• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Penanganan Anak Korban Bencana Erupsi Gunung Sinabung Berbasis Perlindungan Anak Di Posko Pengungsian Universitas Karo (Uka) I Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Penanganan Anak Korban Bencana Erupsi Gunung Sinabung Berbasis Perlindungan Anak Di Posko Pengungsian Universitas Karo (Uka) I Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hampir sepanjang waktu Gunung Sinabung memberikan manfaat bagi alam dan

makhluk yang ada di sekitarnya. Lereng dan wilayah sekitar Gunung Sinabung terkenal

dengan kesuburan tanahnya karena guyuran abu vulkanis Gunung Sinabung, tanaman jeruk,

kopi dan tanaman lainnya dapat tumbuh subur. Selain itu di sekitar lereng ataupun kawasan

lainnya terdapat beberapa kawasan rekreasi diantaranya objek wisata Danau Lau Kawar serta

wisata pendakian Gunung Sinabung yang memberikan pesona alam tersendiri.

Disisi lainnya Gunung Sinabung yang telah tertidur 400 tahun lamanya memberikan

ancaman yang dapat menyebabkan bencana di wilayah lereng dan sekitarnya pada

waktu-waktu tertentu. Ancaman Gunung Sinabung yang menimbulkan bencana misalnya pada

beberapa peristiwa erupsi terakhir pada tahun 2010-2013 mengguncang dunia yang dapat

dilihat secara jelas karena terdokumentasi dengan baik. Ancaman erupsi Gunung Sinabung

berupa awan panas, lahar panas, lahar dingin serta abu vulkanik, sehingga memberi dampak

terhadap masyarakat desa yang berada disekitar kaki Gunung Sinabung harus diungsikan ke

tempat yang aman. Masyarakat desa yang berada pada jarak 2-3 kilometer dan terjauh 4-6

kilometer. Pada bulan Januari 2014 awan panas mencapai radius 4,5 kilometer, lahar dingin

yang mengalir mengikuti aliran sungai yang berasal dari mata air Gunung Sinabung serta abu

vulkanik yang menutupi lahan pertanian dan wilayah pemukiman di lerengnya, selain itu

menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.

Serangkaian erupsi Gunung Sinabung yang diawali pada tahun 2010, letusan Gunung

(2)

Sukameriah, Gungpintu, Sigarang-garang, Sukadebi, Bekerah dan Simacem. Tanggal 27-28

Agustus letusan abu atau freatik dari kawah puncak. Pada 29-30 Agustus 2010 letusan abu dari puncak disertai suara dentuman dan kolom abu berkisar 1500-2000 meter. Pada 3 dan 7

September letusan abu dengan tinggi kolom abu berkisar 2000-5000 meter (http://www.Ini

riwayat erupsi dan letusan Gunung Sinabung _ merdeka.com.htm, diakses tanggal 25 april

2014 Pukul 14.35 WIB).

Selanjutnya serangkaian aktivitas Gunung Sinabung menunjukkan aktivitas

signifikannya pertengahan September 2013 yang ditandai dengan getaran-getaran yang cukup

intensive atau sering. Disusul dengan setiap 20 menit terjadi gempa dimana puncaknya yaitu pertengahan Desember 2013. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutpo Purwo Nugroho membenarkan adanya peningkatan

aktivitas Gunung Sinabung. Tertanggal 12 Desember 2013 perkembangan aktivitas Gunung

Sinabung terjadi 2 kali gempa vulkanik 1 kali gempa vulkanik dangkal, 41 kali gempa

frekuensi rendah, 187 kali gempa hybrid (berkekuatan tinggi), 8 kali gempa hembusan dan terus menerus dengan amplitude maksimum 2 mm, longsoran material yang mengarah ke tiga

desa seperti desa Bekerah, Mardinding dan Simacem, tercatat pengungsi mencapai 17.844

jiwa yang terdiri dari 5.513 kepala keluarga yang tersebar di 31 titik posko pengungsian.

Dengan pola kegempaan vulkanik seperti itu, diramalkan Gunung Sinabung bisa saja meletus

dengan frekuensi yang besar sekali. Bisa dibuktikan berapa hari tanda-tanda seperti

meluncurnya awan panas dan abu vulkanik yang menganggu jarak pandang serta pernapasan

warga di desa sekitar Gunung Sinabung mengakibatkan pengungsi kian bertambah menjadi

18.186 jiwa (http://www.koran-sindo.com/node/351882, diakses tanggal 29 maret 2014 pukul

20.45 WIB).

Pada tanggal 19-21 Desember 2014 tanda-tanda Gunung Sinabung meletus semakin

(3)

5 km ke arah tenggara. Dari seluruh gunung api yang berada di atas kondisi normal di

Indonesia dimana Gunung Sinabung satu-satunya yang memiliki status awas (level IV).

Sehingga ditetapkanlah tidak diperbolehkan aktivitas warga di radius 5 kilometer (zona

merah) dari kaki gunung tersebut. Perubahan yang signifikan pada kondisi struktur Gunung

Sinabung menyebabkan terjadinya longsoran di sekitar badan gunung di wilayah puncak

gunung teramati bentuk kubah magma yang kapan saja dapat menyemburkan lava pijar.

Selanjutnya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi merekomendasikan

masyarakat di 17 desa dan 2 dusun seperti desa Gurukinayan, Sukameriah, Berastepu,

Bekerah, Gamber, Simacem, Perbaji, Mardinding, Kuta Gugung, Kuta Rakyat,

Sigarang-Garang, Sukanalu, Temberun, Kuta Mbaru, Kuta Tonggal, Tiganderket, Selandi dan Dusun

Sibintun serta Dusun Lau Kawar harus diungsikan (http://.www.chirpstory.com/li/187097,

diakses tanggal 30 maret 2014 pukul 23.15 WIB)

Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

tanggal 08 januari 2014 mengumumkan bahwa pengungsi terus bertambah yaitu 22.708 jiwa

(7.079 KK). Tertanggal 15 januari 2014, jumlah pengungsi makin bertambah dimana tercatat

26.174 pengungsi (8.161 KK) tersebar di 39 titik pengungsian. Terdapat titik pengungsi baru

yaitu di Maka Jl. Samura sebanyak 122 jiwa (42 KK) yang berasal dari Desa Gung Pinto. 9

Februari 2014 tercatat jumlah pengungsi erupsi Gunung Sinabung mencapai 33.126 jiwa

(10.297 KK) yang terletak di 41 titik pengungsian yang statusnya masih skala bencana

kabupaten, dimana artinya Pemerintah Daerah Karo masih mampu mengatasi bencana

tersebut yang dibantu Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara yang didampingi oleh

pemerintah pusat. Adanya usulan agar dijadikan skala bencana nasional tidak memenuhi

persyaratan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal

51 ayat 2, dimana disebutkan penetapan skala nasional ditetapkan oleh presiden, skala

(4)

Kabupaten Karo masih berjalan normal. Selain itu juga tidak ada korban jiwa banyak dan

terjadi eskalasi bencana yang luas. Berbeda dengan erupsi Gunung Merapi tahun 2010,

dimana presiden memerintahkan kendali operasi tanggap darurat dalam satu komando berada

di tangan kepala BNPB dibantu Gubernur DIY, Gubernur Jawa Tengah, Pangdam IV

Diponegoro, Kapolda Jawa tengah dan DIY pada 05 sepetemper 2010. Keputusan Presiden

saat itu didasarkan bertambahnya korban dan pengungsi. Pada 4 september 2010 korban jiwa

44 tewas, 119 luka-luka, 82.701 mengungsi, kemudian ketika erupsi besar 5 september 2010

korban meningkat 114 tewas, 218 luka-luka dan 300 ribu mengungsi (Pusat Data Imformasi

dan Humas BNPB).

Adanya informasi peningkatan aktivitas Gunung Sinabung kerugian yang ditimbulkan

makin besar. Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Karo menyatakan kerugian di

sektor pertanian dan perkebunan sejak Gunung Sinabung erupsi 6 januari 2014 diperkirakan

Rp 712,2 milyar dari 10.406 ha lahan pertanian dan perkebunan. Luas lahan pertanian dan

perkebunan ini meliputi tanaman pangan (1.837 Ha), holtikultura (5.716 Ha), tanaman buah

(1.630 Ha), biofarmaka (1,7 Ha) dan perkebunan (2.856 Ha). Dimana dampak kerugian

terbesar terdapat di 4 kecamatan seperti Nemanteran, Simpang Empat, Payung dan

Tigandreket (http://www.Mari Meringankan Beban Pengungsi Sinabung _

Kompasiana.com.htm diakses tanggal 03 april 2014 pukul 21.56 WIB).

Penanganan korban bencana gunung meletus yang baik selama ini dilakukan oleh

berbagai instansi, namun tidak didukung dengan kebutuhan minimum bagi para korban

bencana. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 26

ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi korban bencana berhak mendapatkan

bantuan pemenuhan kebutuhan dasar artinya kebutuhan untuk menyambung hidup dan

kehidupannya selama berada di tenda-tenda pengungsian. Sementara menurut Peraturan

(5)

pasal 28 ayat 1 bahwa bantuan pemenuhan kebutuhan dasar harus diberikan kepada korban

bencana alam dalam bentuk penampungan sementara, bantuan pangan dan sandang,

mendapatkan air bersih dan sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan (Sudibyakto, 2011:

121).

Konteks bencana erupsi Gunung Sinabung bantuan darurat bencana untuk pemenuhan

kebutuhan dasar tentunya harus menganut prinsip standar minimal kebutuhan dasar. Oleh

karena itu sangat diperlukan pendampingan pengungsi korban bencana Gunung Sinabung

khususnya bagi kelompok yang rentan seperti bayi, balita, anak-anak, ibu hamil atau

menyusui, penyandang cacat (disabilitas), orang sakit dan manula yang menjadi korban erupsi Gunung Sinabung agar kriteria kebutuhan minimal dapat dilaksanakan sebagaimana

semestinya. Dengan demikian azas pemberian bantuan harus berdasarkan pada prioritas

untuk kelompok rentan ini dan harus adil. Hal yang sangat penting adalah adanya Tim Rapid Need Assesment dalam rangka membantu pemerintah daerah setempat dalam memantau dan memberikan saran dan jalan keluar tentang jenis kebutuhan yang diperlukan korban bencana

secara proposional (Sudibyakto, 2011: 122).

Salah satu poin pembelajaran yang dapat diambil dari erupsi Gunung Sinabung adalah

bahwa anak-anak merupakan kelompok yang sering terabaikan dan tidak tertangani dengan

baik. Trauma dan dampak terhadap kesehatan anak kurang mendapat perhatian dan sering

tidak tepat dalam penanganannya. Kondisi lain yang juga mengancam anak-anak dalam

situasi darurat pasca bencana adalah eksploitasi ekonomi, keterpisahan dari keluarga dan

kehilangan arena dimana mereka biasa beraktivitas dan bermain dengan teman-teman sebaya.

Anak-anak dalam keadaan darurat atau bencana berada dibawah resiko dan ancaman karena

tingkat ketergantungan mereka yang tinggi terhadap orang dewasa. Karena belum memiliki

banyak pengalaman hidup, kemampuan anak untuk melindungi diri sendiri terbatas dan

(6)

Anak terutama saat mereka berusia sangat dini sangat rentan dan membutuhkan

dukungan khusus agar dapat menikmati hak mereka sepenuhnya. Bagaimana anak dapat

diberikan nilai setara dan bersamaan diberikan perlindungan yang diperlukan? Sebagian dari

jawabannya terletak pada prinsip “demi kepentingan anak” sebagaimana yang dirumuskan

dalam pasal 3 ayat 1 Konvensi Hak Anak (KHA) yang hendaknya dijadikan pertimbangan

utama dalam langkah-langkah yang berhubungan dengan anak. Kapan saja keputusan resmi

yang berdampak pada anak diambil, kepentingan anak hendaknya dipandang sebagai hal

yang penting. Kepentingan orang tua atau Negara hendaknya bukan merupakan pertimbangan

yang benar-benar penting. Hal ini memang merupakan salah satu pesan utama yang

terkandung di dalam Konveksi Hak Anak. Bilamana menafsirkan prinsip ini, komite hak anak

menekankan pentingnya prosedur ini untuk pengambilalihan keputusan yang memberikan

perhatian pada kepentingan anak (Hammaberg, 2001: 378-379).

Berkaca pada bencana terdahulu seperti pasca tsunami di Aceh dan Nias tahun 2004,

anak-anak yang selamat dari bencana alam tidak serta merta aman dari ancaman. Ratusan

anak-anak menjadi korban penculikan dan perdagangan manusia (human trafficking) yang disebabkan keterpisahan dari keluarga, selain itu munculnya kemiskinan baru pasca bencana.

Ratusan anak-anak di Nias menjadi pekerja konstruksi dan penggali tambang pasir untuk

memenuhi kebutuhan material bangunan dimasa rehabilitasi dan rekonstruksi. Pasca gempa

bumi di Yogyakarta dan Sumatera Barat, anak-anak dijadikan pengemis untuk mencari

bantuan dijalanan.

Berdasarkan kondisi itulah maka banyak sekali pemangku kepentingan (stakeholder) baik dari unsur pemerintah dan non-pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat (lokal

maupun internasional), perusahaan, organisasi massa dan masyarakat selalu mengambil

bagian dalam upaya penanggulangan bencana khususnya untuk memenuhi kebutuhan

(7)

bencana tersebut dari sisi jumlah dan jenis bantuan sangat banyak dan seringkali jika tidak

diorganisir dengan baik akan mengakibatkan tidak meratanya distribusi bantuan sehingga

bantuan yang sifatnya temporer seperti makanan menjadi rusak dan tidak dapat dimanfaatkan.

Bantuan tanggap darurat bencana alam tersebut dari sisi jenis bantuannya lebih

banyak diprioritaskan pada bantuan logistik dan jika sasarannya anak-anak, program-program

yang ditawarkan lebih banyak bersifat permainan-permainan yang bertujuan untuk mencegah

sekaligus mengatasi trauma yang dihadapi anak akibat bencana alam. Bantuan dan maksud

baik dari semua pemangku kepentingan tersebut akan menjadi lebih komprehensif

(menyeluruh) dan efektif jika setiap program dan bantuan yang diberikan untuk anak

berangkat dari sebuah landasan konsep yang kuat yang untuk selanjutnya dapat dipergunakan

sebagai panduan dalam melakukan aksi-aksi nyata untuk membantu anak yang menjadi

korban bencana. Bantuan logistik dan program permainan adalah salah satu upaya

perlindungan anak dan upaya perlindungan anak dalam konteks bencana alam sangat luas

sekali (http//:www.penanganan-anakdalammasatanggapdaruratbencana.htm , diakses tanggal

2 april 2014 pukul 13.45 WIB).

Berbicara tentang penanganan anak berbasis perlindungan anak dalam tanggap

darurat bencana erupsi Gunung Sinabung perlu dipahami tentang konsep hak dan anak. Hak

sering didefinisikan sebagai kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap manusia dan ketika

kebutuhan tersebut tidak dipenuhi akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dan

keberfungsian sosial manusia tersebut. Sedangkan konsep anak dengan mengacu pada

definisi Undang-Undang Perlindungan anak dan Konvensi Hak Anak yaitu setiap individu

yang berada dibawah usia 18 tahun. Jadi berangkat dari kedua konsep bahwa hak anak

merupakan kebutuhan mendasar yang melekat pada anak agar terpenuhi sedangkan aktivitas

dan kegiatan untuk menjamin serta melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

(8)

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi adalah perlindungan anak. Jadi

upaya penanganan anak yang berdampak bencana dalam masa tanggap darurat secara khusus

adalah termasuk aktivitas perlindungan anak.

Penanganan anak korban bencana erupsi Gunung Sinabung telah digalakkan beberapa

bentuk penanganannya antara lain mengoptimalkan kebijakan yang telah ditetapkan presiden

dalam penanganan korban dampak erupsi Gunung Sinabung mengupayakan terpenuhinya

standar minimum dalam pemenuhan dasar para pengungsi mempercepat pelaksanaan

rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana erupsi Gunung Sinabung mendorong

keluarnya Perpres (Peraturan Presiden) tentang penetapan status dan tingkatan bencana serta

membangun ketangguhan dalam menghadapi bencana di masa mendatang. Selain itu anak

harus segera kembali memperoleh pendidikan yang layak. Kegiatan pendidikan

diselenggarakan di sekolah-sekolah darurat. Dalam banyak peristiwa bencana, kondisi ini

berlangsung dalam waktu lama. Situasi ini jelas kurang menguntungkan bagi anak-anak yang

harus belajar dengan fasilitas yang serba terbatas yang pada akhirnya proses belajar mengajar

tidak bisa berlangsung secara optimal. Terlebih lagi Kabupaten Karo belum memiliki metode

pendidikan standar yang dapat diterapkan pada kondisi pasca bencana.

Posko Pengungsian Universitas Karo (UKA) 1 yang berlokasi di Desa Ketaren

Kecamatan Kabanjahe merupakan salah satu posko aktif menerima pengungsi yang berasal

dari desa terparah dampak erupsi Gunung Sinabung antara lain berasal dari desa Simacem,

Bekerah dan Kuta Tunggal. Data yang didapat dari Assesment KKSP terdapat 990 jiwa total

pengungsi yang berada di Posko UKA 1 antara lain jumlah balita terdapat 77 balita dan anak

usia sekolah 279 anak, selebihnya dewasa dan lansia.

Banyak pengungsi kini mengeluhkan berbagai jenis penyakit. Dari 10 jenis penyakit

yang berhasil ditemukan tim medis relawan medan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)

(9)

Buruknya sanitasi air, lingkungan dan kondisi udara bercampur abu vulkanik mungkin

merupakan salah satu penyebab banyaknya pengungsi yang menderita ISPA. Jenis penyakit

menonjol lainnya yang ditemukan adalah depresi karena lahan pertanian milik pengungsi

yang mati dikarenakan abu erupsi gunung

sinabung(http://medanmediacenter.or.id//=news&life=detail&id=524, diakses tanggal 05

april 2014 pukul 23.08 WIB).

Hidup di barak pengungsian memang serba kurang baik itu berupa pemenuhan

kebutuhan pokok (sembako), air bersih, selimut, listrik, pakaian ganti, sarana pendidikan bagi

anak-anak serta fasilitas lainnya yang mereka butuhkan juga sangat terbatas.

Kesulitan-kesulitan ini juga sering terjadi pada anak-anak yang masih sekolah disebabkan karena jarak

dari posko ke sekolah mereka sangat jauh dari tempat pengungsian. Bagi anak-anak

pengungsi korban bencana erupsi Gunung Sinabung dalam upaya penanganannya perlu

mendapat perlindungan khusus supaya terjamin terpenuhinya hak-hak anak untuk mereka

hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan usianya, termasuk yang

terpenting kebutuhan penyembuhan trauma pada anak akibat bencana selain itu pendidikan

formal ataupun informal diperlukan secara memadai.

Pada tanggal 30 April 2014 erupsi Gunung Sinabung terjadi namun saat ini masih

banyak pengungsi yang tinggal di barak pengungsian terutama anak-anak. Mereka tetap

bertahan dengan terus mengharapkan bantuan dari berbagai pihak. Di Posko Pengungsian

Universitas Karo (UKA) I sekitar 382 kepala keluarga yang masih berada di tempat

penampungan sementara yang terus bertahan hidup sembari menunggu bantuan relokasi

rumah baru dan bantuan logistik dari berbagai lembaga. Keadaan di posko pengungsi asal

Desa Bekerah dan Simacem yang masih bertahan saat ini mulai jenuh akan janji relokasi dari

pemerintah bahkan ada dari beberapa orang yang mengalami stress akibat tanaman mereka

(10)

diberi kehidupan anak-anak mereka masih tertolong dengan berbagai upaya yang dilakukan

banyak pihak dalam memenuhi kebutuhan anak mereka. Khusus dalam penanganan anak

korban bencana erupsi Gunung Sinabung yang terdapat di Posko Pengungsian Universitas

Karo (UKA) 1 sejauh ini penanganan anak-anak korban bencana erupsi Gunung Sinabung

dinilai baik karena banyak hiburan yang diberikan relawan atau mahasiswa yang

mendampingi mereka untuk keluar dari trauma akibat bencana yang dialami.

Pemenuhan kebutuhan sehari-hari para pengungsi setiap pekannya selalu memperoleh

bantuan dari berbagai pihak, baik dari instansi pemerintah maupun lembaga lokal ataupun

luar seperti bantuan obat-obatan, makanan, susu dan biskuit bagi anak-anak atau bumil (ibu

hamil), masker, makanan ringan serta peralatan-peralatan lainnya yang dijatah per kepala

keluarga. Terutama bagi anak-anak penanganan yang diberikan oleh mahasiswa dan tim

relawan memberikan hiburan-hiburan dalam metode belajar bermain seperti permainan

tradisional, mendatangkan tokoh-tokoh animasi kartun berbentuk badut, selain itu melukis

bersama anak dengan dunia khayalnya, penanganan psikososial juga terdapat di Posko

Pengungsian Universitas Karo (UKA) I ini seperti bernyanyi, permainan dinamika kelompok

anak-anak. Kegiatan psikososial anak ini bertujuan sebagai langkah pemulihan fisik dan

psikis anak pasca bencana erupsi Gunung Sinabung.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang maka peneliti tertarik

melakukan penelitian dengan judul Tinjauan Penanganan Anak Korban Bencana Erupsi

Gunung Sinabung di Posko Pengungsian Universitas Karo (UKA) 1 Kecamatan Kabanjahe

Kabupaten Karo yang Berbasis Perlindungan Anak.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan maka dapat

(11)

berbasis perlindungan anak di Posko Pengungsian Universitas Karo (UKA) 1 Kecamatan

kabanjahe Kabupaten Karo yang berbasis perlindungan anak.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penanganan anak korban

bencana erupsi Gunung Sinabung yang berbasis perlindungan anak di Posko Pengungsian

Universitas Karo (UKA) 1 Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap pihak-pihak

terkait yang menangani anak korban bencana erupsi Gunung Sinabung yang

penanganannya berbasis perlindungan anak

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dalam rangka pengembangan

teori-teori, konsep-konsep dan model penanganan anak korban bencana erupsi

Gunung Sinabung yang berbasis perlindungan anak dalam perspektif Ilmu

Kesejahteraan Sosial

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam skripsi

ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika Penulisan secara garis besarnya dikelompokkan

dalam enam bab, dengan urutan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan

(12)

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang

diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data.

BAB IV : GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

Berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan

data-data lain yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISIS DATA

Berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan

analisisnya

BAB VI : PENUTUP

Berisikan tentang pokok-pokok kesimpulan dan saran-saran yang perlu

disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 4.36 Tanggapan Responden Terhadap Masyarakat membutuhkan Program Pembangunan Pariwisata yang baru di Desa Tomok Parsaoran. No Pertanyaan Jawaban Responde

aktivitas yang dimulai dengan mengunyah bolus yang telah dikeluarkan dari.. rumen ke mulut hingga aktivitas menelan beberapa bolus, serta

Namun dapat disimpulkan bahwa jajanan dan permainan popular era ’80-an dapat menjadi bagian dari identitas budaya karena kedua hal tersebut merupakan ciri khas atau

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tanaman ubi kayu di Kabupaten Serdang Bedagai yaitu penggunaan pupuk yang tidak efisien, hal ini dikarenakan masih banyak petani

Penelitian yang dilakukan oleh Ashari, dkk (1994) membuktikan bahwa profitabilitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba, perusahaan dengan

Saya ucapkan terima kasih kepada pemerintah Australia yang melalui KSI telah berkontribusi dalam penyelenggaraan forum yang menyediakan informasi, masukan, dan

Efisiensi faktor produksi pupuk pada usahatani ubi kayu ini diukur dengan analisis fungsi produksi frontier, yang dilihat dari efisiensi teknis dan efisiensi

Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) khususnya pasal 2 ayat (4) yang menyebutkan