• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Semiotika Iklan Slogan Motor Yamaha ―Semakin di Depan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Semiotika Iklan Slogan Motor Yamaha ―Semakin di Depan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Paradigma Kajian

Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam

ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji,

pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa

aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma

adalah unit konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu

membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas

ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan

eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan

Goodman, 2008: A-13).

Istilah paradigma diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya

―The Structure of Scientific Revolutions‖. Makna dari kata itu adalah pola, berasal dari paradeigma (bahasa latin). Mengenai istilah paradigma ini Lili Rasjidi

(2003: 103) menulis sebagai berikut:

Oleh Kuhn istilah ini dipergunakan untuk menunjuk dua pengertian utama.

Pertama, sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi dan

tekhnik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin ilmu tertentu yang

memengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua, sebagai upaya manusia untuk

memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang mampu menjungkirbalikkan semua

asumsi ataupun aturan yang ada.

Adapun peneliti lebih condong mengartikan paradigma sebagai suatu

kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang bagaimana

memandang dunia (worldview) atau menggunakan sudut pandang tertentu dalam

menyikapi dunia. Sedangkan, penelitian sejatinya merupakan suatu upaya untuk

menemukan suatu kebenaran atau untuk lebih membenarkan suatu hal yang telah

benar.Sedangkan, paradigma komunikasi adalah sudut pandang dalam melihat

(2)

yang menjadi dasar kebijakan akan kebenaran. Paradigma juga merupakan

kelanjutan cara berpikir perspektif (sudut pandang atau cara pandang terhadap

fakta realitas). Dalam filsafat komunikasi ada sejumlah paradigma:

1. Paradigma Klasik/Positivistik, yang menempatkan ilmu sosial sebagai

gejala alam atau fisik. Paradigma ini bertujuan untuk mencari kausalitas

guna memprediksi gejala-gejala umum dari bentukan negara sosial.

2. Paradigma Konstruktivisme, yang memandang ilmu komunikasi sebagai

analisis sistematis terhadap tindakan yang penuh kebermaknaan.

3. Paradigma Kritis, yang mendefinisikan ilmu sebagai suatu proses yang

secara kritis berusaha mengungkapkan fenomena nyata, dibalik sebuah

ilusi ataupun kesadaran palsu yang mencuat di permukaan. Tujuannya

ialah untuk membentuk kesadaran sosial agar di kemudian hari dapat

diperbaiki.

Sejumlah hal mendasar yang membedakan ketiga paradigma di atas antara

lain: Konsepsi tentang ilmu sosial, asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas

sosial, keberpihakan moral, dan juga komitmen terhadap hal-hal tertentu.

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

Adapun peneliti dalam hal ini lebih condong menggunakan paradigma

konstruktivisme, karena paradigma konstruktivisme memandang ilmu komunikasi

sebagai analisis sitemastis terhadap tindakan yang penuh kebermaknaan.Asumsi

dasar kalangan konstruktivisme menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya dapat

diukur dengan indra semata. Secara aksiologis, penelitian tidak bebas nilai, karena

memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008:

59-61).

Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap

paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang

diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa

dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari

pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secaea fundamental berbeda dengan

(3)

realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman

perilaku. (http://id.wikipedia//org).

Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara

dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan berusaha memahai dan

mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman si subjek yang akan diteliti.

Paradigma konstruktivisme merupakan respon terhadap paradigma positivis dan

memiliki sifat yang sama dengan positivis, dimana yang membedakan keduanya

adalah objek kajiannya sebagai awal dalam memandang realitas sosial. Positivis

berangkat dari sistem dan struktur sosial, sedangkan konstruktivisme berangkat

dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas tersebut.

Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif konstruktivisme karena

sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan makna yang ingin

dibangun melalui realitas sosial sehingga dapat dikaitkan dengan konteks sosial,

budaya, ekonomi, dan historis.

2.2 Kajian Pustaka

Penelitian yang seirama dengan slogan sudah pernah dilakukan oleh

peneliti-peneliti sebelumnya, namun penelitian dengan fokus analisis semiotika

slogan Yamaha Semakin Di Depan masih belum dilakukan oleh peneliti lain.

Adapun literatur yang bisa dijadikan sebagai acuan ialah:

1. ―Konstruksi Realitas Kaum Perempuan Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7

Wanita (Analisis Semiotika Film)‖ karya Andi Muthmainnah Jurusan Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas

Hasanuddin Makassar 2012.

2. ―Makna Slogan You C1000 terhadap citra produk (Analisis Semiotika

Makna Slogan You C1000 ―Healthy Inside, Fresh outside‖, milik Koncho

Putra Adila; Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara 2012.

Penelitian ini berjudul ―Analisis Semiotika Iklan Slogan Motor Yamaha Semakin Di Depan terhadap citra produk di televisi swasta), studi kualitatif

(4)

Semakin Di Depan terhadap citra produk. Adapun tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahuimakna slogan Iklan Motor Yamaha Semakin Di Depan terhadap

citra produk.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan observasi

dan studi dokumentasi, sedangkan teknik analisis data menggunakan model

Semiotika Roland Barthes.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa slogan sebagai bagian dari identitas

suatu produk, sebab merupakan salah satu asset yang utama dalam membangun

citra produk tersebut. Slogan merupakan salah satu penyampaian pesan yang

sangat efektif untuk membangun citra atau image sebuah produk yang ada kepada

khalayak. Slogan sebagai tanda bahasa juga dapat digunakan sebagai alat utama

untuk menciptakan gambaran realitas sesuai konstruksi pembuatnya. Salah satu

cara untuk menyampaikan pesan kepada khalayak dengan cepat dan tepat adalah

dengan cara meletakkan slogan dalam gambar produk tersebut. Dengan meletak

tanda bahasa yang digunakan dalam iklan akan mempertegas gambaran citra yang

dikonstruksikan atas suatu barang atau produk tersebut. Citra yang dimiliki

khalayak atas sebuah produk yang ada dari iklan sesungguhnya merupakan bagian

apa yang diharapakan oleh produk tersebut adalah hasil konstruksi dari pembuat

iklan ini.

Jadi, terdapat banyak kesamaan dengan penelitian yang akan diteliti

peneliti, seperti dalam hal pengunaan teori yang dapat digunakan sebagai

pegangan, dan acuan dalam pengerjaan skripsi. Namun, terdapat beberapa

perbedaan seperti penelitian ini hanya berfokus pada tujuan untuk mengetahui

Analisis Semiotika Iklan Slogan Motor Yamaha Semakin Di Depan terhadap citra

(5)

2.2.1 Kerangka Teori 2.2.2. Komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan yang dilakukan oleh

seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau merubah sikap, pendapat,

atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak angsung melalui media.

Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris Communication berasal dari bahasa

latin, communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. sama

disini maksudnya adalah kesamaan makna (Effendy, 2002: 9)

Menurut Harold D. Lasswell, sebagaimana dikutip oleh Sendjaja (1999: 7)

cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab

pertanyaan berikut : Who Says what In which Channel To Whom With What

Effect? (Siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan efek

bagaimana?) (Wiryanto, 2004: 6) .Model komunikasi Laswell diperjelas oleh

(Wiryanto, 2004: 17) sebagai berikut :

 Unsur sumber (who) mengundang pertanyaan mengenai pengendalian

pesan

 Unsur pesan (says what) merupakan bahan untuk analisis isi.

 Saluran komunikasi (in which channel) menarik untuk mengkaji mengenai

analisis media.

 Unsur penerima (to whom) banyak digunakan untuk studi analisis

khalayak.

 Unsur pengaruh (with what effect) berhubungan erat dengan kajian

mengenai efek pesan pada khalayak

2.2.3 Komunikasi Massa

Salah satu bentuk komunikasi adalah komunikasi massa yang

menyampaikan informasi, ide, gagasan kepada komunikan yang jumlahnya

banyak dan menggunakan media. Aneka pesan melalui sejumlah media massa

dengan menyajikan beragam peristiwa baik itu yang sifatnya sederhana

menunjukkan bahwa komunikasi massa telah menjadi bagian kehidupan manusia.

(6)

berlangsung dimana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada

khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti

radio, televisi dan film (Cangara, 2006: 36).

Joseph A. Devito (Wiryanto, 2004: 3) mengemukakan definisi komunikasi

massa dalam dua pengertian :

1. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa,

kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.

2. Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh

pemancar-pemancar audio atau visual, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah,

film atau buku.

Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan

inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan

atau sumber daya lainnya. Media massa seringkali berperan sebagai wahana

pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol,

Dalam banyak hal, proses komunikasi massa dan jenis komunikasi lain bentuknya

sama yaitu seseorang menyusun sebuah pesan, pada dasarnya itu merupakan

tindakan intarpersonal. Pesan tersebut kemudian disandikan (encoding) ke dalam

kode umum misalnya bahasa. Bahasa tersebut ditransmisikan dan orang lain akan

menerima pesan tersebut, menguraikan sandinya (decoding) lalu mendalaminya.

Proses pendalaman pesan tersebut juga merupakan tindakan intrapersonal. Namun

sifat komunikasi massa lebih khusus. Untuk dapat menyampaikan pesan dengan

efektif kepada ribuan orang dengan latar belakang dan ketertarikan yang berbeda

membutuhkan keahlian yang tersendiri dibandingkan hanya bicara dengan teman

di seberang meja. Menyandi pesan jauh lebih kompleks karena selalu

menggunakan alat, contohnya kamera, alat perekam atau media cetak (Vivian,

(7)

Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Joseph R. Dominick

terdiri atas (Effendy, 2006: 29-31):

1. Pengawasan peringatan (surveillance)

Pengawasan mengacu kepada yang kita kenal sebagai peranan berita dan

informasi dari media massa. Media mengambil tempat para pengawal yang

mempekerjakan pengawasan.

2. Interpretasi (Interpretation)

Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta

interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh yang paling nyata dari

fungsi ini adalah tajuk rencana surat kabar dan komentar radio atau televisi siaran.

Pada kenyataannya fungsi interpretasi ini tidak selalu berbentuk tulisan,

adakalanya juga berbentuk kartun atau gambar lucu yang bersifat sindiran.

3. Hubungan (Linkage)

Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam

masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan.

Misalnya kegiatan periklanan yang menghubungkan kebutuhan dengan

produk-produk penjual.

4. Sosialisasi

Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang mengacu

kepada cara-cara dimana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu

kelompok. Media massa menyajikan penggambaran masyarakat, dan dengan

membaca, mendengarkan dan menonton maka seseorang mempelajari bagaimana

khalayak berperilaku dan nilai-nilai apa yang penting.

5. Hiburan (Entertainment)

Fungsi ini jelas tampak pada televisi dan radio, dimana sebahagian besar

(8)

2.2.4 Iklan

Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi

nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh

satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‗dibayar‘ disini menunjukkan fakta

bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli,

sedangkan maksud kata ‗nonpersonal‘ berarti suatu iklan melibatkan media massa

(Morrisan, 2010: 17).

Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama, yang dalam bahasa Indonesia

artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin

abad pertengahan advertere, ―mengarahkan perhatian kepada‖, sedangkan reklame berasal dari bahasa Perancis ―reklame‖ yang berarti berulang-ulang (Danesi, 2010: 362). Sebenarnya semua istilah di atas mempunyai pengertian yang sama

yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada khalayak.

Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial.

Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan

komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan

pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu

sendiri. Sehingga terbentuk image, semakin tinggi estetika dan citra objek iklan,

maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2008:65).

Sejatinya tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi

sebuah citra, dan apapun pencitraannya yang digunakan dalam sebuah iklan, baik

itu citra kelas sosial, citra seksualitas, dan sebagainya, yang terpenting pencitraan

itu memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya

(Bungin, 2008: 126).

Jib Fowles (dalam Bungin, 2008: 81) mengatakan, iklan tidak sekedar

media komunikasi, namun terpenting adalah muatan konsep komunikasi yang

terkandung di dalamnya, terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud

produsen untuk mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus

(9)

Salah satu bagian dari industri periklanan selain pengiklan dan agen

periklanan, adalah media massa. Media berperan sebagai penghubung antara

perusahaan dengan konsumennya. Media untuk pengiklan antara lain adalah

radio, televisi, koran, majalah, internet, direct mail, billboard dan sebagainya. Dari

seluruh media massa yang memungkinkan untuk menjadi media massa

periklanan, televisi seringkali difavoritkan menjadi media periklanan yang utama

karena efektivitas dan efisiensi dalam penyampaian pesan dan pembentukan citra

di dalamnya. Televisi menjadi pilihan utama oleh banyak pemasar karena

karakteristiknya yang unik dan mampu menampilkan imajinasi nyata dari iklan

tersebut dalam bentuk gambar dan suara. Iklan televisi lahir dari proses panjang

penggarapan sebuah iklan. Banyak kalangan tidak mengetahui kalau iklan televisi

umumnya berdurasi beberapa detik, membutuhkan proses kerja yang sangat rumit

dan panjang.

2.2.5 Tanda

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha

mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia

(Sobur, 2004: 15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk sederhana seperti kata, atau

dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara siaran radio (Danesi, 2010: 27).

Aristoteles (384-322 SM) meletakkan dasar-dasar teori penandaan yang

sampai sekarang menjadi dasar. Tanda didefenisikan sebagai yang tersusun atas

tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata

seperti ―komputer‖); (2) referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik

secara psikologis maupun sosial). Sebagaimana dalam konteks semiotika, semua

hal ini disebut sebagai (1) ‗penanda‘. (2) ‗petanda‘, dan (3) ‗signifikasi‘ (Danesi,

2010: 34).

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna

(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda

(Littlejohn, 1996: 64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang

(10)

nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan

maknanya dan bagaimana tanda disusun (Sobur, 2004: 15-16).

Ada dua pendekatan penting yang tentang tanda, yakni pendekatan yang

disampaikan Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Menurut

Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering

diidentifikasi sebagai penanda, sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau

gambar, disebut sebagai petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra

bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan

penanda dan petanda juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun

ditetapkan (Sobur, 2004: 32).

Saussure menyatakan bahwa telaah tanda dapat dibagi menjadi

dua-sinkronik dan diakronik (Danesi, 2010: 36). Sinkornik terkait dengan tanda pada

suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaimana perubahan makna dan

bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure melihat sebuah ‗gejala

biner‘sebagai tanda, yaitu bentuk yang tersusun atas dua bagian yang saling

terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna untuk menjelaskan

‗bentuk‘ dan ‗ekspresi‘ dan petanda (signified) yang berguna untuk menjelaskan ‗konsep‘ atau ‗makna‘. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep atau

makna tersebut dinamakan dengan signification. Saussure menegaskan bahwa

diperlukan semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan

maknanya, dalam mencermati hubungan pertandaan tersebut.

Pendekatan kedua disampaikan Charles Sanders Peirce, bermakna kurang

lebih sama dimana ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen

(sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek (yang menjadi

perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant

(apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu) (Danesi, 2010: 36).

Hubungan diantara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu menyarankan

yang lain dalam pola siklis. Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek

yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan

(11)

Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esesnsi tanda mengarah pada

pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan

mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua,

menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika

kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti

bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu

kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004: 35).

Di mana-mana terdapat tanda, kata, demikian pula dengan gerak isyarat

tubuh, lampu lalu lintas, bendera, warna dan sebagainya dapat pula menjadi tanda.

Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang memaknainya sebagai sesuatu

yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain

diluarnya. Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda umumnya seara tidak sadar

dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi

sosial di sekitar kita. Tidak semua suara, gerakan bisa menjadi tanda, namum hal

tersebut bisa menjadi tanda ketika diberi makna tertentu.

2.2.6 Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ―tanda‖ atau seme, yang berarti ―penafsiran tanda‖. Pada masa itu, ―tanda‖ masih bermakna

sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada tanda-tanda

bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti (significant) dalam

kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda

dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem

bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2004: 17).

Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Secara terminologis, semiotika dapat

diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,

peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Wibowo, 2013: 7).

Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana mewakili objek,

(12)

Fiske mengatakan, bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama

yaitu:

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang

berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan

makna, dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang

menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa

dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara

berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat

atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia

untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya

bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk

keberadaan dan bentuknya sendiri.

Di lain pihak, menurut Littlejohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi

ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun

penjabarannya adalah sebagai berikut:

1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini

membahas bagaimana tanda memiliki hubungan dengan referennya,

atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika

adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh

kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi ataumakna

dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya

(Morrisan, 2009: 29).

2. Sintaktik, berkenaan dengan keterpaduan dan keseragaman, studi ini

mempelajari mengenai hubungan antara tanda. Tanda di lihat sebagai

bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang

diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut

dengan kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami

(13)

3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari

bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia

dengan kata lain adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta

efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari

bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi

(Morrisan, 2009: 30).

Ada dua pendekatan penting tentang tanda-tanda yang biasa menjadi

rujukan para ahli. Pendekatan pertama adalah pendekatan tanda yang didasarkan

pada pandangan seorang filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders

Pierce (1839-1914). Pierce (dalam Berger, 2000: 14) menandaskan bahwa

tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya

memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan

konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk

kesamaannya, indek untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi

konvensional.

Sebuah tanda atau repesentamen menurut Charles S Peirce adalah sesuatu

yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau

kapasitas. Interpretant dinamakan Peirce sebaai interpretan dari tanda yang

pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Dengan demikian

menurut Peirce, sebuah tanda atau representamen memiliki relasi ‗triadik‘

langsung dengan interpretan dan objeknya. Apa yang dimaksud dengan proses

‗semiosis‘ merupakan suatu proses yang memadukan entitas (berupa

representamen) dengan entitas lain yang disebut sebagai objek. Proses ini disebut

sebagai signifikasi oleh Peirce (Wibowo, 2013: 18).

Pendekatan kedua adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan

Ferdinand de Sausurre (1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda-tanda

disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau

representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan (Sobur,

2004: 31).

Menurut pandangan Saussure, tanda tersebut merupakan manifestasi

(14)

penanda. Jadi, penanda dan petanda merupakan unsur-unsur mentalistik. Bagi

Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat bebas, baik secara

kebetulan maupun ditetapkan. Ini tidak berarti ―bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara‖ namun lebih dari itu adalah ―tak bermotif yakni

arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan

petanda (Sobur, 2004: 31-32).

Semiotika memisahkan kandungan teks menjadi bagian-bagian, lalu

menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis

semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan

dimana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia

mengulas cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan

pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Semiotika memiliki

keuntungan dalam menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz (1973) sebagai

―deskripsi tebal‖ (thick descriptions) yang berstruktur serta analisis-analisis yang kompleks. Karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks

pemahaman ilmu pengetahuan sosial tradisional—peneliti lain yang mempelajari

teks yang sama dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda (Stokes,

2006: 78).

Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual.

Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra

bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasi

makna (Stokes, 2006: 78).

2.2.6.1 Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan

istilah yang membingungkan (Sobur, 2004: 255). Istilah pesan dan makna sering

digunakan secara bergantian. Akan tetapi, dari sudut semantik hal tersebut

tidaklah benar. Dapat dikatakan, ‗pesan‘ itu tidak sama dengan ‗makna‘, pesan

bisa memiliki lebih dari satu makna dan beberapa pesan bisa memiliki satu

(15)

Berdasarkan ilmu semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah

petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke

penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa

ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi dijelaskan

bahwa hal ini juga akan menghasilkan berbagai masalah interpretasi dan

pemahaman (Danesi, 2010: 22).

Ada beberapa pandangan yang menjelaskan teori atau konsep dari makna.

Model proses makna Wendell Johnsosn (dalam Sobur, 2004: 258) menawarkan

sejumlah implikasi bagi komunikasi antar manusia:

1. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita

menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita

komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk

mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita.

Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita

gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut

mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional

dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama,

hiburan, dan perkawinan (di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara

berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu).

3. Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia

mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi

seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan

contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.

4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat

dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah

komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa

mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita

berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan,

dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu

(16)

Mengatakan kepada seorang anak untuk ―manis‖ dapat mempunyai

banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan

perilaku dalam dunia nyata: ―Berlaku manislah dan bermain sendirilah

sementara ayah memasak.‖ Bila Anda telah membuat hubungan seperti

ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak.

5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata

dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu,

kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan

masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang

sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan

bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang

diberikan masing-masing pihak diketahui.

6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari

suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi

hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat

dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita.

Karenanya, pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara

sempurna–barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi

tidak pernah tercapai

Selain model makna di atas, terdapat juga teori makna yang dikemukakan

oleh Alston, mencakup teori acuan (referential theory), teori ideasi (ideasional

theory), dan teori tingkah laku (behavioral theory) (Sobur, 2004: 259).

1. Teori Acuan (Referential Theory), salah satu jenis teori makna yang

mengenali atau mengidentifikasikan makna suatu ungkapan dengan apa

yang diacunya atau dengan hubungan acuan itu. Referen atau acuan boleh

saja benda, peristiwa, proses, atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang

ditunjuk oleh lambang.

2. Teori Ideasional (The Ideational Theory), salah satu jenis teori makna

yang menawarkan alternatif lain untuk memecahkan masalah makna

ungkapan ini. Menurut Alston, teori ideasional ini adalah suatu jenis teori

(17)

3. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory), salah satu jenis teori makna

mengenai makna suatu kata atau ungkapan bahasa dengan rangsangan

(stimuli) yang menimbulkan ucapan tersebut, dan atau

tanggapan-tanggapan yang ditimbulkan oleh ucapan tersebut. teori ini menanggapi

bahasa sebagai semacam kelakuan yang, mengembalikannya kepada teori

stimulus dan respons. Makna menurut teori ini, merupakan rangsangan

untuk menimbulkan perilaku tertentu sebagai respons kepada rangsangan

itu tadi.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut

signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut,

disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau

konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.

2.2.6.2 Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperilahkan pengaruh

terhadap bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur,

termasuk desain komunikasi visual. Menurut Tinarbuko (Piliang, 2012: 339-340)

semiotika komunikasi visual yaitu semiotika sebagai metode pembacaan karya

komunikasi visual.

Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah

sistem semiotika khusus, dengan pembendaharaan kata (vocabulary) dan sintaks

(sintagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Fungsi

signifikasi adalah fungsi di mana penanda yang bersifat konkrit dimuati dengan

konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umu disebut petanda.

Objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi

yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan tekstur, akan

tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan

elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal. Meskipun semua

muatan komunikasi dari bentuk-bentuk komunikasi visual di tiadakan, ia

sebenarnya masih mempunyai muatan signifikasi, yaitu muatan makna.

(18)

Berbagai bentuk desain komunikasi visual: iklan, fotografi jurnalistik,

poster, kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara televisi, video klip, web

design, cd interaktif adalah diantara bentuk-bentuk komunikasi visual, yang

melaluinya pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer,

produser, copywritter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).

Semiotika komunikasi mengkaji tanda konteks komunikasi yang lebih

luas, yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media,

pesan, kode. Semiotika komunikasi menekankan aspek produksi tnada di dalam

berbagai rantai komunikasi, saluran dan media, ketimbang sistem tanda. Di dalam

semiotika komunikasi, tanda ditempatkan di dalam rantai komunikasi, sehingga

mempunyai peran yang penting dalam penyampaian pesan.

Pesan yang dikemukakan dalam karya desain komunikasi, pesan

disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda

dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal

akan didekati pada aspek ragam bahasa, tema dan pengertian yang didapatkan.

Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara

ikonis, indeksikal atau simbolis dan bagaimana cara mengungkapkan idiom

estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara

terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan

yang lainnya.

2.2.6.3 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang getol

mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia berpendapat bahwa

bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu

masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004: 63).

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci

dari analisisnya. Sebuah sistem tanda primer dapat menjadi sebuah elemen dari

sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda

(19)

Salah satu bagian penting yang di bahas Barthes dalam studinya tentang

tanda adalah peran pembaca. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda,

membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes mengulas apa

yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun

di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes

disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan

dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.

1. Signifier

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes.

(Sumber: Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004 : 69)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda

dan petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga

penanda konotatif. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material:

hanya jika anda mengenal tanda ―Singa‖, barulah kontasi seperti harga diri,

kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Sobur, 2004: 69).

Pada dasarnya terdapat perbedaan diantara denotasi dan konotasi, denotasi

sebagai makna harfiah, makna yang ―sesungguhnya,‖ bahkan kadang kala juga

dirancukan dengan referensi. Sedangkan konotasi identik dengan operasi ideologi,

yang disebut sebagai ‗mitos‘, dan berfungsi mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu

(Sobur, 2004: 70-71).

Bagi Roland Barthes, didalam teks beroperasi lima kode pokok (five major

code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau

Barthes yaitu (Sobur, 2004: 65-66):

1. Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca

(20)

Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi

tradisional. Didalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan

suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam

proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa

konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan

konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan

satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah

konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu

tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap

denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling ―akhir‖.

3. Kode Simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas

bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes pascastruktural.

Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa

oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem

dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikosesksual

yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat

simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti

antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.

4. Kode Proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai

perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua

teks yang bersifat naratif. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa

prinsip seleksi. Kita mengenai kode lakuan atau peristiwa karena kita

dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan

di-―isi‖ sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks

(seperti pemilahan ala Todorov).

5. Kode Gnomik atau kode kultural yang merupakan acuan teks ke

benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut

Barhtes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah

diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil

(21)

Di samping penanda teks (leksia) dan lima kode pembacaan yang telah

dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland

Barthes adalah:

1. Penanda dan Petanda

Menurut Sausurre, bahasa merupakan sebuah sistem tanda dan setiap tanda

tersusun dari dua bagian, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda

adlaah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau

petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah ―bunyi yang bermakna‖ atau ―coretan yang bermakna‖. Jadi penanda merupakan aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yag ditulis atau dibaca. Petanda

adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Menurut Saussure, penanda dan

petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Sausurre

(22)

Sign

Composed of signification

Signifier plus signified external

reality of meaning

Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna Sausurre

(Sumber: Sobur, Alex: 2004) Media.). Analisis Teks Media. Remaja

Rosdakarya

Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah

produk kultural. Setiap tanda kebahasaan, menurut Sausurre, pada dasarnya

menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan

menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Penanda (signifier) adalah suara yang

muncul dari sebuah kata yang diucapkan sedangkan konsepnya adalah petanda

(signified). Dua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan hanya

akan menghancurkan ‗kata‘ tersebut.

2. Denotasi dan Konotasi

Makna harfiah biasanya disebut sebagai denotasi, makna yang

―sesungguhnya‖, bahkan kadangkala juga dirancukan dengan referensi atau acuan.

Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya

mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa yang terucap.

(23)

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada

sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.

Denotasi bersifat langsung, dapat diartikan sebagai makna khusus yang terdapat

dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda.

Makna dari kata yang biasa kita temukan dalam kamus adalah makna

denotatif. Makna konotatif merupakan makna denotatif ditambah dengan segala

gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu. Kata konotasi

berasal dari bahasa Latin connotare yang berarti ―menjadi tanda‖ dan mengarah

kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan

bentuk-bentuk lain dari komunikasi).

Hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama dan sebuah kata yang

secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran adalah denotasi. Makna

denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda,

dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Harimurti

Kridalaksana (2001: 40) mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai ―makna

kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada

sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya

objektif‖ (Sobur, 2004: 263).

Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai

―aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau

pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar

(pembaca)‖. Dengan kata lain, ―makna konotatif merupakan makna leksikal + X‖

(Sobur, 2004: 263).

Makna denotatif (denotative meaning) disebut juga dengan beberapa

istilah lain seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna

ideasional, makna refenrensial atau makna proporsional (Keraf, 1994: 28). Makna

itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu

referen, maka dari itu disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau

ideasional. Disebut makna kognitif karena makna itu beratlian dengan kesadaran

(24)

pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan

rasio manusia. Makna ini disebut juga makna proporsional karena ia bertalian

dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.

Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang

paling dasar pada suatu kata (Sobur, 2004: 265).

Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua

lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya (Sumardjo & Saini,

1994: 126). Yang dimaksud dengan lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam

paragraf dan karangan yang menentukan makna konotatif itu. Pengaruh

lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam

lingkungan budaya yang berbeda (Sobur, 2004: 266).

Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak

intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda

terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara

menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga

kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif

sebagai fakta denotatif (Wibowo, 2013: 22).

Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran

dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai

tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka

makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih

sedikit (kecil). Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata

itu mempunyai ―nilai rasa‘, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai

nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi tetapi dapat juga disebut

berkonotasi negatif (netral) (Sobur, 2003: 264).

Di dalam semiologi Roland Barthes, Fiske menyebut model denotasi dan

konotasi sebagai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model

ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan

antara Signifier (ekspresi) dan Signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap

(25)

nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk

menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang

terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta

nilai-nilai dari kebudayaannya (Wibowo, 2013: 21).

Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan

makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang

paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif, Barthes

mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi

semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna

sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna ―harfiah‖ merupakan

sesuatu yang bersifat alamiah Budiman (1999: 22) dalam (Sobur, 2004: 71).

3. Mitos

Mitos umumnya diartikan sebagai suatu sikap lari dari kenyataan dan

mencari ―perlindungan dalam dunia khayal‖. Sebaliknya dalam dunia politik,

mitos sering dijadikan alat untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya,

yaitu membuka jalan, mengadakan taktik untuk mendapat kekuasaan dalam

masyarakat yang bersangkutan dengan ―melegalisasikan‖ sikap dan jalan anti -sosial. Tujuan dari suatu mitos politik adalah selalu kekuasaan dalam negara,

karena dianggap bahwa tanpa kekuasaan keadaan tidak dapat diubahnya (Susanto,

1985: 220). Demikianlah mitos mudah menjadi ―alat kekuasaan‖ yang sukar

dibuktikan kebenarannya selama tujuan mitos belum menjadi kenyataan, maka

apa yang dijanjikan oleh mitos masih saja dapat diproyeksikan ke masa ―lebih ke depan‖ (Sobur, 2004: 223-224).

Mitos menurut Lapper dan Collins (dalam Rahardjo, 1996: 192)

dimengerti sebagai sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya

bertentangan dengan fakta, sekalipun perlu dicatat bahwa penafsiran fakta oleh

Lappe dan Collins itu belum tentu benar atau disetujui oleh masyarakat ilmiah

pada umumnya. Mitos yang disebut Lappe dan Collins adalah ―mitos modern‖. Di

dalam bukunya Mythology (1991), dikutip dalam Rahardjo, (1996: 192), Fernand

(26)

Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala politik, olahraga,

sinema, televisi dan pers.

Mitos dalam pemahaman semitoika Barthes adalah pengkodean makna

dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu

yang dianggap alamiah. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,

petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh

suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos

adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Barthes menempatkan

ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan

antara penanda konotatif antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi

secara termotivasi (Budiman, 2003: 28).

2.2.7 Video

Video berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum yang artinya melihat

(mempunyai daya penglihatan); dapat melihat (K. Prent dkk, 1969: 926). Kamus

Besar Bahasa Indonesa mengartikan video dengan 1) bagian yang memancarkan

gambar pada pesawat televisi; 2) rekaman gambar hidup untuk ditayangkan pada

pesawat televisi. Smaldino (2008: 374) mengartikannya dengan ―the storage of

visuals and their display on television-type screen‖ (penyimpanan/perekaman

gambar dan penayangannya pada layar televisi) (Amien & Lamere, 2010).

Video, dilihat sebagai media penyampai pesan, termasuk media

audio-visual atau media pandang-dengar (Setyosari & Sihkabuden, 2005: 117). Media

audiovisual dapat dibagi menjadi dua jenis: pertama, dilengkapi fungsi peralatan

suara dan gambar dalam satu unit, dinamakan media audio-visual murni; dan

kedua, media audio-visual tidak murni. Film bergerak (movie), televisi, dan video

termasuk jenis yang pertama, sedangkan slide, opaque, OHP dan peralatan visual

lainnya yang diberi suara termasuk jenis yang kedua (Munadi, 2008: 113).

Lahirnya teknologi dan seni gambar bergerak (motion picture) yang

mungkin merupakan sebentuk seni paling berpengaruh dalam abad yang lalu. Jika

(27)

kebiasaan dan gaya hidup—kita berhutang pertama-tama dan yang terutama pada

film. Media berbasis penglihatan dan yang diperkuat oleh penglihatan menjadi

begitu umum dan kita hampir tidak menyadari betapa mereka menjadi demikian

intrinsik di dalam tatanan signifikasi modern (Danesi, 2010: 133).

Film juga sebetulnya tidak jauh beda dengan televisi. Namun, film dan

televisi memiliki bahasa yang berbeda (Sardar & Loon, 2001: 156). Tata bahasa

itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan

jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (Long

Shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar

(fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (sLow motion), gerakan yang

dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa tersebut

juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam

kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang

paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Metafora visual sering menyinggung

objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna

sosial dan budaya.

Berbeda dari permasalahan ―tanda‖ bahasa di mana hubungan bersifat arbitrer (semena) antara tanda (demikian pun antara significant dan signifie) dan

benda (choses), penanda (significant) sinematografis memiliki hubungan

―motivasi‖ atau ―beralasan‖ (motivation) dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Petanda sinematografis

selalu kurang lebih, kata Christian Metz, ―beralasan‖ dan tidak pernah semena.

Hubungan motovasi itu berada baik pada tingkat denotatif maupun konotatif.

Hubungan denotatif yang beralasan itu lazim disebut analogi, karena memiliki

persamaan perseptif/auditif antara penanda/petanda dan referen. Perlu diketahui

bahwa analogi ini hanyalah salah satu bentuk dari motivasi karena konotasi

sinematografis juga termasuk di dalamnya. Meskipun analogi perseptif/auditif

bukanlah prasyarat keberadaannya, Metz menggarisbawahi tesis tentang polisemi

motivasi dari Eric Buyyens dengan mengatakan bahwa konotasi sinematografis

bersifat simbolis: petanda memotivasi penanda, tetapi melampauinya Masak,

(28)

2.2.7.1 Teknik Pengambilan Gambar

Teknik pengambilan suatu gambar dapat memiliki kode-kode yang

mempunyai makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir

seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat

bagi analisis seni popular dan media. Berbagai elemen terdapat dalam kode,

terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang biasa dilihat secara

lebih detail. Jelasnya dapat diperlihatkan melalui tabel berikut:

Tabel 2.1 Teknik Dalam Pengambilan dan Penyutingan Gambar

Penanda (Signifier) Petanda (Signified)

Pengambilan Gambar

Extrem Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan Sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, momen penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

Sudut Pandang (angle) pengambilan gambar

High dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye Level Kesejajaran, kesamaan dan sederajat

Low Didominasi, dikuasai dan kurang

otoritas

Selective focus Meminta perhatian (tertuju pada satu

objek)

Soft focus Romantis serta nostalgia

Deep focus Semua unsur adalah penting (melihat

secara keseluruhan objek)

Pencahayaan

High key Riang dan ceria

Low key Suram dan muram

High contrast Dramatikal dan teatrikal

Low contrast Realistik serta terkesan seperti

(29)

Pewarnaan

Warm (kuning, oranye, merah dan

abu-abu)

Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi

Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan

Black and white (hitam dan putih) Realisme, aktualisme dan faktual

(Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, 2000: 33)

Pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu merupakan salah

satu elemen penting. Pengambilan gambar akan menentukan hasil akhir dari foto

atau film yang dihasilkan. Teknik pengambilan gambar terdiri atas:

1. Pengambilan gambar secara Extrem Long Shot dapat menggambarkan

wilayah luas yang diambil dari jarak yang jauh. Pengambilan gambar

secara Long Shot membuat subjek hanya sebagian kecil saja dari objek

yang ditampilkan dalam gambar. Pengambilan gambar ini seperti

mengesampingkan subjek. Penonjolan dari subjek atau orang tersebut

tidak ada apabila Long Shot yang dipilih. Kecuali jika ada sebuah kejadian

atau suatu peristiwa yang nampak dari gambar tersebut.

2. Pengambilan gambar secara medium shot, bentuk subjek yang ditampilkan

sama ukurannya dengan objek yang menjadi latar. Ukuran gambar

subjeknya memiliki ukuran yang sama dengan latar. Kesan yang nampak

dari pengambilan gambar seperti ini adalah kesan personal.

3. Pengambilan gambar dalam bentuk Close Up, ukuran subjek lebih besar

daripada latar. Kesan intim dan dekat dengan subjek yang dimunculkan

oleh pengambilan gambar ini. Pembaca atau orang yang melihat diajak

untuk memperhatikan.

4. Pengambilan dalam bentuk Big Close Up, subjek bukan hanya ditampilkan

dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam gambar.

Selain pengambilan gambar, sudut pandang pengambilan gambar (angle)

juga menjadi bagian penting dalam memaknai suatu gambar. Sudut pengambilan

gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini akan memberi makna pada

gambar dan menghadirkan penafisran berbeda dari khalayak yang melihatnya.

(30)

1. Gambar yang diambil dari atas (Highangle shot), memposisikan khalayak

atau orang berada di atas subjek. Secara tidak langsung, angle ini

memposisikan orang yang ada di atas lebih powerfull (kekuasaan) dan

lebih mempunyai otoritas.

2. Subjek yang diambil dari bawah (Low angle shot), membuat subjek lebih

besar dan memposisikan subjek yang ditampilkan dalam gambar

mempunyai posisi lebih tinggi dari mata penonton. Subjek lebih terkesan

powerfull, lebih otiritatif dibandingkan dengan posisi penonton atau

khalayak.

3. Gambar yang diambil dengan Eye Level shot, memposisikan subjek dan

khalayak sama. Tingkat sejajar dan setara antara khalayak dan subjek

menjadi kesan yang muncul dari pengambilan gambar ini.

Fokus dari pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu

diperhatikan dalam menganalisis video. Fokus berhubungan dengan tipe lensa

yang dipakai ketika objek diambil, yaitu: tele, standart dan wide focus. Dalam

standar pengambilan fokus suatu gambar jika memakai lensa standar akan

menghasilkan suasana yang natural, dikarenakan fokus yang tidak jauh dan juga

tidak dekat, sehingga komposisi dan perbandingan antara objek menjadi merata.

Hal ini berbeda dengan gambar yang diambil dengan menggunakan lensa tele

ataupun wide karena objek akan nampak lebih besar dibandingkan dengan objek

lain. Pencahayaan gambar juga akan menciptakan suasana dan mood yang

berbeda.

Selain cara pengambilan gambar, ada hal lain yang perlu diperhatikan

dalam membuat iklan media internet (berdurasi) yaitu teknik dalam penyuntingan

suatu gambar. Kerja kamera dan teknik penyuntingan gambar akan

memperlihatkan ―tata bahasa‖ media baru. Teknik tersebut memiliki arti tersendiri

sebagai penanda dan petanda dalam semiotika, hal ini dapat dijelaskan dengan

(31)

Tabel 2.2 Kerja Kamera dan Teknik Penyuntingan

Pan Down Kamera mengarah ke

bawah

Kekuasaan dan kewenangan

Pan Up Kamera mengarah ke

atas

Kelemahan, pengecilan

Dolly In Kamera bergerak ke

dalam

Observasi dan fokus

Fade In Gambar kelihatan pada

layar kosong

Permulaan gambar

Fade Out Gambar di layar menjadi

hilang

Penutupan

Cut Pindah dari gambar satu

ke gambar yang lain

Kebersambungan, menarik

Wipe Gambar terhapus dari

layar

Penentuan dan kesimpulan. (Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, 2000: 34)

Dalam teknik penyuntingan terdapat efek gambar yang blank (hilang)

yang disebut efek Deep to black, gambar yang tercipta dari teknik fade in dan fade

out. Teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek suara dan musik juga

merupakan hal lain yang juga menarik. Semua penanda tersebut menolong kita

menterjemahkan apa yang kita lihat di dunia maya. Selain televisi, media internet

juga dapat menjadi media yang menggunakan bahasa verbal, bahasa gambar dan

(32)

2.3 Model Teoritis

Model Teoritis merupakan acuan konseptual yang didasari pada prediksi

data yang diamati melalui fluktuasi fenomena secara garis besar. Dengan adanya

model teoritis diharapkan agar peneliti dapat menjalankan penelitian kualitatif

secara terstruktur dan efektif.

Gambar 2.4 Model Teoritis

ANALISIS SEMIOTIKA SLOGAN YAMAHA SEMAKIN DI DEPAN

Semiologi Roland Barthes

Untuk mengetahui Analisis Semiotika Slogan Motor Yamaha

Gambar

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes.
Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna Sausurre
Tabel 2.1 Teknik Dalam Pengambilan dan Penyutingan Gambar
gambar dan menghadirkan penafisran berbeda dari khalayak yang melihatnya.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapainya dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi diri ideal.. Harga diri diperoleh dari diri sendiri

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah PKM Pengabdian Kepada Masyarakat dengan Judul “ Gerakan Spangul

diketahui pula bahwa semakin tinggi afek negatif suatu keluarga akan semakin tinggi pula konflik orangtua dan perilaku internal yang terjadi pada anak. Berdasarkan hasil

mekanik kemudian dikonversikan oleh generator menjadi energi listrik... ap panas terbuang dari hasil konversi energi tersebut kemudian ditampung ap panas terbuang dari hasil

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kesetaraan ekstrak metanol akar kayu TTis ( Glycynhiza glabra ) konsentrasi 20o/o, 40o/o, 600/o, g0o/o, dan_10070 dibandingkan dengan

Dalam rangkah memainkan permainan bola voli ini, permainan ini dapat dilakukan dengan cara membuat lapangan kecil dengan teknik passing bawah dan cara servis tangan bawah ,

Dalam hal ini, Indonesia telah mempunyai pengalaman berpuluh tahun dengan Daftar Obat Esensial, yang kemudian dikembangkan menjadi Formularium Nasional sebagai instrumen

Akuntansi perusahaan dagang harus memiliki sistem untuk mencatat penerimaan barang dagang, menyajikan informasi mengenai persediaan barang dagang yang akan dijual,