BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Franchise
2.1.1 Pengertian Franchise
Franchise atau waralaba dalam bahasa Perancis memiliki arti “kebebasan” atau “freedom”. Namun dalam praktiknya franchise justru dipopulerkan di
Amerika Serikat. Dalam bahasa Indonesia franchise diterjemahkan sebagai “waralaba” yang berarti “lebih untung”. “Wara” berarti lebih, sedangkan laba berarti “untung” (Marimbo: 2007).
Menurut European Code of Ethics for Franchising, defenisi franchise
adalah franchise is a system of marketing goods and/or services and/or technology, which is based upon a close and ongoing collaboration between
legally and financially separate and independent undertakings, the franchisor
and its individual franchisee, whereby the franchisors grants its individual
franchisees the right, and imposes the obligation, to conduct a business in
accordance with the franchisor`s concept. (Franchising adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerjasama tertutup dan terus menerus antara pelaku-pelaku independen (maksudnya
franchisor dan franchisee individual) dan terpisah baik secara legal (hukum) dan keuangan, franchisor memberikan hak kepada para individual franchisee dan membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep
Menurut Zimmerer (2008:80) franchise adalah suatu sistem distribusi dimana pemilik bisnis yang semi mandiri membayar iuran dan royalty kepada perusahaan induk untuk mendapatkan hak untuk menjual produk atau jasa dan seringkali menggunakan format dan sistem bisnisnya.
Menurut Spinelli (2006:2) franchising terjadi ketika seseorang mengembangkan model bisnis dan menjual hak untuk mengoperasikannya ke pengusaha (franchisee). Franchisee biasanya mendapatkan hak untuk model bisnis untuk jangka waktu tertentu dan di daerah geografis tertentu.
Menurut Suryana (2006:100) adalah kerja sama antara wirausaha (franchisee) dengan perusahaan besar (franchisor/parent company) dalam mengadakan persetujuan jual-beli hak monopoli untuk menyelenggarakan usaha (franchise).
Menurut Odop (2006:16), franchise adalah pengaturan bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh pewaralaba kepada pihak
independen atau terwaralaba untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan standarisasi kesepakatan untuk membuka usaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang di bawah bendera mereka.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Franchise
atau waralaba adalah kegiatan bisnis yang didasarkan perjanjian/perikatan antara
Lebih lanjut menurut IFA, Franchise atau Waralaba pada hakekatnya
memiliki 3 elemen yaitu:
1. Dalam setiap perjanjian Waralaba, Pewaralaba (Franchisor) selaku pemilik
dari sistem Waralabanya memberikan lisensi kepada Terwaralaba (Franchisee)
untuk dapat menggunakan merek dagang/jasa dan logo yang dimiliki oleh
Pewaralaba.
2. Sistem Bisnis Keberhasilan dari suatu organisasi Waralaba tergantung dari
penerapan Sistem/Metode Bisnis yang sama antara Pewaralaba dan
Terwaralaba. Sistem bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup
standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah produk
atau makanan, atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis,
standar periklanan, sistem reservasi, sistem akuntansi, kontrol persediaan,
dan kebijakan dagang.
3. Biaya (Fees) dalam setiap format bisnis waralaba, sang pewaralaba baik
secara langsung atau tidak langsung menarik pembayaran dari terwaralaba
atas penggunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem waralaba yang
dijalankan. Biaya biasanya terdiri atas biaya awal, biaya royalti, biaya jasa,
biaya lisensi dan atau biaya pemasaran bersama. Biaya lainnya juga dapat
berupa biaya atas jasa yang diberikan kepada terwaralaba (misalnya: biaya
manajemen).
Menurut British Franchise Association, sebagai garansi lisensi kontraktual
1. Mengijinkan atau meminta franchisee menjalankan usaha dalam periode tertentu pada bisnis yang menggunakan merek yang dimiliki oleh franchisor.
2. Mengharuskan franchisor untuk melatih control secara kontiniu selama periode perjanjian.
3. Mengharuskan franchisor untuk menyediakan asistensi terhadap franchisee
pada subyek bisnis yang dijalankan di dalam hubungan terhadap organisasi usaha franchisee seperti training terhadap staf, merchandising, manajemen, atau yang lainnya.
4. Meminta kepada franchisee secara periodic selama masa kerja sama franchise
untuk membayarkan sejumlah fee franchise atau royalty untuk produk atau servis yang disediakan oleh franchisor kepada franchisee.
Defenisi waralaba juga diberikan oleh Institut Pendidikan dan Manajemen yang antara lain mendefenisikan waralaba sebagai berikut:
1. Waralaba adalah suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha dengan cara, waktu, dan lokasi tertentu kepada individu atau perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan menengah.
2. Waralaba merupakan sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain.
2.1.2 Subyek dan Obyek Franchise
a. Subyek franchise
Subyek hukum franchise dalam sebuah perikatan franchise, terdiri dari 2 (dua) yaitu sebagai berikut:
1. Franchisor
Franchisor adalah orang atau badan usaha yang memberikan lisensi, baik berupa paten, penggunaan merek perdagangan/merek jasa, ciri khas maupun hal-hal pendukung lainnya kepada franchise.
2. Franchisee
Franchisee adalah orang atau badan usaha yang menerima lisensi dari
franchisor untuk dapat menggunakan merek perdagangan/merek jasa maupun ciri khas dari franchisor, namun harus tetap tunduk kepada peraturan dan tata cara dari franchisor.
Selain 2 (dua) subyek hukum franchise yang telah dikemukakan masih terdapat dua pihak lainnya yang dapat dikaitkan sebagai subyek hukum franchise
dalam perjanjian franchise yang juga terkena dampak dari perjanjian ini, yakni: a. Franchise lain dalam sebuah sistem franchise (franchising system) yang sama. b. Konsumen atau klien dari franchise maupun masyarakat sebagai pengguna
produk dan jasa pada umumnya.
Menurut Basarah dan Mufidin objek pengaturan dalam franchise dapat meliputi hal-hal sebagai berikut: Nama dagang atau merek dagang, rahasia dagang
(trade secret), jasa pelatihan, Bantuan teknis operasional, Pembelian bahan dan peralatan, Pengawasan kualitas produk, Biaya waralaba (franchise fee),
2.1.3 Penggolongan Franchise
Penggolongan franchise menurut East Asian Executive Report. East Asian Executive Report telah menggolongkan franchise dalam 3 golongan yakni sebagai berikut:
1. Product franchise
Franchise jenis ini, seorang atau badan usaha penerima franchise hanya bertindak mendistribusikan produk dari rekannya dengan pembatasan areal, seperti: pengecer bahan bakar Shell yang telah dibagi jaringan atau divisi wilayah pendistribusiannya.
2. Processing franchise or manufacturing franchise
Franchise jenis ini, seorang atau badan usaha pemberi franchise (franchisor) hanya memegang peranan memberi know-how, dari suatu proses produksi, seperti: Minuman ringan Coca Cola.
3. Business formal/System franchise
Franchise jenis ini, seorang atau badan usaha pemberi franchise (franchisor) sudah memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket kepada konsumen, seperti: Dunkin Donuts dan Kentucky Fried Chicken.
2.1.4 Keunggulan dan kelemahan franchise
Menurut Anoraga (2002:241), keunggulan bisnis dengan menggunakan sistem franchise adalah sebagai berikut:
a. Bimbingan
banyak manajer. Tetapi tidak seorangpun dapat menutupi kelemahan tersebut bila menjadi seorang manajer franchise. Banyak franchisor mencoba mengatasi kekurangan atau kurang pengalaman dengan memberikan beberapa bentuk pelatihan.
b. Brand name
Investor yang menandatangani perjanjian franchise mendapat hak untuk menggunakan promosi nama merk secara nasional maupun regional. Hal ini mengidentifikasikan unit lokal dengan suatu produk atau jasa yang terkenal. c. Produk yang terjamin
Franchisor dapat menawarkan kepada franchisee suatu produk dan metode pengoperasian bisnis yang terjamin. Produk atau jasa yang terkenal dan diterima oleh masyarakat luas.
d. Bantuan finansial
Melalui kerjasama dengan perusahaan franchise, investor individual mungkin dapat terjamin bantuan finansialnya. Biaya permulaan bisnis yang sangat
tinggi, dan investor prospektif biasanya memiliki dana yang terbatas. Dalam beberapa kasus, asosiasi dengan franchisor yang telah mapan melalui
reputasinya dan pengendalian keuangannya dapat mempertinggi tingkat kredit investor dengan bank lokal. Sedangkan kelemahan dari bisnis franchise ini adalah:
1) Biaya
Franchisee harus membayar biaya franchise. Sebagai imbalannya
2) Pengendalian eksternal
Seseorang yang menandatangani perjanjian franchise kehilangan beberapa kebebasan. Franchisor, dalam hal mengoperasikan seluruh tempat penjualan
franchise sebagai suatu bisnis harus melakukan pengendalian atas aktivitas promosional, catatan finansial, penyewaan, prosedur pelayanan, dan pengembangan manajerial. Walaupun bermanfaat, pengendalian ini tidak menyenangkan bagi seseorang yang mencari kebebasan.
3) Program pelatihan yang lemah
Beberapa franchisor telah mengembangkan program pelatihan yang baik. Tetapi beberapa promotor menjanjikan pelatihan tetapi tidak pernah terealisasi. Dalam kasus lain, program pelatihan lemah, terlalu singkat dan diberikan oleh pelatih yang tidak memiliki keterampilan instruksional. Fasilitas kadangkala tidak sesuai bagi pelatihan dan pengembangan yang sebenarnya.
2.1.5 Hak dan Kewajiban Franchisor dan Franchisee
a. Pemberi waralaba (franchisor) berhak menerima fee atau royalty dari penerima waralaba,dan selanjutnya pemberi waralaba berkewajiban untuk memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada penerima waralaba.
b. Penerima waralaba (franchisee ) berhak menggunakan Hak Kekayaan
Intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba, dan selanjutnya penerima waralaba berkewajiban untuk menjaga kode
2.2 Peran Franchisor Dalam Keberhasilan Usaha Bisnis Franchise
Peran franchisor dalam keberhasilan usaha bisnis franchisee dapat
dikonseptualkan dengan 4 (empat) fase yaitu: pertama adalah perkenalan atau
pendahuluan, dimana saling ketergantungan dan motivasi yang terbagi untuk
keberhasilan dan keuntungan. Fase yang kedua dapat dengan perkembangan awal
ketika bisnis mulai berfungsi. Selama fase ini, franchisor menawarkan dukungan
kepada franchisee baru dan hubungan antar keduanya mulai berkembang.
Pada fase ini, hubungan antara keduanya dapat menjadi problematik jika
franchisor tidak memberikan dukungan atau training yang tepat.
Ketika tiap partisipan dapat mengerti apa yang diharapkan oleh yang lain,
maka dapat dikatakan bahwa fase kedewasaan telah dicapai. Pada point ini,
franchisee memiliki kesan yang akurat terhadap keahlian dan kompetensitas
franchisor dan kontribusi franchisor terhadap hubungannya dengan franchisee.
Namun sebaliknya apabila tahap akhir dalam hubungan antara frenchisee dan
franchisor terjadi penolakan. Kemungkinan yang pertama adalah, bisnis tidak
berjalan baik sehingga franchisee termotivasi untuk mengakhiri hubungan dengan
franchisor, dan kemungkinan kedua yaitu bisnis berjalan terus dan hubungan
antara franchisee dan franchisor menjadi lebih solid.
Permasalahaan franchise dapat dialami oleh dua pihak baik itu fanchisee
maupuun franchisor juga. Menurut Karamoy (2004) hal-hal yang perlu
diperhatikan bagi pebisnis franchise yang harus mendapat penekanan yaitu
Franchise yang menghadapi tekanan baik internal maupun eksternal secara signifikan, tekanan-tekanan tersebut dapat menyebabkan kekacauan sistem
yang akan berimbas pada penyedia eksternal, customer, dan supplier juga
franchisee dalam sistem franchise (Kaufmann, 1990 dalam Tikoo, 2005:329).
Ada konflik-konflik yang potensial dalam hubungan antara franchisee dan
franchisor dimana kedua pihak saling tergantung, terikat oleh kontrak,
dan banyaknya franchisee yang mengajukan komplain kepada franchisor. Format bisnis franchise telah berkembang secara luas dalam sektor ekonomi
di USA dan UK (Mandelsohn, 1995:69). Pemberian ijin franchisor kepada
franchisee untuk mengembangkan bisnis menggunakaan mereknya. Pada dasarnya
franchisor menyediakan proses managerial kepada franchisee untuk menjalankan bisnis sesuai dengan kontrak franchise (Cughlan, 2001:86). Sistem franchise tidak
hanya sekedar sistem ekonomi tapi juga sistem sosial karena adanya unsur
relationship yang berdasarkan dimensi ketergantungan, komunikasi dan konflik (Stern dan Reve dalam Tikoo, 2005:331). Hubungan antara franchisor dalam
mempengaruhi franchisee sering disertai dengan konflik.
Dari hasil penelitian Tikoo (2005:329) peran franchisor meliputi permintaan, ancaman dan perjanjian mempunyai hubungan positif terhadap perselisihan hubungan franchise. Konflik sendiri biasanya terjadi disebabkan oleh asimetri distribusi atas kekuatan franchisor (Quinn dan Doherty, 2000:354). Aspek konflik harus dikelola untuk menciptakan hubungan baik antara franchisor
hubungan negatif terhadap ketergantungan franchisee. Artinya keterikatan
franchisee tidak bisa dilakukan dengan tekanan pihak franchisor. Sehingga solusi terbaik adalah terciptanya hubungan fair/adil atas dua arah antara franchisor
dengan franchisee (Tikoo, 2005:329) misal menggunakan pertukaran informasi (information exchange), kesanggupan (promise), pengendalian diri (restrain) atas penekanan sebelumnya demand, treat dan legalistic dalam mempengaruhi
franchisee. Dimensi dari hubungan baik antara franchisor dan franchisor adalah
information exchange, recommedations, promises, request, treat, legalistic pleas
(Tikoo, 2005:329).
Menurut Johnsin (1999:4) kualitas hubungan digambarkan sebagai
kedalaman dan iklim organisasi dari sebuah hubungan antar perusahaan. Ada juga
yang menyatakan kualitas hubungan sebagai evaluasi menyeluruh dari kekuatan
hubungan (Smit, 1998; Garbarino dan Johnson, 1999). Dalam dunia franchise ada
beberapa studi yang menyatakan variabel yang menggambarkan atas kualitas
hubungan dalam jaringan franchise yaitu kepercayaan komitmen, konflik,
kekeluargaan, kerjasama. Sehingga merupakan suatu hal yang penting mengukur
kualitas hubungan antara franchisor dengan franchisee untuk menetapkan
kekuatan hubungan ini dan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya dalam network
patner tetapi dalam kinerja penjualan.
a. Kepercayaan
Kredibilitas mengacu pada perluasan dimana satu partner mempercayai bahwa partner lain memiliki kacakapan untuk menampilkan kerja yang efektif dan dapat diandalkan. Sedangkan benevolence berdasarkan perluasan dimana satu partner mempercayai partner lain karena memiliki motivasi yang bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada.
b. Komitmen
Beberapa peneliti menyatakan bahwa komitmen adalah unsur yang essensial
dalam kesuksesan hubungan. Menurut Varadarajan and Cunningham (1995)
Komitmen penting sebagai hasil dari kerjasama yang mengurangi potensi
ketertarikan alternatif ke hal lain dan akhirnya mampu meningkatkan profit.
Geyskens (1996 dalam Monroy dan Alzola, 2005:585) menyatakan bahwa
perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen kalkulatif adalah hal yang
terpenting dalam hubungan antar organisasi. Secara umum komitmen afektif
menghubungkan dengan keinginan untuk meneruskan hubungan karena
pengaruh positif kedepan dalam mengidentifikasi partnernya. Partner yang
memiliki komitmen afektif meneruskan hubungan karena menyukai partner
lain, enjoyment dan rasa setia dan rasa memiliki. Namun sebaliknya komitmen
kalkulatif merupakan komitmen yang berdasarkan pada perluasan partner
yang menerima kebutuhan dalam menjaga hubungan yang mengacu pada
perpindahan biaya yang ditinggalkan. Yang menghasilkan perhitungan antara
biaya dan manfaat termasuk penetapan investasi yang dibuat dalam sebuah
c. Relasionalism (rasa kekeluargaan)
Realsionalism dapat disebut sebagai kerjasama sosial yang mempertimbangkan referensi dari evaluasi perilaku patner. Pada kenyataannya mereka mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari tindakan satu pihak dengan standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan dasar untuk penyelesaian konflik. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam relasionalism adalah fleksibilitas, solidaritas, mutuality dan harmonisasi konflik.
Menurut Hirayanti (2009) bahwa peranan franchisor adalah sebagai berikut:
1. Training merupakan kegiatan peningkatan kemampuan staf dan karyawan untuk mengelola usaha dan pengambilan keputusan.
2. Support service merupakan dukungan ataupun bantuan pelayanan yang diberikan franchisor seperti bimbingan ataupun konsultasi masalah-masalah operasional dan keuangan.
3. Control System merupakan sebagai alat kontrol dalam menjalankan proses sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan.
4. Communication, Franchisor dapat melakukan komunikasi dengan baik sesuai dengan mekanisme terhadap franchisee untuk melakukan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan serta saling pengertian dalam mewujudkan kepentingan bersama.
5. Promotion merupakan bentuk penyajian tentang ide-ide, produk dan jasa yang ditawarkan dalam menginformasikan dan mempengaruhi orang atau pihak lain sehingga tertarik untuk melakukan transaksi produk dan barang atau jasa.
3 Sarosa baik berupa paten, penggunaan merek perdagangan/merek jasa, ciri khas maupun hal-hal pendukung lainnya kepada franchisee.
Kunjungan berkala dari dan akses ke staf pendukung lapangan pemberi waralaba guna membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan terhadap pelaksanaan cetak biru yang dapat menyebabkan kesulitan dagang bagi penerima waralaba, menghubungkan antara pemberi waralaba dan seluruh penerima waralaba secara bersama-sama untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman, inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinan-kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada, pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk penerima waralaba dan mereka yang menjadi stafnya, riset pasar, iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional.
Menurut Hirayanti (2009) bahwa peranan franchisor adalah Training
Menurut Waridah dalam Lindrayanti (2003:15) “keberhasilan usaha yaitu
adanya peningkatan kegiatan usaha yang dicapai oleh para pengusaha industri kecil, baik dari segi peningkatan laba yang dihasilkan dicapai oleh pengusaha dalam kurun waktu tertentu”.
Menurut Simarmata (2012) menunjukan bahwa promotion,support service, training, control system, communication yang dilakukan oleh franchisor
memiliki peranan yang sangat penting sekali. Karena segala sesuatunya sangat membutuhkan dukungan langsung dari pihak franchisor. Dimulai dari pemberian awal waralaba hingga prosedur, standard perusahaan, pelatihan karyawan, pemasaran dan lain-lain.
Menurut Sulastri (2015) menunjukkan bahwa Pelatihan/Training,
Dukungan/Support, Menyediakan/Supply, Fasilitas Financial, Asistensi manajemen dan mudah diakses secara simultan berpengaruh terhadap suksesnya bisnis
franchise.
Dengan adanya training guna menunjang keterampilan para staf karyawan untuk dapat membuat franchisee tetap berkembang, adanya support kepada
franchisee untuk memotivasi dan membantu dalam membangun bisnisnya, melakukan control system secara rutin untuk tetap menjaga kestabilan bisnis
franchise, menjaga communication yang lancar pada franchisee untuk tetap membina adanya kepercayaan dan solidaritas dalam hubungan bisnis, dan memberikan supply yang baik kepada agen-agen franchise adalah sub variabel yang sangat berpengaruh terhadap suksesnya suatu bisnis franchise.
Suksesnya bisnis franchise
(Y)
Sumber : Hirayanti (2009) dan Lindrayanti (2003)
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Peranan Franchisor (X):
1. Promotion
2. Support service
3. Training
4. Control system
5. Communication