batin karakter dalam film, (ii) sinema murni, yang merenungkan kemungkinan-kemungkinannya sendiri seperti ketika mengeksplorasi plastisitas dan ritmanya, dan (iii) sinema surrealis, yakni upaya memberi representasi filmis pada rasionalitas maupun irrasionalitas dari dunia bawah sadar kita (Andrew, D., 1984).

2. Cinema-verite

Adalah ―Kino Pravda‖ yaitu edisi filmis pada koran ―Pravda‖ di Soviet, yang telah menginspirasi aliran ini. Ini adalah jenis film dokumenter tanpa aktor, tanpa dekor, tanpa skrip, juga akting. Jean Rouch, seorang etnograph Perancis, menyebutnya

―cinema direct‖ dan menganggap penting aliran ini yang

disebut sebagai sisi obyektif film. Fokusnya adalah realitas nyata. Para pembuat film biasanya mewawancarai orang-orang biasa atau membiarkan mereka membagikan kesaksian atau pengalaman. Cara ini dimaksudkan sebagai tandingan yang plural dan non-elitis atas film-film bernuansa ―hegemonik‖ atau sejarah yang telah diinstitusionalkan. Aliran ini memberi pengaruh terhadap revolusi kultural kaum muda di Perancis tahun 1968.

3. Neo-realisme Italia

(5)

digunakan untuk merepresentasikan imaji bagus tentang Italia untuk kepentingan politik. Bentuknya adalah melodrama-melodrama kelas menengah, yang juga disebut dengan film borjuis palsu ala fasis. Inilah yang dibuat kaum neo-realisme – sering juga disebut realisme sosial—kala itu, kenyataan sosial setelah rezim Mussolini runtuh, harus dibuka. Kondisi melarat dan getir kaum urban, terutama kaum buruhnya, harus diperlihatkan. Caranya adalah: (i) film harus menampilkan sepotong kehidupan nyata, (ii) ia harus memotret keadaan yang sebenarnya, sekalipun itu buruk dan pahit, (iii) untuk itu dialog dan bahasa harus senatural mungkin, kalau perlu gunakan aktor non-profesional (iv) gaya shooting sebaiknya ala film dokumenter, namun disertai observasi dan analisis yang baik. Film yang berhasil menampilkan aliran neo-realisme saat itu

adalah film ―Ladri di Cicicletti(Pencuri Sepeda)‖ tahun 1948.

4. Cinema Novo

Aliran ini muncul di Brazil sekitar tahun 1950-an yang dipengaruhi mazhab neo-realisme Italia. Situasi Brazil waktu itu memang mirip seperti di Italia, diwarnai kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan. Movie-maker seperti Glauber Roucha, Nelson Pereira dos Santos, dan Rui Guerra, melahir-kan film-film bercorak populis dan revolusioner. Cinema novo

mendahului terjadinya gelombang baru (new wave) yang bermunculan kemudian di Eropa. Cinema novo tidak hanya menentang sinema mainstream kala itu, namun juga

menca-nangkan slogan ―Estetika Kelaparan‖ (aesthetics of hunger).

Gaya ini dikenal juga dengan istilah /gaya ―Tropikalis‖ yaitu

bagaimana film-film di masa itu menunjukkan bahwa dunia ketiga sesungguhnya makan dan hidup dari remah-remah dan sampah kapitalisme Dunia Pertama (Chanan, M., 1983).

5. Nouvelle Vaque (New Wave Perancis)

(6)

muda kala itu seperti Gerard Philipe, Roger Vadim, dan Brigitte Bardot namun kemudian istilah ini digunakan lebih luas kepada para pembuat film juga. Ada dua periode dalam gelombang baru di Perancis ini, (i) periode 1958-1962 yang menekankan pada pentingnya mis-en-scene, yaitu sutradara sebagai pengarang. Aliran ini bersinggungan dengan paham

cinema-verite, terasa agak ekstrim karena generasi baru ingin melepaskan diri dari kerangka cinema-de-papa, gaya film para senior sebelumnya (Hayward, S., 2000), (ii) periode 1966-1968 yang menekankan tema-tema konsumerisme, isu nuklir, mahasiswa dan politik. Terasa ada sinisme terhadap dunia borjuis-kapitalis. Gerakan atau aliran ini menentang sinema Hollywood dan memposisikan diri sebagai counter-cinema.

6. British New Wave

Aliran new wave di Inggris terjadi tahun 1958-1964. Munculnya generasi 1950-an yaitu ―swinging sixties‖ dan era

realisme baru seperti ―Kitchen-sink drama‖ di teater John

(7)

7. Ekspressionisme Jerman

Muncul tahun 1919-1924 di era Jerman Weimar, istilah

ekspressionisme diambil dari seni rupa di abad keduapuluh, yaitu gaya melukis yang menekankan gelegak emosi dan seksualitas manusia. Apa yang tersembunyi di dalam batin manusia berusaha ditampilkan melalui film, ada upaya untuk mengeluarkan impuls-impuls yang tersembunyi (Coates, P., 1991). Topik populer yang kerap dibahas adalah analisis diri, kegilaan, pemberontakan, keliaran seksual, keprimitifan, dan sebagainya. Ekspressionisme Jerman cenderung melihat efek-efek dehumanisasi akibat modernitas. Situasi Jerman kala itu memang depresif akibat kalah perang, ekonomi buruk, kelaparan dan kurang gizi. Film-film semacam ―Dr. Mabuse‖, ―The Gambler‖, dan ―Metropolis‖ (1922) karya Lang adalah

contoh film yang mengekspos situasi chaotic itu.

8. New German Cinema

Gerakan baru ini muncul di Jerman sekitar tahun 1970, yang terinspirasi dari New Wave Perancis dan Free British Cinema.

Dalam ―Manifesto Oberhausen‖ 1962, sineas muda menyerukan matinya industri film sebelumnya, matinya cinema de papa

(Papas Kino). Gerakan baru yang dipelopori oleh Rainer di tahun 1962 ini bermaksud mengembalikan sinema Jerman yang telah cacat akibat telah dimanipulasi di era Nazi utnuk propaganda ideologi. Gaya sinema baru ini juga dokumenter-realis. Film-film seperti ―Fear Eats The Soul‖ karya Fassbinder,

―Strongman Ferdinand‖ oleh Kluge, dan ―Germany in Autumn‖

(8)

sebagainya. Tahun 1982, Fassbinder, tokoh sinema baru Jerman, bunuh diri. Gerakan ini pun kemudian memudar.

9. Sinema Soviet

Diinisiasi oleh para pembuat film pasca revolusi Bolshevik (1917), lahirlah stye tersendiri di Soviet melalui eksperimen berbagai teknik dalam kerangka Marxistik. Terinspirasi oleh Futurisme Russia, kaum konstruktivist melihat bahwa teknologi film akan menyatukan seni dan produksi, sekaligus sarana pendidikan ideologis massa. Intinya adalah, film yang diproduksi adalah film ideologis bagi kaum proletar, yaitu film yang men-deindividualisasi aktornya dan penyutradaraan yang kolektif.Gaya montase digunakan–seperti ―Montase Eisenstein‖ untuk menimbukan konflik bagi penontonnya, baik secara visual, emosinal, dan juga (semoga) intelektual. Dengan demikian, aliran ini dimaksudkan supaya penonton menjadi produser makna atas film yang ia tonton dan menjadi pembuat film itu sendiri. Sayangnya, usaha ini ternyata menjadikan sinema Soviet sangat formalistik, akhirnya tahun 1928 era sinema montase berakhir, dan bergeser ke realisme sosial (Taylor, R., et.al., 1993).

Secara genre, film Indonesia mengalami cukup banyak perkembangan pada era reformasi tahun 1998. Namun perkembangan style dalam perfilman Indonesia, tidak sedahsyat di negara lain. Penjelasan lebih lengkap tentang sejarah film di Indonesia dapat dilihat di Bab empat.

Kreativitas

(9)

membuatnya menjadi seorang ―jenius‖ (Bilton and Leary, 2002, Boden, 1994, dalam De Fillipi, R, et.al., 2007). Definisi kreativitas kemudian diperluas bukan hanya pada individu, namun juga pada proses dalam organisasi atau institusi.

Kreativitas dipandang esensial bagi pertumbuhan sosial dan ekonomi (Florida, R., and Goodnight, J., 2005). Pada level individu, tim, maupun organisasi, kreativitas dipandang sebagai pemampu inti dan kontributor bagi kinerja kewirausahaan, pertumbuhan dan daya saing. Kreativitas menjadi sebuah area riset yang telah berkembang selama bertahun-tahun. Secara historis, kreativitas berakar di dalam bidang psikologi yang menjadi fondasi konseptual dan empiris, yang berfokus pada faktor-faktor yang meningkatkan atau menghambat kreativitas di bidang-bidang yang berbeda.

(10)

memberikan kerangka panduan untuk riset-riset kreativitas berikutnya pada level individu, tim, dan organisasi.

Ada juga sejumlah penelitian kreativitas organisasi dalam ilmu manajemen. Dalam manajemen, kreativitas didefinisikan dalam dua cara, yang pertama sebagai sebuah proses, dan yang kedua sebagai sebuah hasil. Dipercayai bahwa jika ingin menghasilkan outcome yang kreatif, penting sekali terlibat dalam proses-proses kognitif dan perilaku, misalnya mengaitkan ide-ide berbagai sumber dan pencarian yang luas, yang dapat menolong, memampukan seseorang untuk lebih kreatif dalam pekerjaannya.

Proses kreatif adalah sebuah proses berulang dan melibatkan penemuan dan pencarian, penyelesaian persoalan-persoalan baru dalam berbagai cara. Kreativitas sebagai sebuah outcome atau hasil, didefinisikan terutama dalam manajemen sebagai penggalian ide, solusi, maupun proses, yang novel (utama) dan berguna. Ke-novel-an dan kebergunaan keduanya dipandang sebagai kondisi penting agar sesuatu dipandang sebagai kreatif. Jadi sekalipun suatu ide sangat

novel, jika tidak berguna atau layak, tidak bisa dipandang sebagai kreatif. Definisi ini berbeda dari beberapa pekerjaan dalam psikologi terutama yang berfokus pada brainstorming, di mana hasil kreatif sering didefinisikan dalam istilah orisinalitas, kelancaran/kefasihan (jumlah ide), dan kelenturan atau fleksibilitas (jumlah kategori).

Ada perbedaan-perbedaan yang dapat mendorong seseorang untuk lebih kreatif dan ada faktor-faktor yang berbeda dalam konteks pekerjaan tersebut, yang memfasilitasi atau menghambat kreativitas: faktor-faktor personal dan kontekstual. Hal ini dapat mempengaruhi atau memfasilitasi atau menghambat kreativitas. Kreativitas dapat hadir di berbagai jenis pekerjaan dan level organisasi, ide-ide maupun proses kreatif juga dapat bervariasi di sepanjang garis kontinum dari kebaruan tapi bersifat inkremental sampai ke yang benar-benar baru (radikal) dan berbeda.

(11)

Perbedaan penting dan mendasar antara kreatifitas dan inovasi adalah, fokus kreativitas ditekankan pada sesuatu yang baru dan bermanfaat, sementara inovasi menekankan implementasi dari ide-ide dan prosedur yang baru. Proses kreatif adalah sebuah proses yang menanggalkan cara-cara lama dan menggunakan cara-cara baru yang berbeda dari sebelumnya, termasuk cara memecahkan masalah dan menemukan solusi. Ada perbedaan dalam setiap individu untuk menjadi lebih kreatif selama proses tersebut berjalan, dan konteks organisasi dengan faktor-faktor yang berbeda yang dapat mendorong atau menghambat kreatifitas, akan mempengaruhi kreativitas. Kreativitas dapat terjadi di segala jenis pekerjaan dalam setiap tingkatan organisasi.

Florida (2002) bahkan menyebut kelas atau kelompok kreatif – yang terdiri dari individu-individu kreatif, sebagai motor penggerak ekonomi. Dalam bukunya ―The Rise of the Creative Class.. and How Its Transforming Work, Leisure, Community, and Everyday Life‖, Florida menguraikan gagasan tentang tiga komponen utama yang harus ada di sebuah kelas kreatif, yaitu adanya 3T: (i) Talent, (ii) Tolerance, dan(iii)

Technology. Florida menjelaskan bahwa keberadaan talenta-talenta yang berpendidikan di suatu wilayah akan menjadi faktor kekuatan pertama karena interelasi antara mereka dalam proses penciptaan nilai, faktor kedua adalah kultur keterbukaan, diversity, dan inklusifitas yang memungkinkan setiap talenta tadi bersosialisasi satu dengan yang lainnya, dan faktor ketiga adalah tingkat penggunaan dan keberadaan teknologi di suatu wilayah turut menentukan penciptaan creative class.

(12)

Henry dkk. (2004) mendefiniskan kreatifitas dalam menghasilkan sebuah karya yang mengagumkan --dalam bentuk film atau lainnya, sebagai ―art-entrepreneurship‖. Definisinya adalah

sebagai berikut:

―. . . individuals who use creative mindsets in response to triggers for their entrepreneurial acts: extrinsic, that which is contextual and business-driven; and intrinsic, that which involves the internal desire to create something and a personal sense of challenge‖.

Kreativitas yang terwujud dalam ide-ide baru berbentuk produk, proses, dan pengalaman dalam pembuatan sebuah karya seni telah menjadi basis inovasi sosial dan teknologi melalui penggunaan modal/properti intelektual.

Seseorang tidak perlu pengalaman puluhan tahun untuk menjadi kreatif, namun ada kemungkinan pekerjaan yang sangat kompleks akan membuat seseorang kreatif. Orang-orang kreatif biasanya memiliki pola pikir divergen, meskipun pada praktiknya kondisi dapat mengharuskan pola pikir konvergen dan beberapa situasi mengharuskan hadirnya kedua pola berpikir, divergen sekaligus konvergen (Eysenck, 2003; Runco, 2007). Individu-individu kreatif terbiasa untuk mencari informasi, melakukan komunikasi intensif, serta membutuhkan kebebasan berkreasi, untuk mendapatkan solusi dalam proses pekerjaan yang kompleks. Sebagai tambahan, kreatifitas dalam proses bisnis juga mengarahkan pada resiko-resiko tertentu yang membutuhkan sistem insentif tertentu dan menuntut pengetahuan yang cukup untuk mengerjakan tugas-tugas kreatif, serta pemahaman akan konsekuensi mengikuti keinginan pemilik (owner) dan mengalokasikan sumber-sumber daya tanpa mengabaikan sisi kreatifitasnya. Orang-orang kreatif memainkan peran penting dalam proses bisnis untuk mencapai hasil terbaik, bukan sekedar melakukan transaksi dalam bisnis (Seidel, S. and Rosemann, M., 2008).

(13)

Sumber diadaptasi dari: Seidel, S., and Rosemann, M, 2008

Gambar 2.1. Tahapan Orientasi Kreativitas BPM

Gambar di atas menjelaskan bahwa individu-individu yang mengemban tugas kreatif dalam sebuah proses bisnis, harus didukung oleh alokasi sumber daya yang fleksibel. Meskipun di sepanjang proses bisnis tetap dilakukan pengendalian dan monitoring, kebebasan kreatif harus tetap dipertahankan untuk mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan, tanpa mengorbankan kreatifitas. Namun, model di atas belum sepenuhnya menjelaskan tentang resiko kreatif dan bagaimana mengelola resiko menjadi kreatif tersebut.

Film Sebagai Industri Kreatif

Gelombang ekonomi kreatif dimulai di millenium ketiga dengan industri kreatif sebagai basis ekonominya. Istilah industri kreatif sendiri telah mengalami banyak perubahan dan perdebatan selama enampuluh tahun terakhir. Mulai dari konsep ―industri budaya‖ (culture industry) kemudian menjadi ―cultural industry‖ lalu berubah

menjadi ―industri kreatif‖ (

Orientasi

Kreativitas Pada

Bisnis

Meningkatkan Kinerja Tanpa Mengorbankan

Kreativitas

Mengelola Resiko Menjadi

Kreatif

Mendukung Alokasi Sumber Daya yang

Fleksibel

Menjaga dan Meningkatkan Kreativitas Menjaga Proses

Kreatif, Melakukan Kontrol

(14)

kata kreatif sendiri masih dipertentangkan padanannya, karena kreatifitas dalam konotasi budaya menurut pakar kebudayaan tidak cocok disandingkan dengan industri yang terkesan komersial.

Pada kenyataannya, terdapat perbedaan mendasar antara

―produk budaya‖ dengan ―kapitalisasi budaya‖ atau ―culture capitalization‖. Istilah kapitalisasi ini muncul belakangan. Connor berpendapat, kapitalisme telah menghapuskan critical culture yaitu budaya otentik. Pada tahun 1970-an perilaku manusia mulai berubah, kini manusia lebih suka belanja sesuatu yang ‗appealed‘ sesuatu yang menarik dan menggugah. Komoditas budaya mulai lebih komersial, manusia tidak segan membayar mahal untuk sebuah pengalaman tak terlupakan ketika menikmati komoditas budaya tersebut (Connor, J. O., 2010).

Industri kreatif yang biasa disebut industri konten, merupakan industri yang mendorong kreativitas individu-individu, keterampilan dan talenta, dan mengeksploitasi kekayaan intelektual yang dimilikinya. Industri kreatif muncul karena ada hubungan antara seni dan komersialisasi. Saat ini, banyak negara mulai mengidentifikasi sektor-sektor industri kreatif yang mereka miliki namun masing-masing masih berbeda dalam mendefinisikan dan mengkategorisasi sektor-sektor tersebut. Negara-negara berkembang seperti Tiongkok, Korea, dan Filipina telah mulai mendiskusikannya. Definisi pertama tentang industri kreatif diinisiasi oleh DCMS, Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga di Inggris Raya (2010), yaitu industri yang meliputi: periklanan, arsitektur, kerajinan dan barang seni, disain, fashion, film, video, dan permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan.

(15)

Di Indonesia, industri kreatif mulai mengemuka sejak tahun 2011 ketika Kementrian Ekonomi Kreatif dan Pariwisata dibentuk berdasarkan Perpres No.92/2011. Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2007) mendefinisikan industri kreatif, sebagai :

―industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu

tersebut‖

Pada bulan Januari tahun 2015, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015, ekonomi kreatif dihilangkan dari Kementrian Pariwisata dan berdiri sendiri dalam satu lembaga di bawah Presiden, yaitu Badan Ekonomi Kreatif (BEK). Berdasarkan data, telah terjadi peningkatan ekspor produk kreatif dan kontribusinya terhadap PDB menjadi 8% di tahun 2013 dari kisaran 6,9% di tahun 2012. Jumlah tersebut ingin ditingkatkan menjadi 10% di tahun 2014, dan 12% di tahun 2019 (Renstra Badan Ekonomi Kreatif, 2015-2019).

Ada enam kelompok industri kreatif di Indonesia menurut Kementrian Perindustrian (2014) yang dikategorikan sebagai berikut :

1. Kelompok Industri Publikasi dan Presentasi: Penerbitan, Percetakan, dan Periklanan

2. Kelompok Industri yang Mengandung Budaya dan Disampaikan Melalui Media Elektronik: TV, Radio, Film, dan Fotografi

3. Kelompok Industri yang Mengandung Budaya dan Ditampilkan ke Publik: Musik dan Seni Pertunjukkan

4. Kelompok Industri yang Padat Kandungan Seni dan Budaya: Kerajinan dan Barang Seni

(16)

6. Kelompok Industri dengan Muatan Teknologi: Riset dan Pengembangan, Teknologi Informasi, dan Jasa Perangkat Lunak.

Pengelompokkan sektor-sektor kreatif ini dijelaskan pada Gambar 2.2.

Sumber: Kameo, D., D., 2015

Gambar 2.2. Pengelompokan Sub-sub Sektor Industri Kreatif di Indonesia

Industri film, video, dan fotografi adalah sektor industri kreatif yang bergerak di bidang media, seni, dan budaya. Dibandingkan dengan sektor industri kreatif yang lain, industri film, video, dan fotografi memiliki modal kreatifitas dan pengetahuan yang paling tinggi, sebagai bentuk aktiva tidak berwujud. Modal kreativitas dan pengetahuan menjadi syarat utama yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Keunikan Industri Film

(17)

kreatif bagi disain produk dan pengembangan pasar di era globalisasi menjadi faktor penentu kesuksesan bisnis. Ciri khas ekonomi kreatif adalah kreatifitas, keterampilan, dan talenta individu (Bakhshi and McVittie, 2009 dalam White, D.S., et.al., 2012; serta Wolfe and Bramwell, 2008 dalam White, D.S., et.al., 2012).

Menurut Prat dan Gornostaeva (2005), industri film memiliki dinamika yang khas dan bersifat unik. Jika dalam industri manufaktur yang lain ada kemungkinan uji prototipe dulu sebelum dilepas di pasaran, maka dalam industri film dinamikanya berbeda, hanya ada dua kemungkinan dalam membuat film: film yang laku atau film yang tidak laku, yang dinyatakan sebagai berikut :

―...in the film industry, every project is a prototype. There is no chance to redesign a bad movie. You either make a good film and sell it, or you make a stinker.‖

Film yang dibuat oleh movie-maker hanya memiliki dua kemungkinan, bisa diterima oleh masyarakat dan laku di pasaran, atau, tidak bisa atau kurang dihargai oleh masyarakat (penonton). Karenanya, tidak ada istilah film festival atau film komersil, di mata penonton hanya ada dua film: film bagus, karenanya laku, dan film tidak bagus.

Film ―The Lord of The Rings‖ menjadi contoh film box-office

dengan tiket penjualan yang fantastis. Sekuelnya: ―The Lord of The Rings: The Return of King‘s‖ juga sukses di pasaran mendapatkan

penghargaan Oscar. Peran pemerintah di Selandia Baru yang sangat mendukung dibuatnya film tersebut menjadi faktor kunci tercapainya keunggulan kreatif dari film itu. Peter Jackson4 sebagai movie-maker

4

Sir Peter Robert Jackson adalah seorang movie-maker dan screenwriter di New Zealand. Karya-karyanya yang terkenal antara lain adalah film ―The Lord of The Rings Trilogy‖ (2001-2003), ―The Hobit Trilogy‖ (2012-2014), film ―King Kong‖ (2005), ―District 9‖ (2009), dan ―The Adventures of Tintin: The Secret of Unicorn‖ (2011). Di

dalam film ―The Lord of The Rings‖ Peter Jackson menjalankan peran sebagai

(18)

(penulis skrip, sutradara)-nya telah melakukan usaha-usaha fund-raising dan dukungan kebijakan melalui komunikasi serta kerja sama dengan dewan pemerintah daerah dan pusat.

Selandia Baru telah berhasil mengembalikan peringkatnya kembali ke jajaran atas dalam kerja sama antarnegara dalam ekonomi dan pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development), melalui pertumbuhan inovasi oleh industri kreatif perfilman. Keberhasilan ini digambarkan dengan aktifitas-aktifitas kreatif, kewirausahaan/kebaruan (entrepreneurial) di beberapa tingkatan. Negara Selandia Baru dengan jumlah penduduk sekitar empat juta jiwa ini, telah berhasil membangun industri layar lebar yaitu project-based, capital-intensive film industry, di tiga level

entrepreneurship sekaligus.

Apa yang dilakukan Peter Jackson, sang produser ―The Lord of The Rings: The Return of The King‖ ini didefinisikan Anne de Bruin

(2005) sebagai multi-level entrepreneurship dalam produksi film layar lebar. Jackson telah berhasil mengubah Selandia Baru yang semula ada di peringkat bawah dalam hal indeks inovasi negara-negara organisasi

OECD, ke peringkat atas melalui industri kreatif perfilman. Industri film di Selandia Baru yang sebelumnya tidak atau belum terkenal, mulai 2004 menjadi dikenal secara internasional (NZFC, 2004). Peter Jackson telah menginisiasi kewirausahaan kreatif dan mengelola proses inovasi di tingkat individual, tingkat nasional (melalui peran pemerintah kota/daerah) dan tingkat regional (municipal-community entrepreneurship). Film yang mayoritas (70%) dikerjakan produksinya di laboratorium ini, menggunakan beberapa aktor yang sebelumnya tidak terkenal, dan terbukti laris menembus box-office di berbagai negara.

―The Lord of The Rings: The Return of The King‖ (TLTR) telah

(19)

diikuti dengan film-film berikutnya yang juga laris seperti film ―King

Kong‖ dan ―Shrek II‖.

Apa yang dilakukan oleh Peter Jackson ketika memproduksi

TLTR, yaitu bekerja sama dengan pemerintah daerah-pusat dan komunitas/masyarakat setempat menjadi contoh yang meredefinisi seniman (artist) menjadi wirausaha kreatif atau art-entrepreneurship

(Caves, 2002; 2003). Seorang art-entrepreneur seperti movie-maker, musician, song-writer, story-writer, painter, yang awalnya didefinisikan sebagai seorang artist yang menekankan nilai-nilai berseni tinggi (art) dalam karya-karyanya. Sebuah karya kreatif kini, bukan saja memiliki cita-rasa seni yang tinggi di dalamnya, namun juga merupakan hasil/produk inovasi dan kewirausahaan. Apa yang dilakukan Peter Jackson dalam TLTR menjadi contoh bagaimana sebuah proses inovasi dan kewirausahaan bekerja dalam produksi film, dan mendatangkan hasil berupa apresiasi yang tinggi dari penikmatnya, bukan hanya secara artistik (mendapat piala Oscar) namun juga secara ekonomi, mendapatkan keuntungan material yang sangat besar.

Film sebagai sebuah industri, memiliki kekhasan tersendiri. Ada suatu kreativitas, totalitas yang unik, yang tidak mungkin untuk didisain ulang. Sebuah film tidak bisa dibuat prototype-nya dulu untuk diuji di pasar terbatas sebelum dilempar ke pasar bebas. Hanya ada dua kemungkinan: film yang dibuat bagus dan laku dipasarkan, atau film itu buruk.

Beberapa perbedaan terlihat jelas antara industri film dengan industri manufaktur yang lain :

(20)

mobil yang akan dijual benar-benar siap dan sesuai dengan keinginan pembuatnya. Dalam industri film (IF) hal proses transformasi ini tidak terjadi.

Kedua, model IM tidak bisa menjelaskan dinamika proses produksi dalam industri film (IF). IF memiliki dinamika yang khas yang tidak dimiliki oleh IM yang lain. Negosiasi dan penyesuaian terjadi di sepanjang proses produksi film, mulai dari awal sampai akhir. Ketika ide cerita ditawarkan kepada seorang produser, maka produser tersebut akan mencari dan memilih penulis skrip yang sesuai dengan keinginannya. Kemudian proses negosiasi berlanjut dengan pemilihan sutradara (director), para pemain yang akan menjadi tokoh-tokoh di film tersebut, pengambilan gambar, penataan cahaya, ilustrasi musik, dan sebagainya, yang terjadi di sepanjang proses produksi sebuah film.

Ketiga, sulit untuk mendeteksi kelemahan dari awal pada IF. Jika proses transformasi pada IM mudah diamati dan bisa diulang-ulang per bagiannya, maka tahap-tahap produksi sebuah film akan sangat sulit dan melelahkan jika harus diulang-ulang bagian demi bagiannya. Ditambah lagi, sumber daya proses produksi film adalah manusia, bukan benda mati yang mudah diatur dan dikoordinasikan.

Keempat, dalam IF, setiap film yang siap jual adalah prototype

yang tidak mungkin untuk didisain ulang. Hanya ada dua kemungkinan, laku atau tidak laku.

Perbedaan-perbedaan tersebut, menunjukkan karakteristik industri film yang khas. Sebuah industri perfilman memiliki beberapa karakteristik unik, antara lain:

Pertama, dinamika yang unik, karena terjadi negosiasi terus-menerus di sepanjang prosesnya, dan karenanya sebuah film

selalu ―siap berubah‖ dari ide cerita awal karena melibatkan

(21)

Kedua, produk film bersifat seperti cair, lentur, belum membeku sampai massa/penonton menyaksikan dan memberi penilaian,

Ketiga, di sepanjang prosesnya sebuah film akan memobilisasi banyak kepentingan sehingga hasil akhir sebuah film akan sangat bergantung pada proses negosiasi di dalamnya –negosiasi ini tidak terlihat ketika sebuah film ditonton, serta

Keempat, sebuah film melibatkan pendanaan yang sangat besar, proses produksi yang kompleks, dan hasil yang mengagetkan dan aneh.

Studi tentang Film Indonesia

Studi tentang film Indonesia sebagai produk budaya telah banyak dilakukan. Namun, penelitian tentang paradoks kreatifitas atau manajemen kreatifitas dalam industri film Indonesia belum ada. Gagasan yang ada selama ini adalah, pemisahan atau dikotomi film sebagai film idealis versus film komersil, atau ada yang menyebutnya sebagai budaya tinggi (art) dan budaya populer; namun belum ada yang mengeksplorasi paradoks kreatifitas itu sendiri.

Berbagai studi tentang film Indonesia telah dilakukan, khususnya yang berhubungan dengan peran film sebagai garda budaya bangsa, nasionalisme, ideologi dan politik. Satu studi yang menarik tentang perfilman di Indonesia pada masa Orde Baru telah dilakukan oleh Krishna Sen5. Menurut Sen (1994), ada polarisasi politik dalam

5

Prof. Krishna Sen sekarang menjabat sebagai Dekan di Fakultas Seni UWA (The University of Western Australia). Krishna Sen telah lama dikenal sebagai peneliti yang banyak melakukan studi tentang media kontemporer di Indonesia. Sebelum menjabat posisi saat ini, Krishna Sen terlebih dulu mengajar dan menjadi peneliti di Universitas Murdoch dan Curtin serta Executive Director for Humanities and Creative Arts di Australian Research Council di Canberra. Beberapa jurnal dan bukunya antara

(22)

film di era Orde Baru tersebut, film sebagai media pendidikan

‗ditumpangi‘ oleh kepentingan politik yaitu hegemoni kekuasaan. Melalui tulisannya berjudul ―Indonesian Cinema: Framing The New Order‖ Sen menyoroti film Indonesia selama Orde Baru, bagaimana

negara secara struktural turut menentukan film mana yang boleh/layak diputar melalui institusi perfilman beserta persetujuan atas konten. Negara telah berhasil mengendalikan perfilman secara langsung dan memasukkan ideologinya pada narasi perfilman. Ini dimaksudkan untuk menjaga tatanan yang stabil. Penelitian Krishna Sen menunjukkan bahwa film Indonesia pada rezim Orde Baru berada di bawah otoritas penguasa.

Lebih lanjut, dalam buku ―Media, Budaya, dan Politik Penguasa‖ (2001) Krishna Sen dan David T. Hill kembali

mempertanyakan bagaimana media, kebudayaan dan politik memiliki arti dan relasi pada saat Orde Baru dimulai sampai lengsernya Soeharto. Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana interaksi antara media dengan penguasa dan masyarakat membentuk kebudayaan dan politik pada masa itu. Penguasa Orde Baru memperlakukan media sebagai alat untuk mempertahankan kepentingan politis, dengan

mengatas-namakan ―persatuan dan kesatuan‖ dan upaya menghadirkan ―budaya nasional‖ sebagai identitas bangsa. Ketidakseragaman atau

penyimpangan terhadap apa yang sudah ditentukan oleh penguasa – keseragaman tindakan, ucapan, dan sikap yang cenderung membatasi ruang gerak media—dianggap sebagai antitesis, disorder atau ketidaktertiban. Dalam genre film, penguasa berusaha menyensor dan membatasi penyiaran film dengan cara menekankan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Indonesia berada di bawah Departemen Penerangan Republik Indonesia dengan ketentuan harus

mengikuti struktur naratif tertentu. Film ―Perawan Desa― (1978)

dilarang beredar oleh Badan Sensor Film selama satu tahun, karena isinya menceritakan ketidakadilan dari pemerintah yang dirasakan

(2010), ―Chinese Indonesian in National Cinema‖ (2006) –(www.web.uwa.edu.au,

(23)

oleh masyarakat kecil. Baru sesudah isi ceritanya diubah, film tersebut boleh diputar.

Fenomena anti-mainstream pada masa itu adalah film-film karya Garin Nugroho. Beberapa filmnya dilarang untuk diputar di dalam negeri, namun justru menang di berbagai festival film luar negeri. Film-film Garin tersebut antara lain: film ―Surat Untuk

Bidadari‖, ―Bulan Tertusuk Ilalang‖, ―Daun di Atas Bantal‖, dan ―Puisi Tak Terkuburkan‖. Film-film tersebut banyak menceritakan realitas sosial yang muncul pada saat pemerintahan Orde Baru, seperti cerita pembunuhan besar-besaran terhadap aktivis dari organisasi masyarakat tertentu yang dianggap ekstrim kiri pada masa itu dan beberapa realitas sosial dari daerah-daerah yang termarjinalkan dalam pembangunan seperti Aceh, Papua, dan Sumba. Film Garin adalah film yang sulit

―dibaca‖ masyarakat awam (Cheah, P., et.al., 2002).

Studi-studi berikutnya tentang film Indonesia berada pada topik yang kurang lebih sama, represi pemerintah dan kebebasan. Selama kurang lebih seratus tahun usia perfilman Indonesia, perkembangannya tidak sepesat yang diharapkan, industri perfilman bergerak lambat dan kurang bertumbuh. Masalah dalam industri film Indonesia bukan hanya masalah ekonomi, namun bersifat multi dimensi. Di dalamnya terdapat dominasi konglomerasi para pengusaha bioskop atas film-film impor, apresiasi penonton yang masih rendah, pajak atas produksi film yang dikategorikan sebagai barang mewah, dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak (Agustinus, 2002; Kurnia, N., 2008; Widagdo, M.B, 2011).

Studi terkini tentang film (kontemporer) Indonesia dilakukan oleh Thomas Barker6. Dalam disertasinya yang berjudul ―A Cultural

Economy of The Contemporary Indonesian Film Industry‖ (2011),

6

Thomas Barker adalah Assistant Professor di Faculty of Arts and Social Science, The University of Nottingham Malaysia. Sebelumnya, Thomas Barker menjadi asisten peneliti di Institute for Social Research Science, University of Queensland, dan

―pengunjung‖ (visiting-fellow) di Departemen Sosiologi NUS, Singapura. Thomas

(24)

Barker melakukan penelitian secara mendalam terhadap film Indonesia populer sebagai studi sosiologi. Apa yang dilakukan Barker ini mulai mengisi kekosongan dari gap penelitian-penelitian sebelumnya tentang film-film yang berkualitas (cita rasa seni yang tinggi) dengan film komersil di Indonesia. Penelitian Barker menunjukkan analisis terhadap aspek historis dalam hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam proses produksi film. Barker yang menggunakan pendekatan ekonomi budaya yang dipadukan dengan budaya populer, mengungkapkan lebih lanjut perfilman Indonesia Pasca Reformasi yang strukturnya dipengaruhi oleh industri film di masa lalu. Temuan Barker ini melengkapi dan memberikan kontribusi terhadap apa yang telah diteliti oleh Krishna Sen dan lain-lain.

Penelitian Barker juga melengkapi apa yang telah dilakukan Ekky Imanjaya7 (2009) tentang perbedaan film idealis dan film

komersial. Dua pembuat film kontemporer, yakni Riri Riza dan Joko Anwar disebut sebagai movie-maker yang sukses memadukan kedua unsur tadi dalam perfilman yaitu idealisme dan komersial. Barker mengidentifikasikan hal ini sebagai paradigma baru dalam budaya populer di Indonesia. Generasi baru para pembuat film telah memperbaharui apa yang disebut sebagai ―film nasional‖ di era Orde Baru dan membangun kembali unsur-unsur film sebagai budaya populer. Generasi baru dan muda ini dapat leluasa membangun dan membuat film-film mereka dengan cita rasa yang baru, bahkan sama sekali baru, karena tidak ada lagi pembatasan-pembatasan yang mengekang, mereka berada di iklim kebebasan.

Temuan Barker sekaligus melengkapi penelitian Ariel Heryanto (2008) tentang budaya populer yang berkembang di Indonesia berdasarkan ideologi yang berlaku saat itu. Ideologi-ideologi tersebut dipahami sebagai basis sosiologi dari produk budaya yang lebih kompleks. Disertasi lain tentang film Indonesia dari kajian

7

Ekky Imanjaya adalah seorang akademisi yang sedang melanjutkan studi dan penelitian di UEA (University of East Anglia, School of Film, Television and Media Studies). Beberapa topik penelitiannya antara lain: ―A Note From The Editor: An Introduction The Significance of Indonesian Cult, Exploitation, and B Movies‖ (2014),

(25)

budaya juga telah dilakukan oleh Dr. Ikwan Setiawan tahun 2013. Kajian tersebut menghasilkan temuan dan pengayaan tentang budaya post-kolonial di Indonesia melalui pembacaan struktur dunia naratif film dan konteks sosio-historis di Indonesia pada tahun 2000-an sesudah reformasi.

Apa yang sudah diteliti secara mendalam oleh Krishna Sen, Ariel Heryanto, Thomas Barker, dan Dr. Ikwan Setiawan tentang film Indonesia patut diapresiasi. Namun demikian, penelitian-penelitian terdahulu tentang film Indonesia belum mengungkapkan secara menyeluruh industri film nasional dari sisi jatuh-bangunnya dan dilematis kurangnya apresiasi terhadap film Indonesia oleh pemirsa di tanah air.

Gambar

Gambar 2.1. Tahapan Orientasi Kreativitas BPM
Gambar 2.2. Pengelompokan Sub-sub Sektor Industri Kreatif di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

- Direktur perusahaan hadir langsung, apabila diwakilkan membawa surat tugas dan mendapat kewenangan penuh untuk mengambil keputusan. Demikian undangan ini disampaikan,

Berdasarkan hasil evaluasi File I ( Adminstrasidan teknis ) dan Evaluasifile ll ( Harga) diatas, maka dengan ini menetapkan Pemenang untuk paket Penyusunan

[r]

[r]

Pada modul ini diuraikan dasar – dasar teknik digital mulai dari sistem bilangan, gerbang logika, flip-flop dan aritmatika biner, dilengkapi dengan beberapa contoh di setiap

In this study, we compare and contrast estimates of deformation obtained from different pre and post-event airborne laser scanning (ALS) data sets of the 2014 South Napa

The methodology presented here is useful for situations where massive sensor data need to be compressed in a way that allows a progressive retrieval with increasing

Jika jumlah siswa SD Sukamaju 245 orang, berapa orang jumlah siswa