• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ambon adalah Ibu Kota Propinsi Maluku terletak di bagian Timur wilayah Indonesia. Daerah ini pernah mengalami konflik sosial pertama berskala nasional pasca lengsernya Presiden Soeharto di awal tahun 1999. Konflik tersebut berdampak pada semua aktifitas publik termasuk daerah disekitarnya.

Kondisi rusuh di Ambon dan sekitar pasca lengsernya Presiden Soeharto itu, memperhadapkan Gereja-gereja di Maluku dalam situasi yang sangat sulit. Dikatakan demikian karena konflik 1999 yang melibatkan dua komunitas agama besar yaitu Islam dan Kristen secara serempak terjadi di Kota Ambon dan kemudian menyebar dengan cepat di hampir semua wilayah Maluku. Ia baru diselesaikan beberapa tahun kemudian, setelah terjadi akibat-akibat yang sangat parah. Dalam kondisi pasca konflik saat ini, hubungan antar masyarakat terutama antara dua komunitas berbeda agama Islam-Kristen belum dapat dikatakan telah membaik sepenuhnya.

(2)

terutama dalam fungsi edukasi mengindikasikan gereja terus tumbuh1 dan selalu berupaya menciptakan masa depan masyarakat yang semakin baik. Itulah tangung jawab Gereja yang mestinya diperankan secara baik.

Dalam rangka mengatasi konflik diperlukan model penyelesaian yang tepat. Model penyelesaian konflik tentunya sangat bergantung pada dinamika sosial yang terjadi. Untuk memahami kondisi sosial secara benar mensyaratkan upaya yang intensif dalam menjawab tantangan pelayanan di tengah-tengah masyarakat.

Tantangan pelayanan Gereja saat ini berlangsung secara eksternal maupun internal. Secara eksternal kita ketahui terjadi penutupan dan pembakaran rumah -rumah ibadah dan penolakan mendirikan tempat-tempat peribadatan dan pengusiran secara paksa jemaat-jemaat dari suatu lokasi, termasuk didalamnya kejadian tahun 1999 di Ambon dan sekitarnya. Sedangkan secara internal gereja-gereja menghadapi tantangan dari dalam dirinya sendiri, seperti konflik komunitas. Faktor pemicu konflik sangat tergantung dari karakteristik masyarakat di mana gereja tumbuh dan berkembang. Hal itu juga menentukan langkah-langkah konkrit dalam mengatasinya. Secara sosiologis, konflik dapat berfungsi memperbaiki dan atau membangun sistem sosial, artinya konflik dapat memicu terjadinya perubahan sosial. Hanya saja tidak semua konflik bisa seperti itu, bila hal-hal yang terjadi didorong oleh motivasi benci dan dendam ataupun karena kepentingan segelintir orang yang hanya dapat menguntungkan mereka.

Secara khusus dalam tulisan ini penulis fokus meneliti tentang konflik komunitas antar Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo

1

(3)

dalam konteks wilayah pelayanan Gereja Protestan Maluku khususnya di Jemaat Rehoboth. Konflik antar komunitas dapat dilihat sebagai bentuk pergeseran nilai dan disintegrasi norma yang cenderung membangkitkan disharmoni (tidak kesesuaian) sehingga mengarah ke kegiatan dihedritasi (alih fungsi) kepercayaan kepada identitas komunitas. Identitas kelompok, etnisitas bangsa, Identitas sosial budaya, identitas agama dan simbol-simbol orang tertentu yang menjalankan arah kebijakan yang dianggap fleksibelitas sehingga sering menyebabkan retaknya hubungan antar komunitas di masyarakat.

Penyebab konflik ada bermacam-macam, mulai dari hal-hal yang sebenarnya sangat sederhana, seperti perihal pacaran. Seperti yang dipaparkan seorang bapak ketika ditemui. “Dulu, ada dua pasangan pemuda dan pemudi batu gantung ganemo dan batu Gantung dalam mereka berpacaran tetapi ada masalah dalam hubungan mereka yang

kemudian mendorong terjadinya konflik”.2 Ada pula yang beranggapan bahwa konflik

terjadi akibat kebiasaan konsumsi minuman keras (miras) di kalangan anak-anak muda dan sentimen etnis.

Secara periodik dan tingkat eskalasinya, konflik Batu Gantung terjadi dalam beberapa tahap. Tepatnya pada 5 juli 2011, bentrok terjadi sekitar pukul 15.30 WIT. Para pemuda yang terlibat bentrok itu ada yang menggunakan batu, busur panah, parang dan alat tajam lainnya. Bentrok dipicu oleh pemuda Batu Gantung Ganemo yang melakukan penyerangan ke Batu Gantung Dalam dengan menggunakan batu dan alat-alat tajam. Saling melempar dengan menggunakan batu itu berlangsung selama kurang lebih satu jam. Aksi itu baru dapat diredakan setelah anggota Koramil Nusaniwe dibantu

2

(4)

oleh anggota Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease menembak tembakan peringatan. Sementara, informasi lain yang dihimpun, menyebutkan bentrok berawal dari kemarahan pemuda Batu Gantung Ganemo terhadap pemuda Batu Gantung dalam. Dimana sekitar pukul 15.15 WIT, lima pemuda Batu Gantung Dalam dipimpin Welem Halatu pergi ke rumah Helmi Hehanusa di batu Gantung Ganemo untuk melakukan pengancaman. Namun saat itu Helmi Hehanussa yang dicari tidak berhasil ditemui, hingga membuat emosi pemuda Batu Gantung Dalam. Tidak berhasil melampiaskan kemarahan kepada Helmi, para pemuda Batu Gantung Dalam kemudian merusak rumah miliki keluaga Resmol dengan cara melempar.3

Peristiwa kembali terjadi pada 26 April 2013. Sebagian Masyarakat Batu Gantung Dalam khususnya di RT 004/03 Kelurahan Kudamati terpaksa harus mengungsi akibat bentrok. Menurut Ketua RT 004/03 Anthon Pattinama, memang benar kalau Jumat (26/4) dini hari, telah terjadi pelemparan terhadap rumah-rumah warganya yang berada di perbatasan antara batu gantung Ganemo dan Batu gantung dalam. Pelemparan yang terjadi jumat dini hari itu mengakibatkan sebagian warganya terpaksa memilih mengungsi karena rumah mereka sudah hancur porak-poranda akibat lemparan batu dari warga batu Gantung Ganemo. Ia menambakan, lemparan batu itu juga disusul dengan dentuman bom rakitan sehingga salah satu warganya seorang ibu yang sementara sakit stroke langsung dengan susah payah lari keluar menyelamatkan diri. Ditempat terpisah, Yohana Huwae salah satu warga yang rumahnya hancur porak-poranda, menyampaikan pada saat pelemparan terjadi, mereka terpaksa harus mengungsi

3

(5)

karena batu yang dilemparkan langsung menembus plafon dan nyaris mengenai cucunya yang berumur 1 tahun lebih yang sementara tidur.4

Sementara itu, pada 28 Mei 2013, kedua kelompok warga ini terlibat ketegangan seusai pemakaman salah seorang pemuda Batu Gantung Ganemo pada Selasa sore. Pemuda tersebut tewas setelah ditikam orang tidak dikenal di kawasan Batu Gaja, Ambon. Puluhan pemuda dari Baru Gantung Ganemo yang mengendarai sepeda motor sambil berboncengan ini mengamuk di jalan raya di kawasan Batu Gantung seusai menghadiri pemakaman rekannya itu. Mereka menuding bahwa rekan mereka tewas karena ditikam pemuda Batu Gantung Dalam. Puluhan warga ini mengamuk sambil berkerumun di tengah jalan. Salah seorang pengguna jalan bahkan hendak dihakimi puluhan warga ini. Beruntung aparat Brimob segera mengamankannya. Polisi baru dapat membuka blokade jalan setelah membubarkan paksa kelompok warga tersebut. 5

Seakan tak pernah reda, kamis (23/1, 2014) sekitar pukul 21.30 WIT, dua kelompok pemuda terlibat baku hantam. Akibat insiden ini, dua orang luka -luka akibat dihantam benda tajam dan satu rumah dikabarkan rusak diamuk massa. “Sempat terjadi bentrokan di kawasan Batu Gantung yang mengakibatkan dua warga

luka-luka dan satu rumah rusak,” ungkap Kapolres Ambon AKBP Bintang Juliana saat dihubungi wartawan, kemarin.6 Menurutnya, bentrok berawal dari aksi pembacokan terhadap ketua RT 03/RW 04 atas nama Anthoni Pattinama oleh orang tak dikenal. Sebelumnya korban ingin menyelesaikan masalah pemukulan warganya

(6)

atas nama Erwin Mahakena disekitar Batu Gantung Kampung Ganemo bersama AKP Johan Samat serta Brigadir Alberth Huwae. Namun saat melewati jembatan kampung Ganemo, kata Bintang, korban yang berboncengan dengan Steven Pattinama tiba -tiba dibacok pemuda yang belum diketahui identitasnya. “Merasa dibacok, korban turun

dari motor dan mencari orang yang membacoknya. Dari situ terjadi adu mulut antara korban dengan kelompok warga di sekitar situ”

Hingga kini, konflik masih sangat sulit diprediksi gerak peningkatan dan penurunannya. Dengan memperhatikan kondisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa belum ada penurunan ekskalasi konflik yang cukup berarti. Dua kelompok pemuda bertikai tetap hidup menjalankan aktifitas kesehariannya dengan berbagai kecurigaan. Dengan demikian masyarakat berada pada posisi ketidakberdayaan.

Berkaitan dengan fungsi pelayanannya, gereja lalu mengklaim diri telah mengupayakan langkah-langkah strategis untuk mencari penyelesaian konflik keumataan. Jika demikian mengapa masih saja terjadi konflik? Pertanyaan tersebut lalu mendorong penelitian ini dilakukan. Penelitian ini diberikan judul: Peranan Gereja di tengah konflik antar dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam

dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, mendorong untuk dilakukannya sebuah studi yang hendak mengkaji persoalan pokok: Bagaimana peranan Gereja di tengah konflik dua komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung

(7)

Dalam studi ini, kajian dibatasi pada tataran konsep, yakni sejauh mana peranan gereja dalam mengatasi konflik dan pengembangan nilai-nilai sosial dalam merancang bangun untuk mengatasi eskalasi konflik yang kemungkinan akan terus berlanjut.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis peranan Gereja di tengah konflik dua komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu

Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademis dan praksis. Secara akademis, memberikan deskripsi secara teoritis terhadap fenomena sosial secara jelas dan menambahkan referensi akademis untuk memperdalam kajian-kajian sosial. Khususnya mengenai peranan lembaga keagamaan sebagai lembaga sosial dalam menghadapi konflik. Secara praksis memberikan kontribusi terhadap Majelis Gereja untuk kemudian dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan yang relevan bagi pengembangan pelayanan ke depan.

E. Metode Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

(8)

menganalisis fenomena yang ditemui. Dengan begitu, realitas dapat dideskripsikan secara baik dan benar.

Realitas adalah sebuah kualitas yang merupakan bagian dari fenomena yang kita kenal sebagai sesuatu yang independen berdasarkan kehendak individu.7 Olehnya ilmu sosiologi bertugas menganalisis proses-proses yang olehnya realitas dikonstruksi secara sosial. Berdasarkan hal tersebut maka kedalaman dan kepadatan informasi mengenai poroses-proses sosial yaitu Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di

Jemaat GPM Rehoboth lebih tepat diperoleh dengan menggunakan pendekatan

kualitatif.

Wawancara merupakan teknik utama pengumpulan data lapangan. Wawancara dapat diartikan sebagai sebuah interaksi yang didalamnya terdapat pertukaran atau berbagi aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi.8 Teknik wawancara dipilih karena memiliki beberapa keunggulan yang mungkin tidak dimiliki oleh instrumen penelitian lainnya. Beberapa keunggulan itu termasuk: a) peneliti memperoleh jawaban yang relatif tinggi dari responden. b) Peneliti dapat membantu menjelaskan lebih, jika ternyata responden mengalami kesulitan menjawab yang diakibatkan ketidakjelasan pertanyaan. c) peneliti dapat mengontrol jawaban responden secara lebih teliti dengan mengamati reaksi atau tingkah laku yang diakibatkan oleh pertanyaan dalam proses wawancara. d) peneliti dapat memperoleh informasi yang tidak dapat diungkapkan dengan cara kuesioner ataupun observasi.

7

Peter L Berger, dan Thomas Luckmann, The Social contruction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Garden City, NY: Doubbleday, 1966), 1

8

Stewart & Cash dalam Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif: untuk Ilmu-ilmu Sosial,

(9)

Informasi tersebut misalnya, jawaban yang sifatnya pribadi dan bukan pendapat kelompok, atau informasi alternatif (grape vine) dari suatu kejadian penting.9

Wawancara semi-terstruktur merupakan bentuk wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data di lapangan. Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan yaitu, a) pertanyaan bersifat terbuka. Artinya jawaban yang diberikan oleh terwawancara tidak dibatasi, sehingga subjek dapat lebih bebas mengemukakan jawaban apapun sepanjang tidak keluar dari konteks pembicaraan. b) kecepatan wawancara dapat diprediksi. Artinya pewawancara dapat mengontrol waktu pembicaraan berdasarkan tema pembicaraan yang ditetapkan. Sehingga pewawancara lebih maksimal memanfaatkan waktu wawancara.10 Maka bentuk pertanyaan yang sesuai dengan bentuk wawancara tersebut ialah bentuk pertanyaan primer-sekunder. Pertanyaan primer merupakan pertanyaan yang bersifat umum untuk mengungkap data berdasarkan topik-topik bahasan dan dapat berdiri sendiri. Pertanyaan primer juga akan dilengkapi dengan bentuk pertanyaan sekunder (probing) yang akan memberikan penjelasan lebih lanjut atau sebagai tambahan informasi yang dibutuhkan. Pertanyaan sekunder dapat berbentuk pertanyaan terbuka-tertutup yang memungkinkan untuk menggali informasi jika informasi yang diberikan tidak sempurna, tidak relevan, tidak akurat, atau hanya permukaan saja, sehingga diperlukan usaha untuk memperjelasnya.11

9

Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya (Jakarta: Bumi Aksara), 80

10

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba, 2010), 123

11

(10)

Disamping itu, penulis juga akan menggunakan teknik dokumenter/kepustakaan. Kategori dokumen yaitu dokumen internal mencakup, hasil-hasil sidang maupun keputusan organisasi Gerejawi dan sumber terkait lainnya.12

Untuk memperlancar pengambilan data dilapangan, penulis akan menempuh beberapa tahapan. Tahap persiapan. Pada tahap ini, penulis melakukan penyusunan pedoman wawancara, mengidentifikasi karakteristik informan kunci yang akan diwawancarai, mengidentifikasi ruang publik yang akan didatangi. Tahap pengumpulan data dilapangan. Pada tahap ini, pengumpulan data lapangan dilakukan di Jemaat GPM Rehoboth.

Berkaitan dengan hal diatas, sangat dibutuhkan pula infoman kunci sebagai yang tidak dapat terpisahkan dalam penelitian ini. Informan kunci diperoleh dari orang-orang yang dianggap tahu dan berkompeten mendalami topik yang diteliti. Mengingat penelitian ini bersifat kualitatif, maka tidak mensyaratkan jumlah informan yang banyak, tetapi lebih kepada cakupan informasi yang dimiliki. Dengan demikian, pemilihan informan yang tepat sesuai dengan topik penelitian ini menjadi sangat penting dilakukan.13 Untuk itu, informan kunci meliputi Majelis Jemaat/Gereja GPM Rehoboth periode 2010-2015 dan dua komunitas pemuda yang saling bertikai. Dua informan kunci atau subjek penelitian ini dianggap penting karena memenuhi kriteria dimana keduanya saling berinteraksi setiap hari. Sehingga dapat mempengaruhi proses-proses sosial.14

12

Ibid., 145-146

13

Idrus, Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, cet. 1 (Yogjakarta: UII Press, 2007), 35

14

(11)

b. Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan bahwa, pemilihan latar penelitian akan mempengaruhi keabsahan data. Berdasarkan hal itu, Pilihan lokasi penelitian dilakukan di Jemaat GPM Rehoboth terkena konflik.

c. Sistematika Penulisan

Referensi

Dokumen terkait