Skolastika L. K._071411231051_PIHI_Week 12 (Kelas A)
Globalisasi dan Pengaruhnya dalam Hubungan Internasional
Sebelumnya, penulis telah membahas mengenai perspektif dalam Hubungan Internasional dan membahas tentang perdebatan besar yang terjadi di antara kaum Neorealisme/Neoliberalisme dengan Neomarxisme/Strukturalisme dan munculnya pendekatan-pendekatan alternatif, serta pengaruh-pengaruhnya terhadap studi Hubungan Internasional. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas tentang globalisasi, apa saja pengertiannya, dan apa saja pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya globalisasi di dalam studi Hubungan Internasional. Kata-kata ‘globalisasi’ adalah kata-kata yang sudah tidak asing lagi di masyarakat dewasa ini. Martin Albrow mengungkapkan bahwa, globalisasi mengacu pada semua proses yang orang-orang di dunia yang dimasukkan ke dalam masyarakat dunia tunggal, masyarakat global. David Held beranggapan, globalisasi dapat dianggap sebagai suatu proses (atau serangkaian proses) yang mewujudkan transformasi organisasi spasial pada hubungan sosial dan transaksi (Scholte, 2001: 15). ‘Globalisasi’ berarti proses peningkatan keterkaitan di antara berbagai masyarakat sehingga peristiwa di salah satu bagian dunia semakin banyak dan banyak lagi memberikan efek pada masyarakat dan komunitas yang jauh (Smith dan Baylis, 2001: 7). Dimulai pada sekitar tahun 1980an, pembicaraan mengenai globalisasi menjadi marak. Istilah ‘globalisasi’ tersebut dengan cepat memasuki perbendaharaan kata standar, tidak hanya beredar di kalangan akademisi, tetapi juga dengan cepat beredar di kalangan wartawan, politisi, pengusaha, pengiklan, dan penghibur. Gagasan globalitas telah beredar sebelum tahun 1980. Para pembicara Inggris telah secara teratur menggunakan kata sifat 'global' untuk menunjukkan 'seluruh dunia' sejak akhir abad kesembilan belas (Scholte, 2001: 14).
Skolastika L. K._071411231051_PIHI_Week 12 (Kelas A)
tersebut, globalisasi hadir dalam beberapa perspektif atau pemahaman yang berbeda. Kaum realis berpendapat bahwa Globalisasi tidak mengubah ciri yang paling signifikan dari dunia politik, yaitu pembagian wilayah dari negara-bangsa dunia. Globalisasi dapat mempengaruhi, kehidupan ekonomi dan sosial budaya kita, namun tidak melampaui sistem politik negara-negara internasional. Berbeda dengan kaum realis, kaum liberal cenderung melihat globalisasi sebagai produk akhir yang berasal dari transformasi yang berlangsung lama dalam politik dunia. Lain lagi dengan kaum Marxis yang memandang bahwa globalisasi adalah sebagian kecil dari sebuah tipuan belaka. Hal ini bukan merupakan hal yang baru, dan itu benar-benar hanya merupakan tahap terakhir dalam perkembangan kapitalisme internasional (Smith dan Baylis, 2001: 6).
Paling tidak ada lima penggunaan secara umum dari kata 'globalisasi' yang dapat dibedakan. Sebagai contoh, kata tersebut sering diambil untuk diartikan sebagai internasionalisasi. Yang kedua, penggunaan kata ‘globalisasi’ telah diberlakukan sebagai liberalisasi, yang merupakan proses, menghilangkan pembatasan-pembatasan yang dikenakan pemerintah terhadap pergerakan antar negara dalam rangka menciptakan sebuah perekonomian dunia yang terbuka dan terintegrasi. Konsepsi yang ketiga telah melihat globalisasi dari segi universalisasi, yaitu, penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada orang-orang di seluruh penjuru bumi. Keempat, banyak orang (terutama kritikus imperialisme budaya) telah mendefinisikan globalisasi sebagai westernisasi, terutama dalam bentuk Amerikanisasi. Yang kelima, masih banyak otang yang telah mengidentifikasi globalisasi sebagai deteritorisasi, yaitu pergeseran geografi dimana tempat teritorial, jarak teritorial dan batas wilayah kehilangan beberapa pengaruh utama mereka sebelumnya (Scholte, 2001: 14).
Skolastika L. K._071411231051_PIHI_Week 12 (Kelas A)
berkurang. Kelima, waktu dan ruang tampaknya runtuh karena globalisasi mempermudah komunikasi. Keenam, munculnya sebuah pemerintahan global dengan adanya gerakan sosial dan politik transnasional. Yang ketujuh, budaya kosmopolitan semakin berkembang. Masyarakat mulai berpikir secara global dan bertindak secara lokal. Dan yang kedepalan yaitu, sebuah risiko budaya yang muncul dengan adanya masyarakat yang menyadari bahwa kedua risiko utama yang dihadapi mereka adalah masalah global (polusi dan AIDS) dan bahwa negara tidak mampu menangani persoalan tersebut (Smith dan Baylis, 2001: 9). Konsep kedaulatan terus menjadi penting dalam retorika politik, terutama bagi orang-orang yang berusaha untuk memperlambat dan membalikkan pengurangan untuk menentukan nasib sendiri nasional dalam menghadapi globalisasi. Selain adanya sisi positif yang ditimbulkan karena danya globalisasi, tetapi globalisasi juga memiliki dampak negatif dalam perkembangan dunia. Globalisasi telah melonggarkan beberapa dasar-dasar kebudayaan dan psikologis yang penting bagi kedaulatan (Scholte, 2001: 22). Akibat dari adanya globalisasi, berdampak juga pada aktor-aktor yang terlibat. Dengan adanya fenomena globalisasi, negara bukan lagi bertindak sebagai aktor tunggal. Kegiatan regulasi dalam politik dunia kini juga melibatkan yang pertama yaitu, substate global governance, suprastate global governance, marketized global governance, dan civil society organizations (Scholte, 2001: 24).
Skolastika L. K._071411231051_PIHI_Week 12 (Kelas A)
masyarakat juga harus bisa ‘menyaring’ setiap efek yang ditimbulkan oleh globalisasi agar dapat tercipta masyarakat yang harmonis.
Referensi :
Scholte, Jan A., 2001. The globalization of world politics. Dalam: J. Baylis & S. Smith, eds. The Globalization of World Politics. 2nd edition. Oxford: Oxford University Press. hal.
12-32.