Rizki Akbar Hasan 1206274361
Anak Perempuan dan Delinkuensi dari Perspektif Feminisme
Selama satu abad terakhir, female offender (dalam bahasa indonesia berarti perempuan pelaku pelanggaran) luput dari perhatian studi kriminologi1. Jika pun tidak
luput, sebelum era 1960-an, perhatian kriminologi terhadap perempuan pelaku perilaku menyimpang berfokus pada penjelasan biologis dan stereotip gender-nya saja2, setelah itu, perempuan selalu luput dan mengalami bias dalam disiplin ilmu
kriminologi.
Ketika perempuan kembali diperhatikan dalam disiplin ilmu kriminologi, tindakan
perempuan tersebut, dalam hal ini perilaku menyimpang, digambarkan oleh masyarakat sebagai evil (jahat), unstable (tidak stabil), dan irrasional (irasional)3.
Maksudnya adalah, masyarakat terbiasa dengan stereotip perempuan sebagai makhluk yang feminim. Ketika muncul peristiwa tersebut, masyarakat, yang didominasi oleh hegemoni patriarki, akan menganggap perempuan sebagai manusia yang jahat.
Pada era 1960-1970-an, ketika munculnya gerakan perempuan yang menuntut
kesamaan hak dan kesempatan, memberikan dampak tersendiri bagi kriminologi, khususnya teori-teori kriminologi, yang dianggap bias dalam usaha menjelaskan perilaku menyimpang pada perempuan4.
Pada banyak tulisan akademisi, kriminologi feminisme memberikan beberapa pokok
penjelasan berikut:
a. Mengapa perempuan secara kuantitas jarang melakukan kejahatan
b. Mengapa perempuan, seiring perkembangan waktu, sering melakukan kejahatan c. Mengapa perempuan seringkali menjadi korban, dan
d. Mengapa perempuan yang menjadi pelaku/korban disikapi secara berbeda dibandingkan laki-laki yang menjadi pelaku/korban oleh masyarakat.
Fokus paling awal untuk memberikan penjelasan mengenai perempuan sebagai pelaku
perilaku menyimpang menggunakan pokok pikiran kriminologi Marxis sebagai basis dari perspektif feminisme. Menurut James Messerschimdt5, perempuan mengalami
1 Marisa Silvestri dan Chris Crowther-Dowey. (2008). Gender & Crime. Bab 2. Women as Offender. Halaman 24.
Sage Publication. London. Britania Raya.
2 Donald J Shoemaker. (2009). Juvenille Delinquency. Bab 11. Female Delinquency. Halaman 297. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. Maryland. Amerika Serikat
3 Marisa Silvestri dan Chris Crowther-Dowey. (2008). Gender & Crime. Bab 2. Women as Offender. Halaman 24.
Sage Publication. London. Britania Raya.
4 Donald J Shoemaker. (2009). Juvenille Delinquency. Bab 11. Female Delinquency. Halaman 297 . Rowman & Littlefield Publishers, Inc. Maryland. Amerika Serikat
marjinalitas berganda, yakni ketika perempuan sebagai salah satu bagian dari kelompok proletar yang dikendalikan kelompok penguasa dan perempuan dikendalikan oleh laki-laki.
Menurut Messerschimdt6, perempuan jarang sekali melakukan kejahatan disebabkan
oleh tiga alasan berikut:
1. Kebanyakan kasus-kasus kejahatan bernuansa maskulin. Perempuan memiliki kekuatan fisik yang tidak memungkinkan untuknya melakukan kejahatan.
2. Karena perempuan sebagai marjinalitas berganda dan perempuan memiliki less-power dan less opportunities dalam melakukan kejahatan
3. Karena laki-laki memiliki kontrol terhadap perempuan (konsep patriarki)
Ketika perempuan melakukan kejahatan, tindakan mereka merupakan sebuah respon
terhadap kondisi tersebut.
Dalam konteks kenakalan anak, anak-anak perempuan yang delinkuen, sesuai dengan
interpretasi dari penjelasan Messerschimdt diatas, terjadi karena si anak perempuan tersebut merespon kondisi sosial yang dialaminya. Messerschimdt menyebutkan, secara sederhana, bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan oleh perempuan berdasarkan penjelasannya tersebut, adalah perilaku shoplifting7.
Namun penjelasan Messerschimdt tersebut menimbulkan banyak kritik, salah satunya
dari penelitian Steffensmeier dan koleganya8. Steffensmeier mengeksaminasi data
penangkapan perempuan oleh polisi. Menurut penjelasannya, diungkapkan bahwa tidak ada hubungan yang pasti antara pelanggaran/perilaku menyimpang yang dilakukan oleh perempuan dengan penjelasan Messerschmidt.
Penjelasan yang benar-benar mendekati konteks kenakalan anak menggunakan
perspektif feminisme yakni penjelasan oleh Meda Chesney-Lind9 10. Dalam buku
Donald Shoemaker contohnya, Chesney-Lind menjelaskan hasil penelitiannya bahwa banyak perempuan yang berada pada lembaga pemasyarakatan pernah menjadi korban child abuse semasa kecilnya. Selain itu, Chesney-Lind juga menjelaskan bahwa, pada gang anak perempuan, sikap mereka tidak jauh berbeda dengan anak perempuan yang tergabung kedalam gang.
Penjelasan konseptual dari Chesney-Lind mengenai anak perempuan delinkuen
disebabkan karena kurangnya perhatian dari kedua orang tuanya. Anak perempuan,
6 Ibid
7 Ibid
8 Ibid
9 Ibid. Halaman 307
jarang melakukan perilaku menyimpang, disebabkan karena si anak memiliki ikatan perhatian kasih sayang yang kuat dengan orang tuanya.
Konstruksi Sosial Sebagai Penyebab Keterlibatan Anak Perempuan dalam Delinkuensi
Power-control Theory
Differential Oppresion
Liberation Theory
Epilog
Perspektif feminis bukanlah sebuah teori, melainkan sebuah cara pandang dalam
menjelaskan suatu fenomena kejahatan yang melibatkan perempuan, yang masih terus berkembang11.
Banyak teori yang cukup dikatakan sesuai dalam menjelaskan suatu kenakalan anak,
namun patut diperhatikan mengenai variabel gender dalam teori tersebut, karena variabel gender (laki-laki dan perempuan) memiliki perbedaan yang cukup signifikan, sama halnya pada variabel kelas sosial (atas-menengah-bawah)12.
Daftar Pustaka
Shoemaker, Donald J. (2009). Juvenille Delinquency. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. Maryland. Amerika Serikat
Regoli, Robert. Hewitt, John. Delisi, Matt. (2008). Delinquency In Society, Youth Crime in 21st Century. Edisi Ketujuh. McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Amerika Serikat
11 Dana M Britton dalam Donald J Shoemaker. (2009). Juvenille Delinquency. Bab 11. Female Delinquency. Halaman 284 . Rowman & Littlefield Publishers, Inc. Maryland. Amerika Serikat