• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. HUKUM PEMBUKTIAN. ALAT BUKTI ELEKTRON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "I. HUKUM PEMBUKTIAN. ALAT BUKTI ELEKTRON"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

I. HUKUM PEMBUKTIAN. ALAT BUKTI ELEKTRONIK KASUS PEMALSUAN KARTU ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) DAN PEMALSUAN KARTU KREDIT

Oleh : PINOS PERMANA, SH.

Mengingat tindak pidana pemalsuan kartu ATM atau Kartu Kredit bersingungan dengan suatu kegiatan atau ketentuan khusus di bidang perbankan dengan mengunakan kecanggihan teknologi, apakah kualifikasi delik yang tepat untuk menyangkakan terhadap perbuatan tersebut ? Kemajuan dan perkembangan teknologi, khususnya telekominikasi, multi media dan teknologi informasi (telematika) pada akhirnya dapat merubah tatanan organisasi dan hubungan kemasyarakatan. Hal ini tidaklah dapat di hindari karena karena fleksibilitas dan kemampuan telematika dengan cepat memasuki berbagi aspek kehidupan manusia. Fenomena ini telah mengubah prilaku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain sehingga memunculkan norma-norma dan nilai-nilai baru.1 Syamsul Muarif mantan

Menteri Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangandi era teknologi informasi ini harus dilihat dari berbagai aspek. Misalnya dalam hal pengembangan dan pemanfaatan Rule of Law dan internet, juridiksi dan konflik hukum, pengakuan hukum terhadap dokumen serta tanda tangan elektronik, perlindungan dan privasi konsumen, cyber crime, pengaturan konten dan cara-cara penyelesaian sengketa domain.2

Teknologi Informasi dan komunikasi telah mengubah prilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Penggunaan internet dalam electronic commerce ini memberikan dampak yang sangat positif yakni dalam kecepatan dan kemudahan serta kecanggihan dalam melakukan interaksi global tanpa batasan tempat dan waktu yang kini menjadi hal biasa. Transaksi bisnis yang lebih praktis tanpa perlu kertas dan pena, perjanjian face to face sehingga perdagangan elektronik atau e-commerce ini menimbulkan aspek positif menjadi penggerak ekonomi baru dalam bidang teknologi khususnya di Indonesia. Disisi lain aspek negatif dari perkembangan ini adalah berkaitan dengan persoalan keamanan-keamanan dalam bertransaksi dan jaminan kepastian hukum (Legal Certainly).3

Pada Tahun 2008, telah disahkan produk legislasi berupa Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik yakni Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 yang biasa di sebut dengan Undang-Undang ITE. Implementasi Undang-Undang ini sempat menyedot perhatian publik ketika seorang ibu rumah tangga yang bernama Prita Mulyasari mantan pasien RS Omni Internasional yang menuliskan keluhan

1 Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty dalam penegakan hukum, Referensi, Jakarta, 2012, hlm 45.

2 Ibid., hlm 46.

(2)

pelayanan RS tersebut melalui surat elektronik yang kemudian menyebar berbagai mailing list di dunia maya. Seolah dengan kasus Prita ini, Undang-Undang ITE adalah lebih cenderung mengatur soal-soal berkaitan dengan pidana semata. padahal apabila diteliti lebih mendalam Undang-Undang ITE ini sebenarnya mengatur dua nomenklatur yaitu Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.4

Dalam praktek sehari-hari sebenarnya kita seringkali sudah bersentuhan dengan dunia siber. Penggunaan telepon seluler dengan SMS atau penggunaan e-banking, bahkan pengiriman uang via ATM (anjungan tunai mandiri). Jadi, sebenarnya penggunaan informasi elektronik maupun transaksi elektronik sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Legislasi Tradisional tidak menjangkau semua aspek-aspek hukum dalam dunia siber untuk itulah di buat Undang-Undang ITE. Undang-Undang ITE mencakup dua nomenklatur sekaligus yaitu transaksi elektronik dan informasi elektronik.5

Jadi dari Perkembangan Legislasi yang ada pengaturan ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE bukanlah suatu yang utama, karena ketentuan pidana hanyalah salah satu bab dalam Undang-Undang ITE, hal mana sejalan dengan prinsip pidana yang bersifat Ultimum Remedium.6 Menjadi

suatu pertanyaan, apakah pemalsuan kartu ATM termasuk di kategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan data, yakni identitas nasabah termasuk di dalamnya data rahasia untuk masuk terhadap akses keuangan nasabah tersebut, tetapi pada intinya hal tersebut dilakukan untuk suatu tujuan utama atau sasaran utama yakni secara melawan hukum mengambil alih kepemilikan uang yang terdapat dalam sistem keuangan atau sistem perbankan dari nasabah perbankan tersebut untuk dimiliki, walaupun mengunakan sarana transaksi elektronik, sehingga berlandaskan filosofi tujuan utama apakah dapat di kategorikan pemalsuan kartu ATM sebagai tindak pidana pencurian dalam bentuk yang umum ataukah berdasarkan asas lex spesialis tetap di pergunakan Undang-Undang Perbankan atau ITE.

Dalam kaitannya tindak pidana yang berkaitan dengan suatu teknologi informasi, bagaimanakah relevansinya dengan ketentuan pidana dalam KUHP. Dalam upaya menangani kasus kejahatan dunia maya, terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang mengkriminalisasi cyber crime dengan menggunakan metode interpretasi ekstensif (perumpamaan dan persamaan) terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP. Adapun pasal-pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP yang

4 Marwan Effendy, Diskresi.. Op.Cit., hlm 48. 5 Ibid, hlm 50.

(3)

mengkriminalisasi terhadap kejahatan dunia maya, sebagaimana dikatakan oleh Petrus Reinhard Golose diantaranya adalah :7

a. Pasal 362 KUHP untuk kasus Carding dimana pelaku mencuri kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di internet untuk melakukan transaksi di E-Commerce.

b. Pasal 378 KUHP untuk penipuan dengan seolah-olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan.

c. Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui email.

d. Pasal 331 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan e-mail secara berantai melalui mailing list (milis) tentang berita yang tidak benar.

e. Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.

f. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di internet.

g. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk penyebara foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di internet.

h. Pasal 378 dan 263 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kredit yang nomor kartu kreditnya merupakan curian.

i. Pasal 406 KUHP dapat dikenaan pada kasus deface suatu website, karena pelaku setelah berhasil memasuki website korban, selanjutnya melakukan pengrusakan dengan cara menganti tampilan asli dari website tersebut.

Terhadap perbuatan dalam ketentuan-ketentuan pasal diatas. masalah yang timbul adalah pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan data computer atau informasi yang dihasilkan komputer. Perkembangan teknologi informasi seiring berkembangnya sistem jaringan komputer telah mengubah pandangan konvensional terhadap unsur barang atau benda sebagai alat bukti menjadi digital evidence

(4)

atau alat bukti elektronik baik sebagai media seperti disket, tape storage, disk storage, compact disc, hard disk, USB, flash disc dan hasil cetakan bukti elektronik tersebut.8

Jaringan komputer yang menghasilkan cyberspace dan komunitas virtualnya berkembang seiring dengan berkembangnya kejahatan yang menghasilkan tindak pidana yang dianggap dahulu tidak mungkin pada saat sekarang ini menjadi mungkin bahkan dampaknya dapat dirasakan di luar tempat/wilayah Negara. Oleh karena itu penerapan pasal-pasal KUHP sudah tidak relevan dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi.9

Apakah Undang-Undang ITE sudah membuat kriminalisasi baru terhadap suatu perbuatan ? Secara sederhana kita dapat merujuk kepada pendekatan computer crime dan computer related crime. Dalam computer crime dapat dikatakan ada suatu kriminalisasi, karena perbuatannya berkaitan dengan perkembangan teknologi dimana banyak beberapa perbuatan dengan perkembangan teknologi. Sedangkan dengan computer related crime sebenarnya perbuatannya sudah diatur dalam ketentuan pidana yang sudah ada namun karena deliknya sudah dikualifisir dengan karakteristik dunia siber maka computer related crime sebenarnya adalah delik-delik yang dikualifisir dari tindak pidana yang sudah ada sebelumnya. Beberapa bentuk kualifisirnya adalah dengan penambahan unsur bahkan ada dengan memperberat ancaman pidananya.10

Dari pendekatan ini maka ada beberapa hal dari ketentuan pidana yang patut menjadi perhatian kita :11

1. Terdapat unsur dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum. Unsur tampak hak seolah tumpang tindih dengan unsur melawan hukum karena dalam melawan hukum dapat saja berarti tanpa hak. Tanpa hak di sini adalah padanan dari without right dari bahasa inggris dan bukan makna dari wederrechtelijkeheid dalam bahasa belanda. Mengapa unsur ini di cantumkan ? Karena berkaitan dengan sifat dan karakteristik kejahatan lintas Negara. Sebagai ilustrasi adalah judi secara on-line. Apabila yang membuat judi on-line adalah berdasarkan hukum belanda maka semua unsur pasal 27 ayat (2) terpenuhi kecuali unsur tanpa hak. Kenapa demikian ? Karena berdasarkan hukum belanda orang tersebut mempunyai hak untuk mempunyai situs on-line. Apabila unsur tanpa hak ini tidak ada maka orang yang berhak membuat judi online berdasarkan sistem hukum negaranya apabila situsnya dapat diakses di Indonesia maka pemilik situs itu dapat dipidana. Hal ini menjadi penting menginggat adanya asas dual criminality. Permohonan bantuan hukum timbal balik maupun ekstradisi adalah untuk suatu perbuatan yang harus dianggap pidana baik oleh Negara pemohon maupun termohon. Apabila di Negara termohon judi

8 Ibid., hlm 61. 9 Loc.Cit.,

(5)

on-line bukan tindak pidana maka tidak mungkin memproses orang tersebut berdasarkan hukum Indonesia. Untuk itulah unsur tanpa hak (withoutright) di cantumkan.

2. Sebagian besar ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE bukanlah suatu kriminalisasi. Sebagian besar perbuatan yang dikenakan sanksi pidana adalah delik yang dikualifisir yaitu Pasal 27 ayat (1) Delik Kesusilaan, ayat (2) delik Perjudian, ayat (3) Delik Penghinaan dan Pencemaran nama baik, ayat (4) Pemerasan atau Pengancaman, Pasal 28 ayat (1) berita bohong merugikan konsumen, ayat (2) Hatzaai artikelen, Pasal 29, Ancaman kekerasan atau menakut-nakuti secara pribadi, Pasal 34 Pemberatan Pasal 27, Pasal 35 Pemalsuan data elektronik yang otentik, Pasal 36 Pemberatan untuk Pasal 27 s/d 34. Jadi Pasal-Pasal di atas bukanlah suatu kriminalisasi baru, namun adalah delik yang dikualifisir karena kualifikasi delik merujuk ke Undang-Undang lain seperti KUHP. Delik-delik ini di golongkan sebagai Computer Related Crime. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1), (2), (3) Ilegal access, Pasal 31 ayat (1), (2), (3) unlawful interception, Pasal 32 ayat (1), (2), (3), hacking dan cracking dan Pasal 33 gangguan sistem elektronik adalah kriminalisasi karena karakteristik dari dunia siber sehingga Pasal-Pasal ini dapat digolongkan sebagai Computer Crime.

Berdasarkan hal terebut diatas dapat dikatakan bahwa Pemalsuan Kartu ATM ataupun Kartu Kredit dari Bank tertentu dapat digolongkan sebagai suatu bentuk tindak pidana Computer Related Crime, yakni suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan sarana program komputer dalam transaksi elektronik dan bukan Pasal yang merupakan suatu kriminalisasi baru, namun adalah delik yang dikualifisir karena kualifikasi delik merujuk ke Undang-Undang lain seperti KUHP, sehingga terhadap pelaku dapat dikenakan Pasal-Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang ITE yang disesuaikan dengan perbuatannya tersebut.

Bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan Kartu ATM sangat bervariasi dan semakin meningkat jumlahnya. Kejahatan kartu ATM yang sering terjadi adalah pemalsuan kartu ATM, dimana si pelaku kejahatan membuat kartu ATM palsu lengkap dengan magnetic stripe yang sudah berisi rekaman data dari kartu yang dipalsukan. Selain memalsukan kartu si pelaku juga mengetahui nomor PIN dari kartu yang digandakannya. Cara kebiasaan yang digunakan oleh si pelaku kejahatan untuk mengetahui nomor kartu dan nomor PIN si korban (nasabah) adalah sebagai berikut :

(6)

seperti di Mall atau di lobby bank yang letak ATM-nya terbuka. Dan si pelaku pasti orang yang punya daya ingat tinggi karena dapat merekam nomor PIN dikepala hanya dengan sekilas.

2. Si pelaku kejahatan memasang kamera kecil (Spycamera) dan Card reader pada mesin ATM. Mesin card reader berfungsi untuk merekam data dari magnetic stripe kartu ATM, sementara kamera kecil yang tersembunyi digunakan untuk mengintip atau merekam nomor PIN korban saat menggunakan keypad ATM.

3. Membaca Record Terakhir : Modus yang satu ini tergolong berbahaya, anda tidak akan menemukan keanehan atau sesuatu yang tidak wajar di dalam anjungan atau ruangan ATM, modus kejahatan ATM yang satu ini telah banyak terjadi di luar negeri, cara kerja kejahatan ini membaca record terakhir dari transaksi mesin ATM dengan menggunakan kartu ATM kosong (akan tetapi kartu ATM tersebut telah di program untuk berkerja membaca transksi terakhir dari mesin ATM), dan seandainya si korban atau nasabah melaporkan kejadian seperti ini pada bank yang bersangkutan, tentu si korban akan di tuduh melakukan penipuan, karena transaksi yang dilakukan valid. Kenapa dianggap Valid ? karena biasanya si pelaku kejahatan ikut mengantri transaksi ATM di belakang anda, dengan demikian selisih waktu penarikan uang pun hanya beda beberapa menit, sehingga anda akan dianggap menarik uang secara berturut-turut oleh pihak bank. Bagaimana menghindari kejahatan seperti ini? caranya sangat sederhana, setelah anda melakukan transaksi pengambilan uang atau transaksi apapun yang anda lakukan di mesin ATM, dan setelah kartu anda keluar dari mesin ATM, anda tinggal memasukan kartu anda kembali dan memasukan PIN yang salah atau melakukan cancel, jadi record terakhir yang dibaca atau terekam oleh pelaku adalah PIN yang salah, jadi kita juga perlu nakal untuk menghindari kejahatan.

4. Modus lainnya dari kejahatan kartu ATM adalah bisa dilakukan oleh oknum pegawai bank, (tapi ini hanya kemungkinan kecil), yaitu dengan cara membuat kartu ATM fiktif melalui nomor rekening nasabah yang tidak menginginkan kartu ATM. Oknum pelaku biasanya memakai rekening yang saldonya besar akan tetapi pasif dalam aktivitas transaksi. Dengan kartu ATM yang fiktif tadi si oknum menguras isi rekening nasabahnya yang tidak aktif tadi dengan nyaman. 5. Modus lainya adalah dengan cara agar kartu ATM menyangkut pada ATM slot, dengan

(7)

kejahatan mengambil kartu dari slot ATM dengan menarik benda yang dipasangnya, selanjutnya menarik tunai uang si korban. Dalam modus ini ada juga si penjahat yang memasang striker palsu serta memalsukan nomor telepon bank, sehingga pada saat si nasabah atau korban menghubungi nomor telepon yang tercantum di stiker palsu, si penjahat akan mengarahkan anda dengan berbagai cara agar anda menyebutkan nomor PIN anda. Modus telepon pengaduan palsu ini, kadang si penjahat bisa menggunakan cara hipnotis melalui telepon, yang akan membuat anda mengkuti semua instruksi si penjahat.12

Penerapan Undang-Undang ITE Dalam Penanggulangan Aksi Pembobolan ATM Bank dapat dilakukan mengingat sanksi pidana yang relatif lebih berat dan sifat kualifikasinya yang memenuhi karakteristiknya sebagai Computer Related Crime. Dalam konteks ini Kementerian Kominfo telah menyampaikan penjelasan tentang penggunaan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik (yang lebih populer dengan istilah UU ITE) dalam memberikan referensi hukum untuk menjerat aksi kriminalitas yang menggunakan sistem elektronik. Dalam UU ITE telah diatur banyak perbuatan yang terkait dengan tindak pidana siber termasuk perbuatan yang dilarang mendistribusikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik, perbuatan yang berakibat tergangunya sistem elektronik, perbuatan yang dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dan perjudian, dan UU ITE juga jelas telah mengatur perbuatan yang dilarang untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik serta yang merusak, menghilangkan, memindahkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain. Dengan demikian dalam UU ITE telah mengatur tentang konsekuensi hukum atas perusakan alat untuk memasukkan kartu ATM yang diganti dengan skimmer yang tengah terjasdi di mesin-mesin ATM.13

Terhadap pelaku yang diduga telah melakukan pembobolan tersebut, UU ITE menyebutkan, bahwa minimal dapat dijerat dengan :14

A. Pasal 30 ayat (1) yang menyebutkan, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun ; dan ayat (3) yang menyebutkan, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan . Di samping itu, juga dapat dijerat dengan Pasal 32 ayat (2) yang menyebutkan, bahwa setiap orang dengan

12 https://mediatorinvestor.wordpress.com/artikel/kejahatan-kartu-atm-kartu-kredit/, diakses pada tanggal 31 Januari 2015. 13 http://www.postel.go.id/info_view_c_26_p_1066.htm, di akses pada tanggal 31 Januari 2015.

(8)

sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak . Dan ketentuan berikutnya yang juga dapat digunakan adalah Pasal 36, yang menyebutkan, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain . Ini artinya, tindakan kejahatan perbankan dan berikut ancaman hukumannya tersebut dapat dijerat dengan UU ITE sehingga aparat kepolisian telah mempunyai landasan hukum untuk mengambil tindakan penyelidikan dan penyidikan kejahatan kartu ATM dan transaksi elektronik lainnya.

(9)

menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian ; dan ayat (2) yang menyebutkan, bahwa masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan . Lebih lanjut tentang konsekuensi hukum perbankan diatur di dalam UU Perbankan.

C. Kementerian Kominfo juga menyadari, bahwa aparat penegak hukum tentu pada awalnya secara primer menggunakan ketentuan yang diatur di dalam KUHP, khususnya Pasal 263 ayat (1) yang menyebutkan, bahwa barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun . Demikian pula yang disebut pada Pasal 263 ayat (2) yang menyebutkan, bahwa diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian . Selanjutnya, masih menurut KUHP, maka pelaku yang diduga telah melakukan pembobolan rekening nasabah bank tersebut juga dapat dianggap melanggar ketentuan yang diatur di Pasal 362, yang menyebutkan, barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan pemalsuan kartu ATM atau Kartu kredit merupakan salah satu tindak pidana di bidang perbankan. Tindak pidana di bidang perbankan adalah segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank, baik bank sebagai sasaran maupun sarana. Pelakunya bisa perorangan, maupun badan hukum (korporasi) dimana pelakunya bertindak karena yakin sering terjadi ketidak hati-hatian pada perbankan serta penyembunyian perkara ini terjadi karena bila suatu bank kebobolan dianggapnya suatu aib yang tidak boleh diketahui oleh nasabahnya.15

Kelompok pertama disebut tindak pidana perbankan, berhubung perbuatanperbuatan tersebut secara langsung melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun

(10)

1998. Meskipun Undang-Undang tentang pokok perbankan itu mengatur secara umum tentang lembaga bank serta fungsinya, tetapi di sisi lain memuat juga ketentuan-ketentuan pidana yang melarang dan mengancam dengan sanksi beberapa perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan umum dalam Undang-Undang tersebut.

Dalam Perundang-undangan, kejahatan di bidang perbankan dikelompokkan dalam tiga jenis perbuatan, yakni:

1. Kejahatan di bidang perjanjian/legalitas bank, berupa menjalankan usaha yang serupa bank. 2. Kejahatan pemalsuan dokumen yang dipakai sebagai jaminan kredit atau agunan berkali-kali

sehingga mendapat kredit berulang kali dengan maksud melakukan penipuan.

3. Pemalsuan yang menyangkut lalu lintas giral antara lain bentuknya pemalsuan dan penggunaan surat aplikasi transfer serta pemalsuan dan penggunaan alat/ warkat bank lainnya yang semuanya dengan maksud untuk melakukan penipuan.16

Diantara ketiga jenis kejahatan di bidang perbankan sebagaimana tersebut diatas maka tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit termasuk dalam jenis kejahatan pemalsuan yang menyangkut lalu lintas giral. Tindak pidana di bidang perbankan yang menggunakan kartu kredit terjadi dengan cara memalsukan kartu kredit dengan bantuan pejabat bank menyerahkan kartu kredit hasil curian/ temuan dan memalsukan tanda tangan pemegang sah kartu kredit tersebut. Adanya beberapa modus carding yakni counterfeiting, yaitu kartu asli atau palsu yang diubah menyerupai kartu asli. Pelaku counterfeiting adalah perorangan atau sindikat dengan dana besar dan jaringan luas. Modus lain adalah dengan menggunakan peranti lunak tertentu yang tersedia secara umum.17

Kenyataan yang terjadi pada saat ini dimana kasus mengenai penyalahgunaan kartu kredit disangkakan ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP yang tidak relevan untuk digunakan dalam menanggulangi / menjaring pelaku kejahatan kartu kredit karena memiliki beberapa kelemahan antara lain :

1. Kartu kredit tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat

2. Hal yang dipalsukan dalam penyalahgunaan kartu kredit adalah pin orang lain yang telah berhasil dicuri melalui penipuan lewat telepon kepada si korban.

Dewasa ini peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan tindak pidana di bidang perbankan yaitu :

16 Ibid., hlm 73.

(11)

1. Undang Undang No. 7 Tahun 1992 jo. Undang Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

2. Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

3. Undang Undang No. 3 Tahun 1971 jo, Undang Undang No, 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Undang Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.

5. Undang Undang No. 32 Tahun 1964 jo. Undang Undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

6. Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik g. Rancangan Undang – Undang Tentang Transfer dana

7. Ordonansi Riba ( Stbl. 1938 No. 534)18

Pengertian Kartu Kredit merupakan “uang plastik” yang dikeluarkan oleh bank, kegunaannya adalah sebagai alat pembayaran di tempat-tempat tertentu seperti supermarket, hotel, restaurant, tempat hiburan dan tempat lainnya.19 Di dalam Pasal 1 ayat (8) Keputusan Presiden Republik Indonesia No.

61 Tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan disebutkan bahwa Perusahaan kartu kredit (credit card company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit.

Dengan demikian kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak Bank atau lembaga keuangan lainnya, dimana si pemilik kartu dalam melakukan suatu transaksi dapat memperoleh barang-barang atau pelayanan jasa dengan menunjukkan kartu tersebut yang juga dapat berfungsi sebagai alat pembayaran secara tunai.

Kejahatan kartu kredit memerlukan proses hukum yang adil. Menurut Mardjono Reksodiputro, proses hukum yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan formal. Dalam pengertian proses hukum yang adil terkandung penghargaan akan kemerdekaan seorang warga negara. Dengan demikian, meskipun warga masyarakat telah melakukan suatu perbuatan tercela (tindak pidana), hakhaknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang.20

Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan, khususnya dalam tindak pidana pemalsuan, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 263 KUHP, yaitu :

1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang dapat diperuntukkan sebagai bukti dari pada

18 Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm 35. 19 Kasmir, Manaiemen Perbankan. PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta, 2000, hal 117

(12)

sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai suratsurat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam juga pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun; 2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang

dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbuikan kerugian Rumusan pada ayat (1) terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

A. Unsur-unsur obyektif 1. Perbuatan :

a. membuat palsu; b. memalsu;

2. Obyeknya, yakni surat :

a. yang dapat menimbulkan suatu hak; b. yang menimbulkan suatu perikatan;

c. yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;

d. yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal; 3. Dapat menimbulkan kerugian akibat dari pemakaian surat tersebut.

B. Unsur Subyektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.

Sedangkan ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: A. Unsur-unsur obyektif :

1. Perbuatan : memakai; 2. Obyeknya :

a. surat palsu;

b. surat yang dipalsukan;

3. Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian; B. Unsur subyektif : Dengan sengaja.

(13)

seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya.

Pasal 263 KUHP tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana pemalsuan kartu kredit. Pengenaan Pasal 263 KUHP untuk menjaring pelaku kejahatan kartu kredit memiliki beberapa kelemahan. Dalam rumusan Pasal 263 KUHP tersebut, dikatakan bahwa tindak pidana dilakukan dengan membuat surat palsu atau memalsukan surat, sementara untuk melakukan kejahatan kartu kredit, pelaku tidak perlu memalsukan surat (misalnya memalsukan surat berupa data nasabah yang dikeluarkan oleh lembaga pembiayaan kartu kredit). Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Dengan kecanggihan teknologi, pelaku dapat membuat program spyware, trojan, worm dan sejenisnya yang berfungsi seperti keylogger (program mencatat aktivitas keyboard) dan program ini disebar lewat E-mail Spamming, messenger (yahoo, MSN), atau situs-situs tertentu dengan icon atau iming-iming yang menarik netter untuk mengunduh dan atau membuka file tersebut. Program ini akan mencatat semua aktivitas komputer ke dalam sebuah file, dan akan mengirimnya ke email hacker. Dalam hal ini tidak ada surat yang dipalsukan/ surat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran (sekalipun itu PIN kartu kredit) sebab pelaku menggunakan PIN asli, hanya saja PIN asli tersebut didapatkan secara melawan hukum.

b. Perkembangan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit juga dapat dilihat dari penggunaan kartu kredit palsu (virtual credit card). Cara kerja virtual credit card adalah provider mengeluarkan kartu kredit yang dapat digunakan untuk berbelanja (semacam debit card). Klien diwajibkan menyetor uang untuk membuat kartu kredit virtual ini. Pemalsuan kartu kredit yang dilakukan sindikat kejahatan juga dapat dilakukan dengan mencuri data kartu kredit melalui skimmer yang dipasang pada alat penggesek kartu, atau E-D-C. Untuk memasang skimmer pada EDC inilah, para pelaku bekerja sama dengan oknum yang bekerja di tempat incaran pelaku, seperti restoran dan tempat hiburan mewah. Kemudian melalui alat encoder, data pada kartu kredit dimasukkan ke dalam kartu kredit palsu.21 Kartu kredit palsu ini sebenarnya tidak

dapat diintepretasikan sebagai surat palsu sebab surat berbeda dengan kartu kredit

Mengenai penerapan pasal 378, Kelemahan dari ketentuan tersebut dimana tidak dapat menjaring para pelaku penipuan dikarenakan pelaku melakukan penipuan melalui jaringan internet dimana pelaku memiliki program tersendiri dimana apabila si korban membuka program tersebut maka secara langsung data dari si korban terkirim kepada si pelaku. Tindak pidana pemalsuan umumnya

(14)

banyak berkaitan dengan penipuan, atau dengan pengertian lain tindak pidana pemalsuan umumnya bermuara pada penipuan. Penipuan pada dasarnya merupakan tujuan akhir dari perbuatan pemalsuan.22

Hakim sebagai salah satu organ pengadilan tidak dimungkinkan untuk menolak suatu perkara yang belum ada pengaturannya. Telah menjadi kewajiban para hakim untuk mencari, menggali dan menemukan hukum terhadap permasalahan yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan inilah hakim dapat berfungsi sebagai pembentuk hukum (Recht Finding).23 Termasuk dalam pengertian tersebut adalah

Jaksa Penuntut Umum. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.24

II. ALAT BUKTI

(suatu pencarian politik hukum pembuktian dalam peraturan perundang-undangan mengenai alat bukti khususnya mengenai alat bukti yang bersifat eletronik atau sejenisnya)

Ada suatu perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam hukum acara pidana dan pembuktian dalam hukum acara perdata. Disamping perbedaan tentang jenis alat bukti, terdapat juga perbedaan tentang sistem pembutian. Sistem Pembuktian dalam acara pidana dikenal dengan “sistem negatif” ( negatief wettelijk bewijsleer) sedangan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif ( positief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang formal. Karena25

dalam sistem pembuktian perdata berlaku sistem positif, maka yang dicari oleh hakim adalah suatu kebenaran formal sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan.26

Karena yang di cari oleh hakim hanyalah suatu kebenaran formal, jadi bukan kebenaran yang sesungguhnya, bahkan suatu kebenaran yang bersifat “kemungkinan” (Probable) saja sudah mencukupi, maka suatu kebenaran yang sesungguhnya sulit diwujudkan dalam praktik.27

Dalam Hukum Acara Perdata, tingkat pembuktian yang harus dicapai cukup dengan tingkat “bukti lebih besar kemungkinan” (preponderance of evidence), yang sering diartikan sebagai tingkat

22 Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank., Op.Cit, hlm 100. 23 Ibid, hlm 130.

24 Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

25 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm 2. 26 Ibid, hlm 3.

(15)

pembuktian yang menghasilkan suatu kesimpulan bahwa lebih besar kemungkinan eksistensi fakta yang dibuktikan itu daripada noneksistensinya. Akan tetapi, menurut Teori Hukum Pembuktian, terhadap pembuktian dalam hukum acara perdata, untuk kasus-kasus tertentu, disyaratkan tingkat pembuktian yang lebih tinggi dari sekedar pembuktian propenderans, yakni disyaratkan terbukti secara jelas dan menyakinkan (clear and convicing evidence), misalnya, diterapkan terhadap kasus-kasus perdata yang dekat dengan pidana seperti terhadap kasus penipuan perdata.28

Akan tetapi, teori hukum pembuktian mengajarkan juga bahwa tidak setiap fakta dalam Acara Pidana harus dibuktikan dengan tingkat pembuktian yang tinggi. Untuk fakta-fakta tertentu, seperti untuk membuktikan kesehatan mental dari tersangka tersebut, membuktikannya tanpa harus sampai ke tingkat yang lebih tinggi, tetapi tingkat terbukti dengan kemungkinan lebih besar (preponderance) sudah dianggap memadai.29

Kelemahan dari alat bukti baik dalam bidang hukum pidana maupun dalam bidang hukum perdata, yang menyebabkan pencarian keadilan tidak selamanya dapat di realisasi. kelemahan-kelemahan tersebut misalnya :30

1. alat bukti yang palsu

2. alat bukti yang hanya menghasilkan prasangka atau dugaan saja 3. kebohongan atau kelicikan

4. keterbatasan para pihak untuk membuktikan

5. keterbatasan hakim dalam menafsirkan pengunaan dari alat bukti 6. mafia peradilan.

Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :31

1. Di perkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti

2. Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu) 3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta. 4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

Dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang akan dibuktikannya, terdapat dua macam alat bukti, yaitu sebagai berikut :32

1. Alat bukti langsung (Direct Evidence)

(16)

Suatu alat bukti dimana saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan sehingga fakta tersebut terbukti langsung (dalam satu tahap saja) dengan adanya alat bukti tersebut. contoh : manakala saksi melihat langsung bahwa si pelaku kejahatan mencabut pistolnya dan menembak kearah korban, saksi mendengar bunyi letusan, dan kemudian melihat langsung korban terkapar.

2. Alat bukti tidak langsung (Inderect Evidence) / Sirkumtansial

Suatu alat bukti dimana antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu. Contoh : manakala ditempat kejadian, saksi untuk kasus pembunuhan melihat korban tersungkur dengan darah diperutnya, dan di dekatnya terlihat tersangka memegang pisau yang berlumuran darah, dan kemudian pelaku melarikan diri. Jadi, saksi sebenarnya tidak melihat dengan matanya sendiri tentang proses terjadinya pembunuhan tersebut, tetapi dari keterangan dalam kesaksiannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa korban dibunuh oleh tersangka dengan pisau.

Dilihat dari segi fisik alat bukti, alat bukti tersebut dapat di bagi kedalam tiga kategori, yaitu :33

1. Alat Bukti Testimonial

Adalah Pembuktian yang diucapkan (oral testimony) yang diberikan oleh saksi di depan pengadilan.

2. Alat Bukti Yang Berwujud (tangible evidence)

Adalah model-model alat bukti yag dapat dilihat wujudnya/bentuknya, yang pada prinsipnya terdiri atas dua macam, yaitu :

a. Alat Bukti Riil

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti rill adalah sejenis alat bukti yang merupakan benda yang nyata ada ditempat kejadian, misalnya pistol atau pisau yang telah digunakan untuk membunuh atau mesin yang tidak berfungsi sehingga menyebabkan kecelakaan.

b. Alat Bukti Demonstratif

Yang dimaksudkan dengan alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang merupakan benda tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian, misalnya, alat bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, omodel anatomi tubuh, dan sebagainya.

c. Alat bukti berwujud tetapi bersifat testimonial

(17)

Adalah bentuk campuran antara alat bukti testimonial dan alat bukti berwujud. Dalam hal ini, sebenarnya alat bukti tersebut fisiknya berwujud, tetapi memiliki sifat yang testimonial, misalnya transkrip dari keterangan saksi (deposisi) atau transkrip dari kesaksian dalam sidang sebelumnya dikasus yang lain.

Bahwa dalam kenyataannya, disamping alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal, seperti alat bukti surat, saksi, pengakuan, dan sebagainya, sangat banyak model alat bukti yang non konvensional, tidak terantisipasi pada saat HIR dan KUHAP dibentuk, misalnya tentang alat bukti elektronik, saintifik, dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat atau tidaknya diterima alat bukti tersebut di prngadilan, masih mengandung banyak perdebatan. Akan tetapi, agar hukum pembuktian kita tidak ketingalan kereta api, alat-alat bukti non konvensional tersebut haruslah dipertimbangkan hakim untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini dapat dilakukan, baik lewat alat bukti “persangkaan” dalam hukum acara perdata (vide Pasal 164 HIR) maupun melalui alat bukti “petunjuk” dalam hukum acara pidana (vide Pasal 184 KUHAP).34

Salah satu karakter dari hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang ilmu hukum yang sangat technology oriented. Artinya, perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung pada perkembangan pembuktian di pengadilan. Dewasa ini akibat perkembangan tehnologi tersebut, kejahatan sudah dapat dibuktikan dengan sangat menyakinkan hanya dengan memakai tes DNA misalnya, suatu tehnologi yang sebelumnya dikenal oleh ilmu dan tehnologi itu. Hanya perlu diamati, seberapa jauh penggunaan teknologi modern tersebut dapat digunakan di pengadilan, sampai dimana reliabilitasnya, dan bagaimana agar penggunaan tersebut tidak menimbulkan praduga yang tidak perlu atau berbagai penyalahgunaan lainnya.35

Dari perkembangan hukum pembuktian sebagaimana terjadi dalam sejarah hukum, ada satu

trend yang pasti yang bersfifat evolutif bahwa tatkala di sadari bahwa sistem pembuktian tertentu atau suatu model alat bukti tertentu menjadi tidak lagi efektif dan tidak efisien untuk mencari kebenaran, misalny karena terlalu banyak di manipulasi, maka sistem hukum yang cerdas akan mencari sistem pembuktian lain atau alat bukti lain, setidak-tidaknya tidak lagi mengunakan sistem pembuktian atau alat bukti yang sudah ada itu. Perkembangan terakhir adalah dengan digunakannya berbagai pembuktian modern, seperti pembuktian dengan menggunakan elektronik, ilmu pengetahuan, dan teknologi, misalnya, pembuktian dengan menggunakan tes DNA yang sudah sangat terkenal itu.36

(18)

Ini berkaitan juga dengan Teori Relevansi alat bukti, relevansi alat bukti merupakan salah satu di samping berbagai alasan lain untuk menolak dimunculkannya suatu alat bukti dalam suatu perkara.37

Dengan demikian, agar suatu alat bukti dapat diterima di pengadilan, alat bukti tersebut haruslah relevan dengan yang akan dibuktikan. Jika alat bukti tersebut tidak relevan, pengadilan haruslah menolak bukti semacam itu karena menerima bukti yang tidak relevan akan membawa resiko tertentu bagi proses pencarian keadilan yaitu :

1. Membuang-buang waktu sehingga dapat memperlambat proses peradilan

2. Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu

3. Penilaian terhadap masalah tersebut menjadi tidak proposional, dengan membesar-besarkan yang sebenarnya kecil, atau mengecilkan yang sebenarnya besar.

4. Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional.

Oleh karena itu, amatlah penting bagi hakim dalam proses pengadilan untuk mengetahui dan cepat memutuskan apakah suatu alat bukti relevan atau tidak dengan fakta yang akan dibuktikannya. Alat bukti menjadi relevan manakala alat bukti tersebut memiliki hubungan yang cukup dengan masalah yang akan dibuktikan. Setelah diputuskan bahwa alat bukti tersebut relevan, langkah selanjutnya (langkah kedua) adalah melihat apakah ada hal-hal yang dapat menjadi alasan untuk mengesampingkan alat bukti tersebut, misalnya karena alasan saksi de auditu.38

Dalam proses melihat relevan atau tidaknya suatu alat bukti (langkah pertama), haruslah dicari tahu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan :39

1. Apakah yang akan dibuktikan oleh alat bukti tersebut ?

2. Apakah yang akan dibuktikan itu merupakan hal yang material/substansial bagi kasus tersebut ? 3. Apakah bukti tersebut memiliki hubungan secara logis dengan masalah yang akan dibuktikan ? 4. Apakah bukti tersebut cukup menolong menjelaskan persoalan (cukup memiliki unsur

pembuktian) ?

Manakala jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut positif, baru dilanjutkan pada tahap kedua, yaitu melihat apakah ada ketentuan lain yang merupakan alasan untuk menolak alat bukti tersebut. Alasan atau aturan yang harus di pertimbangkan tersebut antara lain, sebagai berikut :40

1. Bagaimana dengan prinsip penerimaan alat bukti secara terbatas ?

2. Alat bukti tersebut ditolak manakala penerimaannya dapat menyebabkan timbulnya praduga yang tidak fair atau dapat menyebabkan kebingungan

(19)

3. Merupakan saksi de auditu yang harus ditolak

4. Ada alasan yang ekstrinsik yang dapat membenarkan penolakan alat bukti tersebut, misalnya, ada perbaikan yang dilakukan kemudian, atau ada asuransi yang dapat mengcover kerugian tersebut, seperti asuransi tanggung jawab (liability insurance).

5. Adanya pembatasan-pembatasan untuk menggunakan bukti karakter (ingat kasus pembunuhan wanda, bukti karakter suka minum dan suka main perempuan yang dilekatkan polisi kepada tersangka).

Alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti dimana penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut menjadi lebih jelas daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan. Dengan demikian, relevansi lat bukti bukan hanya diukur dari ada atau tidaknya hubungannya dengan fakta yang akan dibuktikan, melainkan dengan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas. Untuk itu, perlu dibedakan antara masalah relevansi alat bukti dan materialitas dari alat bukti tersebut. Dalam hal ini, relevansi alat bukti diukur dari apakah alat bukti tersebut relevan dengan fakta yang akan dibuktikan. Sementara itu, masalah materialitas (materiality) dari alat bukti merupakan jawaban terhadap pertanyaan apakah fakta yang akan dibuktikan tersebut cukup signifikan (cukup penting) bagi kasus tersebut secara keseluruhan ?41

Permasalahan dalam praktek adalah banyak persoalan tentang relevansi alat bukti jika alat bukti tersebut adalah alat bukti sirkumtansial, yakni alat bukti yang hanya dapat membuktikan sesuatu setelah ditarik suatu kesimpulan-kesimpulan tertentu. Sebagai contoh, saksi tidak melihat proses terjadinya pencurian, tetapi melihat dengan jelas tersangka yang sedang menjual barang hasil curiannya sehingga jika tidak ada bukti sebaliknya yang lebih kuat, dapat ditarik kesimpulan bahwa tersangka tersebutlah pelaku pencurian yang bersangkutan. Persyaratan relevansi bagi suatu alat bukti sirkumtansial haruslah relevansi yang rasional. Dalam hal ini, haruslah dapat ditunjukan secara rasional penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut menjadi lebih jelas daripada jika tidak digunakan alat bukti tersebut.42

Untuk kasus yang melibatkan alat bukti yang sirkumtansial ini dapat diberikan contoh sebagai berikut :43

Contoh alat bukti sirkumtansial yang relevan

41 Loc.Cit.,

(20)

Jika saksi tidak melihat proses terjadinya pembunuhan, tetapi melihat tersangka lari dari tempat kejadian dengan tangan berlumuran darah, alat bukti sirkumtansial tersebut relevan dengan kasus pembunuhan yang bersangkutan karena orang yang tangannya berlumuran darah yang lari dari tempat kejadian besar kemungkinan adalah pembunuh itu sendiri. Jadi, besar kemungkinan alat bukti tersebut dapat lebih memperjelas duduk permasalahan ketimbang tanpa alat bukti.

Contoh alat bukti sirkumtansial yang tidak relevan

Bahwa untuk membuktikan suatu perbuatan melawan hukum karena kelalaian, tidak perlu didatangkan saksi yang dapat membuktikan bahwa tersangka setelah sebelumnya menggunakan asuransi tanggung jawab (liability insurance). Alat bukti sirkumtansial tersebut secara rasional tidak relevan, yakni tidak mebuat fakta menjadi lebih jelas. Hal ini karena orang yang masuk asuransi tanggung jawab tidak berarti lebih cenderung melakukan kelalaian daripada orang yang tidak masuk asuransi tersebut.

Bagaimanakah relevansi karakter dan kebiasaan manusia sebagai alat bukti, dalam teori hukum pembuktian diajarkan bahwa secara prinsip, pembuktian yang berhubungan dengan karakter dan kebiasaan secara hukum dianggap tidak relevan dengan perkara dimana masalah karakter dan kebiasaan bukan menjadi persoalan yang dipersengketakan. Jadi katakanlah terbukti salah satu pihak memang memilik karakter yang jelek dibidang tertentu, tetapi hal tersebut tidak dapat digunakan untuk membuktikan bahwa dia mengulangi hal yang sama dalam kasus yang bersangkutan. Jika ada kasus perceraian karena pasangannya telah melakukan zina, jika pasangannya itu dahulunya suka gonta ganti pasangan, bahkan pernah hidup bersama dengan lawan pasangan jenis tanpa menikah, fakta tersebut tidak berarti bahwa sekarang dia juga suka berzina. Oleh karena itu, secara hukum, bukti yang demikian dianggap tidak relevan.44

Namun demikian, prinsip tidak relevannya alat bukti karakter dan kebiasaan untuk kasus yang bukan tentang karakter dan kebiasaan, tidak selamnya dapat diterapkan secara tegas. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa kekecualian terhadap aturan hukum tersebut. Kekecualian-kekecualian tersebut dimaksudkan untuk membuka pintu keadilan bagi para pihak, khususnya pihak yang telah dikorbankan. Berikut beberapa contoh kasus dimana kekecualian tersebut pantas di buka :45

1. Karakter suka menyerang orang lain bagi kasus pembelaan diri

Dalam hal ini, seorang tersangka yang diduga membunuh orang lain, dimana pembunuh tersebut beralasan bahwa dia membunuh karena dia membela diri. Dia dapat dan pantas

(21)

mengunakan pembuktian bahwa korban pembunuhan tersebut memang bajingan yang sering menyerang orang lain secara kasar. Dalam kasus seperti ini, sebaliknya jaksa penuntut umum dapat pula membuktikan sebaliknya bahwa korban pembunuhan tersebut bukanlah bajingan yang suka menyerang orang lain. Pembuktian seperti ini dianggap relevan bagi proses pemeriksaan di pengadilan.

2. Karakter suka perdamaian bagi kasus pembelaan diri.

Bahwa seseorang yang diduga membunuhg orang lain yang mendalilkan bahwa dia hanya membela diri, dapat memperkuat kasusnya dengan membuktikan bahwa dia sebenarnya dalam masyarakat memiliki reputasi yang suka akan perdamaian sehingga tidak mungkin dia menyerang lebih dahulu yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan tersebut.

3. Karakter tidak suka menipu bagi kasus penipuan pidana.

Jika seseorang disangka telah melakukan penipuan secara pidana, dia dapat membuktikan bahwa dia sebenarnya baik dan jujur dan tidak suka menipu. Dalam hal ini, jaksa penuntut umum dapat membuktikan sebaliknya bahwa tersangka sebenarnya memang mempunyai sifat suka menipu orang untuk mendapatkan uang/harta.

4. Karakter tingkah laku seksual bagi kasus pemerkosaan

Meskupun dalam hal ini banyak perbedaan pendapat, perlu dipertimbangkan relevansi tingkah laku seksual bagi kasus perkosaan, khususnya dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Sejarah tingkah laku seksual yang jelek dari wanita korban perkosaan dapat diajukan sebagai bukti untuk membuktikan bahwa sebanarnya dalam tindakan hubungan seksual tersebut telah terdapat persetujuan dari wanita tersebut. Harus diakui bahwa ketentuan seperti ini mengundang perbedaan pendapat yang tajam diantara para ahli.

b. Sejarah tingkah laku seksual yang jelek dari laki-laki pemerkosa tersebut dapat memperkuat adanya kasus pemerkosaan yang bersangkutan.

c. Bahwa wanita korban perkosaan tersebut dahulunya pernah berhubungan seksual secara suka sama suka dengan laki-laki pemerkosa tersebut dapat dipergunakan untuk memperkuat bukti bahwa yang terjadi sekarang bukanlah pemerkosaan, melainkan hubungan seksual secara sukarela.

(22)

dalam hal ini mungkin melibatkan karakter manusia, tetapi mungkin juga tidak.46 Hukum pembuktian

lebih mudak menerima relevansi bukti karakter dan kebiasaan tersebut, misalnya, dalam kasus penghinaan dimana seseorang menghina orang lain dengan menyatakan bahwa orang tersebut adalah pencuri. Dalam kasus seperti ini, kaidah hukum pembuktian membenarkan pembuktian karakter, yaitu dengan membuktikan bahwa yang dihina tersebut memang seorang pencuri, atau orang yang mempunyai reputasi tidak jujur karena dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah memang masalah karakter.47

Mengenai Tingkat Keterbuktian dari suatu proses pembuktian, dalam sistem hukum Indonesia hanya dikenal dua tingkatan, yaitu :48

1. Tingkat keterbuktian secara Perdata.

2. Tingkat keterbuktian yang lebih kuat, yakni tingkat keterbuktian secara “sah dan meyakinkan”, yang umumnya diterapkan dalam hukum pidana (Vide Pasal 183 KUHAP).

Sementara dalam ilmu hukum pembuktian, dikenal tiga macam tingkatan pembuktian, yaitu sebagai berikut :49

1. Tingkat keterbuktian yang paling lemah, yaitu tingkat lebih besar kemungkinan keterbuktian (preponderance of evidence). Biasanya diterapkan dalam kasus perdata.

2. Tingkat keterbuktian yang agak kuat, yang disebut dengan keterbuktian yang “jelas dan menyakinkan” (clear and convincing evidence). Biasanya diterapkan, baik dalam kasus perdata maupun dalam kasus pidana.

3. Tingkat keterbuktian yang sangat kuat, yaitu sama sekali tanpa keraguan (beyond reasonable doubt). Biasanya diterapkan dalam kasus pidana.

Dalam sistem pengaturan hukum pembuktian di Indonesia, beban pembuktian dalam hukum acara perdata berbeda dengan yang terdapat dalam hukum pidana. Pada umumnya bagi pembuktian perdata, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 163 HIR, barang siapa yang mengungkapkan suatu hak atau membantah adanya hak yang sudah terbukti atau yang tidak perlu dibuktikan, dialah yang harus membuktikannya. Pasal 163 HIR tersebut menyatakan sebagai berikut :

“Barang siapa mendalilkan suatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian untuk mengukuhkan hak itu atau untuk membantah hak orang lain, diwajibkan untuk membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.

(23)

Dalam hal pembuktian mutlak (strict liability), sudah jelas kepada siapa beban pembuktian dipikulkan, misalnya, menurut undang-undang tentang Lingkungan Hidup, beban pembuktian dipikulkan kepundak pemilik pabrik yang diduga mengotori lingkungan. Dalam bidang hukum konsumen, undang-undang konsumen memberikan beban pembuktian kepundak produsen.50 Dengan

demikian, menurut Pasal 183 KUHAP tersebut, agar seseorang tersangka dapat dijatuhi pidana, diperlukan bukti yang “sah dan menyakinkan” dan beban pembuktian dalam hukum acara pidana terletak dipundak Jaksa. Adapun dalam hukum acara perdata beban pembuktian diletakan pada pundak pihak yang mengajukan suatu fakta, yang umumnya (tetapi tidak selamanya) berada dipundak pihak penggugat, atau kepada pihak yang membantah adanya suatu fakta yang telah terbukti tersebut.51

Dalam ilmu hukum pembuktian, bila praduga hukum sudah dapat ditentukan, kewajiban pembuktian beralih kepada pihak lawan untuk membuktikan sebaliknya. Praduga Hukum dalam hukum pembuktian adalah suatu sangkaan yang berdasarkan atas suatu kemungkinan yang terjadi karena adanya suatu fakta hukum yang substansial dalam kasus hukum yang bersangkutan, kemudian menimbulkan sangkaan akan adanya suatu fakta hukum yang lain yang juga substansial, untuk alasan-alasan praktis beracara dan ketertiban umum, yang menyebabkan beban pembuktian berpindah kepihak lain dari yang seharusnya dibebankan oleh hukum pembuktian. Karena praduga hukum merupakan suatu pranata hukum, maka suatu praduga hukum dapat bersumber dari berbagai sumber hukum yang diakui, terutama bersumber dari Undang-Undang. Akan tetapi dapat saja bersumber dari yurisprudensi, kebiasaan atau doktrin.52

Disamping itu, sesuai dengan definisi diatas, yang disebut dengan istilah “praduga tidak bersalah” (presumption of innocent) terhadap seseorang tersangka kejahatan dalam suatu sistem hukum pidana sebenarnya bukanlah merupakan suatu praduga hukum dalam arti yang sebenarnya karena dalam hal ini, misalnya, tidak ada perpindahan beban pembuktian kepihak lainnya. Yang disebut dengan praduga tidak bersalah dalam hukum pidana tersebut sebenarnya hanya merupakan suatu asas hukum yang lebih merupakan penentuan oleh hukum bahwa pihak penuntut yang harus membuktikan kesalahan tersangka. Sebelum terbukti, tersangka tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang yang dapat melanggar hak-hak konstitusonalnya meskipun dalam batas-batas tertentu kemerdekaannya sudah mulai dibatasi, seperti dia sudah boleh diborgol atau ditahan.53

(24)

Berikut ini diuraikan beberapa contoh praduga hukum yang dapat menyebabkan pihak lawan harus membuktikan sebaliknya, yaitu :54

1. Jika seseorang sudah membayar sewa bulan-bulan terakhir, hukum berpraduga bahwa ia juga sudah membayar sewa untuk bulan-bulan sebelumnya.

2. Jika pada saat penyerahan untuk disimpan barangnya dalam keadaan bagus, tetapi ketika barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya barang tersebut sudah dalam keadaan rusak, hukum memberikan praduga bahwa pihak penyimpan telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan rusaknya barang tersebut. Jika ingin dikatakan agar kerusakan barang tersebut bukab karena kelalaian pihak penyimpan, pihak penyimpanlah yang harus membuktikannya. 3. Jika dua orang dewasa berlainan jenis yang masih muda belia tanpa hubungan saudara berada

dalam satu kamar semalam suntuk tanpa adanya orang lain, dia sudah pantas diduga telah melakukan perzinaan atau hubungan seksual.

4. Bahwa seseorang yang terdaftar sebagai penumpang dalam sebuah kapal yang kemudian kapalnya tenggelam dan orang tersebut tidak terdengar beritanya dalam waktu yang lama, dipraduga sudah meninggal dunia karena tenggelam.

5. Bahwa seseorang yang normal menghendaki konsekuensi yang normal dari tindakan yang dilakukan dengan sukarela.

6. Bahwa uang yang sudah ditransfer secara layak kepada orang lain dianggap sudah diterima oleh penerimanya.

7. Bahwa sebuah surat yang dikirim lewat pos secara layak kepada orang lain dianggap sudah diterima oleh penerimanya.

8. Bahwa suatu perjanjian dianggap ditandatangani ditempat dimana para pihak berdomisili. 9. Seseorang yang menguasai suatu benda dalam jangka waktu yang lama dianggap juga

memilikinya.

10. Bahwa seorang wanita yang berpakaian norak dan berdandan menor berjalan sendiri dikota pada tengah malam dianggap sebagai pelacur.

Sebenarnya, suatu praduga hukum harus dibedakan dari suatu “kesimpulan” hukum (inference). Suatu kesimpulan adalah apa yang ditarik dari suatu fakta berdasarkan kehadiran fakta hukum yang lain. Jika seorang pasien baru pertama kali dioperasi, kemudian di dalam tubuhnya tertinggal suatu alat operasi, misalnya gunting, kesimpulan yang dapat ditarik oleh hukum adalah bahwa dokter tersebutlah

(25)

yang telah melakukan kelalaian sehingga tertingal gunting yang digunakan ketika melakukan operasi dalam tubuh korban. Dalam hal ini, yang terjadi adalah suatu kesimpulan yang ditarik oleh hukum berdasarkan doktrin res ipsa loquitur (fakta yang berbicara). Ini bukan praduga, melainkan kesimpulan hukum meskipun dalam praktik dan perkembangannya, antara praduga hukum dan kesimpulan hukum disamakan satu sama lain.55

Dalam hukum acara pidana, praduga hukum dalam arti praduga yang dapat memindahkan beban pembuktian ini tidak berlaku atau sekurang-kurangnya sangat dibatasi pemberlakuannya. Hal ini karena pembalikan beban pembuktian keatas pundak tersangka kejahatan akan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional dan prinsip-prinsip kemanusiaan dari masyarakat yang beradab. Oleh karena itu, akan selalu menjadi perdebatan dalam hukum pembuktian pidana jika pihak penegak hukum (polisi dan jaksa) yang menemukan heroin dalam sebuah mobil, langsung melakukan praduga (yang membalikan beban pembuktian) bahwa siapa pun yang berada dalam mobil tersebut merupakan pemilik atau pemakai heroin tersebut. Demikian juga dengan fakta bahwa harta yang banyak dari seorang pejabat Negara yang membrikan praduga bahwa dia telah melakukan tindak pidana korupsi yang mengharuskan adanya beban pembuktian terbalik (in casu tersangka yang harus membuktikan) sebagaimana yang terdapat dalam hukum tentang korupsi di Indonesia saat ini. Menjadi perdebatan dalam hukum pembuktian, apakah ganasnya peredaran heroin dan korupsi tersebut cukup kuat untuk menjustifikasi hilangnya hak konstitusional dari seorang tersangka yang dicakup oleh asas

presumption of innocent tersebut.56

Dalam bidang hukum perdata, terdapat alat bukti persangkaan yang merupakan salah satu versi dari konsep praduga hukum ini. Dalam bidang hukum acara pidana, bukti persangkaan ini serupa dengan alat bukti petunjuk. Bukti persangkaan ini dimaksudkan, baik sebagai bukti persangkaan berdasarkan pendapat hakim maupun persangkaan berdasarkan undang-undang. Tentang bagaimanakah kekuatan pembuktian dari suatu praduga hukum dalam hukum acara perdata, teori hukum pembuktian mengenal tiga doktrin sebagai berikut :57

1. Doktrin praduga yang lenyap

Atau dikenal dengan istilah doktrin bursting bubble adalah doktrin yang mengajarkan bahwa dalam hal ada fakta yang menunjukan adanya suatu praduga hukum. Jika pihak lain dapat membuktikan sebaliknya, praduga tersebut langsung lenyap/hangus (burst), tanpa harus

(26)

mempertimbangkan apakah bukti sebaliknya tersebut lebih kuat dari bukti tentang fakta yang menjadi dasar praduga tersebut.

2. Doktrin Praduga yang eksis

Mengajarkan bahwa meskipun pihak lawan dapat membuktikan sebaliknya dari yang menjadi praduga hukum, praduga hukum tersebut tidak semata-mata lenyap sampai dapat dibuktikan sebaliknya dengan bukti yang lebih kuat. Bukti sebaliknya harus berkekuatan lebih tinggi, misalnya dengan pembuktian lebih besar kemungkinan (preponderance), bahkan dalam kasus-kasus tertentu harus dengan pembuktian yang lebih kuat lagi. sering dicontohkan dalam ilmu hukum pembuktian bahwa jika seorang anak yang lahir

3. Doktrin Praduga Konklusif.

III. Latar Belakang perlunya diakui data elektronik dalam hukum pembuktian

Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital, termasuk dalam berinteraksi antar sesamanya. Oleh karena itu, semakin lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk hukum pembuktian untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat seperti itu. Dalam hal ini, posisi hukum pembuktian seperti biasanya akan berada dalam posisi dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan kompromistis. Disatu pihak, agar hukum selalu dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan. Akan tetapi, dilain pihak kecendrungan terjadi manipulasi pengunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang tidak bertangung jawab menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut. Bahkan, mengikuti teori klasik dalam hukum pembuktian yang disebut dengan “hukum alat bukti terbaik (best evidence rule), suatu alat bukti digital sulit diterima dalam pembuktian.58

Salah satu yang sangat menjadi masalah hukum tentang commerce adalah bahwa proses e-commerce belum dapat diakui, baik sebagai bukti oleh hukum secara konvensional, seperti yang diatur dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Hukum Acara Perdata maupun pembuktian pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Beberapa prinsip hukum yang bersentuhan dengan e-commerce yang mestinya diakui sektor hukum pembuktian adalah sebagai berikut :

(27)

 Semua informasi elektronik dalam bentuk data elektronik mestinya memiliki kekuatan hukum

sehingga mempunyai kekuatan pembuktian. Dengan demikian, data elektronik mestinya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan dokumen kertas.

 Kontrak yang dibuat secara elektronik mempunyai akibat hukum dan kekuatan pembuktian

yang sama dengan kontrak yang dibuat secara tertulis diatas kertas.

 Tanda tangan elektronik mestinya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan tanda

tangan biasa.59

Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik membawa dampak yakni jika sebelumnya paling jauh bukti elektronik hanya dipakai dalam hukum acara perdata sebagai bukti “persangkaan” atau dalam hukum acara pidana hanya dipakai sebagai bukti “petunjuk”, maka dengan keluarnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut, alat bukti elektronik berupa Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik, dan hasil cetaknya dengan tegas diakui sebagai alat bukti yang sah dan penuh di pengadilan asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.60 Dengan demikian, penggunaan alat bukti elektronik ini merupakan bahkan

merupakan tambahan atau perluasan dari alat-alat bukti yang telah ada dan diakui oleh hukum acara perdata atau hukum acara pidana61

Alat bukti elektronik ini merupakan bahkan merupakan tambahan atau perluasan dari alat-alat bukti yang telah ada dan diakui oleh hukum acara perdata atau hukum acara pidana

Pengertian Transaksi Elektronik itu sendiri adalah sebuah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik lainnya.62 Sehingga

berkonsekuensi pada alat bukti untuk pembuktian di tingkat Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan adalah alat bukti :63

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan

b. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

59 Ibid., hlm 154 s/d 155. 60 Ibid., hlm 168. 61 Ibid., hlm 170

62 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

(28)

Point a Pasal 5 UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Mengariskan bahwa yang dinamakan alat bukti menurut Undang-Undang tersebut adalah alat bukti dalam hukum acara yang berlaku dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, baik alat bukti dalam hukum acara pidana maupun dalam hukum acara perdata, yang meliputi :

A. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana (Pasal 184 KUHAP) : 1. Keterangan Saksi

2. Keterangan Ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa.

ALAT BUKTI DALAM KUHAP 1. Keterangan Saksi 2. Keterangan Ahli

Alat bukti keterangan ahli mempunyai sifat dualistis, yaitu :64

a. Keterangan Ahli sebagai alat bukti berupa keterangan ahli seperti yang dimaksud oleh Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP.

b. Keteranagan Ahli sebagai alat bukti berupa surat seperti yang dimaksud oleh Pasal 120 ayat (1) jo. Psal 187 huruf c jo. Penjelasan Pasal 186 KUHAP.

3. Surat 4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

B. Alat Bukti dalam Hukum Perdata

1. Pasal 1866 KUH Perdata. alat bukti terdiri atas :  Bukti Tulisan

 Bukti denga saksi-saksi

 Persangkaan-persangkaan

 Pengakuan

 Sumpah

(29)

2. Pasal 164 HIR / 284 RBG

 Bukti Tulisan

 Bukti dengan saksi-saksi

 Persangkaan-persangkaan

 Sumpah

3. Pasal 153 HIR / 180 RBG

 Pemeriksaan setempat oleh hakim

4. Pasal 154 HIR / 181 RBG

 Keterangan Ahli

Point b Pasal 5 UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Mengariskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.65 Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau

hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.66 Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.67

Ketentuan mengenai Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana di maksud tersebut tidak berlaku untuk :68

a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis ; dan

b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Peraturan perundang-undangan lainnya yang menegakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah.

1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 jo PP No. 52 Tahun 2000 tentang Telekomunikasi BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia).

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UUDP) Pasal 12, Dokumen Perusahaan sebagai alat bukti yang sah.

(30)

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR).

Dijelaskan dalam Pasal 26 A, bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat di peroleh dari :

 alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau

disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu.

Yang dimaksud “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film, compact disc read only memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat elektronik (email), telegram, teleks dan faksmili.

 Dokumen

Yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Adanya perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa Petunjuk sesuai Pasal 188 ayat (2) KUHAP.

4. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

 Dalam Pasal 73 huruf a, yang menegaskan alat bukti menurut atau sebagaimana

dimaksud dalam Hukum Acara Pidana yakni merujuk kepada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu :

a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat

d. petunjuk

(31)

 Dalam Pasal 73 huruf b, menambahkan atau memperluas alat bukti yang sah yaitu :

f. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik.

g. Dokumen

Dokumen adalah (Pasal 1 angka 16) : data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas atau benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :

 tulisan, suara, atau gambar

 peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, dan

 huruf, tanda, angka, symbol, atau dapat dipahami oleh orang yang

mampu membaca atau memahaminya.

Jika dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang, kedudukan dari “Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen adalah alat bukti yang berdiri sendiri disamping alat bukti berupa, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangaN terdakwa, sedang dalam pembuktian tindak pidana korupsi kedudukan dari Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen adalah bahan untuk memperoleh alat bukti berupa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (1) huruf d KUHAP.69 Menjadi pertanyaan bagaimanakah politik hukum sistem pembuktian sebenarnya ?

5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPO).

Di dalam Pasal 29 disebutkan bahwa alat bukti selain sebagaimana di tentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa :

a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas,

(32)

benda fisik apa pun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada :

1. tulisan, suara, atau gambar;

2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

3. huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Dalam penjelasan Pasal 29, disebutkan bahwa :

 Yang dimaksud dengan “data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca

dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan denga atau tanpa bantuan suatu perantara, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik” dalam ketentuan ini misalnya : data yang tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan lainnya seperti :

a. catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;

b. catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut

Referensi

Dokumen terkait

siswa aktif belajar. Siswa senang dengan pembelajaran yang menggunakan Media Gambar. Dengan kata lain, Media Gambar dapat menarik minat dan motivasi siswa untuk belajar.

Contoh: untuk mengetahui kemampuan peserta didik terhadap materi tertentu, alat evaluasi yang berbentuk isian (objektif), setelah dianalisis dan dibandingkan ternyata lebih baik

Didorong oleh kebutuhan akan alsintan untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja pada saat tertentu dan disertai dengan naiknya upah buruh tani, lembaga ini muncul dan

Penicillium marneffei PCR/hibridizáció specifikus próbával (18S rDNS), specifikus primerek (egyszerű, seminested, nested PCR) RFLP ( Hae III), RAPD (6 primer kombináció),

Komponen utama pembelajaran CTL mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan ketika akan menerapkannya dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut : 1) Konstruktivisme

Faktor ekstrenal, yaitu lingkungan keluarga ; ada kaitan yang positif antara keyakinan orang tua dengan keyakinan anak terhadap kemampuannya, iklim kelas ; konsep diri

untuk mengetahui Perbedaan Perilaku Sebelum dan Sesudah Penyuluhan CTPS dengan Metode Audiovisual Terhadap Siswa SDN 10 Lambung tahun 2016, penelitian ini dilakukan dengan

Pada fase aquatic, proses penyebaran jentik nyamuk tidak dipengaruhi oleh faktor angin dan sayap seperti pada fase mature, jadi pada fase ini tidak terjadi proses penyebaran