• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN PEMIKIRAN IBNU MISKAWAI DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBANDINGAN PEMIKIRAN IBNU MISKAWAI DAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PERBANDINGAN PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH DAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas individu

Mata kuliah Sejarah Pemikiran Dan Pendidikan Islam

Dosen Pengampu

Dr.Muhammad idris tunru S.Ag.MAg

Disusun Oleh

Muhajirun mokodompit

Semester : V/PAI 2

Nim :15.2.3.037

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk ciptaan yang paling sempurna, dengan kemampuan

berfikirnya berusaha untuk hidup lebih baik dan lebih maju. Ketika manusia

menghendaki kemajuan dalam hidupnya, maka sejak itu timbul gagasan untuk

melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui

pendidikan dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi.1

Menurut ajaran islam, manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur ardli dan

unsur samawi. Unsur ardli adalah jasmania yang meliputi seluruh jasad manusiaa

baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan dan semuanya terdiri dari zat

materi yang membutuhkan makanan. Sedangkan unsur samawi adalah rohania

yang juga membutuhkan berupa pendidikan agama, bimbingan, penyuluhan,

rekreaasi, istirahat dan sebagainya.

Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah

usaha untuk menggabungkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga dapat

hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari

masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman

hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai usaha sadar yang

bertujuan untuk mendewasakan anak.2

Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang

(pendidik)terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal

yang positif. Pendidikan agama islam sebagai upaya pengembangan, mendorong

serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai

yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut berkaitan dengan

potensi akal, perasaan maupun perbuatannya. Oleh sebab itu pendidikan islam

1

M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Pendekatan Teoritis Dan Praktis, (Jakarta : Bumi Aksara, 1999 ) h.01

(3)

perlu diajarkan kepada peserta didik sejak usia kanak-kanak karena pada masa ini

merupakan masa terpenting dalam rentang kehidupan manusia.3

Pada jaman sekarang ini sangat perlu peserta didik untuk dibentengi dengan

nilai-nilai luhur agama mengapa perlu demikian, karena perkembangan jaman

membuat peserta didik terus hanyut kedalam hal-hal yang tidak dibenarkan dalam

syariat islam misalnya mabuk-mabukan, berjudi bahkan berzina. Oleh sebab itu

membentengi peserta didik dengan pendidikan terutama pendidikan akhlak itu

sangatlah penting, agar supaya mengarahkan peserta didik kepada pembentukan

insan kamil, yakni khalifah Allah, yaitu manusia sholeh yang dapat menjadi

rahmat bagi semesta alam. Maka dari itu sangatlah perlu disesali bila pendidika

akhlak atau pendidikan islam kurang sekali mendapat perhatian baik dirumah,

disekolah maupun dimasyarakat.4

Banyak ahli (Pendidikan dan Filsafat) yang telah membahas pentingnya

pendidikan agama pada peserta didik. Filosof-filosof tersebut antaralain Ibn

Miskawai dan Al-Ghazali. Mereka filosof muslim yang banyak berbiacara tentang

pendidikan. Sangatlah bijak jika kita mengkaji kembali pemikiran-pemikiran

pendidikan islam kepada peserta didik yang saat ini masih banyak para

guru/pendidik yang tidak mengenal pemikiran mereka berdua tentang pendidikan

akhlak bagi peserta didik.

Al-Ghazali dan Ibn Miskawaih adalah tokoh moralis. Tetapi antara

keduanya mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda. Al-Ghazali adalah

seorang sufi yang gemar menuntut ilmu, sedangkan Ibn Miskawaih adalah

seorang filosof yang telah banyak mempelajari filsafat Yunani terutama

Aristoteles dan Plato maka ini menarik untuk diperhatikan adakah perbedaan yang

signifikan antara mereka tentang konsep pendidikan agama islam.5

3

(4)

Dari latar belakang masalah diatas penulis merumuskan:

2. Rumusan Masalah

A. Bagaiman Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibn Miskawaih ?

B. Bagaiman Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ?

C. Apa Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Ibn Miskawaih dan Al-Ghazali

(5)

BAB II PEMBAHASAN A. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Miskawaih

Ibn Miskawaih, seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama lengkap

Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih. lahir di Rayy (Teheran, ibu

kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada usia

lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M. Ibnu

Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi di Baghdad(320-450

H/ 932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi‟ah.6

Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak daripada sebagai

cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran, ketuhanan, maupun

agama. Dia adalah orang yang paling berjasa dalam mengkaji akhlak secara

ilmiah.

Dari segi latar belakang pendidikan, tidak dijumpai data sejarah yang rinci.

Namun dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar

Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filasafat dari Ibn al-Akhmar, dan

mempelajari kimia dari Abu Tayyib. Dalam bidang pekerjaan Ibn Miskawaih

adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka

dinasti Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan

ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn „Adi dan Ibn Sina. Selain itu

Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya

melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310 H./ 923 M.) selanjutnya juga ia

dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam

berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa

buku dan artikel.7

6 M.M Syarif, Para Filosof Muslim,(Bandung : Mizan 1999) h.84

7 Nasruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Dizaman Jaya (Jakarta : Mutiara 1976)

(6)

Ibnu Miskawaih seorang yang tekun dalam melakukan

percobaan-percoabaan unuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan

oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik anak-anak pejabat pemerintah, hal

ini tentu menunjukkan bahwa ibnu maskawaih dikenal keilmuannya oleh

masyarakat luas ketika itu.8

Ibnu Miskawaih juga digelari Guru ketiga ( al-Mualimin al-Tsalits ) setelah

al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualimin al-Tsani) sedangkan yang

dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal ) adalah Aristoteles. Sebagai

Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika dalam

kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A‟raq (pendidikan budi dan

pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal

dari filasafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman

pribadi. Ibnu Maskawaih adalah seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq artinya ia

telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti

bahwa Ibnu Maskawaih tidak berakhlaq, hanya saja persoalannya ditinjau dari

segi pengetahuan semata-mata.9

Pemikiran Ibn Miskawai dalam bidang ahlak termasuk salah satu yang

mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang

ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.

Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah

The Doktrin Of The Mean atau The Golden ternyata sudah dikenal para filosof

sebelum Ibn Miskawai.10

Ibn Miskawai secara umum memberi pengertian pertengahan jalan (jalan

tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni,utama,mulia,

atau posisi tengah antara dua ekstreem. Akan tetapi ia tampak cenderung

berpendapat bahwa keutamaan ahlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah

(7)

antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.

Dari sini terlihat bahwa Ibn Miskawai memberi tekanan yang lebih untuk pertama

kali buat pribadi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia ada tiga yaitu

jiwa al-bahimiyah, al-ghadabiyah dan al-nathiqah. Menurut Ibn Miskawai,posisi

tengah jiwa al-bahimiyah adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa

dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwaa al-ghadabiyah adalah

as-saja’ah atau perwira yaitu keberanian yang diperhitungkan dengan masak

untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari an-nathiqah adalah al-hikmah yaitu

kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah

keadilan atau keseimbangan.

Keempat keutamaan akhlah tersebut merupakan pokok atau induk akhlak

yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur,ikhlas,kasih sayang,hemat

dan sebagainya merupakan cabang dari keempat induk akhlak tersebut.11

Analisis Penulis :

Sebagai seorang filosof etika Ibn Miskawai maka konsep akhlak yang ia

tawarkan adalah berdasar pada doktrin jalan tengah atau dikenal dengan Doktrin

Of The Mean. Maksud dari doktrin jalan tengah adalah keseimbangan, moderat,

harmoni,utama dan mulia. Menurutnya jiwa manusia ada tiga yaitu al-bahimiyah

yaitu senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat, selanjutnya

al-ghadabiyah yaitu jiwaa keberanian dan an-nathiqah yaitu kebikjasanaan. Dari

keuatmaan-keutamaan akhlak tersebut maka menurut Ibn miskawaih jiwa

manusiaa akan menciptakan sifat-sifat yang jujur, iklas, kasih sayang, hemat dan

sebagainya. Penulis dapat menyimpulkan bahwa Ibn miskawai merupakan filosof

yang memberikan tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi.

Bertolak dari dasar pemikiran tersebut,Ibn miskawai membangun konsep

pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak.Disini terlihat dengan jelas

11 Abdullah Nashi Ulwan,Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, (Bandung : Remaja

(8)

bahwa karena dasar pemikiran Ibn Miskawai dalam bidang ahlak maka konsep

pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan ahlak.12

Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawai adalah

terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk

melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan

dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.13

Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan,Ibn Miskawaih menyebutkan

beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekan. Sesuai dengan

konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar

semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi

tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud oleh Ibn Miskawaih

diabadikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada ALLAH SWT. 14

Sejalan dengan uraian tersebuat di atas, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga

hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal

pokok tersebut adalah (1)hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia,

(2)hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan(3)hal-hal yang wajib bagi hubungannya

dengan sesama manusia. Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibn Miskawaih

dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompkan

menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran yang

selanjutnya disebut al-ulum al-fikriyah, dan kedua ilmu-ilmu yang berkaitan

dengan indera yang selanjutnya disebut al-ulum al-hissiyat.15

Berbeda dengan Al-ghazali,Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara

materi yang terdapat dalam ilmu agama dan materi yang terdapat dalam ilmu

non-agama serta hukum mempelajarinya.

Ibn Miskawaih tidak memperinci materi pendidikan yang wajib bagi

kebutuhan manusia. Secara sepintas tampaknya agak ganjil. Materi pendidikan

12

Fathiya hasan Sulaiman,Aliran-Aliran Dalam Pendidikan,(Semarang : 1993) h.65

13 Ibn Miskawaih, Tahzibul Akhlak, (Terj,Helmi Hidayat), Mizan, (Bandung : 1998) h.77 14 Hasymsyah Nasution,Filsafat Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama,1999) h.61

(9)

akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebut oleh Ibn Miskawaih antara

lain shalat,puasa, dan sa‟i.Ibn Miskawai tidak memberi penjelasaan lebih lanjut

terhadap contoh yangdiajukan ini.Hal ini barangkali didasarkan pada

perkiraannya, bahwa tanpa uraian secara terperincipun orang sudah menangkap

maksudnya.16

Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan

jiwa,dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan tentang akidah yang

benar,mengesahkan Allah dengan segala kebesaran-Nya,serta motivasi untuk

senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia

terhadap manusia lain,di contohkan dengan materi dalam ilmu muamalat,

pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.17

Selanjutnya karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan

pengabdian kepada Tuhan, maka apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu

yang ada, asal semuanya tidak terlepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan. Ibn

Miskawaih tampak akan menyetujuinya. Ia menyebut misalnya ilmu nahwu (tata

bahasa). Dalam rangka pendidikan akhlak, Ibn Miskawaih sangat mementingkan

materi yang ada dalam ilmu ini,karena materi yang ada dalam ilmu ini akan

membantu manusia untuk lurus dalam berpikir. Demikian pula ilmu yang ada

dalam ilmu manthiq (logika) akan membantu manusia untuk lurus dalam berfikir.

Adapun materi yang terdapat pada ilmu hitung hisab),dan geometri

(al-bandasat) akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Materi yang ada dalam

syariat sangat ditekankan oleh Ibn Miskawaih. Menurutnya,dengan mendalami

syariat, manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang diridhoi Tuhan, dan

jiwa siap menerima hikmat hingga mencapai kebahagiaan.18

Analisis penulis :

16 Azyumardi Azra,Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium

Baru,(Jakarta: Logo Wacana Ilmu 2002) h.34

17 H.m. Suyudi,Pendidikan Dalam Perspektif Al-qur’an,(Yogyakarta: Mikraj 2005) h.45 18 Thawil akhyar Dasoeki,Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,(Temanggung: Dimas 1993)

(10)

Dari uraian tersebut diatas terkesan bahwa tujuan pendidikan akhlak yang

dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya

manusia agar menjadi filosof. Karena itu ia memberi jalan agar seseorang

memahami materi yang terdapat dalam beberapa ilmu tertentu seperti ilmu

matematika, logika, ilmu kealaman tidak hanya ilmu agama saja karena bagi Ibn

Miskawaih semua sisi kemanusiaan harus mendapatkan materi didikan yang

memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Selain materi yang terdapat

dalam ilmu-ilmu tersebut, Ibn Miskawaih juga menganjurkan seseorang agar

mempelajari buku-buku yang khusus berbicara tentang akhlak agar dengan itu

manusia akan mendapat motivasi yang kuat untuk beradab.

Ditinjau dari segi pendidik bagi Ibn Miskawaih orang tua merupakan

pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama

materi pendidikannya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam

kegitan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua

dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang

terhadap gurunya, menurut Ibn Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap

orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik atau murid disamakan kedudukannya

dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Akan tetapi karena kecintaan

terhadap Tuhan jarang ada yang mampu melakukannya, maka Ibn Miskawaih

mendudukan cinta murid terhadap guru berada diantara kecintaan terhadap orang

tua dan kecintaan terhadap Tuhan. Alasan yang ia ajukan adalah karena seorang

guru lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai

kebahagian sejati. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, orang

yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan ilahi. Selain itu

karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak

didik dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukan kepada mereka

kehidupan abadi dalam kenikmatan yang abadi pula.

Namun demikian, Ibn Miskawaih tampaknya tidak menempatkan guru

(11)

posisi demikian tinggi itu adalah guru yang berderajat mu’alim al-misal

(misalnya),al-hakim, atau al-mu’allim al-hikmat.

Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah manusia ideal

yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat

jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama

dalam hal cinta kasih.19

Analisis Penulis :

Dari pandangan diatas terlihat bahwa Ibn Miskawai mensejajarkan pendidik

sama dengan posisi para Nabi. Maka dari itu seorang pendidik harus mencapai derajat mu‟alim, al-hakim atau al-mu‟allim al-hikmat. Pendidik yang tidak mencapai derajat seperti yang dimaksudkan oleh Ibn Miskawaih dinilainya sama

dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh

ilmu dan adab. Selain itu bagi Ibn Miskawaih juga menerangkan bahwa antara

orang tua dan anak harus tercipta hubungan yang harmonis karena dalam hal ini

orang tua merupakan pendidik mula-mula yang menanamkan acuan syariat

kepada anak.

Seperti pernah dikemukakan sebelumnya, Ibn Miskawaih berpendapat

bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-saa’dat) tidak dapat dilakukan sendiri,

tetapi harus bersama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi

demikian akan tercipta apabila sesama manusia saaling mencintai. Setiap pribadi

merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang

lainnya.20

Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat, bahwa dalam lingkungan

pendidikan sebagai mahluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari

luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah

orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada ikatan

19 Abuddin Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada

2003) h.28-30

(12)

dengannya mulai dari saudara, anak, atau, orang yang masih ada hubungannya

dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, kawan, atau kasih.21

Ia berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri.

Karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan

mahluk sejenisnya. Diantara cara mencapainya adalah dengan cara sering

bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat

akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya.

Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn

Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala negara mempunyai

kewajiban untuk menciptakannya. Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa

agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi. Cinta kasih kepala

negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisaal cinta kasih orang tua terhadap

anak-anaknya.22

Analisis Penulis :

Dari uraian diatas terlihat bahwa Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak

membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibn Miskawaih membicarakan

lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan

membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan

sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintahan

yang menyangkut hubungan rakyat dengan pemimpinya, sampai lingkungan

rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak dan anggota

lingkungan lainnya.

Untuk mencapai tujuan pendidikan maka diperlukan adanya metode, atau

dapat diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunkan untuk mencapai tujuan

pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang

lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian metode ini terkait dengan

(13)

perubahan atau perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak, maka metode

pendidikan disini berkaitan dengan pendidikan akhlak. Dalam kaitan ini Ibn

Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan

bawaan atau warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan adanya

pendidikan. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat

diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan.23

Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai

akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk

berlatih terus menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk

memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan

keutamaan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak

merperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan al-ghadabiyyat. Karena kedua

jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri

dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak minum yang membawa

kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan muncul,

maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah bekerja yang didalamnya

mengandung unsur yang berat seperti mengerjakan sholat lima waktu atau

melakukan pekerjaan baik yang didalamnya mengandung unsur yang melelahkan.

Latihan yang sunguh-sungguh semacam ini diumpamakan oleh Ibn Miskawaih

seperti kesiapan raja sebelum berhadapan dengan musuh. Kesiapan dimaksud

mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus-menerus dan tidak

menunggu waktu. Metode semacam ini ditemui pula dalam karya etika para

filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Al-Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn

Sina.24

Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain

sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang

dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetauan dan pengalaman berkenaan

23Abdul Kholiq,dkk,Pemikiran Pendidikan Islam,Kajian Tokoh Klasik Dan

Kontemporer(Semarang: Pustaka Pelajar Offset,1999) h.16

(14)

dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan

keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut kedalam

perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan

akibatnya yang dialami orang lain.25

Analisis Penulis :

Terkait dengan metode atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan

pendidikan yang dalam hal ini adalah pendidikan akhlak maka Ibn Miskawaih

menerapkan metode yang pertama yaitu kemauan sungguh-sungguh untuk ingin

berlatih terus-menerus untuk memperoleh keutamaan jiwa dan yang kedua adalah

menjadikan pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cerminan. Pendapat

ini didasarkan pada pendirian Ibn Miskawaih yang mengatakan bahwa masalah

perbaikan akhlak bukan merupakan warisan atau pembawaan jadi akhlak

seseorang dapat diperbaiki melalui usaha-usaha.

B. Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Tusi

Al-Ghazali. Lahir pada tahun 450 H / 1058 M, di sebuah desa kecil bernama

Ghazalah Thabaran, bagian dari kota Tus (sekarang dekat Meshed) wilayah

khurasan(Iran).26

Nama Al-Ghazali kadang-kadang diucapkan Al-Ghazali, kata ini berasal

dari Ghazzal, artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya Al-Ghazali

adalah memintal benang wol. Sedangkan kata Al-Ghazali diambil dari kata

ghazalah, nama kampung kelahiran Al-Ghazali. Ayah Al-Ghazali adalah seorang

tasawuf yang saleh. Ia meninggal dunia ketika Al-Ghazali beserta saudaranya

masih kecil. Al-Ghazali pertama belajar ilmu agama di kota Thus. Kemudian

meneruskan di Jurjan dan akhirnya di naisabut dan belajar pada Imam Al-

Juwaini, karena kecerdasan dan kemaunya, kemudian Al- Juwaini memberi gelar

25 Maftuhin,Filsafat Islam,(Yogyakarta: Teras 2012) h.15

26 Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang 1984)

(15)

“Bahrun Mughriq” yaitu laut yang menenggelamkan. Kemudian ia berkunjung

kepada Nidzam Al-Mulk di kota Mu‟asar dan ia mendapat kehormatan dan

penghargaan yang besar (professor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada

dikota Baghdad. 27

Pada tahun 488 H, Al-Ghazali pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah

haji dan melanjutkan perjalanan ke Damaskus untuk menetap beberapa lama dan

beribadah di Masjid al-Umawi. Pada saat itulah ia sempat mengarang kitab Ihya

Ulumuddin. Beliau wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/18 Desember 1111 M dalam usia ∙± 55 tahun, di desa Tabaran dekat Tus.28

Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat

atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat

merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yang

mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek

kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Dari

hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa

tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama,

tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada

Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia

dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai

pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu.

Tujuan ini bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.29

Analisis Penulis :

Pada hakikatnya rumusan tujuan pendidikan merupakan rumusan dari

filsafat atau pemikiran yang mendasarinya, seseorang baru dapat merumuskan

tujuan pendidikan jika sudah memahami dengan benar filsafat yang mendasarinya

karena dari rumusan ini yang selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum,

27

Ahmad Hanafi,Pengantar Filsafat Islam,(Jakarta: Bulan Bintang 1990) h.65

28 Harun Nasution,Islam Ditinjau Dari Berbaga i Aspeknya,(Jakarta: Universitas Indonesia

1998) h.52

(16)

metode, dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagai seorang sufi

maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Al-Ghazali adalah bermuara pada

pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insan yang bermuara pada

kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan ini lebih kepada tujuan

pendidikan yang bernuansa religius dan moral tanpa mengabaikan aspek

keduniaan.

Pendidikan islam itu secara umum mempunyai corak yang spesifik, yaitu

adanya cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada sasaran-sasaran

dan saranya, dengan tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Dan

pendapat Al-Ghazali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan

trend-trend agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah

duniawi, karenanya ia beri ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan

duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk

masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di

alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk

kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui

Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal

sementara, bukan bagi orang yang memandangnya sebagai tempat selamanya.30

Akan tetapi pendapat Al-Ghazali tersebut, disamping bercotak agamis yang

merupakan ciri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung kepada sisi

keruhanian. Dan kecenderungan tersebut menurut keadaan yang sebenarnya,

sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasauf. Maka sasaran

pendidikan, menurt Al-Ghazali, adalah kesempurnaan insani didunia dan

akhirat.31

Analisis Penulis :

30

M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Pendekatan Teoritis Dan Praktis, (Jakarta : Bumi Aksara, 1999 ) h.56

31 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (YogYakarta : Pustaka

(17)

Secara umum pendidikan islam itu bercorak spesifik yakni adanya cap

(stempel) agama dan etika. Akan tetapi pendapat Al-Ghazali juga sejalan dengan

keduanya (agama dan etika). Rumusan pendidikan Al-Ghazali juga tidak

melupakan masalah keduniawian akan tetapi baginya mempersiapkan diri untuk

masalah-masalah dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan

hidup di akhirat. Pendapat dari Al-Ghazali ini memang terlihat sangat agamis

karena memang ciri dari pendidikan islam adalah cenderung kepada keruhanian.

Sungguhpun Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang terkendali oleh jiwa

agamis dan sufi yang mana keduanya telah mempengaruhi pandangan tentang

hidup, tentang nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan dan kedua-duanya telah

membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari

kebahagiaan di akhirat namun ia tidak lupa bahwa ilmu itu sendiri perlu

dituntut,mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Ia melihat bahwa

ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan ia melebihi segala-galanya. Oleh karena itu,

menguasai ilmu bagi dia,termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang

dikandungnya serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.32

Ia mengemukakan, apabila anda melihat kepada ilmu maka tampak oleh

anda bahwa ilmu itu sendiri adalah lezat dan oleh karena itu pula maka ilmu itu

sendiri selalu dicari. Anda juga akan mengetahui bahwa ia merupakan jalan yang

mengantarkan anda kepada kebahagiaan di negri akhirat; sebagai medium untuk

taqqarub kepada Allah, dimana tak satupun bisa sampai keapadanya tanpa ilmu

tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan abadi diantara wujud

yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan tetapi

kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal; dan amal tak

mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai.33

(18)

Analisis Penulis :

Pada uraian diatas terlihat bahwa sekalipun seorang Al-Ghazali adalah

orang agamis dan sufi akan tetapi ia tetap menekankan akan perlunya kita untuk

menuntut ilmu sebanyak-banyaknya karena ilmu merupakan media seseorang

untuk dapat mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat.

Dalam pandangannya Al-Ghazali membagi ilmu kedalam tiga bagian yaitu :

Pertama, ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik didunia maupun di akhirat, seperti ilmu-ilmu

sihir,, ilmu nujum, dan ilmu ramalan. Al-ghazali menilai ilmu tersebut tercela

karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan)

baik bagi yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir dan ilmu

guna-guna dapat mencelakakn orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia

yang bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit hati, permusuhan,

menimbulkan kejahatan dan sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tegolong

ilmu yang tidak tercela ini menurut Al-Ghazali dapat dibagi dua, yaitu ilmu nujum

yang berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum yang berdasarkan istidlali,

yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu

nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghazali tercela menurut syara; sebab dengan

ilmu itu dapat menyebabkan manusia dapat menjadi ragu kepada Allah, lalu

menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum meramalkan bakal

terjadi sesuatu dilangit dengan berpedoman pada keyakinan langsung atau

berdasarkan studi tentang bintang-bintang, kemudian pada waktu terjadinya

peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat waktu yang

ditentukan sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub atas kemampuan

tukang nujum dan seterusnya orang-orang tersebut akan percaya pada ramalan

tukang nujum itu.

Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertam diatas, Al-Ghazali

mengatakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena

(19)

baik. Orang-orang yang mempelajari ilmu tersebut tak ubahnya seperti anak kecil

yang masih menyusu. Anak kecil itu akan jatuh sakit apabila ia memakan daging

burung atau makan macam-macam makanan, yang belum dapat dicerna oleh perut

besarnya.34

Analisis Penulis :

Pada ilmu jenis pertama ini penulis melihat bahwa Al-Ghazali begitu

menekankan kepada kita untuk tidak mempelajari ilmu-ilmu yang tidak membawa

manfaat bagi kita, atau dengan kata lain dapat memberikan mudharat baik bagi

pemilik ilmu tersebut atau terhadap orang lain misalnya ilmu sihir dan ilmu

nujum.Al-Ghazali membolekan mempelajari ilmu nujum asalkan ilmu itu

berdasarkan pada perhitungan (hisab). Namun disisi lain penulis tidak sepenuhnya

sependapat dengan Al-Ghazali yang dimana dikatakan bahwa mempelajari filsafat

itu tidaklah wajib karena orang tidak sepenuhnya dapat mempelajari ilmu itu

dengan baik. Penulis berpendapat bahwa mempelajari ilmu filsafat itu sangatlah

wajib terutama bagi kalangan mahasiswa karena ilmu ini banyak memberikan

manfaat terutama dalam membuka nalar berfikir kritis.

Kedua, ilmu-ilmu yang terpujibaik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang

berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat

menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya,

ilmu-ilmu yang mengajarkan tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah

dan melakukan sesuatu yang diridhoi-Nya serta dapat membekalinya hidup di

akhirat.

Terhadap ilmu model kedua Al-Ghazali membaginya kepada dua bagian. Pertama wajib „aini dan wajib kifayah. Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan bahwa diantara para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu

yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan, bahwa ilmu yang wajib

34 Sirajudin,Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,(Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada

(20)

dipelajari itu adalah mengenai zat dan sifat-sifat-Nya. Yang lain lagi mengatakan

bahwa ilmu yang wajib itu adalah fiqih, sebab dengan ilmu ini seseorang akan

mengetahui masalah ibadah,mengenal yang halal dan haram, baik yang

menyangkut tingkah laku secara umum, maupun yang menyangkut bidang mu‟amalah. Sementara itu yang lain memandang bahwa ilmu yang wajib itu

adalah ilmu Al-qur‟an dan As-Sunnah, karena dengan mengetahuinya seseorang

dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat semakin dekat kepada Tuhan.35

Sementara Al-Ghazali sendiri memandang bahwaa ilmu-ilmu yang wajib „aini bagi setiap muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya mulai dari kitab Allah, ibadat, yang pokok seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya.

Bagi Al-Ghazali, ilmu yang wajib „aini itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan

amalan yang wajib.

Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah semua ilmu

yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran

yang menyangkut keselamatan tubuh atau ilmu hitung yang sangat diperlukan dalam hubugan mu‟amalah pembagian wasiat dan warisan dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu itu jika tidak ada seorangpun dari suatu penduduk yang menguasainya,

maka berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada salah seorang yang

menguasai dan dapat mempraktekkannya maka ia sudah dianggap cukup dan

tuntutan wajibnya pun lepas dari yang lain. Dengan demikian, ilmu yang wajib

kifayah ini adalah setiap ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam kehiduan

masyarakat, karena apabila sebagian anggota masyarakat telah menguasainya,

maka masyarakat lainnya terlepas dari tuntutan kewajiban, sebab keperluan

masyarakat telah terpenuhi oleh sebagian anggotanya. 36

35 Bukhari Umar,Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Amzah 2010) h.61

36 Margareth smith,Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali,(Jakarta: Riora cipta

(21)

Analisis Penulis :

Pada jenis ilmu yang kedua ini terlihat bahwa Al-Ghazali lebih merangkul

semua jenis ilmu yang wajib ain, yaitu ilmu agama dan segala cabangnya

sedangkan ilmu yang wajib kifayah bagi Al-Ghazali yaitu seperti ilmu

kedokteran, perhitungan yang berguna untuk ilmu muamalah. Akan tetapi bagi

penulis antara ilmu yang wajib ain dan ilmu wajib kifayah itu kedudukannya sama

saja, penulis tidak memandang ilmu tersebut kedalam golongan wajib ain maupun

kifayah.

Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara

mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan kesemrautan antara

keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, seperti

ilmu filsafat.37

Pada akhirnya Al-Ghazali berkesimpulan, bahwa ilmu yang paling utama

adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai

melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih. Akal adalah sifat

manusia yang termulia, karena dengan akal itulah amanah Allah diterima manusia

,dan dengan akal juga orang dapat berada disisi Allah Swt,mengenai kekuasaan

jangkauan manfaat akal kiranya tidak perlu diragukan. Dilihat pula tempatnya

yang sudah jelas, seorang guru tugasnya adalah mengurus masalah hati dan jiwa

manusia. Diketahui bahwa wujud yang termulia diatas bumi adalah manusia.38

Analisis Penulis :

Pada ilmu jenis ilmu ketiga yang digolongkan Al-Ghazali ini penulis

melihat bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dan segala cabang.

Namun bagi penulis jika kita melihat pada perkembangan jaman sekarang ini

belajar ilmu agama saja tidaklah cukup serta tidaklah bisa dikatakan bahwa ilmu

37 Suwito dan Fauzan,Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan,(Bandung: angkasa 2003)

h.56

(22)

agama adalah yang paling utama. Karena penulis berpendapat jika kita hanya

terus belajar ilmu agama maka kita senantiasa tidak akan dapat mengikuti

perkembangan jaman. Lihat saja hari ini mahasiswa masih sibuk beradu argumen tentang kunut atau masalah Bid‟ah sedangkan orang diluar sana sudah sibuk untuk memikirkan tentang teknologi maupun bidang kedokteran.

Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian

khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap

ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain,

ia mementingkan sisi yang faktual dalam kehidupan, yaitu sisi yang tak dapat

tidak harus tetap ada. Selain itu Al-Ghazali juga menekankan sisi-sisi budaya.

Menurutnya Ilmu wajib dituntut bukan karena keuntugan diluar hakikatnya, tetapi

karena hakikatnya sendiri. Sebaliknya, Al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu

yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai

yaitu tasauf dan zuhud. Disisi Lain, sekalipunn Al-Ghazali menekankan

pentingnya pengajaran berbagai keahlian esensial dalam kehidupan dan

masyarakat, tetapi ia tidak menekankan pentingnya keterampilan.39

Analisis Penulis :

Dari segi kurilum Al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu yang wajib dituntut

adalah ilmu yang dilihat dari manfaat hakikatnya itu sendiri, juga ia tidak

mementingkan keterampilan. Bagi penulis hal ini perlu kita kritisi karena

pendidikan masa sekarang cakupan penilaiannya itu mencakup aspek

pengetahuan,skill, dam keterampilan.

Dari sifat dan corak ilmu-ilmu yang dikemukakan di atas, terlihat dengan

jelas, bahwa mata pelajaran yang seharusnya diajarkan dan masuk kedalam

kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai

berikut.

39 C.A.qadir,Filsaafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam(Jakarta: Yayasan Obor

(23)

Kecenderungan agama dan tasauf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali

menempatkan ilmu-ilmu agama diatas segalanya, dan memandang sebagai alat

untu mensucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh dan kehidupan dunia.

Dengan kecenderungan ini maka Al-Ghazali sangat mementingakan pendidikan

etika, karena menurutnya ilmu ini bertalian erat dengan pendidikan agama.

Kecenderungan Pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya

tulisannya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilainnya terhadap ilmu

berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan didunia maupun

kehidupan di akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan

pemiliknya bagi hal-hal yang bermanfaat bagi manusia sebagai ilmu yang tak

bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan

kegunaannya dalam bentuk amaliah. Dan setiap amaliah yang disertai dengan

ilmu itu harus pula disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas.40

Analisis penulis :

Penulis melihat bahwa kecenderungan atau pengaruh tasauf yang ada pada

Al-Ghazali begitu kuat sehingga memberikan pengaruh yang besar terhadap

kurikulum yang digagas oleh Al-Ghazali, maka dari itu ia menempatkan ilmu

agamalah diatas segalanya dilihat dari manfaatnya didunia dan akhirat.

Perhatian Al-Ghazali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada metode

khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk itu ia telah mencontohkan

sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan

penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Ghazali akan

pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecenderungan pendidikannya

yang secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan

sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal

ini mendapatkan perhatian khusus dari Al-Ghazali, karena bedasar pada

prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang

memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid.

(24)

Dengan demikan faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode

pengajaran yang amat penting.41

Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru tersebut diatas,

juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya

mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus tugas yang paling

agung. Pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-Qur‟an dan hadish

Rasullulah Saw, serta pengulangan berkali-kali tentang pentingnya status guru

yang sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa

wujud yang termulia dimuka bumi ini adalah manusia, dan bagian inti manusia

yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas meyempurnakan, menghias, dan

menggiringnya mendekati Allah Swt. Dengan demikian, mengajar adalah bentuk

lain pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tiggi perintah-Nya.42

Analisis Penulis :

Bagi Al-Ghazali cara atau metode untuk pembelajaran adalah dengan

keteladanan dari seorang guru. Pendapat ini sejalan dengan pendapatnya Ki Hajar

Dewantoro yakni Ingarso Sung Tulodo atau didepan memberikan teladan. Karena

mengajar merupak suatu tugas yang mulia, maka dari itu guru harus mampu

menyempurnakan, menghias dan menggiring peserta didik kearah yang lebih baik.

Menurut Al-Ghazali bahwa guru yang dapat diserahi tugas adalah guru

yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat

fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu

pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi

contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat

melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.

(25)

Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaiman disebutkan di

atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu

sebagai berikut :43

Kalau praktek mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dari

seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah kasih sayang.

Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa

tentram pada diri murid terhadap gurunya.

Karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang

yang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih

payahnya mengajar itu. Seorang guru harus meniru Rasullulah Saw yang

mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat

mendekatkan diri kepada Allah Swt. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru

dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu

yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya.

Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana

yang mendukung pengajaran harus dibeli dengan dana yang besar, serta

faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit

dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan

kesejahteraan yang memadai.

Seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan

penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh

membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia

menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu

berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah

mendekatkan diri kepada Allah Swt dan bukan untuk mengejar pangkat, status

dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Seorang guru juga tidak boleh tenggelam

dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.

Dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang

simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan

(26)

sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru jangan mengekspose atau

menyebarluaskan kesalahan muridnya didepan umum, karena cara itu dapat

menyebabkan anak murid memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang

dan memusuhi gurunya.

Seorang guru yang baik harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik

dihadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap

toleran atau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak

mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannya atau spesifikasinya.

Seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya

perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya

sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu.

Seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang disamping

memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga

memahami bakat, tabiat, dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan

usianya.

Seorang guru yang baik adalah gru yang berpegang teguh kepada prinsip yang

diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam

hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar jangan sekali-kali melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya.44

Analisis Penulis :

Seorang pendidik itu selain cerdas dan sempurna akalnya juga harus baik

akhlaknya supaya ia dapat menjadi contoh atau teladan bagi peserta didiknya dan

juga kuat fisiknya agar ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Selain itu

Al-Ghazali juga menenkankan sifat-sifat yang penting harus dimiliki seorang guru

antaralain kasih sayang, simpatik, tidak mengumbar kesalahan dari peserta didik,

tidak mencaci maki, memahami perbedaan potensi yang ada pada peserta

didiknya, berpegan teguh pada prinsip yang dipegangnya serta mampu untuk

merealisasikannya. Namun sayangnya di jaman sekarang sifat-sifat yang seperti

ini sebagian tidak dimiliki oleh seorang guru dalam mengajar.

44Nizar Samsul Haji,Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,Teoritis dan

(27)

Selain Sifat Guru Yang baik Al-Ghazali Juga menjaelaskan tentang

bagaiman sifat peserta didik yang baik yakni :

Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina

dina dan sifat-sifat tercela lainnya.

Seorang murid yang baik,juga harus menjauhkan diri dari

persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterkaitan dengan dunia, karena keterkaitan

kepada dunia dan masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya penguasaan

ilmu. Hal ini terlihat dalam ucapan Al-Ghazali yang mengatakan : bahwa ilmu itu

tidak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu sebelum engkau memberikan

seluruh dirimu kepadanya, dan jika engkau memberikan seluruh dirimu

kepadanya, maka ilmu pun pasti akan memberikan sebagian dirinya kepadamu.

Seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadhu.

Sifat ini amat ditekankan oleh Al-Ghazali. Al-Ghazali menganjurkan agar jangan

ada murid yang lebih merasa besar dari pada gurunya.

Khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang

saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan. Hal

ini perlu diingat, karena murid yang bersangkutan belum siap memahami berbagai

pendapat yang berbeda-beda itu, sehingga tidak terjadi kekacauan.

Seorang murid yang baik hendaknya mendahulukan mempelajari yang

wajib. Pengetauan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik dari pada

pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi saja. Mempelajari Al-Qur‟an

misalnya harus didahulukan, karena dengan menguasai Al-qur‟an dapat

mendukung pelaksanaan ibadah, serta memahami ajaran agama islam secara

keseluruhan, mengingat Al-Qur‟an adalah sumber utama ajaran agama islam.

Seorang nurid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap.

Seorang murid dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara sekaligus, tetapi

memulai dari ilmu-ilmu agama dan menguasainya secara sempurna.

Seorang murid hendaknya tidak mempelajari disiplin imu sebelum

(28)

Seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang

dipelajarinya. Kelebihan dari masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yng

mungkin dicapai hendaknya dipelajari dengan baik. Dalam hubungan ini

Al-Ghazali mengatakn bahwa nilai ilmu itu tergantung pada dua hal yaitu hasil dan

argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda dengan ilmu kedokteran. Hasil

ilmu agama adalah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil ilmu kedokteran

adalah kehidupan yang sementara.45

Analisis Penulis :

Peserta didik yang baik menurut Al-Ghazali adalah murid yang memiliki

sifat berjiwa bersih, menjauhkan diri dari sifat duniawi rendah hati, serta tidak

merasa lebih besar dari pada gurunya. Jaman sekarang kita banyak melihat peserta

didik yang tidak menghargai gurunya bahkan sering menantangnya mungkin

dikarenakan gurunya memiliki postur tubuh yang lebih kecil dari peserta didiknya, seharusnya peserta didik berpegang kepada prinsip “jangan melihat siapa yang menyampaikan tetapi lihatlah apa yang disampaikan”.Pengaruh semua ini adalah perkembangan jaman.

C. Analisis Pemikiran Pendidikan Ibn Miskawai Dan Al-Ghazali Tentang Pendidikan

Dari uraian diatas Penulis menemukan persamaan dan perbedaan pemikiran

pendidikan islam dari kedua tokoh ini yaitu :

Persamaan Pemikiran Pendidikan Ibn Miskawaih dan Al-Ghazali

Ibn Miskawaih dan Al-Ghazali memandang bahwa pada dasarnya seorang

anak dilahirkan dalam keadaan berjiwa lurus dan mempunyai fitrah suci, akan

tetapi Allah Swt menjadikannya sempurna melalui pendidikan.

Dari segi tujuan pendidikan Ibn Miskawaih dan Al-Ghazali sama-sama

berpendapat bahwa tujuan pendidikan itu khususnya pendidikan islam adalah

untuk melahirkan perbuatan baik serta tercapainya kebahagiaan yang sempurna

didunia dan akhirat dari setiap insan

45 M.Amin abdullah,Antara Al-Ghazali dan Kant :Filsafat Etika Islam,(Jakarta: PT Raja

(29)

Dari segi materi pendidikan Ibn Miskawaih dan Al-Ghazali sama-sama

membaginya kedalam tiga hal pokok yaitu :

 Ibn Miskawaih : Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia

Hal-hal yang wajib bagi jiwa

Hal-hal yang waajib bagi sesama manusia

 Al-Ghazaali : Ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak

Ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak

Ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu

Dari sini dapat disimpulkan bahwa baik Ibn Miskawaih maupun Al-Ghazali

sama-sama menempatkan ilmu agama sebagai ilmu yang paling tinggi

Kriteria guru yang baik bagi keduanya adalah guru yang selain cerdas dan

sempurna akalnya guru juga harus baik akhlaknya dan kuat fisiknya karena dalam

hal ini keduanya berpendapat bahwa guru memegang peranan penting dalam

keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan.

Dari segi lingkungan pendidikan keduanya berpendapat bahwa kebahagiaan

manusia tidak dapat mencapainya sendiri melainkan harus saling melengkapi.

Metode pendidikan yang diterapkan keduanya yaitu metode keteladanan

atau dengan kata lain menjadikan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi

dirinya.

AdapunPerbedaan Pemikiran Pendidikan Ibn Miskawai dan Al-Ghazali

adalah :

Dari tujuan pendidikan akhlak yang digagas oleh Ibn Miskawaih diatas

terkesan bahwa tujuan pendidikan itu untuk terciptanya manusia agar menjadi

filosof dengan mempelajari ilmu mate-matika,ilmu logika dan ilmu kealaman

sedangkan bagi Al-Ghazali mempelajari filsafat tidaklah wajib bagi setiap orang

dengan kata lain ia lebih menekankan kepada pembelajaran ilmu-ilmu agama,ini

(30)

Pembahasan lingkungan pendidikan oleh Ibn Miskawaih lebih bersifat

umum seperti lingkungan masyarakat pada umumnya, lingkungan pemerintahan

(31)

BAB III PENUTUP Kesimpulan :

Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih lebih ditekankan kepada pendidikan aklak

guna tercapainya tujuan pendidikan yaitu terwujudnya sikap batin yang

melahirkan perbuatan bernilai baik sehinngga mencapai kesempurnaan dan

kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Jika dianalisa secara

saksama terlihat bahwa berbagai ilmu yang diajarkan dalam kegiatan pendidikan

seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan

akademik semata-mata tetapi karena tujuan laain yang lebih substansial, pokok,

dan hakiki yaitu akhlak mulia.

Bagi Ibn Miskawai pendidik (guru, dosen, orang tua, uztadz) adalah pemegang

peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran guna mencapai

tujuan yang ditetapkan.

Ibn Miskawaih mengatakan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia

memelukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Ia menyatakan sebaik-baiknya

manusia adalah orang berbuat baik kepada orang lain.

Dalam penerapan pendidikan akhlak maka Ibn Miskawaih mengatakan pertama

seseorang harus memiliki kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus

menerus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan. Latihan

ini diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa. Serta metode

yang kedua adalah menjadikan pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai

cermin bagi dirinya.

Dalam pemikirannya tujuan pendidikan Al-Ghazali adalah mencapai

kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan

(32)

berpendapat bahwa ilmu adalah sebuah keutamaan yang melebihi segalanya,

karena baginya modal kebahagiaan didunia dan akhirat adalah ilmu.

Bagi Al-Ghazali ilmu harus dipandang berdasarkan manfaatnya bagi manusia

baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat oleh sebab itu, ia menempatkan ilmu

agama diatas segaalanya.

Al-Ghazali menerapka metode pengajaran yaitu metode keteladanan dari

seorang guru. Oleh sebab itu ia memandang bahwa kriteria guru yang baik adalah

guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya juga guru yang baik akhlaknya dan

kuat fisiknya.

Terdapat beberapa persamaan pemikiran pendidikan islam diantara Ibn

Miskawaih dengan Al-Ghazali diantaranya tentang asumsi bahwa setiap anak

terlahir denga fitrah suci dengan potensi netral maka dari itu ia siap menerima

pengaruh apapun dari luar.

Selain itu juga terdapat beberapa persaamaan pemikiran diantaranya tentang

(33)

Daftar Pustaka

Abdullah M.Amin,Antara Al-Ghazali dan Kant :Filsafat Etika Islam,(Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada 2000)

Arifin,M. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Pendekatan Teoritis Dan Praktis,

(Jakarta: Bumi Aksara, 1999 )

Azra Azyumardi,Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium

Baru,(Jakarta: Logo Wacana Ilmu 2002)

Basri Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia 2009)

Basyir Azhar,Refleksi Atas Persoalan Keislaman,(Bandung: Mizan 1993)

Daudy Ahmad, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1986)

Daudy Ahmad, Segi-Segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam,(Jakarta: Bulan

Bintang 1984)

Ghazali Al,ihya ‘ulum ad-Din hlm.

Haji Nizar Samsul,Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,Teoritis dan

Praktis,(Jakarta: Ciputat Perss 2002)

Hanafi Ahmad,Pengantar Filsafat Islam,(Jakarta: Bulan Bintang 1990)

Ihsan Fuad, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta :Rineka Cipta 1997)

Kholiq Abdul,dkk,Pemikiran Pendidikan Islam,Kajian Tokoh Klasik Dan

Kontemporer(Semarang: Pustaka Pelajar Offset,1999)

Maftuhin,Filsafat Islam,(Yogyakarta: Teras 2012)

Mahmud,Pemikiran Pendidikan Islam,(Bandung: Pustaka Setia 2011)

Miskawaih Ibn, Tahzibul Akhlak, (Terj,Helmi Hidayat), Mizan, (Bandung : 1998)

Nasution Hasymsyah,Filsafat Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama,1999)

Naim Ngainum,Rekonstruksi Pendidikan Islam,(Jogjakarta: Teras,2009)

Nasution Harun,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta: Universitas

Indonesia 1998)

Nata Abuddin,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,(Jakarta: Raja Grafindo

Persada 2003)

Nizar Samsul, Al-Rasyidin,Filsaafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers

(34)

Othman Ali Isa,Manusia Menurut Al-Ghazali(Bandung: Pustaka 1987)

Qadir C.A.,Filsaafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam(Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia 1991)

Ramayulis,Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia 2009)

Razi Muhammad,50 Ilmuan Muslim Populer(Jakarta: Qultum Media 2005)

Rusn Abidin Ibn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (YogYakarta :

Pustaka Pelajar Offset 1998)

Sirajuddin Zar ,Filsaafat Islam,(Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada 2010)

Smith Margareth,Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali,(Jakarta: Riora

cipta 2000)

Sudarsono,Etika islam Tentang Kenakalan Remaja (Rineka Citra 1991)

Sudjana Nana, Pembinaan Dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Bandung :

Sinar Baru Algensindo,1991)

Sulaiman Fathiya Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta;Bumi Aksara,1991)

Sulaiman Fathiya hasan,Aliran-Aliran Dalam Pendidikan,(Semarang : 1993)

Suwito dan Fauzan,Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan,(Bandung:

angkasa 2003)

Suharto Toto,Filsafat Pendidikan Islam,(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2013)

Suwito,Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih,(Yogyakarta 2004)

Suyudi H.M.,Pendidikan Dalam Perspektif Al-qur’an,(Yogyakarta: Mikraj 2005)

Syar‟i Ahmad,Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka Firdaus,2005)

Syarif M.M, Para Filosof Muslim,(Bandung : Mizan 1999)

Syukur Fatah,Sejarah Peradaban Islam,(Semarang: Pt Pustaka Rizki Putra 2010)

Thaha Nasruddin, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Dizaman Jaya (Jakarta :

Mutiara 1976)

Thawil Akhyar Dasoeki,Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,(Temanggung: Dimas

1993)

Ulwan Abdullah Nashi,Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, (Bandung : Remaja

Rosdakarya,1996)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut PP no 8 tahun 2001 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari UU no 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman tentang Pupuk Budi Daya Tanaman, definisi

Untuk menentukan titik kontrol pemetaan fotogrametri secara efisien yaitu dengan cara penentuan posisi dengan GPS geodetik dual frekuensi menggunakan metode statik singkat

(1) Hasil evaluasi dan penilaian kelayakan calon Varietas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 oleh TPV disampaikan kepada Penyelenggara Pemuliaan dalam jangka

Latar belakang kajian ini berdasarkan kepada analisis konsep dan amalan yang dilaksanakan oleh golongan usahawan dalam aktiviti keusahawanan sosial Islam berdasarkan

In this paper, the hybrid control architecture uses hierarchical structure of IT2 fuzzy sets (IT2FS) to avoid the huge rule base due to the embedded platform and modular

Bagi pembolehubah kualitatif pula, penulis akan menanda (√) jika terdapat pengawalseliaan berdasarkan pembolehubah yang telah ditetapkan ke atas bank

Maka gadis-gadis yang pernah dicumbu Anton di kampus ini harus mencari lelaki yang siap menerima mereka di dalam realita!. Menunggu Anton sama halnya menunggu